Ting!Setelah pintu lift terbuka, Anna dan Aditya langsung bertemu dengan meja perawat. Aditya segera menanyakan letak kamar Jessica dengan singkat."Ruang VIP suster?""Ke arah kanan ini, paling ujung Pak," seorang perawat memberi jawaban dengan ramah."Terima kasih," balas Aditya yang segera menuju ke arah yang di tunjukkan suster tadi.Sesampai di depan kamar Jessica."Mas, beneran Jessica sendirikan yang ingin bertemu langsung denganku?"Aditya menoleh terlebih dulu ke arah Anna sebelum membuka pintunya."Memang pernah aku bohong padamu?"Helaan napas Anna membuat Aditya menunggu lagi sebelum membuka pintu."Sudah siap?"Pertanyaan Aditya itu yang akhirnya bisa membuat Anna tersenyum di sela perasaan galaunya."Jadi teman, iyakan?"Aditya mengangguk seraya membuka pintu, sedang Anna memilih berjalan di belakang Aditya.Memasuki ruang perawatan Jessica, bau obat-obatan dan langsung mengusik hidung Anna. Seseorang yang akan dia temui sedang berbaring setengah duduk di bednya. Wajahn
Tubuh Anna masih gemetaran. Dalam pelukan Aditya, dia terus saja menggumam. "Aku nggak mengatakan apa-apa Mas. Jessica yang terus mendesakku, hingga ... hingga dia seperti itu," ucap Anna berulang-ulang dengan nada bergetar sambil menatap wajah Aditya yang masih terpaku menatap pintu kamar Jessica, yang di dalamnya sudah ada beberapa perawat. Sesekali Aditya menepuk-nepuk lembut punggung Anna, agar gadis itu lebih tenang. Hingga seorang perawat, yang sepertinya paling senior di antara semua perawat yang sedang berjaga, keluar dan langsung tertuju pada Aditya. "Bagaimana keadaannya, Suster?" Aditya langsung bertanya padanya, dan melepaskan pelukannya pada Anna. Suster itu tersenyum. "Ibu Jessica sudah tenang sekarang, tapi dia butuh istirahat dan untuk sementara oleh dokter tidak boleh menemui siapapun." "Kapan dokternya akan visite?" tanya Aditya yang sepertinya tidak sabar ingin bertemu dengan dokter yang menangani Jessica. "Jadwal visite pagi, tapi kalau di perlukan, setelah p
Saat sendiri di kamar, Anna termenung duduk di sofa. Tangannya melingkar di kedua kaki yang di tekuk. Warna-warni cahaya lampu hiasan malam di luar jendela kaca besar di kamarnya, tak membuat hatinya senang.Bayangan wajah Jessica, saat memohon padanya tersirat, kemudian bayangan wajah Aditya, semakin membuat dada Anna menyesak."Untung saja klep jantungmu masih bagus Anna. Kalau tidak, saat itu aku pasti yang pingsan duluan!"Gumamnya dalam lirih, membicarakam dirinya sendiri.Hubungan asrama dan di lanjut pernikahan dengan Aditya, bagi Anna merupakan hubungan eksklusif yang sama-sama memuaskan tanpa satupun pertengkaran yang berarti. Tentu saja, memuaskan disini bukan definisi yang terlalu jauh, karena sampai saat ini, Anna belum bersedia memenuhi hasrat Aditya.Namun menurut Anna, dia sudah berlaku sangat sabar tiap kali menghadapi sikap Aditya yang kaku.Anna menoleh ke arah tempat tidur mereka berdua."Seandainya kami pasangan suami istri tanpa masalah, aku akan menunggunya di ra
Ke esokan harinya. Anna yang berada di depan meja kerjanya, menatap lesu pada berkas-berkas di hadapannya. Dengan mulut mengerucut, dia mengumam sendiri. "Gara-gara kamu nih, kertas-kertas tak bernyawa, rencanaku jadi gagal!" Anna menghela napas dan mengeluarkannya dengan hembusan bernada kesal. "Huh, harusnya kalau nggak ada dia, aku tuh lebih merdeka, tanpa harus beban dapat hukuman. Tapi kenapa baru sehari saja jauh dengannya, aku jadi kacau begini!" gerutu Anna merasa iba pada dirinya sendiri. Tumpukan kertas yang menandakan banyaknya pendingan kerjaannya hari itu, sampai besok, entah sampai hari apa akan selesai, karena Alan akan terus menambah pekerjaannya. Terlebih, perkataan Alan barusan setelah dia menemuinya di ruangannya. Anna sementara tidak bisa mengajukan cuti karena tuntutan waktu dari Robert agar RUPS luar biasa segera di laksanakan. "Kenapa sih mesti buru-buru? Apa semua laki-laki memang nggak sabaran," gerutu Anna. Anna menarik kertas-kertas di depannya itu da
"Mas Aditya lagi ngapain ya?"Pikiran Anna beberapa hari ini, masih berkutat pada ketidakhadiran Aditya di setiap aktifitas kesehariannya.Begitupun saat rapat dengan petinggi di kantornya, dan langsung di pimpin oleh Alan, yang menjabat sebagai direktur utama, dan merupakan atasannya langsung.Anna lebih banyak menunduk. Materi rapat yang sedang di jelaskan oleh Alan merupakan hasil kerjanya, yang merupakan keinginan Alan yang oleh Anna di tuangkan dalam bentuk presentasi. Bagi Anna mendengarkan penjelasan Alan, sama juga dengan membaca ulang tulisannya, dan akan membuatnya bosan."Itu arahan dan penjelasan dari saya. Akan ada meeting-meeting seperti ini lagi nanti, tapi tunggu penjadwalannya."Mendengar Alan mengatakan hal itu, Anna merasa lega. Mungkin karena jenuh, beberapa hari harus di rumah sendirian, menjalani rutinitas yang monoton tanpa kehadiran Aditya, sendirian terapung-apung, menjadikan mood Anna tidak sebagus biasanya."Anna, soal undangan untuk pemegang saham sudah kam
Tak berselang lama."Jika anda memiliki pertanyaan tentang penerbangan hari ini, jangan ragu untuk menanyakan pada salah satu petugas kami. Terima kasih."Suara announcement dari salah satu pramugari pesawat berakhir, dan Anna merasa sedikit lega, bahwa dirinya sudah di atas pesawat, dan hampir tiga jam ke depan akan segera bertemu Aditya.Iya, Anna ingin memberi surprise pada Aditya, jadi sampai detik inipun laki-laki itu tidak mengetahui kalau Anna dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal ibunya.Usaha nekad Anna ini sebagai upayanya menebus rasa bersalah karena dia sudah mengatakan tidak mendapat persetujuan pengajuan cuti oleh Alan. Walaupun Anna tidak tahu tepatnya dimana Aditya sekarang.Anna duduk bersebelahan dengan seorang wanita yang umurnya lebih tua 10 tahunan darinya, seumuran dengan Aditya. Entahlah, saat ini semua yang ada di mata dan pikiran Anna adalah sosok suaminya tersebut.Wanita itu dimata Anaa berwajah cantik, biar berdandan. Rambut lurus panjang, lipstick warn
"Rumah bosnya Mas Ronny dimana?" Anna bertanya dengan perasaan harap-harap cemas. Mungkinkah seorang Bos yang di maksud Ronny adalah Aditya. 'Tapi, emangnya di dunia ini, yang sebutannya bos cuma Aditya!' batin Anna. Anna masih menunggu jawaban Ronny yang mobilnya mulai menaiki jalanan perbukitan, tidak terlalu tinggi tapi tadi dia memasukkan gigi dua, jadi waktu menurunkan menjadi gigi satu menjadi agak tersendat. "Iya Anna? Oh ya, bosku ya? Rumahnya dekat sini, belok ke arah perkebunan, tapi dia punya usaha shipping juga." "Siapa namanya? Maksudku, mungkin aku mengenalnya?" sahut Anna menyelidik. "Namanya bos Ivan. Orangnya berumur sekitar 40 tahunan, postur tinggi besar. Kalau rumah saudaramu ada di sekitar sini, kau pasti mengenalnya Anna." Anna meringis. "Aku rasa, aku nggak kenal. Karena aku baru pertama kali kesini." "Lho, kamu baru pertama kali kesini? Aku kira kamu sering, tiap liburan atau acara apa," tukas Fita. Anna menggelengkan kepala, "Tidak. Ini pertama kalin
Mata Anna berkaca-kaca, akhirnya dia bisa menemui laki-laki yang beberapa hari sudah membuatnya jadi posesif.Aditya berjalan bergegas ke arah Anna, tapi kemudian berhenti seperti mobil yang mengerem mendadak. Hal ini membuat Anna bingung, sepertinya ada yang salah dengan dirinya.Aditya menyapa Anna dengan kata-kata yang tidak umum."Kkkamu, mau segera masuk dan mandi?""Apa?""Maksudku... mandilah dulu.""Snift, snift," Anna membau bagian lengan bajunya.Aroma yang membuatnya muak tadi, ternyata sudah mengkontaminasi tubuhnya. Aroma khas terik matahari, saat harus berjalan di siang hari dengan menenteng koper, di tambah menumpang pada mobil pick up yang berbau khas nelayan juga pantai.Segera saja Anna menyetujui penawaran Aditya, Anna langsung menuju ke kamar Aditya, di tinggal Aditya lagi. Anna meletakkan kopernya di sebuah bench di depan tempat tidur berukuran king size. Kamar Aditya di rumah ibunya ini, lebih mirip kamar pada sebuah resort. Saat membuka jendela besar, akan nampa
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget