"Semua sudah siap Anna."Suara Ibu Sari membuat Anna tidak dapat berkata-kata lagi untuk sementara waktu. Anna terlihat bingung dan ragu saat akan menyahutinya."Tidak bisakah di undur? Aku butuh waktu buat siapin mental dulu, Bu.""Tapi semuanya sudah di urus sama Pak Aditya, sama sekretarisnya juga itu siapa namanya ... Rahmah? Rahmat? Siapalah pokoknya. Itu sudah susah payah bolak-balik, mondar-mandir yang urus surat-surat, sewa macam-macam. Kamu cuma tinggal pilih mau baju yang mana, mau dimana tempatnya, siapa saja yang mau kamu undang. Sedangkan kamu sibuk sendiri dengan pekerjaanmu. Niat mau kawin nggak, sih?!" sahutan kesal Bu Sari."Waktu satu bulan itu singkat sekali ibu. Salah sendiri, ngajak kawin tapi waktunya cuma sebulan. Pekerjaanku kan juga nggak bisa di kesampingkan." Anna cemberut, lalu duduk dengan tangan bersedekap dan ekspresinya lesu."Kan cuma menikah secara agama saja. Nggak pake ribet. Pak Aditya sudah berjanji, kalau minggu depan akan mengajukan proses media
Saat di dalam kamar pribadi milik Aditya, Anna memandang ke setiap sudut ruangan. Dalam kamarnyapun desain monocrome mendominasi, seperti warna klub sepakbola favoritnya. Dengan bentangan pembatas kaca yang lebar, sehingga dapat leluasa melihat ke arah luar. Baru kali ini Anna melihat kamar pribadi pria itu. Kamar yang masih rapi, tempat tidurnya juga rapi, belum di tiduri malam ini pikir Anna. Terbesit bayangan dia akan tidur di tempat tidur itu juga dengan Aditya."Nggak. Nggak ah! Jangan bayangin itu!" gumam Anna untuk dirinya sendiri.Furniture dominasi warna hitam dengan perlengkapan tidur berwarna putih. Tidak banyak pemanis penghias di dalam kamar, tapi pandangan Anna tertuju pada sesuatu di atas nakas samping tempat tidur. Mata Anna terbelalak dan mulutnya menganga, tapi segera di tutupnya. Anna tak percaya melihatnya tapi juga merasa senang.Terdapat frame foto warna putih dan dirinyalah di dalam foto itu. Foto saat mereka berada di Korea. Foto ketika di Nami island, saat di
PLAK!Tamparan keras mendarat pada pipi Anna, hingga dirinya hampir terjatuh, sehingga niatan menyapa Jessicapun di urungkannya."Jessi!" Bentak Aditya."Nggak apa-apa. Aku nggak apa-apa, Mas." Anna berusaha menahan tubuhnya yang sempat limbung. "Nggak apa-apa, bener. Kalau memang ini membuatnya puas." Pertahanan Anna jatuh, dia hanya sanggup menunduk menghadapi wanita di hadapannya dengan mata berkaca-kaca."Jessi, tidak seharusnya kamu melakukan itu! Aku sudah peringatkan, jangan salahkan dia!"Melihat Aditya lebih memihak pada Anna, Jessica semakin terbakar emosi. Di tarik kaos Anna dan mengibas-ngibaskan tubuh Anna."Kamu sadar nggak sih! Kamu sudah merebut orang yang aku cintai Kamu itu cuma pelampiasan Aditya! Dia suamiku!""Jessi, sudah ... sudah ... hentikan."Aditya melepaskan cengkeraman Jessica pada Anna dengan berkata lembut. Coba di tahan emosi yang semula keluar.Jessica sekarang dalam pelukan Aditya, di lampiaskan semua tangisannya."Sudahlah. Tenangkan dirimu." Aditya
Mata Aditya menatap Anna tajam."Anna, apa ada sesuatu yang tidak aku ketahui? Dari tatapan lesumu itu, sepertinya kamu nggak terlalu antusias, dan sebenarnya dari kontrak pernikahan yang kau buat, ada beberapa hal yang membuatku berpikir kalau itu bukan biasanya dirimu."Anna memperhatikan pandangan Aditya padanya, ada kilatan yang membuat Anna bergidik. Tiba-tiba Aditya begitu menakutkan.Anna tahu, Aditya sedang mencoba membaca pikirannya, tapi juga tidak seperti biasanya. Anna jadi ketakutan. "Oh, nggak ada apa-apa, kok." Anna mencoba meyakinkan, tapi sepertinya Aditya tidak percaya dengan jawabannya."Apa soal uang tunjangan?""Bukan. Aku kira itu tidak seberapa buatmukan. Kalau soal di rahasiakan dan berakhirnya itu semua, itu karena aku hanya ingin kepastian secara hukum. Itu saja." Anna menjawab dengan meringis. Kemudian dia alihkan pandangan pada kebaya pengantinnya. Berharap Aditya juga meresponnya karena Anna berusaha mengalihkan pembicaraan. "Itu ... aku akan membawanya, a
Saat Hari pernikahan Anna dan Aditya.Anna mengambil napas panjang. Dia gugup setengah mati di hari pernikahannya dengan Aditya. Mungkin bukan suatu pernikahan yang megah, tapi justru karena di adakan secara privat, Anna justru menjadi sangat gugup.Dengan mengenakan kebaya putih simple nan mewah, dan riasan natural, membuat Anna cantik di hari istimewanya ini.Anna diam membeku di depan cermin. Dia berpikir bagaimana bisa menerima cinta Aditya dan dalam hitungan hanya beberapa jam lagi dia akan menjadi istrinya.Anna membayangkan hari-harinya nanti menjadi seorang istri dari pria yang di kenalnya dingin dan kaku.Sebenarnya, bukan pernikahan yang seperti ini yang di impikannya. Pernikahan sejati dengan seorang pria yang tidak sedang menunggu proses cerai.Anna menutup matanya, rasanya dia merasa iba pada dirinya sendiri. Merenungi nasibnya yang akan menjadi istri Aditya, tapi Anna juga merasa geli karena bagaimanapun juga, tak di pungkiri dirinya ini sangat mencintai Aditya.Anna mer
"Istrinya adalah miliknya, dan karena ini rumahnya, maka aturan harus sesuai dengan yang dia inginkan."Anna mencoba mencerna perkataan Aditya barusan. Matanya mengerjap beberapa kali, di pikirkan cepat jawaban apa yang tepat."Baiklah," putus Anna. "Tapi, kamar itu jadi teritoriku. Kamu tidak boleh keluar masuk sesukanya.""Kamar itu bagian dari rumahku, bukan?" Mulut Aditya mengerucut. "Tapi, nggak apalah, ini kuanggap sebagai pengecualian.""Terima kasih." Anna balik badan dan masuk ke dalam kamar barunya, tanpa mempedulikan Aditya yang masih berdiri menunggunya.Di dalam kamar, Anna langsung menghujamkan tubuhnya pada tempat tidur, dari tengkurap berganti terlentang."Huff! Apa mau laki-laki itu sekarang setelah aku jadi istrinya? Aku jadi takut sekali dekat dengannya."Anna teringat akan sesuatu. Kontrak pernikahan masih di pegang Aditya. Dia ingin meminta padanya dan memastikan kalau dia benar-benar menandatangani. Annapun terpaksa keluar kamar walaupun enggan.Di buka sedikit d
Hari-hari dan di waktu malam hari, Anna dan Aditya lewati hanya dengan maksimal berpelukan sebelum berangkat tidur. Tidak lebih, karena Anna belum menginginkannya.Sedangkan Aditya menghargai kemauan Anna sementara ini. Di sabarkannya, agar Anna merasa nyaman, dan melakukan hal lebih tanpa berkesan sebuah paksaan.*Suatu malam."Capek banget," gerutu Anna di malam hari sepulang kerja. Sudah hampir seminggu ini dia menikah dengan Aditya, tapi Anna sendirian di rumah. Sejak hari senin, Aditya harus keluar kota mengurus bisnisnya, di temani oleh Rama.Anna bersandar pada tempat tidur. Dia membayangkan lagi apa yang membuat dirinya merasa capek hari ini. Anna memejamkan mata. Gara-gara harus menuruti keinginan Aditya yang meminta laporan keuangan selama 3 tahun terakhir perusahaannya, pikiran Anna tidak karuan.Ada rasa bersalah, tapi juga galau teringat apa yang sudah di lakukan Alan padanya. Kalau saja Dani tidak bersedia membantunya tadi, tentu dia tidak bisa mendapatkan laporan itu.
Di dalam mobil dalam perjalanan pulang.Suasana hening melanda untuk beberapa menit.Anna tahu Aditya merasa kecewa, karena dirinya pergi dengan Dani.Anna mengeluarkan amplop coklat besar, dan menunjukkan pada Aditya."Ini, laporan keuangannya. Dani cuma membantu, karena biar nggak ada yang curiga kalau Dani mau kasih berkas ini, ya sudah, kita akhirnya buat janji ketemuan di luar tadi."Aditya hanya menoleh sebentar, tapi belum ada respon darinya.Anna melanjutkan lagi."Ehmm, dia yang pilih tempatnya dan aku minta pulang. Tadinya mau diajak melantai, tapi aku nggak mau karena nggak bisa dansa. Minta pulang, terus kamu datang."Karena gemetaran dan menahan rasa pusingnya, Anna berbicara tak terarah."Kamu pusing?" Aditya bereaksi setelah melihat Anna memejamkan mata."Habis minum apa?" tanyanya lagi."Non alcohol. Tapi, rasanya seperti kopi, jadi tadi kuhabisin," jawab Anna masih memegang keningnya."Itu pasti liqor, ada alcohol, walau dikit." Terang Aditya. "Nggak kapok di bohongin
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget