Selena berusaha bersikap santai saat mereka sarapan bersama. Wanita itu berusaha melupakan apa yang dilihatnya semalam, hal itu karena dia tak ingin membuat interaksinya dengan Daddynya menjadi canggung, terlebih ada mommynya.
Selena tak tahu jika selama ini Mommy dan Daddynya bekerja sama dalam menghilangkan ancaman yang datang kepada keluarga mereka.
Namun, sekeras apa pun Selena mencoba bersikap normal, Matthias tetap bisa membaca kegelisahannya. Mata abu-abu pria itu mengawasi setiap gerak-geriknya—cara tangannya gemetar sedikit saat menuangkan kopi, bagaimana ia tampak lebih diam dari biasanya, bahkan senyum kecil yang dipaksakannya terasa begitu kosong di mata Matthias.
Dylan, di sisi lain, tampak seperti biasanya. Pria itu menyeruput kopinya dengan tenang, sesekali melirik putrinya yang jelas-jelas masih terguncang.
Namun apa yang tampak dipermukaan jelas berbeda dengan apa yang hatinya rasakan sebagai seorang ayah
‘kau tak bisa
Sebuah jet pribadi dari Winston Airlines sudah menunggu di landasan. Warna hitam elegannya memantulkan cahaya matahari sore, tampak mencolok di antara pesawat lain.Dylan dan Lumia berdiri di depan tangga jet, siap untuk pergi. Dylan melirik putrinya yang berdiri di samping Matthias, tangan Selena terkepal di sisi tubuhnya, seolah menahan sesuatu.Matthias berdiri tegak di sampingnya, ekspresinya tenang, tetapi matanya mengawasi setiap gerakan Dylan dan Lumia dengan seksama.Lumia mendekati Selena lebih dulu, menarik putrinya ke dalam pelukan hangat. “Jaga dirimu baik-baik, Sayang.” Suaranya lembut, tetapi ada ketegasan di dalamnya. “Selena tersenyum kecil. “Aku akan jaga diri baik-baik, mom, tak perlu khawatirkan aku, sebalinya Mommy juga jaga diri, jangan sampai sakit” Ucap SelenaLumia menatap putrinya lekat, kemudian mengelus pipinya dengan penuh kasih. “Mommy akan merindukanmu”Mereka berdua te
Selena tersenyum menatap pemandangan sempurna didepannya.Tubuh tegap seorang pria yang atletis, bahunya tegap dan berotot dengan pinggang yang cukup ramping. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela menyoroti garis punggungnya, membuat Selena terdiam sesaat, mengagumi siluet pria itu.Matthias berdiri di depannya, hanya mengenakan handuk dipinggangnya.Tanpa berpikir panjang, Selena melangkah lebih dekat dan melingkarkan tangannya di pinggang Matthias, memeluknya dari belakang. Ia menyandarkan kepalanya di punggung pria itu, menghirup aroma khas yang begitu familiar—kombinasi kopi, sabun, dan sesuatu yang hanya bisa ia kaitkan dengan Matthias.“kau terbangun karena aku tak disampingmu, Princess?”“Hmm” Selena menjawab dengan gumaman, tangannya bergerak meraba otot perut Matthias dan dia bisa merasakan otot itu tegang“Kau sadar dengan yang kau lakukan, Princess?” gumam Matthias, suaranya terdengar ser
Matthias mengerutkan kening, menatap rak di depannya dengan ekspresi bingung yang jarang terlihat di wajahnya. Berbagai merek dan jenis barang wanita yang berjejer rapi, masing-masing dengan deskripsi yang nyaris terdengar seperti kode rahasia baginya.Night use, panjang, dan bersayap… Itulah permintaan Selena dan nampaknya butuh waktu agak lama untuk Matthias menemukannya.Matthias menghela napas, mengangkat satu kemasan, lalu membaca keterangannya dengan serius. ‘Super ultra slim, wing, 29 cm’.Oke… ini mungkin yang dimaksud Selena. Atau bukan?Dia mengambil satu lagi. ‘Overnight, extra dry, 35 cm, heavy flow’.‘Kenapa banyak sekali pilihannya? Kenapa ini lebih sulit daripada memilih senjata?’ Sialnya lagi, Matthias lupa membawa handphone untuk menghubungi Selena dan menanyakan merek apa yang wanitanya itu biasa gunakan“Walton”Matthias menatap pria yang paling tak ia su
"Sampai kapan kau bermain peran menggelikan ini, Parker?" Ucapnya lalu pintu tertutup, menyisakan Stevan yang membeku didalam liftUntuk beberapa saat tatapan Stevan menajam, ada kegilaan yang terlihat disana sebelum akhirnya dia terkekeh kerasSuara tawanya menggema di dalam ruang lift yang sempit. Wajah hangatnya kini berganti menjadi aesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya. Senyumannya tidak lagi tampak ramah—melainkan penuh dengan sesuatu yang Matthias pasti akan kenali jika dia melihatnya.Obsesi.Stevan menyandarkan kepalanya ke dinding lift, menghela napas panjang sebelum terkekeh sekali lagi. “Ah, Walton… Kau benar-benar membuat ini semakin menyenangkan.”Denting lembut menandakan lift sampai di lantainya. Saat pintu terbuka, Stevan melangkah keluar dengan santai, memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Namun, tatapannya tetap tajam, penuh dengan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.&l
Mobil Matthias memasuki sebuah pekarangan halaman luas saat pagar besi hitam itu terbuka. Lampu-lampu pilar yang berjajar di sepanjang jalan masuk menerangi malam, menampilkan kemegahan arsitektur klasik dengan sentuhan modern dari mansion yang berdiri megah di depannya.Begitu mesin dimatikan, Matthias keluar dari mobil tanpa terburu-buru. Seorang pelayan segera menghampiri, membukakan pintu, tetapi Matthias hanya mengangguk kecil sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Suara langkah sepatunya menggema di lantai marmer yang mengilap“Tuan Walton” seorang pria yang sudah cukup berumur menyambutnya dengan postur tegapMatthias mengangguk “Halland sudah datang?” tanyanyaSmith, pria yang menjawab sebagai kepala pelayan itu mengangguk “Tuan Halland sudah menunggu Anda diruang kerja, Tuan”Matthias tidak membuang waktu. Dengan langkah mantap, ia berjalan melewati lorong panjang yang diterangi lampu gantung kristal, m
Selena uring-uringan, selain karena dia tak memiliki kelas ataupun karena datang bulan tetapi juga karena Matthias tak ada di apartemen. Selena hanya duduk di ruang tamu sambil menonton televisi dengan cemilanDia menghela napas panjang, memeluk bantal sofa sambil menatap layar televisi dengan malas. Acara yang diputar bahkan tidak menarik perhatiannya sedikit pun. Yang ada di kepalanya sekarang hanya satu hal—atau lebih tepatnya, satu orang.Matthias.Pria itu pergi tanpa banyak penjelasan setelah menerima telepon. Tidak ada kata-kata manis seperti biasa, tidak ada ciuman sekilas di keningnya, hanya sebuah kalimat singkat, “Aku harus pergi sebentar.”Sebentar?Sudah hampir lima jam sejak ia pergi.Selena mengerucutkan bibirnya, melempar bantal ke samping, dan bangkit dari sofa. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, lalu menutupnya kembali setelah menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar ingin ia makan.Sel
"Bodoh! Bisa-bisanya pengawal seperti kalian kehilangan wanitaku" Matthias menghajar dua pria yang ditugaskannya sebagai pengawal SelenaMatthias tidak menahan amarahnya. Tinju kerasnya menghantam wajah salah satu pengawal, membuat pria itu jatuh tersungkur ke lantai dengan darah mengalir dari sudut bibirnya.Satu pria lagi mencoba berbicara, tetapi sebelum dia sempat membuka mulut, pukulan Matthias yang berikutnya mendarat tepat di rahangnya, membuatnya terhuyung ke belakang."Bodoh!" geram Matthias. Napasnya berat, matanya berkilat dengan kemarahan yang begitu pekat. "Kalian hanya punya satu tugas—mengawasi Selena! Dan kalian bahkan tidak bisa melakukan itu?!"Kedua pria itu tidak berani membela diri. Mereka tahu bahwa kesalahan seperti ini tidak bisa dimaafkan.Halland berdiri di sisi ruangan, tidak ikut campur. Dia tahu jika Matthias sedang seperti ini, lebih baik membiarkannya melampiaskan amarah dulu sebelum berbicara logis.Matt
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid
“Tunggu di mobil. Jangan keluar atau aku akan menghukummu, Princess” Matthias berbicara dengan sungguh-sungguh.Selena menatapnya, tak mengangguk ataupun sekeder mengiyakan ucapan Matthias. Mata coklatnya menatap Matthias yang keluar dari mobil dan berjalan menuju tiga buah mobil yang berhenti didepan mereka.Ketiga mobil itulah yang mengikuti mereka sejak tadi dan membuat mereka berhenti.Dari dalam mobil Selena tak bisa mendengar apapun, dia hanya bisa melihat gerak-gerik Matthias dan beberapa pria berseragam yang nampaknya tak memiliki maksud baik. Seorang yang nampaknya memimpin berbicara dengan Matthias sedangkan orang lainnya nampak menodongkan senjatanya pada MatthiasSelena menggigit bibirnya. Hatinya berdebar-debar, merasakan ketegangan yang semakin membesar di udara. Meskipun dia mencoba menenangkan diri, namun rasa penasaran dan kecemasan membuatnya hampir tak bisa menahan diri.Selena merasa terjebak di dalam mobil, tak bisa
“Hanya segini?” Tanya Matthias dengan tatapan tajamnyaAlesio terkekeh “Memangnya kau berharap berapa banyak?”Matthias menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menyipit menatap dokumen di tangannya. “Aku berharap lebih dari ini, Kingston. Kau tahu berapa banyak jaringan yang sudah kita bongkar.”Alesio mengangkat bahu dengan santai, mengambil gelasnya dan menyesap anggur merahnya sebelum berbicara. “Jangan serakah, Walton. Ini bukan hanya tentang seberapa banyak yang kita temukan, tapi seberapa dalam kita bisa menelusurinya.”Matthias mengetukkan jarinya ke meja, pikirannya jelas bekerja. “Jadi, kau pikir ini masih permukaan?”Alesio menyeringai kecil. “Kita berurusan dengan orang-orang yang lebih licik dari yang kita kira. Jika ini mudah, kau dan aku sudah menyelesaikannya sejak lama.”Matthias mendecakkan lidahnya, lalu menutup dokumen itu. “Baiklah. Aku aka
Alesio Kingston, pria itu sempat menghebohkan media dengan pernikahaanya dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia. Terlebih saat itu ada rumor yang mengatakan jika Alesio merebut wanita yang sudah memiliki tunangan“Ini istriku, Alana” Alesio mengenalkan sang istri yang sedang hamil besar pada Selena“Hallo” Suara halus itu terdengar dari Alana dan Selena mengerti kenapa sosok seperti Alesio bisa menjatuhkan hati pada perempuan ini“Aku Selena” Selena mengenalkan dirinya dengan sangat ramah“Tunanganku” Matthias menambahkan dengan seringai sombongAlana tersenyum hangat, matanya berbinar saat mendengar perkenalan dari Matthias. "Senang bertemu denganmu, Selena. Aku harap kau bisa menikmati pesta ini."Selena membalas senyuman itu. "Terima kasih, dan selamat atas kehamilanmu. Aku yakin Alesio pasti sangat menjagamu."Alesio tertawa kecil, melingkarkan lengannya di pinggang Alana deng
“Princess” Panggil MatthiasSelena yang sedang duduk dan menonton menatap pria itu lekat “Ada apa?” Tanya Selena“Mau ikut denganku malam ini?” TanyanyaSelena terdiam, mempertimbangkan tawaran Matthias. Sejujurnya, ia tidak ingin sendirian di apartemen ini malam ini. Terlebih dirinya juga tak mau jauh dari Matthias“Kemana kita akan pergi?”Matthias menyeringai kecil, lalu duduk di sampingnya. “Aku ada undangan pesta dari keluarga Kingston. Aku ingin kau ikut denganku.”“Kingston? Alesio Kingston?”“Hmm”Selena mengangkat alisnya, jelas terkejut. "Sejak kapan kau bergaul dengan keluarga Kingston?"Matthias terkekeh, lalu melingkarkan lengannya di punggung sofa, membuatnya semakin dekat dengan Selena. "Bukan bergaul, Princess. Hanya urusan bisnis. Kau tahu jika mereka juga memiliki maskapai penerbangan kan?”Selena mengangguk
“Shh... hisap yang kuat Princess”Mulut Selena terasa kaku, begitupun dengan tangannya. Nyatanya menghibur Matthias dengan mulut dan tangannya tak juga membuat Matthias puas. Andai bulanan Selena sudah selesai, dia pasti akan lebih memilih melebarkan kakinya daripada mulutnya“Terus Princess..”Benda Matthias didalam mulut Selena terasa membesar dan mengeluarkan cairan yang membuat Selena masih merasa aneh“Hah...” Selena menghela napas panjang, ada hawa panas dari semburan lahar Matthias di mulutnya “Rasanya aneh, tapi lebih baik dari yang sebelumnya” gumum SelenaMatthias terkekeh “Aku belum selesai marah padamu, Princess”“Ckk.. ayolah. Kenapa kau terus mencari kesempatan?” Selena bangkit, memposisikan diri di pelukan Matthias yang terbaring di ranjang sejak tadi“Aku menasehati agar kau—“Suara Matthias perlahan lenyap dipendangaran Se
Matthias marah. Itu jelas.Sejak mereka meninggalkan pulau itu, pria itu bahkan tidak menatapnya. Di kapal, Matthias hanya berdiri di buritan dengan tangan terlipat di dada, matanya terpaku pada lautan seolah-olah dia bisa melampiaskan amarahnya pada ombak.Di dalam mobil, suasana semakin menegangkan. Matthias duduk di sampingnya, tetapi jaraknya seperti sejauh benua. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di atas pahanya, dan napasnya terdengar berat—tanda-tanda khas kalau dia sedang menahan diri agar tidak meledak.Selena meliriknya sekilas, lalu mendesah pelan."Apa kau akan diam saja sepanjang perjalanan?" tanyanya akhirnya.Tidak ada jawaban. Matthias bahkan tidak bergerak.Selena menggigit bibirnya, mencoba menahan senyum geli meskipun tahu situasinya serius. Matthias yang marah memang berbahaya… tapi Matthias yang merajuk? Itu sesuatu yang jarang terjadi.Dia menggeser tubuhnya sedikit, mendekat ke arahnya. "
"Tunanganku sudah datang."Selena terkekeh pelan, dia melangkah mundur, menjaga jarak dari NateNate masih menatapnya dengan rahang mengatup rapat. Matanya yang biasanya penuh percaya diri kini menyiratkan keterkejutan dan… kemarahan.“Kau pikir ini sudah selesai?” suaranya rendah, berbahaya.Selena mengangkat bahu, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. “Kuharap begitu” Jawab Selena ringanDi luar, suara ledakan lain mengguncang tanah, membuat bangunan bergetar. Para anak buah Nate berlarian dalam kekacauan, beberapa mengangkat senjata, sementara yang lain berteriak mencari perlindungan.Selena menoleh kembali ke Nate yang kini menggertakkan giginya, tinjunya mengepal erat. Pria itu memang cerdas, licik, dan penuh perhitungan, tapi kali ini—dia kalah langkah.Langkahnya untuk mengambil Selena, wanita yang dicintainya sudah salah.Nate menghela napas berat, tatapannya gelap saat melihat Sele
Matthias menatap Hirerty dengan mata abu tajamnya“Kenapa kau tak mengatakan apa-apa?!” TuntutnyaHiriety terkekeh ringan “Salahmu yang tak bertanya”“Demi Tuhan Hirie!! Kau dan Selana merancakan hal seperti berbahaya seperti ini tanpa memberitahuku?!!” suaranya rendah dan penuh kemarahan yang ditahanMatthias menggeram, mengepalkan tinjunya dengan erat. Napasnya masih memburu setelah serangan mendadak yang baru saja terjadi."Kau tahu seberapa bahayanya ini, tapi kau malah membiarkan Selena pergi begitu saja?!"Hiriety menyandarkan dirinya ke dinding dengan santai, ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ini bukan masalah besar. "Aku tidak membiarkan dia pergi begitu saja, Matthias" ujarnya, menyilangkan tangan di dada. "Selena dan aku sudah merencanakannya sejak awal."Matthias mengusap wajahnya kasar "Jelaskan semuanya. Sekarang."Hiriety terkekeh “ternyata akting Selena hebat juga samp
"Selamat datang di rumahku" pria itu berkata dengan nada tenang namun berwibawa.Selena tidak menjawab, hanya menatapnya dengan tatapan tajam yang penuh kewaspadaan. Rumah? Ini lebih mirip markas tersembunyi bagi orang-orang seperti mereka—sebuah bangunan besar dengan arsitektur megah namun memiliki aura kelam dan dingin.Stevan mendorong punggung Selena dengan lembut, membuatnya berjalan mengikuti pria itu masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu besar yang dijaga ketat oleh pria-pria bersenjata, Selena semakin merasa tidak nyaman.Interior rumah itu dipenuhi marmer hitam dengan lampu gantung yang memberikan cahaya remang. Ada aroma khas—sesuatu yang mahal, bercampur dengan bau samar cerutu.Pria yang dipanggil 'Boss' itu melangkah santai menuju sebuah ruangan luas dengan jendela besar yang menghadap ke laut. Dia berbalik, menatap Selena dengan senyum tipis."Aku harus mengakui" katanya sambil melipat tangan di depan dada. "Aku tid