"Bun, bangun!" Inara mencoba membangunkan sang bunda. Dia terlihat menggoyang-goyangkan tubuh sang bunda. Dia terlihat panik dan bahkan meneteskan air matanya, mendapati tubuh sang bunda yang sudah terbujur kaku. Meskioun demikian, dia masih tak percaya kalau sang bunda sudah meninggal. "Bunda, jangan tinggalkan Inara!" Ucap Inara di iringi isak tangis. Dia terlihat meraung-raung menangisi sang bunda. Saat itu Inara hendak membangunkan sang bunda untuk sarapan. Inara merasa bingung, karena sang bunda tak kunjung keluar dari kamarnya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk membangunkannya. Dan Inara melihat sang bunda yang masih berbaring di ranjang dengan mata terpejam seperti orang yang sedang tidur. Dia coba membangunkan sang bunda. Namun, sang bunda tak kunjung bangun. Inara berpikir, kalau sang bunda tertidur nyenyak. Hingga akhirnya dia mencoba menggoyang goyangkan tubuh sang bunda yang sudah dalam keadaan kaku. "De, bunda de!" Teriak Inara memanggil sang adik. Sang adik la
"Kita ke dokter ya! Aku gak tega melihat kamu seperti ini. Aku mengkhawatirkan kamu," ucap Rizky. Wajah Inara terlihat pucat. Sejak tadi, dia pun belum beranjak turun dari ranjang. "Nanti saja mas! Aku hanya butuh istirahat saja yang cukup. Kepala aku terasa sakit. Tubuh aku juga terasa lemas," jawab Inara. Inara drop. Beberapa hari ini dia tak nafsu makan. Dia terus kepikiran bundanya yang telah tiada. Dia begitu kehilangan sang bunda. Dia banyak menangis. "Aku tahu, kamu begitu kehilangan bunda. Tapi, kamu tak boleh terus menerus seperti ini! Bunda pasti akan sedih melihatnya. Ikhlaskan bunda, biar dia tenang di sana," ucap Rizky mencoba memberi pengertian kepada sang istri. Rizky memilih tak kerja. Melihat kondisi istri yang seperti itu, dia merasa tak tega. Dia ingin menemani istrinya seharian di rumah. Jika sang istri masih terus demam. Dia akan memaksa sang istri berobat ke dokter. "Aku mau minta buatkan bubur untuk kamu ke si bibi," ujar Rizky kepada sang istri. Namun, In
"Kamu sudah boleh keluar dari sini," ucap Dokter Arsyila. Dokter yang selama ini menangani Monika. Setelah berbulan-bulan berada di rumah sakit jiwa. Hari ini Monika sudah diperbolehkan keluar. Monika terlihat diam. Dia bingung memikirkan, kemana dia harus pulang. Tak ada tempat untuk dia berteduh, saat keluar nanti. "Kamu kenapa? Apa yang sedang kamu pikirkan?" Tanya Dokter Arsyila. . Monika menceritakan, apa yang dia rasakan saat ini. Dokter Arsyila begitu prihatin mendengarnya. Miris sekali kehidupan Monika sekarang. Semua, berkat keserakahan dia. "Apa kamu mau bekerja menjadi ART di rumah saya? Kebetulan, di rumah saya sedang tak ada ART. ART yang lama, berhenti bekerja karena ingin menikah," ucap Arsyila kepada Monika. Tentu saja dia mau. Dia akan lebih memilih bekerja menjadi ART, daripada harus hidup di jalanan. Padahal selama ini dia tak pernah melakukan pekerjaan rumah. Tapi, demi bertahan hidup. Dia akan lakukan. "Ya sudah. Nanti kita pulang bersama. Setelah tugas say
"Monik, saya berangkat dulu ya kerja. Kalau kamu belum bisa masak. Ya udah, kamu gak usah masak. Nanti kamu kalau mau makan, beli saja di luar. Di depan gerbang perumahan, banyak tukang jual makanan. Biar Mas Ali nanti saya suruh makan di tempat kerjanya saja, atau di jalan sebelum dia pulang. Pelan-pelan saja, kamu belajar kerjanya," ucap Arsyila kepada Monika. "Iya Bu. Makasih atas kebaikan ibu. Saya akan usahakan secepatnya, bisa menguasai pekerjaan rumah. Maaf ya bu, jadi merepotkan ibu," sahut Monika sopan. "Tenang saja, gak usah sungkan! Anggap saja seperti di rumah sendiri. Saya senang bisa menolong orang," Arsyila berkata. Dia tak sadar, kalau dia sudah membawa seekor ular ke dalam rumahnya. Suatu saat nanti, ular itu akan memangsa dia. Arsyila sudah pergi meninggalkan rumah. Rumah dia adalah rumah bergaya minimalis. Memiliki tiga kamar. Dua di atas, dan satu di bawah yaitu kamar Arsyila dengan suaminya. Rumah itu memiliki dua lantai. Pandangan Monika kini mengarah ke figu
"Tumben, kamu gak kerja?" Tanya Ali saat melihat sang istri yang masih menggunakan daster. Saat itu Arsyila sedang sibuk memasak di dapur. Hari ini dia memang sengaja mengambil cuti, agar dia bisa menghabiskan waktunya bersama sang suami. Arsyila masih terus berharap, dirinya bisa segera hamil. Mertuanya sudah menanyakan terus kepadanya. Dia takut, kalau nantinya sang suami memutuskan bercerai darinya. Karena dia yang tak kunjung hamil. "Iya, sengaja. Aku ambil cuti. Agar bisa berduaan sama kamu," sahut Arsyila sambil terkekeh. Monika justru merasa kesal. Kesempatan dia mendekati Ali menjadi gagal. Kini, dia justru merasa cemburu melihat kedekatan Ali dengan Arsyila. "Monik, ayo kita makan bersama!" Ajak Arsyila ramah. Arsyila sudah selesai memasak, dan makanan sudah tersedia di meja makan. Enak sekali jadi Monika. Arsyila justru yang memasakkan makanan untuknya. "Saya nanti saja bu. Ibu sama bapak makan duluan saja! Nanti saya makan di dapur saja," ucap Monika yang berpura-pur
Ali langsung kembali ke kamar, dia langsung membangunkan istrinya. Arsyila terpaksa membuka matanya, dia kaget mendengar suaminya yang marah-marah membangunkan dia menyebut nama Monika. "Memangnya, Monika kenapa mas?" Tanya Arsyila memastikan. Arsyila masih merasa lemas. Padahal, baru beberapa menit saja dia tertidur. Tapi sekarang, sang suami sudah membangunkannya secara kasar. "ART itu udah kurang aja. Kamu terlalu memanjakan dia. Jadinya begini 'kan? Masa iya, kita tidur dia ikut tidur. Tak ada satupun pekerjaan yang dia kerjakan. Cucian piring sampai numpuk. Keterlaluan!" Ali meluapkan perasaan kesalnya. Semenjak kehadiran Monika di rumahnya, Arsyila dan Ali menjadi sering bertengkar. Sejak awal Ali tak menyukai Monika. "Nanti aku coba bicara pelan-pelan sama dia mas," jawab Arsyila lembut. "Sudahlah, kamu berhentikan saja dia! Lebih baik cari ART lainnya. Dia itu hanya jadi benalu di rumah kita. Sejak awal dia datang ke rumah ini, aku sudah tak menyukainya. Lebih baik sekar
Arsyila sudah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Sedangkan Ali, minggu ini sedang shift siang."Aku berangkat dulu ya, mas! Nanti kamu berangkat seperti biasa 'kan?" ujar Arsyila, dan Ali mengiyakan. Seperti biasa, Arsyila mencium tangan suaminya, sebagai rasa hormatnya kepada sang suami. Ali pun memberikan kecupan di pucuk kepala dan kening istrinya. Ternyata, sejak tadi Monika diam-diam memperhatikan pasangan itu. Entah mengapa, dia merasa tak suka. Dia berpura-pura, membersihkan area di sana. "Nik, saya berangkat dulu ya! Tolong siapkan buat Mas Ali makan siang ya. Sebelum dia berangkat kerja," tukas Arsyila. "Iya, bu. Nanti Pak Ali saya belikan makanan, untuk makan siangnya. Ibu hati-hati ya di jalan!"Arsyila menganggukkan kepalanya. Ali terlihat dingin, menunjukkan rasa tak sukanya kepada Monika. Monika tersenyum licik, dan berkata kalau ini adalah saatnya dia beraksi. "Lebih cepat, lebih baik," Monika berkata dalam hati. Selepas sang istri berangkat, Ali memutuskan per
"Pergi! Aku bilang pergi dari sini. Dasar ja*lang!" Pekik Ali. Dengan kekuatan yang ada. Dia langsung mendorong tubuh Monika kasar. Membuat Monika terjatuh ke lantai. "Brengsek!" Monika marah. Dia berusaha untuk bangkit, memegangi pinggangnya yang terasa sakit. Ali menghampiri, dan menarik tangan Monika dengan kasar. Kemudian mengusirnya keluar dari kamarnya.Brug!Monika terperanjat kaget mendengarnya. Setelah dia menutup pintu kamarnya, dan menguncinya agar Monika tak masuk. Kemudian langsung mencari keberadaan ponselnya. Ali langsung melakukan panggilan telepon kepada istrinya. "Assalamualaikum." Arsyila mengawali pembicara. "Waalaikumsalam. Yang, aku minta sama kamu pulang sekarang juga! Aku lagi ada masalah. Aku udah gak tahan," Ucap Ali dengan napas yang terengah-engah. Arsyila begitu terkejut mendengarnya. Mengapa suaminya berbicara seperti itu kepadanya. "Ta--tapi, mas. Kamu memangnya kenapa?" Arsyila tampak bingung. Pasalnya, dia tak bisa meninggalkan pekerjaannya be
"Mengapa kamu ada di kamar saya? Dasar pembantu tak tahu diri. Kamu sengaja ya mengambil kesempatan, di saat istri saya sedang tak ada?" Gio berkata sinis. "Saya ini korban Bapak. Bapak yang memaksa saya untuk melakukan. Bapak sudah melecehkan saya," sahut Monika terisak tangis. Dia berakting, seolah dia pihak yang dirugikan. "Bapak mabuk saat pulang ke rumah, dan bapak memaksa saya karena mengira saya adalah Bu Sita," jelas Monika membuat Gio merasa tersudut. "Baiklah, saya akan bayar uang tutup mulut untuk kamu. Anggap saja, semalam saya habis menyewa kamu. Jangan pernah katakan pada siapapun, apa yang terjadi pada kita! Anggap semua gak pernah terjadi diantara kita," ucap Gio sombong. Dia mengusir Monika dari kamarnya. Gio mengerutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia melakukan dengan seorang pembantu. "Kalau saya nanti hamil gimana Pak? Semalam, Bapak melakukannya tidak hanya satu kali. Bapak juga membuangnya di dalam," Monika berkata. "Tak perlu khawatir! Istri saya dan selin
"Jawab Mas! Aku ingin dengar kejujuran kamu," Sita memaksa suaminya menjawab. Gio terlihat hanya diam. Namun, merasa gusar. Namanya bangkai yang ditutupi, pada akhirnya akan terbongkar. Sita terlihat kecewa di benar-benar syok, tak percaya suaminya akan selingkuh darinya. Sita menangis. Dia sudah tak sanggup menahan air matanya lagi. Wanita mana yang tak merasa sakit, saat mengetahui suami tercintanya ternyata bermain api di belakangnya. "Kalau Mas tak menjawab, berarti benar. Mas selingkuh. Aku ingin kita cerai," ucap Sita tegas. Meskipun selama ini suaminya selalu memberikan kemewahan. Dia tetap manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan. Dia merasa tak terima. Melihat sang istri memasukkan barang-barangnya, Gio terlihat panik. Dia langsung beranjak turun menghampiri istrinya. Kemudian memeluknya dari belakang. "Aku mohon, maafkan aku! Aku khilaf. Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Aku cinta sama kamu," Gio memohon agar Sita mau memaafkan dirinya. Sita membalikkan tubu
Gio sudah terbangun, dan tak melihat sang istri di kamarnya. "Kemana dia?" Gio berkata. Dia memilih untuk mandi dahulu, sebelum mencari keberadaan sang istri. Kemarin-kemarin, dia kurang tidur. Hingga baru sekarang dia merasa lemas. Dia kerap berolahraga ranjang, selama bersama Liana kemarin. Kini dia sudah merasa lebih segar. Gio langsung keluar dari kamar dan mencari keberadaan sang istri. Namun, di luar pun sang istri tak ada. "Kemana Ibu?" Tanya Gio kepada Monika. Dia masih saja bersikap dingin kepada Monika. "Ibu pergi lagi, Pak. Tak lama Bapak pulang," jawab Monika. Tanpa berbasa-basi lagi, Gio langsung kembali ke kamar lagi. "Sepertinya, Sita sangat marah. Tak biasanya dia seperti itu."Gio mencoba menghubungi sang istri melalui ponsel pintarnya. Namun, berkali-kali dia menghubungi sang istri. Sang istri tak mengangkatnya. "Si*al! Berani-beraninya dia mengabaikan telepon dariku," umpat Gio. Wajah Gio terlihat sangat kesal. Selama ini, sang istri tak pernah berani bersik
Setelah di rawat selama tiga hari, hari ini Inara dan kedua anaknya sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisi Inara sudah membaik, hanya tinggal pemulihan saja. Rizky sudah mengurus administrasi kepulangan sang istri. "Sekarang, kita sudah boleh pulang," ujar Rizky kepada sang istri. Inara tampak sumringah. Akhirnya, dia bisa merasakan tidur nyenyak di rumah. Meskipun dia di rawat di ruang eksekutif, tetap saja lebih nyaman tidur di kasur empuk di rumah. "Apa semua sudah dibawa? Tak ada yang ketinggalan lagi?" Tanya Rizky kepada baby sister kedua anaknya. "Sudah, Pak," jawab salah seorang baby sister. Rizky sudah menyiapkan kursi roda, untuk sang istri turun nanti ke lobby. Dia khawatir sang istri belum kuat berjalan. "Sudah mas, aku jalan saja! Aku kuat kok, Mas. Mas gak usah khawatir," ucap Inara menyakinkan. "Gak apa-apa. Kamu duduk di sini aja, biar mas dorong," Rizky berkata. Rizky mempekerjakan dua orang baby sister untuk membantu sang istri, mengurus kedua anaknya. Di
Suasana tampak tegang, Inara dan Rizky kini sudah berada di ruang operasi. Sejak tadi Rizky menggenggam tangan istrinya erat, menguatkannya. "Jangan tegang ya! Ada mas di samping kamu," bisik Rizky dan Inara tampak menganggukkan kepalanya lemah. Operasi mulai berjalan. Rizky dapat melihat perjuangan sang istri, untuk melahirkan kedua buah hatinya. Sejak tadi dia tak melepas genggamannya, dan membisikkan kata-kata cinta untuk menguatkan istrinya. Suara penuh haru, saat satu persatu anak mereka terlahir ke dunia. Suara tangis kedua anak mereka terdengar. Rizky sampai meneteskan air matanya. Mereka kini sudah menjadi orang tua. "Selamat ya Sayang, kamu sudah menjadi seorang ibu. Alhamdulillah anak kita terlahir dengan selamat, sehat, dan tanpa kurang satupun. I love you," Rizky membisikkannya di telinga istrinya. Dokter meletakkan bayi mereka secara bergantian, di dada Inara untuk dilakukan inisiasi dini. Setelah selesai, kedua bayi mungil itu diambil kembali untuk dibersihkan. Sete
"Mas—" Ucapannya terhenti. Inara mengurungkan niatnya untuk bicara. "Kenapa? Kok berhenti ngomongnya?" Rizky bertanya lembut kepada sang istri. Bukannya menjawab, Inara justru menatapnya lekat. Rizky menautkan alisnya, seolah bertanya gerangan apa yang ingin istrinya katakan. "Kalau umur aku gak panjang gimana? Apa kamu akan menikah kembali dengan wanita lain? Mencari ibu sambung untuk kedua anak kita," akhirnya Inara mengungkapnya. Mendengar penuturan sang istri, Rizky merasa tak suka. "Aku gak suka kamu bicara seperti itu. Sampai kapanpun hanya kamu istri aku dan ibu Anak-anak kita. Kamu harus ingat perjuangan cinta kita sampai ke titik sekarang ini. Kita sama-sama berat melewatinya. Udah ya, jangan bicara seperti itu! Kita berdoa, semoga operasi sesar kamu besok berjalan lancar. Kamu dan kedua anak kita selamat dan sehat. Kita bisa berkumpul bersama," ucap Rizky panjang lebar. Inara terdiam. Perasaannya menjelang persalinan, semakin deg-degan. Dia khawatir, nyawanya tak tertol
"Sayang, sepertinya aku besok harus berangkat ke Yogyakarta untuk beberapa hari. Ada pekerjaan yang gak bisa aku tinggalkan," ucap Gio yang kini masih memeluk istrinya. Sita memiliki wajah yang cantik. Dia juga memiliki body dan juga kulitnya yang putih mulus. Tentu saja Gio tak sembarangan memilih seorang istri. "Jadi, aku di tinggal lagi?" Sita terlihat kesal, memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi dia harus di tinggal kembali. Padahal, baru hari ini suaminya pulang, dan besok harus pergi lagi meninggalkan dia. "Sabar ya, Sayang! Seperti biasa, aku tak akan lama ke sananya. Setelah urusan selesai, aku akan segera pulang. Aku pun tak akan kuat berpisah dengan kamu," rayu Gio. "Sebagai permintaan maaf aku. Aku akan memberikan kamu uang 100 juta. Kamu bisa gunakan uang itu, untuk shopping atau apapun. Bebas terserah yang kamu mau," ucap Gio lagi. Tentu saja mata Sita langsung berbinar-binar mendengarnya. Dia merasa senang, karena suaminya akan memberikan dia uang, untuk membeli yang dia
"Kapan gue bisa hidup enak lagi sih? Cape gue hidup susah terus," gerutu Monika. Setelah diusir dari rumah Arsyila, kini Monika bekerja menjadi ART di tempat lain. "Monika," teriak sang majikan. "Bisa gak sih, gak usah teriak-teriak. Mentang-mentang orang kaya, sombong banget," umpat Monika dalam hati. Dia tak ingat dirinya dulu. Begitu sombongnya dia. Bahkan dia dulu begitu menghina Inara, dengan sebutan "orang kampung." "Ya Nyonya, sebentar," sahut Monika. Dia pun langsung lari menghampiri majikannya. Jika dia tak segera mendatangi majikannya itu, pastinya Sita akan mengomel padanya. Kini Monika sudah berdiri di hadapan sang majikan. Sita menatapnya tajam. "Ada apa ya Nyonya, memanggil saya?" tanya Monika dengan wajah menunduk. "Kamu tanya ada apa? Ini baju saya kenapa bisa begini? Kamu itu bisa kerja gak sih? Kalau memang gak bisa. Lebih baik kamu saya pecat. Saya butuh pembantu yang berpengalaman," ucap Sita sombong.Monika dibuat tak berdaya. Mungkin, ini balasan untuknya.
Baik Rizky maupun Inara sudah terlihat bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Rizky memilih menunggu sang istri, di depan ruang TV. Setelah selesai memakai hijabnya, Inara berjalan keluar menghampiri suaminya. "Ayo Mas, kita berangkat sekarang!" Inara mengajak sang suami. Dia langsung keluar bersama. Rizky meminta sang supir mengantarkan mereka ke rumah sakit. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kali ini Rizky memilih menggunakan supir pribadi. "Semoga, kedua anak kita dalam keadaan sehat. Aku khawatir sekali," Rizky membuka pembicaraan. "Aamiin. Aku juga berharap demikian, Mas," sahut Inara.Mobil yang membawa mereka sudah sampai di rumah sakit. Rizky dan Inara turun di lobby rumah sakit, dan mereka langsung masuk ke dalam menuju tempat administrasi pendaftaran. "Kamu duduk aja di sana! Biar aku yang urus pendaftaran," ucap Rizky dan Inara mengiyakan. Inara langsung mencari tempat duduk, menunggu suaminya selesai mendaftar. Seperti biasanya, Rizky yang a