Siang ini Bram berniat menemui Felisa. Dia sudah yakin dengan keputusannya, untuk menikahi Felisa. Bram menginginkan hidup bahagia, dengan wanita pilihannya. Dia terlihat begitu bersemangat merapikan penampilannya di depan cermin. Seutas senyuman terbit di sudut bibirnya, saat memandang kotak kecil berwarna merah yang kini dalam genggamannya. "Aku yakin, Felisa tak akan menolakku lagi," ucap Bram dengan begitu percaya diri. Bram melangkahkan kakinya menuju kamar sang mama. Dia buka pintu kamar itu, secara perlahan. Kondisi Mami Diana sudah mulai bisa bicara. Hanya saja masih mengalami kelumpuhan. Tubuhnya semakin terlihat kurus, dan wajahnya tak bercahaya seperti dulu. Kondisinya kini benar-benar memprihatinkan. "Mi, Bram berangkat dulu ya! Bram ingin menemui Felisa di tempat dia bekerja dulu. Doakan Bram ya, semoga Felisa mau menerima aku sebagai calon suaminya," ucap Bram kepada sang mami. "Ya Bram, mami doakan! Semoga dia menerima lamaran kamu. Semoga saja Monika tak akan pern
"Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini, jika tak niat serius denganku," ucap Felisa sinis. "Bu-bukan seperti itu. Aku mohon jangan seperti ini!" rayu Bram. Wajah Rizky terlihat memerah, menahan rasa amarah yang bergemuruh di dadanya. Dia tak terima melihat Bram memegang tangan sang istri. Rizky begitu cemburu. "Lepas! Jangan sentuh aku! Aku tak suka dengan laki-laki pecundang," bentak Felisa. "Cih, baru seperti itu saja kamu sudah ketakutan. Padahal, itu semua hanya status. Kamu pun akan tetap menikmatinya, jika bersamaku. Kecuali, jika kamu berniat berpisah denganku," Kata-kata Felisa membuat Bram merasa di skakmat. Dia tak berkutik dibuat Felisa. "Bukan seperti itu. Masalahnya, perusahaan itu bukan milikku. Tapi, milik orang tuaku, dan aku hanya mengelolanya. Aku tak mungkin memberikannya kepada kamu begitu saja. Aku harus bicarakan dulu kepada mamiku, karena aku sudah tak memiliki seorang papa," jelas Felisa. Rizky tak mampu menahannya lagi. Hingga akhirnya dia memutuskan u
Rizky hanya bisa menghela napas panjang jika seperti ini. Hingga akhirnya dia memilih mengalihkan pembicaraan. "Kita langsung pulang aja ya, gak usah mampir kemana-mana! Nanti beli makanannya lewat online aja," Rizky berkata kepada sang istri, dan Inara mengiyakan. Inara dan Rizky baru saja sampai di apartemen mereka. Sesampainya di apartemen, Rizky langsung memesan makanan untuk mereka berdua melalui aplikasi online. Sambil menunggu makanan datang, mereka memilih sholat zuhur berjamaah dahulu. "Aku tiduran dulu, sambil nunggu makanan datang," ucap Rizky, saat sang istri mencium tangannya. Mereka baru saja selesai sholat. Rizky membaringkan tubuhnya di ranjang. Sedangkan Inara lebih memilih membersihkan apartemen, karena dia tak mengantuk.Setelah menikah. Mereka sepakat tidak menggunakan jasa ART menetap. Dia hanya menggunakan jasa orang untuk membersihkan apartemen satu minggu sekali, dan untuk mengurus pakaiannya menggunakan jasa laundry. Rizky ingin bebas bermesraan menikmati
"Apa? Jadi Felisa menolak kamu, jika kamu tak memberikan dia perusahaan?" tanya Mami Diana memastikan kepada sang anak. Bram menganggukkan kepalanya, tanda mengiyakan pertanyaan sang mami. Hatinya terasa begitu sakit, jika mengingat apa yang terjadi tadi. Baru kali ini dia merasakan di hina seperti itu, dan merasakan cinta bertepuk sebelah tangan. "Dan untungnya, aku tak sampai segila itu melakukannya. Mami tahu tidak? Karena akhirnya, kekasihnya sekaligus bosnya datang menghampiri kami. Mereka akan menikah. Bukan itu saja. Ternyata, laki-laki yang akan menikah dengan Felisa adalah orang yang membuat perusahaan aku bangkrut. Aku sangat dendam sama dia. Dia benar-benar menghancurkan aku. Aku merasa terhina," ungkap Bram membuat mata sang mami membulat sempurna. Dia terkejut mendengar cerita sang anak. "Kecurigaan mami semakin besar. Sepertinya benar, kalau dia adalah Inara-mantan istri kamu dulu. Dia berniat menghancurkan kamu," ujar sang mami. Bram terperangah, dan tubuhnya langsu
"Sayang, ayo kita berangkat! Apa kamu sudah siap?" ajak Rizky kepada sang istri. Mereka kini sudah dalam perjalanan menuju perusahaan. Rizky dan Inara tak lagi menutupi hubungan mereka. Mereka sudah terang-terangan menunjukkan kepada semua orang, kalau mereka adalah pasangan kekasih, dan akan segera menikah. "Aku sudah tak sabar menanti datangnya kehancuran Bram," ucap Rizky. "Iya, aku pun berharap seperti. Sudah lama aku nantikan itu," sahut Inara.Jika tak ada halangan. Hari ini Pak Susilo akan kembali ke Indonesia. Rizky berharap, kepulangannya tak ditunda lagi. Inara dan Rizky baru sampai di kantor. Mereka langsung menuju ruangan. Hubungan mereka kini menjadi trending topik pembicaraan di perusahaan itu. Tim kepolisian yang menjemput Rizky sudah sampai di perusahaan Rizky. Suasana perusahaan menjadi heboh, karena kedatangan tim kepolisian yang akan menjemput bosnya. Sang resepsionis langsung menghubungi Inara, untuk memberitahu kalau di lobby ada tim kepolisian ingin menjempu
"Assalamu'alaikum," Pak Susilo mengucap salam. Dia memang sengaja mengucap salam, agar sang anak nantinya akan terkejut mendengar suaranya. Benar saja, dugaannya benar. Bram langsung menengok ke belakang, saat mendengar suara yang tak asing baginya. Alangkah terkejutnya Bram saat dia membalikkan tubuhnya, dan melihat sang papi berada di hadapannya. Dia sampai mengucek-ngucek matanya, seakan tak percaya. Jantung Bram seakan ingin melompat dari tempatnya. Tubuhnya sampai gemetar, merasa ketakutan. Wajahnya berubah pucat seketika. "Papi?" ucap Bram dengan suara bergetar. Pak Susilo tersenyum sinis. "Kenapa? Pasti kamu tak percaya 'kan, kalau papi kamu ternyata masih hidup. Pasti selama ini kamu mengira, kalau aku sudah meninggalkan dunia," sahut Pak Susilo ketus. Lidah Bram terasa kelu seketika. Dia tak mampu berkata-kata. Terlihat sekali kalau dia begitu syok. Bram berlutut di kaki sang papi untuk meminta maaf, atas perbuatan yang dia lakukan selama ini kepada papinya. Dia juga
Tak ada lagi yang kini bisa Bram lakukan. Bram terbaring lemah tak berdaya, di ranjang rumah sakit. Dia tak memiliki kaki, keduanya sudah diamputasi.Saat dia tersadar pun, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia harus mendekam di penjara. Bram masih mengalami koma, belum sadarkan diri. Dia juga dalam pengawasan tim kepolisian, selama dia di rumah sakit. "Ya Tuhan, aku mohon sembuhkanlah anakku."Hal buruk bukan hanya dirasakan Bram, tetapi dirasakan juga oleh Mami Diana. Mantan suaminya, bersikap tegas padanya. Kini dia harus menikmati masa tuanya di dalam jeruji. Padahal saat ini, dia sedang mengalami kelumpuhan. Mami Diana tampak meneteskan air matanya, karena tak bisa bertemu anaknya. Dia merasa sedih, tak bisa merawat anaknya.Berbeda halnya dengan Mami Diana dan Bram yang sedang mendapatkan balasan atas perbuatannya. Inara justru sedang berada di Bali bersama Rizky. Mereka sedang menikmati bulan madu mereka. "Akhirnya, kita bisa hidup bahagia berdua. I love you," u
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Rizky kepada sang istri. Rizky dan Inara saat ini masih di Bali. Mereka masih menikmati bulan madu mereka. Ini ketiga kalinya Inara memuntahkan isi perutnya. Tubuhnya sampai lemas. Wajahnya terlihat pucat. "Entahlah. Aku juga gak mengerti. Mungkin aku masuk angin. Setiap malam, kamu tak pernah mengizinkan aku memakai pakaian," jawab Inara."Iya. Maafkan aku ya! Ya sudah, kita ke dokter yuk! Aku tak tega melihat kamu seperti ini," Rizky mengajak sang istri untuk berobat. Namun, Inara menolaknya. Dia yakin, kalau nantinya dia akan sehat. Dirinya hanya butuh beristirahat. "Ya sudah, kalau kamu tak mau. Tapi, jika nanti seperti ini lagi. Aku tak mau mendengar penolakan kamu lagi ya," ucap Rizky dan Inara mengiyakan. Inara kini sudah membaringkan tubuhnya di ranjang. Rizky membuatkan teh manis hangat untuk istrinya. Berharap kondisi sang istri akan membaik. "Ayo diminum dulu tehnya!" titah Rizky sambil memberikan gelas itu kepada sang istri. Inara bangki
"Mengapa kamu ada di kamar saya? Dasar pembantu tak tahu diri. Kamu sengaja ya mengambil kesempatan, di saat istri saya sedang tak ada?" Gio berkata sinis. "Saya ini korban Bapak. Bapak yang memaksa saya untuk melakukan. Bapak sudah melecehkan saya," sahut Monika terisak tangis. Dia berakting, seolah dia pihak yang dirugikan. "Bapak mabuk saat pulang ke rumah, dan bapak memaksa saya karena mengira saya adalah Bu Sita," jelas Monika membuat Gio merasa tersudut. "Baiklah, saya akan bayar uang tutup mulut untuk kamu. Anggap saja, semalam saya habis menyewa kamu. Jangan pernah katakan pada siapapun, apa yang terjadi pada kita! Anggap semua gak pernah terjadi diantara kita," ucap Gio sombong. Dia mengusir Monika dari kamarnya. Gio mengerutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia melakukan dengan seorang pembantu. "Kalau saya nanti hamil gimana Pak? Semalam, Bapak melakukannya tidak hanya satu kali. Bapak juga membuangnya di dalam," Monika berkata. "Tak perlu khawatir! Istri saya dan selin
"Jawab Mas! Aku ingin dengar kejujuran kamu," Sita memaksa suaminya menjawab. Gio terlihat hanya diam. Namun, merasa gusar. Namanya bangkai yang ditutupi, pada akhirnya akan terbongkar. Sita terlihat kecewa di benar-benar syok, tak percaya suaminya akan selingkuh darinya. Sita menangis. Dia sudah tak sanggup menahan air matanya lagi. Wanita mana yang tak merasa sakit, saat mengetahui suami tercintanya ternyata bermain api di belakangnya. "Kalau Mas tak menjawab, berarti benar. Mas selingkuh. Aku ingin kita cerai," ucap Sita tegas. Meskipun selama ini suaminya selalu memberikan kemewahan. Dia tetap manusia biasa yang memiliki hati dan perasaan. Dia merasa tak terima. Melihat sang istri memasukkan barang-barangnya, Gio terlihat panik. Dia langsung beranjak turun menghampiri istrinya. Kemudian memeluknya dari belakang. "Aku mohon, maafkan aku! Aku khilaf. Aku janji tak akan mengulanginya lagi. Aku cinta sama kamu," Gio memohon agar Sita mau memaafkan dirinya. Sita membalikkan tubu
Gio sudah terbangun, dan tak melihat sang istri di kamarnya. "Kemana dia?" Gio berkata. Dia memilih untuk mandi dahulu, sebelum mencari keberadaan sang istri. Kemarin-kemarin, dia kurang tidur. Hingga baru sekarang dia merasa lemas. Dia kerap berolahraga ranjang, selama bersama Liana kemarin. Kini dia sudah merasa lebih segar. Gio langsung keluar dari kamar dan mencari keberadaan sang istri. Namun, di luar pun sang istri tak ada. "Kemana Ibu?" Tanya Gio kepada Monika. Dia masih saja bersikap dingin kepada Monika. "Ibu pergi lagi, Pak. Tak lama Bapak pulang," jawab Monika. Tanpa berbasa-basi lagi, Gio langsung kembali ke kamar lagi. "Sepertinya, Sita sangat marah. Tak biasanya dia seperti itu."Gio mencoba menghubungi sang istri melalui ponsel pintarnya. Namun, berkali-kali dia menghubungi sang istri. Sang istri tak mengangkatnya. "Si*al! Berani-beraninya dia mengabaikan telepon dariku," umpat Gio. Wajah Gio terlihat sangat kesal. Selama ini, sang istri tak pernah berani bersik
Setelah di rawat selama tiga hari, hari ini Inara dan kedua anaknya sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Kondisi Inara sudah membaik, hanya tinggal pemulihan saja. Rizky sudah mengurus administrasi kepulangan sang istri. "Sekarang, kita sudah boleh pulang," ujar Rizky kepada sang istri. Inara tampak sumringah. Akhirnya, dia bisa merasakan tidur nyenyak di rumah. Meskipun dia di rawat di ruang eksekutif, tetap saja lebih nyaman tidur di kasur empuk di rumah. "Apa semua sudah dibawa? Tak ada yang ketinggalan lagi?" Tanya Rizky kepada baby sister kedua anaknya. "Sudah, Pak," jawab salah seorang baby sister. Rizky sudah menyiapkan kursi roda, untuk sang istri turun nanti ke lobby. Dia khawatir sang istri belum kuat berjalan. "Sudah mas, aku jalan saja! Aku kuat kok, Mas. Mas gak usah khawatir," ucap Inara menyakinkan. "Gak apa-apa. Kamu duduk di sini aja, biar mas dorong," Rizky berkata. Rizky mempekerjakan dua orang baby sister untuk membantu sang istri, mengurus kedua anaknya. Di
Suasana tampak tegang, Inara dan Rizky kini sudah berada di ruang operasi. Sejak tadi Rizky menggenggam tangan istrinya erat, menguatkannya. "Jangan tegang ya! Ada mas di samping kamu," bisik Rizky dan Inara tampak menganggukkan kepalanya lemah. Operasi mulai berjalan. Rizky dapat melihat perjuangan sang istri, untuk melahirkan kedua buah hatinya. Sejak tadi dia tak melepas genggamannya, dan membisikkan kata-kata cinta untuk menguatkan istrinya. Suara penuh haru, saat satu persatu anak mereka terlahir ke dunia. Suara tangis kedua anak mereka terdengar. Rizky sampai meneteskan air matanya. Mereka kini sudah menjadi orang tua. "Selamat ya Sayang, kamu sudah menjadi seorang ibu. Alhamdulillah anak kita terlahir dengan selamat, sehat, dan tanpa kurang satupun. I love you," Rizky membisikkannya di telinga istrinya. Dokter meletakkan bayi mereka secara bergantian, di dada Inara untuk dilakukan inisiasi dini. Setelah selesai, kedua bayi mungil itu diambil kembali untuk dibersihkan. Sete
"Mas—" Ucapannya terhenti. Inara mengurungkan niatnya untuk bicara. "Kenapa? Kok berhenti ngomongnya?" Rizky bertanya lembut kepada sang istri. Bukannya menjawab, Inara justru menatapnya lekat. Rizky menautkan alisnya, seolah bertanya gerangan apa yang ingin istrinya katakan. "Kalau umur aku gak panjang gimana? Apa kamu akan menikah kembali dengan wanita lain? Mencari ibu sambung untuk kedua anak kita," akhirnya Inara mengungkapnya. Mendengar penuturan sang istri, Rizky merasa tak suka. "Aku gak suka kamu bicara seperti itu. Sampai kapanpun hanya kamu istri aku dan ibu Anak-anak kita. Kamu harus ingat perjuangan cinta kita sampai ke titik sekarang ini. Kita sama-sama berat melewatinya. Udah ya, jangan bicara seperti itu! Kita berdoa, semoga operasi sesar kamu besok berjalan lancar. Kamu dan kedua anak kita selamat dan sehat. Kita bisa berkumpul bersama," ucap Rizky panjang lebar. Inara terdiam. Perasaannya menjelang persalinan, semakin deg-degan. Dia khawatir, nyawanya tak tertol
"Sayang, sepertinya aku besok harus berangkat ke Yogyakarta untuk beberapa hari. Ada pekerjaan yang gak bisa aku tinggalkan," ucap Gio yang kini masih memeluk istrinya. Sita memiliki wajah yang cantik. Dia juga memiliki body dan juga kulitnya yang putih mulus. Tentu saja Gio tak sembarangan memilih seorang istri. "Jadi, aku di tinggal lagi?" Sita terlihat kesal, memanyunkan bibirnya. Lagi-lagi dia harus di tinggal kembali. Padahal, baru hari ini suaminya pulang, dan besok harus pergi lagi meninggalkan dia. "Sabar ya, Sayang! Seperti biasa, aku tak akan lama ke sananya. Setelah urusan selesai, aku akan segera pulang. Aku pun tak akan kuat berpisah dengan kamu," rayu Gio. "Sebagai permintaan maaf aku. Aku akan memberikan kamu uang 100 juta. Kamu bisa gunakan uang itu, untuk shopping atau apapun. Bebas terserah yang kamu mau," ucap Gio lagi. Tentu saja mata Sita langsung berbinar-binar mendengarnya. Dia merasa senang, karena suaminya akan memberikan dia uang, untuk membeli yang dia
"Kapan gue bisa hidup enak lagi sih? Cape gue hidup susah terus," gerutu Monika. Setelah diusir dari rumah Arsyila, kini Monika bekerja menjadi ART di tempat lain. "Monika," teriak sang majikan. "Bisa gak sih, gak usah teriak-teriak. Mentang-mentang orang kaya, sombong banget," umpat Monika dalam hati. Dia tak ingat dirinya dulu. Begitu sombongnya dia. Bahkan dia dulu begitu menghina Inara, dengan sebutan "orang kampung." "Ya Nyonya, sebentar," sahut Monika. Dia pun langsung lari menghampiri majikannya. Jika dia tak segera mendatangi majikannya itu, pastinya Sita akan mengomel padanya. Kini Monika sudah berdiri di hadapan sang majikan. Sita menatapnya tajam. "Ada apa ya Nyonya, memanggil saya?" tanya Monika dengan wajah menunduk. "Kamu tanya ada apa? Ini baju saya kenapa bisa begini? Kamu itu bisa kerja gak sih? Kalau memang gak bisa. Lebih baik kamu saya pecat. Saya butuh pembantu yang berpengalaman," ucap Sita sombong.Monika dibuat tak berdaya. Mungkin, ini balasan untuknya.
Baik Rizky maupun Inara sudah terlihat bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit. Rizky memilih menunggu sang istri, di depan ruang TV. Setelah selesai memakai hijabnya, Inara berjalan keluar menghampiri suaminya. "Ayo Mas, kita berangkat sekarang!" Inara mengajak sang suami. Dia langsung keluar bersama. Rizky meminta sang supir mengantarkan mereka ke rumah sakit. Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Kali ini Rizky memilih menggunakan supir pribadi. "Semoga, kedua anak kita dalam keadaan sehat. Aku khawatir sekali," Rizky membuka pembicaraan. "Aamiin. Aku juga berharap demikian, Mas," sahut Inara.Mobil yang membawa mereka sudah sampai di rumah sakit. Rizky dan Inara turun di lobby rumah sakit, dan mereka langsung masuk ke dalam menuju tempat administrasi pendaftaran. "Kamu duduk aja di sana! Biar aku yang urus pendaftaran," ucap Rizky dan Inara mengiyakan. Inara langsung mencari tempat duduk, menunggu suaminya selesai mendaftar. Seperti biasanya, Rizky yang a