Menjenguk KhiaraPoV Author"Aku cinta sama kamu, Nadia. Sulit sekali menutupinya. Maafkan aku," ungkap Emir, memberanikan diri mendekat ke arah pagar di mana Nadia berdiri di baliknya.Nadia ternganga. Pada akhirnya, ungkapan yang ia nantikan sejak tadi terucap juga dari bibir Emir. Terkadang ia menolek, sebab takut akan kebo_dohan yang bisa saja terulang. Namun jauh di relung hatinya, justeru ia sangat berharap."Pak. Perutku sakit. Bapak pulang dulu, ya. Nanti kapan-kapan kita lanjut ngobrol. Assalamu'alaikum," ucap Nadia, saking gugupnya. Ia berlari masuk ke dalam rumah, sementara Emir menatapnya seraya tertawa pelan.Di dalam rumah, Nadia tak benar-benar pergi ke kamar mandi. Rasa mulas dadakan pada perutnya berangsur menghilang bersamaan dengan menghangatnya tubuh Nadia, yang tadi sempat dingin di sekujur tubuh.Di balik pintu kamar, ia terus bersandar sambil memegangi dadanya. 'Rasa apa ini? Kenapa aneh sekali, sampai panas dingin dan mendadak mulas,' batinnya.***Hari terus b
Kampung HalamanPoV AuthorTiga hari sudah Nadia dan Allisya berada di kampung halaman, tempat di mana Nadia dilahirkan dulu."Wah, seger banget, Ma di sini. Padahal, udah siang. Tapi cuacanya masih dingin," tutur Allisya senang."Iya, dong. Al suka liburan di sini?" tanya Nadia, menempelkan pipinya ke pipi Allisya."Suka, Ma! Tapi, pasti akan lebih seru kalau ada Khiara juga. Kasihan, Ma, Khiara di rumah itu terus.""Di sana pun, ada kalanya mereka pergi berlibur. Kita gak bisa ajak Khia sembarangan, sebab mereka perlu mengawasi dan memerhatikan kondisi Khiara." Nadia menjelaskan."Khiara sakit apa, sih, Ma?" "Emm ... sakit apa, ya?" Nadia berpikir sejenak, mencari kalimat yang mudah dimengerti oleh sang anak. "Khiara sebetulnya sehat, Sayang. Hanya saja, dia ada trauma akibat sering dimarahi Mama dan Neneknya, dulu.""Kasian, ya, Mak. Selama ini Allisya pikir, sakitnya Khiara seperti Mamanya." Allisya mendongak, menatap wajah cantik Mamanya."Sstt ... gak baik bicara seperti itu. M
Kehangatan KeluargaPoV Nadia"Kamu yakin mau pulang besok?" tanya Bi Aini, saat aku mengajaknya belanja oleh-oleh."Yakin gak yakin, sih, Bi. Masih betah sebetulnya. Tapi ... Nadia terlalu lama ninggalin kerjaan. Udah seminggu di kota ini," balasku dengan ramah.Hari ini Allisya menolak ikut ke pasar oleh-oleh. Katanya, dia ingin puas bermain dengan adik bayi. Padahal, bayi Nina masih sering tertidur dan menyusu saja. Mana bisa diajak main.Bagaimana pun menurut Allisya, aku tak akan memaksa. Mungkin maksudnya, ia ingin dekat dengan bayi Nina sebab esok sudah harus kembali ke Ibukota.Tiga malam aku menginap di desa kelahiranku. Sudah kuutarakan tentang rencanaku pada suami Nina, dan dia menyambutnya dengan sangat antusias."Boleh banget, Mbak Nadia. Saya siap kerja jadi apa saja di restoran milik Mbak Nadia, jika memang mau membuka cabang di sini.""Beneran kamu siap, Dang?" tanyaku lagi, sekadar menguji keyakinannya."Gak mudah, lho, ngurus resto. Setidaknya, ada beberapa hal yang
DilamarMasih PoV Nadia"Yeee! Beneran Om Superhero. Om sengaja nyusul ke sini, mau ketemu Mama, ya?" Allisya tiba-tiba mendekat dan segera menghambur ke pelukan Emir.Aku merasa sangat malu oleh Bi Aini. Belum lama aku menceritakan tentang kegagalan rumah tanggaku yang diakibatkan oleh orang ketiga, sekarang sudah didatangi oleh seorang pria berstatus duda. Apalagi, Allisya pun sangat akrab dengan pria itu."M--masuk, Pak Emir." Aku tergagap, mengajaknya duduk di teras rumah Bi Aini."Oh, iya. Silakan masuk. Bibi sampai lupa nawarin duduk, bingung soalnya." Bi Aini terkekeh ke arahku.Aku, Pak Emir dan Allisya mengekor di belakang Bibi yang sudah lebih dulu berada di teras."Duduk, A, silakan. Sebentar, Bibi buatkan minum dulu." Beliau pun masuk ke dalam rumah, setelah sebelumnya tersenyum ke arahku."Gak usah repot-repot, Bi. Saya ke sini mau ngajak semuanya makan malam bersama," tahan Pak Emir, membuat Bi Aini menahan langkahnya."Makan malam di mana?" tanyaku spontan."Dekat sini.
JawabanPoV Author"Malam ini, di hadapan Bibimu, aku ingin memintamu menjadi istriku. Apakah kamu bersedia, menikah denganku?" ucap Emir, berlutut di hadapan Nadia.Wanita cantik berhias hujab warna navy yang tampak kontrak dengan kulitnya yang kuning langsat itu, terus memaku tatapnya pada pria yang berlutut di hadapannya.Lidahnya terasa kelu, tak mampu menjawab. Padahal, ini adalah kali ketiga Emir mengungkapkan isi hatinya."Menikah? Apa artinya, jika Om dan Mama menikah, Om akan menjadi Papa baru Allisya?" tanya Allisya tiba-tiba. Terlihat jelas di wajahnya, binar kebahagiaan bercampur semangat ingin tahu yang menggebu."Om sangat ingin menjadi papa Allisya. Makanya, Allisya bujuk Mama supaya mau menikah dengan Om." Emir mengalihkan tatapannya ke arah Allisya."Siap, Om!" Allisya menggerakkan tangan dan menempelkannya di dahi, menirukan gaya hormat. "Mama ... Allisya mau punya Papa lagi. Om Superhero baik, Ma sama Mama dan Allisya," sambung bocah berusia delapan tahun itu."Al .
Puncak Season 1PoV AuthorTepat di malam pergantian tahun, sepasang kaki berbalut celana panjang warna putih, tertutup gaun warna putih tulang yang lebarnya lebih dari empat meter.Kadua kaki itu melangkah bergantian di atas karpet merah yang tersedia menuju pelaminan. Taburan kelopak bunga mawar putih memenuhi hampir di seluruh karpet warna merah tersebut.Dari pelaminan, seorang pria berjas dan celana warna senada dengan gaun sang wanita, turun hendak menjemput calon wanitanya.Senyum di sepasang bibir mereka saling merekah indah, bahagian dan penuh keharuan.Di belakang sang wanita, dua wanita beda usia pun turut melangkah mengantarkan. Dia adalah sang putri cantik dengan sang Nenek.Akad nikah akan dilangsungkan di atas pelamian, sebab itu adalah permintaan sang mempelai laki-laki."Sudah siap?" tanya sang pria pada wanitanya yang malam ini semakin terlihat cantik dengan balutan hijab putih tulang betahtakan tiara minimalis yang memukau."Aku sudah siap, Pak. Eh, Mas." Wanita itu
Khiara, Allisya dan NadiaPoV Author"Pagi, Ma.""Pagi, Sayang. Sudah rapi, sudah cantik, nih yang mau ketemu sama calon.""He he he ... Mama kayak enggak pernah mudah aja, deh. Biasalah, Ma.""Oke, oke. Allisya mana?""Masih di atas, paling sebentar lagi dia turun.""Tapi kamu jadi 'kan ngenalin calon suamimu itu sama mama papa, hari ini?""Jadi, dong, Ma. Mungkin nanti malam, setelah kami selesai bekerja."Percakapan antara Khiara dengan Nadia terdengar begitu hangat. Sejak Khiara dinyatakan mentalnya sudah membaik, juga sudah mulai bisa menerima nasib yang telah menimpanya, ia benar-benar diangkat menjadi anak oleh Nadia.Dua belas tahun telah berlalu. Khiara dan Allisya pun hidup berdampingan laiknya sepasang kakak beradik. Keduanya tak pernah lagi bertengkar hebat, hanya sesekali terlibat cekcok kecil lantaran berebut mainan. Khiara menjadi lebih banyak mengalah, mengerti bahwa dirinya hanyalah anak angkat di rumah itu.Diniarti telah meninggal di dalam sel tahanan sejak delapan
Kekasih Khiara"Papa akan lepaskan kamu, asalkan kamu berjanji tidak akan merusak hubungan putriku." Lelaki berusia setengah abad itu mengancam, menatap Khiara dengan sorot tajam.Khiara tak bisa menjawab, sebab mulanya ia memang akan membawa kekasih Allisya untuk dikenalkan pada keluarga yang merawatnya selama ini sebagai calon suami."Dareen, pacar putriku yang akan kau kenalkan pada Nadia, bukan?" sambung lelaki tadi yang tak lain adalah Irwan."Aku mencintainya, apa itu salah?" tanya Khiara."Tidak! Tapi caramu merebutnya dari Allisya yang salah!" sentak Irwan."Aku tidak merebutnya dengan paksa. Kita lihat saja, siapa yang Dareen pilih pada akhirnya. Jadi kuminta, Papa Irwan tidak perlu ikut campur!" Khiara memaksa lagi hendak keluar dari dalam mobil."Buka!" katanya, dengan suara menjerit."Tidak akan. Sudah kubilang jangan sakiti Allisya. Kau boleh menyakiti ibunya, atau suami barunya, tapi tidak dengan anakku."Sejak Khiara masih terbilang anak-anak, Irwan memang pernah menemu
Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama
Allisya kemudian melirik seperangkat perhiasan emas yang dikenakannya. "Kamu memang pekerja keras dan pantang dibantu, Mas. Hanya kerjaan dariku yang kamu ambil, saking kamu nggak mau berleha-leha dengan fasilitas yang sudah aku punya," ucap Allisya pelan.Perempuan cantik yang telah melepas masa gadisnya itu pun bergegas masuk ke dalam, hendak bersiap-siap pergi ke restorannya karena ada rapat besar. Di restoran nanti, mereka akan bersikap seperti biasa, layaknya atasan dengan pekerja. Azka yang meminta. Azka bahkan sudah menolak sebagian saham yang diberikan oleh Allisya.***"Bagaimana, Pak, laporan keuangan resto cabang no 2?" tanya Allisya kepada salah seorang manager di restoran cabang di Bogor. Pria bertubuh sedang dengan perut sedikit maju itu mengeluarkan laporan, lalu meminta Allisya untuk mengeceknya kembali. Beberapa penjelasan juga sudah dia sampaikan.Allisya memeriksanya, lalu segera beralih pada manager cabang-cabang lain. Setelah semua ia cek, barulah ia mengecek res
Seluruh keluarga berkumpul di tanah pemakaman, menyaksikan sekaligus mendoakan kepergian Bu Aniyah yang terbilang mendadak. Hanya dirawat beberapa hari di rumah sakit, lalu meninggal ketika kondisinya mulai membaik.Azka dan Allisya sudah berusaha semaksimal mungkin, tentunya. Namun ternyata, inilah suratan yang harus mereka jalani. Keinginan Bu Aniyah untuk menjadikan Allisya sebagai menantu, sekaligus ibu bagi cucu satu-satunya telah terpenuhi. Beliau pergi dengan tenang, seolah bebannya telah terlepas.Perempuan berkerudung putih senada dengan gamis yang dikenakannya, terus saja berdiri menggamit tangan suaminya, juga memegangi tangan gadis kecil di sisi lainnya. Perempuan itu sesekali melepaskan tangan untuk mengusap air mata. Ia mendongak, menatap wajah sang suami yang terlihat begitu tenang seolah-olah tidak ada hal buruk yang menimpa."Mas ... kamu hebat. Kamu kuat," kata sang wanita, memandangi penuh kagum suami yang dicintainya. Dialah Allisya, sang ibu sambung bagi Ziya."Be
Ketika suaminya terpukul setelah kehilangan ibunya, Allisya duduk di sebelahnya. Dengan lembut memandangnya, dengan hati penuh kasih. Dia bisa merasakan betapa sedihnya yang dirasakan suaminya. Meski tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa sakit itu, dia tahu dia harus ada di samping suaminya, memberikan kekuatan lewat keberadaannya.Dia menggenggam tangan suaminya dengan erat, memberikan ketenangan dalam diam. Wajah suami yang biasanya tegar kini dipenuhi kepedihan, dan dia merasa cemas melihat keprihatinan di depan matanya.Sambil memeluk, tangannya terus mengusap punggung sang suami. Membiarkan suaminya menangis, mengeluarkan nestapa yang membelenggu jiwanya."Nenek! Ziya mau ke nenek! Ziya mau lihat nenek, Tante ... tolong Ziya ...!" Jeritan Ziya di luar sana, terdengar begitu menyayat hati. Gadis kecil itu sangat dekat dengan neneknya, sejak ia bayi. Terutama setelah bundanya pergi untuk selama-lamanya.Mendengar itu, Azka dan Allisya menjadi gusar. Saling menatap, merasakan