Malam yang dingin dan semakin beranjak membuat Kelvin dan Riana memilih menghabiskan waktu dengan duduk di depan perapian.Kelvin membentangkan selimut berbulu tebal yang menghangatkan kaki hingga pinggang mereka.Sengaja Kelvin memilih tempat yang ada di dalam hutan tersebut agar bisa lebih intim dan menghabiskan waktu dengan baik bersama Riana."Jadi, usia berapa kamu tinggal di panti asuhan?" buka Kelvin sambil menyesap cokelat panas yang dibuat sendiri.Riana yang duduk di samping Kelvin lalu mengubah posisi duduk dengan menatap perapian yang ada di hadapan mereka berdua."Setelah mama meninggal, tetangga yang sempat menjagaku mengantarku ke panti asuha. Dia tidak bisa lagi merawatmu karena kekurangan biaya," ujarnya membuat Kelvin diam sambil memerhatikan ekspresi wajah Riana yang terlihat mengabu."Saat itu aku masih SD kelas satu. Untunglah anak-anak panti banyak yang baik. Dan satu bulan setelah tinggal di pantu, aku punya dua orang teman dekat. Salah satunya diadopsi setelah
Pagi buta, Kelvin membangunkan Riana. Tapi kelelahan karena bercinta membuat Riana hanya mengerang malas dan enggan membuka matanya."Ayo bangun!""Mas aku masih ngantuk.""Sudah kubilang 'kan kalau hari ini kita akan mendaki bukit dan melihat matahari terbit. Apa kamu mau melewatkannya begitu saja?"Riana mendesah berat kemudian membuka mata. Wajah Kelvin tepat berada di atas wajahnya."Ayo, sebentar lagi pemandu akan datang dan menemani kita. Tidak usah mandi kalau malas.""Ih, mana bisa. Aku bau nanti malah dikira beruang lagi sama beruang di gunung. Eh tapi memangnya ada beruang? Kalau ada kenapa kita mendaki, Mas? Nanti beruangnya marah."Kelvin tergelak. Membuat kantuk Riana hilang. Baru kali ini Riana melihat tawa Kelvin yang ternyata begitu menyenangkan dilihatnya."Sudah sana cepat mandi. Hanya lima belas menit. Bergegas!" tegas Kelvin.Tiba-tiba Riana mengecup bibir Kelvin berulang kali sebelum buru-buru bangun, menutupi tubuhnya dengan selimut hingga masuk kamar mandi dengan
Meski lelah karena harus berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, namun Riana merasa bahagia. Kelvin menepati janjinya.Bulan madu yang direncanakan dan sempat gagal akhirnya berjalan dengan lancar meski di awal ada masalah yang membuat Riana sempat celaka.Waktu tiga minggu pun terasa begitu cepat hingga akhirnya mereka kembali ke rumah. Kelvin ternyata sudah merencanakan kejutan untuk Riana."Mas, kenapa mata aku ditutup, sih?""Bukan kejutan kalau kamu melihatnya."Riana memonyongkan bibir. Ekspresi wajahnya berbeda dengan debar perasaannya yang bahagia karena akan diberi kejutan.Kelvin sengaja menutup matanya sejak mereka turun dari pesawat dan masuk ke dalam mobil hingga mereka tiba di sebuah rumah. Rumah yang berbeda dengan kediaman yang ditempati sebelumnya."Loh, Mas, kita di mana ini?" Riana menatap sekitar dan takjub dengan pemandangan yang ada di hadapannya.'Ini rumah baru kita."Riana melongo. "Hah? Mas jangan bercanda."Apa mungkin seorang Kelvin bercanda dengan
Kelvin menarik tangan Gabriella lalu membawanya menjauh. Membuat Riana aneh sekali timbul rasa cemburu. Jangan-jangan Gabriella mantan pacar Kelvin, batinnya."Apa yang kamu lakukan di sini?""Lho, kamu yang ngapain di sini? Rumahku memang di sana." Gabriella menunjuk rumah di depan rumah Kelvin dan Riana yang baru lalu kembali bertanya. "Riana itu siapa kamu, Kak?"Kelvin membuang napas berat, menahan dirinya untuk tak meluap. Ia harus menjelaskan dengan baik agar Gabriella tidak salah paham."Riana itu istriku."Gabriella langsung melotot. Mengintip dari punggung Kelvin. Membuat Riana semakin penasaran."Mas.""Kita bicara nanti." Kelvin menatap Riana lalu memintanya mendekat. "Kenalkan, Gabriella ini sepupuku.""Benarkah?"Gabriella mengangguk. "Aku keponakan ibunya Kak Kelvin. Ibuku dan Ibu kak Kelvin saudara sepupu dari satu nenek yang sama."Riana manggut-manggut. "Pantas. Mas Kelvin kaget lihat kamu. Tapi, apa kamu sudah lama tinggal di sini?""Aku...""Gabriella tinggal di luar
"Aduh, Riana ke mana, sih?" Gabriella kehilangan jejak.Ia bertanya kepada setiap orang yang ditemui namun tak ada satupun yang melihat Riana."Huh, Kak Kelvin bisa marah ini." Gabriella lantas melihat cctv di seberang toko di mana ia melihat Riana terakhir kalinya seraya mencoba menelusuri jejak.Penasaran dan bertanya, Gabriella menghampiri kerumanan orang yang cukup menyita perhatian."Tadi ada perempuan diculik, Mbak. Perempuan ini mau nolong. Tapi malah jadi korban," terang seorang pria tua.Gabriella langsung tegang. Pikirannya langsung tertuju kalau Riana lah yang diculik. Ia bergegas menelepon Kelvin, meminta foto Riana."Untuk apa?" tanya Kelvin di seberang teleponnya."Duh, aku ga bisa jelaskan sekarang. Pokoknya kirim dulu cepat!"Kelvin menutup panggilan. Tak lama Kelvin malah mengirimkan nomer ponsel Riana. Membuat Gabriella kesal namun buru-buru menyimpannya.Muncul lah akhirnya foto profil Riana dalam akun whatsappnya. Gabriella segera menunjukkan foto tersebut pada or
Siapa yang tidak kaget. Padahal baru beberapa menit lalu ia sedang berlari mengejar seseorang yang dikenalnya. Tapi saat ia membuka mata, kondisinya dalam terikat bahkan di sebuah lokasinya yang tak jelas.Riana menoleh ke kanan dan ke kiri hingga bola matanya menangkap sosok yang sedang terbaring dengan kondisi yang mengenaskan."Renata!"Riana berusaha menggeser tubuhnya yang terikat di kursi. Bahkan hingga jatuh dan menimbulkan suara yang keras. Membuat sebuah pintu mendadak terbuka dan sinar yang terang membuat pandangan Riana langsung silau.Riana tak bisa melihat siapa yang sedang tertawa dan menertawainya yang tergeletak di lantai bersama kursi yang ia duduki."Sudah kuduga. Apa kita nikmati saja dia?" tunjuk pria tambun dengan kepala plontos yang wajahnya penuh tato. Membuat Riana jijik sekaligus takut."Siapa kalian? Kenapa kalian menculik saya dan menyiksa Renata?"Tidak ada yang menjawab. Hanya tawa yang terdengar hingga salah satu dari mereka mendekati Riana."Mau apa?""M
Riana terbangun di dalam kamar, kamar di rumah baru mereka. Bersama Kelvin yang duduk di tepian tempat tidur dan menatapnya."Mas?"Kelvin membuang napas pelan lalu membantu Riana duduk. Baru Riana sadari setelah itu kalau tangan kirinya sudah dipasangi infus.Baik Riana maupun Kelvin, tak ada yang memulai pembicaraan hingga akhirnya Riana menangis meski Kelvin tampak tak bereaksi."Kamu pasti jijik sama aku sekarang?""Tidak. Dia belum menyentuhmu terlalu jauh."Riana mulai menitikkan air mata. Apa yang dikatakan Kelvin memang benar. Meski begitu Riana merasa kotor karena sebagian tubuhnya sudah dilihat dan dijamah pria yang bukan suaminya."Aku hanya ingin–""Saya kecewa, Riana. Kenapa kamu terus melakukan hal ceroboh dan membuat dirimu terjebak dalam situasi buruk? Tidak bisakah kamu menahan diri untuk bertindak impulsif hanya karena dorongan perasaan?" Meski terdengar emosi, Kelvin berusaha tidak meninggikan suaranya dan membuat Riana ketakutan.Riana memang sedang tidak baik, ta
"Kamu harus menikah dengan Angela!"Tuan Bordi menatap tegas pada Kelvin."Apa kakek tidak tahu seperti apa dia sebenarnya? Bagaimana aku bisa menikah dengan wanita seperti itu."Tuan Bordi berdeham. Ekspresi wajahnya menunjukkan hal yang membuat Kelvin jadi penasaran.Mana mungkin kakeknya yang memiliki banyak kekuasaan itu tidak tahu seperti apa Angela. Dan Kelvin yakin ada sesuatu yang membuat kakeknya terus memaksa agar Kelvin menikah dengan Angela."Kakek tidak perlu ikut campur dengan pilihanku. Yang kakek inginkan hanya seorang cicit bukan?""Aku ingin keturunan yang jelas.""Memangnya keturunan yang jelas itu seperti apa?""Tentu saja yang bibit, bebet dan bobotnya jelas. Bukan anak panti asuhan seperti wanita yang kamu pilih itu."Kelvin terbahak. Membuat Tuan Bordi mengerang marah."Maaf, tapi seharusnya kakek juga tidak lupa kalau kakek menikahi wanita yang kakek cintai dan berasal dari panti asuhan bukan? Bahkan membuat opa murka."Tuan Bordi memiliki dua istri. Satu istri
Kelvin menemui seseorang. Ia meminta orang tersebut untuk melakukan sesuatu. dan untuk hal tersebut Kelvin membayarnya cukup mahal."Ini data-datanya. Cari di mana keberadaan orang tersebut. Dan jika sudah bertemu, amankan sampai waktunya harus muncul.""Baik, Tuan."Kelvin mengangguk lalu pergi meninggalkan tempat pertemuan tersebut untuk menuju tempat yang lain.Namun di tengah perjalanan, ia melihat toko bunga yang sedang memajang rangkaian bunga yang sangat cantik.Kelvin teringat ayahnya yang sering memberikan bunga untuk ibunya. Ia lalu terpikirkan Riana. Berhenti lantas membelinya untuk dibawa pulang.Sayangnya karena Kelvin harus menemui kakeknya dan bertemu dengan Angela, ia terjebak dalam sebuah hal yang tak diinginkan.Angela sengaja menyewa wartawan. Membuat berita baru tentang hubungannya dan Kelvin sehingga berita tersebut menyebar cepat. Membuat Riana tahu kalau suaminya tersebut sudah memiliki tunangan."Jadi, aku adalah perebut laki-laki orang?" gumam Riana menitikkan
Sepnjang perjalanan menuju rumah, Riana terus memikirkan tentang percakapannya dengan Reihan atau Gara. Ia lalu teringat akan keberadaan Renata di tempat David. "Tapi Mas Kelvin pasti tidak akan mengijinkanku menemui Renata," gumamnya lalu menatap ke samping.Mobil sedang berhenti di lampu merah. Riana menatap sekitar. Menemukan beberapa sosok anak yang sedang menjual tisu atau mereka yang sedang ngamen dengan alat musik buatan seadanya.Senyum terukir manis di wajahnya. Riana lalu menatap dan mengusap perutnya yang masih rata. Sambil bergumam seraya mengutarakan harapannya terhadap sang jabang bayi."Ada apa itu?" Riana ikut menoleh ketika sang supir mengatakannya."Ada apa memangnya, Pak?""Itu, Nyonya. Ada pria yang ditarik paksa.""Iya, benar. Kenapa nggak ada yang membantu?"Semua hanya diam. Begitupun pengawal yang duduk di samping supir."Sebaiknya kita tolong, Pak." Pengawal tak bergeming. "Pak!""Maaf Nyonya. Tapi tugas saya hanya mengawal dan melindungi Nyonya."Bukan Riana
Kretek...Suara tulang belulang yang dipatahkan terdengar begitu kentara. Sang penonton hanya melihat tanpa ekspresi apalagi bersuara."Ah, ampun! Tolong jangan bunuh saya."Seorang pria nampak berlutut sambil memohon agar tangannya dilepaskan. Tidak ada luka pasti yang nampak di sekitar tubuhnya. Hanya saja, kaki dan kedua tangannya kini terasa sangat sakit dan tak berdaya.Hal tersebut tergambar jelas di wajah pria yang beberapa jam lalu tersebut sudah melecehkan Riana di toilet kafe."Ini peringatan pertama dan terakhir," ucap seorang dengan tato yang nampak memenuhi leher hingga telinganya.Jeda keheningan, hanya ada suara napas yang menghela panjang dan berat. Kelvin mematikan ponsel. Menyudahi tontonan video yang dikirim suruhannya.Meski tak seberapa. Namun ia merasa puas karena orang yang sudah mengganggu Riana mendapatkan balasannya.Kelvin meregangkan keduanya tangannya ke atas sebelum kembali ke kamar dan melanjutkan tidur yang terjeda karena rasa penasaran.Paginya...Rian
"Dari mana kalian?!"Langkah Riana dan Gabriella terhenti.Sial sekali memang. Kelvin ternyata pulang lebih awal. Pria itu terlihat sedikit pucat dan kelelahan."Kami habis belanja, Mas.""Iya. Kami tadi belanja ke supermarket. Tuh belanjaannya!" unjuk Gabriella kepada satpam dan pelayan pria yang sedang menjinjing belanjaan."Bibi bilang kalian pergi sebelum makan siang.""Iya. Tadi kami–""Kami mampir ke kafe untuk makan siang dan mengobrol." Gabriella menyela lebih dulu.Selain karena merasa bersalah lupa memberi kabar pada Kelvin, wajah sang sepupu yang terlihat suram membuatnya enggan membuat masalah.Tapi...Masa, sih? Apa Riana ngidam nongkrong di kafe? Batin Kelvin.Satu alis Kelvin yang menanjak ke atas menggambarkan pertanyaan yang enggan ditanyakannya tersebut."Kenapa tidak izin?" Alih-alih, Kelvin malah mengintrogerasi Riana dengan tatapan yang membuat wanita itu menunduk."Saya sudah bilang kalau kamu–""Maaf, Mas. Aku salah."Hah... Riana menangis lagi. Dan itu membua
Berbelanja itu seharusnya menjadi momen menyenangkan bagi kebanyakan wanita. Termasuk berbelanja kebutuhan rumah tangga. Hanya saja karena insiden yang terjadi sebelumnya mood Riana jadi berubah drastis. "Ri, kita nongkrong di cafe, yuk?"Perubahan mood yang nampak jelas di wajah Riana membuat Gabriella berinisiatif mengajaknya pergi lagi daripada pulang ke rumah.Dan lagi, sudah lama sekali Gabriella tidak nongkrong-nongkrong cantik di cafe. Apalagi ia juga berencana mengajak temannya untuk bertemu.Siapa tahu bukan, Riana jadi bisa terhibur dan melupakan kejadian buruk yang menimpanya di supermarket tadi."Aku izin mas Kelvin dulu, ya."Gabriella langsung merampas ponsel Riana."Loh, aku mau chat Mas Kelvin.""Nggak usah. Nanti aku yang laporan saja. Kalau kamu minta izin sekarang, pasti nggak dibolehkan."Riana terdiam. Gabriella ada benarnya. Meski dalam hati ia tetap merasa takut jika tidak menghubungi Kelvin dan meminta izin."Ya sudah. Tapi jangan sampai sore, ya. Aku harus mas
Riana terbangun dini hari karena perut yang bergejolak. Kelvin yang sedang memeluk Riana tentu saja langsung terbangun dan mengikuti istrinya ke kamar mandi.Tangannya dengan peka memijat tengkuk leher Riana. Sesekali juga mengusap pungungnya, menyalurkan kenyaman untuk sang istr yang terlihat kesusahan.Kelvin juga menggendong Riana hingga kembali ke ranjang karena tubuh Riana yang lemas setelah muntah-muntah.Aneh memang.Riana selalu muntah di waktu dini hari sementara ketika pagi hingga petang, perempuan itu malah terlihat sehat bugar bahkan selalu bersemangat setiap melakukan hal yang disukainya beberapa waktu ini, berkebun."Sepertinya anak ini ingin menjadi petani."Riana terkekeh setelah meminum obat mual yang diberikan dokter bersama segelas teh manis yang dibuatkan bibi kepala pelayan."Boleh?""Hmm?" Kelvin mengerutkan kening."Boleh tidak kalau dia nanti jadi petani?"Kelvin tak langsung menjawab setelah mengendiikan bahunya. "Mas?""Tidak masalah. Tapi dia harus jadi peta
Gabriella memilih pulang ke rumah Riana. Ia menolak dibawa ke rumah sakit karena memiliki pengalaman buruk yang berkaitan dengan rumah sakit. Riana pun langsung mengobati luka-luka di tubuh Gabriella."Kenapa bisa jatuh?"Bukannya menjelaskan Gabriella malah membuka ponsel dan menunjukkan foto yang ia dapatkan setelah kecelakaan yang menimpanya.Riana melotot, "Dari mana kamu dapat foto ini?"Barulah Gabriella pun menjelaskan kronologis kecelakaan yang dialaminya hingga bagaiaman ia bisa mendapatkan foto tersebut."Ini foto mama dan aku sebelum mama meninggal."Gabriella tak kalah kaget. "Hah? Kamu serius?" Riana mengangguk. "Kok bisa? Jangan-jangan, yang tadi itu benar papa kamu Riana.""Papa?""Iya, dia terus memanggil nama kamu dan mengatakan kalau kamu itu anaknya.""Lalu dibawa ke mana orang itu?""Tadi ada ambulance dinas sosial yang menjemput. Sepertnya dibawa ke sana.""Aku harus ke sana.""Aku antar."Gabriella memanggil bibi kepala pelayan dan pengawal. Namun belum mereka p
Riana terlihat jauh lebih bersemangat setelah mengetahui kalau dirinya hamil. Hanya saja, ada satu hal yang membuatnya sedikit malu. Hasrat bercintanya sering kali tak terbendung ketika melihat Kelvin baru saja pulang kerja.Riana merasa aroma tubuh Kelvin yang bercampur dengan aroma parfum membuat desir dalam darahnya seolah bergejolak.Namun ia ingat perkataan Kelvin setelah mereka pulang dari dokter kandungan untuk pertama kalinya waktu itu."Aku harus bisa menahan diri," gumamnya di dalam kamar.Ia lalu memutuskan mandi sebelum menyiapkan makan malam untuk Kelvin yang akan pulang sedikit terlambat hari ini.Hanya saja Riana tiba-tiba menerima telepon dari seseorang yang mengabarkan kalau Kelvin mengalami kecelakaan.Panik dan hampir saja pergi, untunglah bibi kepala pelayan yang mencegah berhasil meyakinkan Riana.Sayangnya ponsel Kelvin yang mati membuat Riana semakin panik. Bibi kepala pelayan pun menyarankan Riana untuk menghubungi Gabriella atau David. "Iya, Riana?""Gabriell
Kata-kata yang Riana ucapkan berhasil membuat Kelvin mengetatkan rahang. Gabriella mencoba menenangkannya."Bicaranya di rumah saja. Di sini bisa jadi tontonan. Tidak baik untuk Riana juga, Kak."Kelvin mengalah lalu pulanglah mereka bertiga. Kelvin langsung mengajak Riana ke kamar. Tapi perempuan itu menolak.Ia malah menangis kencang seperti anak kecil yang tantrum. Membuat Kelvin jadi pusing."Kak, sabar. Riana sedang terpengaruh hormon kehamilan."Gabriella menceritakan apa yang terjadi sebelum Riana pingsan. Tentang tingkah juga sikap Riana yang aneh sehingga mengerucutkan kesimpulan kalau Riana memang sedang terpengaruh hormon kehamilan."Ini semua gara-gara kamu yang keceplosan."Gabriella mengerucutkan bibir. "Ya, maaf. Aku reflek," belanya."Sekarang bagaimana menjelaskan semua ini pada Riana kalau tingkahnya saja seperti itu.""Lho, kan kamu suaminya, Kak. Ya kamu dong yang harus menenangkannya. Apa perlu aku panggil Kak David untuk membantu?" Dan pelototan Kelvin berhasil