Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan
"Ahk! Tidak! Awas kamu, Ali!" Mirna menjerit histeris di depan rumahnya. Melihat para pria bertubuh besar dan bersetelan jas hitam mengobrak-abrik isi warungnya sekarang. Sepuluh menit lalu, Mirna yang sedang melayani pembeli di warung, begitu terkejut melihat kedatangan empat orang pria asing ke rumahnya. Mereka menyuruh Mirna untuk angkat kaki dari rumahnya sekarang. Sebab atasan mereka ingin membuka lahan di area rumahnya. Tentu saja Mirna tak terima dan mengatakan mereka tak memiliki hak untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Tanpa banyak kata, salah seorang dari mereka memberikan dia dokumen yang menunjukkan kepemilikan rumah bukan miliknya lagi. Mirna tergugu sejenak, melihat nama Ali tertera di surat tersebut. Gurat kebingungan tergambar pula di wajahnya tadi, bertanya-tanya, mengapa sertifikat rumahnya bisa berada di tangan Ali, bukankah sertifikat rumahnya dia gadaikan kepada Pak RT, sebagai jaminan untuk meminjam uang beberapa tahun lalu. Mirna pun menyesali kebodohanny
Dengan tergesa-gesa Santi menghubungi Roni, menyuruhnya untuk cepat datang ke mansion, mengatakan ada seseorang yang berteriak-teriak tak jelas di depan pintu utama.Setelah memberitahu Roni, Santi pun mengajak Naila untuk pergi ke depan, melihat siapa yang berhasil menerobos mansion Ali. Sesampainya di depan pintu utama, Naila langsung menundukkan pandangan saat sosok asing itu nampak ketakutan melihat wajahnya."Astaga, mengerikan sekali wajah itu!" Dia berseru sambil memundurkan langkah kakinya perlahan.Melihat gurat ketakutan terpatri di wajah sosok tersebut. Santi lantas berdiri di depan Naila. Dia tak mau mendengar orang-orang kembali menggunjing Naila. "Hei, siapa kamu? Ada keperluan apa kamu datang kemari?" Santi bertanya dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri sekilas, hendak menelisik keberadaan para penjaga, yang kebetulan tak nampak di pelupuk matanya sekarang. Biasanya ada dua orang bodyguard berjaga di depan pintu masuk mansion. Tapi, sekarang entah kemana perginya
“Apa-apaan ini?!” teriak Roni, dengan raut wajah terkejut.Roni baru saja sampai di mansion. Karena padatnya jalanan ibu kota di sore hari, membuat Roni akhirnya terjebak macet. Alhasil jarak tempuh antara kantor dan mansion, yang seharusnya dua puluh menit menjadi lima puluh menit. Di tambah lagi mobilnya tadi tiba-tiba mogok tanpa tahu apa penyebabnya. Roni menebak ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Namun, dia tak kehabisan akal, Roni kembali ke mansion dengan menggunakan taksi. Roni tak mau mengecewakan atasannya. Tadi, sebelum pergi ke mansion, Ali memberikan perintah, agar selalu bersiap siaga melindungi Naila, di saat Ali tengah sibuk merampungkan perkerjaan yang menggunung di kantor, akibat kepergiannya ke desa tiga bulan lalu. Sehingga banyak sekali dokumen yang harus diperiksa Ali sebelum ditandatangani. Para asisten rumah lantas menghentikan pergerakkan tangannya, kemudian menoleh serempak ke sumber suara, melihat Roni, tangan kanan Ali, berdiri di hadapan mereka dengan
Setelah puas memandangi wajah Naila. Ali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan diri di samping Naila. Kemudian mendekap tubuh Naila dari belakang tiba-tiba. Ali tak bersuara sama sekali. Hanya alisnya yang terangkat sedikit, kala sensasi panas menerpa tubuhnya saat ini. "Tenanglah, Nai. Besok tak ada lagi orang yang menganggumu." Ali berbisik pelan di telinga Naila. Seolah-olah Naila dapat mendengarkannya. Wanita itu tertidur amat pulas sehingga tak menyadari jika Ali telah memeluknya kini. Ali semakin mengeratkan pelukan dan menaruh dagunya di pundak Naila pula. Lalu menutup kedua matanya perlahan-lahan, ikut mengarungi samudera mimpi bersama Naila. ***Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Ali membuka kelopak mata pelan-pelan dan melihat Naila masih terlelap dengan begitu damai di sampingnya. Dalam hitungan detik dia beringsut dari atas ranjang, kemudian berlalu pergi dari kamar. "Tuan, semua sudah beres."Baru saja Ali keluar dari kamar. Roni membuka suara tanpa menatap
Naila tak kalah terkejutnya. Tanpa sadar air ludah ia telan dengan susah payah saat ini. Kepalanya langsung menunduk, dia tak berani membuka suara kembali. Sementara Santi, dengan perlahan memutar kepalanya ke samping, melihat Ali berdiri di hadapannya, entah sejak kapan. Melempar senyum kaku, Santi berkata," Hehe, selamat pagi, Tuan. Ternyata Tuan sudah datang rupanya. Mari Tuan, silakan duduk."Santi memundurkan kaki sebanyak empat langkah ke belakang, sambil sesekali melirik-lirik Roni yang saat ini berdiri tegap di belakang Ali. Roni melototi Santi, untuk jangan melakukan sesuatu yang membuat suasana hati Ali berubah. Santi mengerti, lantas melempar senyum tipis. "Kalian belum menjawab pertanyaanku, Shakira, siapa yang kalian maksud?" Ali menggerakkan bibirnya tiba-tiba. Suara beratnya terdengar tajam, membuat telapak tangan Santi berkeringat dingin. Santi tak langsung menyahut. Wajahnya tampak ketakutan. Dia tengah berusaha mencari kata-kata di benaknya untuk memberikan alib
Dengan hati remuk redam, Naila mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam. Secara perlahan dia menutup pintu berganda besar tersebut, berharap Ali tak menyadari kedatangannya. Naila membalikkan badan lalu tanpa aba-aba berlari melewati Santi dan Roni yang terlihat panik. "Nona!" Santi melemparkan pandangan pada Roni sejenak. "Mengapa Nona tidak masuk ke dalam?""Entahlah, San." Roni menatap punggung Naila mulai menghilang dari pandangannya. "Ikuti Nona sekarang, jangan sampai terjadi sesuatu padanya!" titahnya seketika.Santi mengangguk cepat, kemudian bergegas mengejar Naila.Sementara itu, tepatnya di ruangan pribadi Ali. Lima menit sebelumnya, Ali sedang mengistirahatkan diri. Dengan mata terpejam dia menyenderkan kepalanya ke bantalan kursi. Namun, tanpa dia sadari seseorang masuk ke dalam ruangan secara diam-diam. Ali sempat mendengar suara langkah kaki dan mengira Roni yang masuk ke ruangan. Ali sangat terkejut saat sepasang tangan mengelus dadanya tiba-tiba. Lantas dia membuka
"Jangan pergi! Jangan mengucapkan kata-kata pergi, Anna!" Adnan memeluk erat Anna dari belakang. Mendengar kata pergi yang terucap dari bibir Anna, membuatnya resah. Adnan tak akan mau hal itu terjadi.Anna membalik cepat. Lalu menatap tajam. Tampaknya kekesalan Anna belum mereda. "Iya, kalau kamu tidak membuktikan perkataanmu, maka aku akan pergi!"Adnan langsung mendekap tubuh Anna dengan sangat erat. "Tidak, tidak Sayang, percayalah padaku, aku akan membuktikannya, kamu lihat saja nanti," ucapnya sambil berkali-kali melabuhkan kecupan di kening Anna."Iya, awas saja kamu berulah, bukan hanya Damar yang akan aku remukkan, tubuhmu pun aku akan hancurkan dengan teflon!" kata Anna, ketus.Adnan malah terkekeh-kekeh. Teringat dengan malam di mana Anna memukul-mukul sang wanita malam dengan teflon. "Iya, iya Sayang, itu kan kalau berulah, aku akan membuktikannya padamu, lihat saja nanti."Anna mendengus lantas melirik tajam Adnan. Namun, di mata Adnan, wajah Anna nampak menggemaskan."Say
Mata Anna melebar kala Adnan menangkup kedua pipinya dan membungkamnya dengan sebuah kecupan. Dia hendak memberontak. Namun, tubuhnya mendadak lumpuh. Anna tak mengerti dengan situasi saat ini. Tadi, Adnan memarahinya. Tetapi, sekarang malah menciumnya. Dengan mata masih terbuka, Anna dapat merasakan Adnan menjelajahi isi mulutnya dengan melilitkan lidahnya perlahan-lahan. Dalam hitungan detik, Adnan menurunkan tangan lalu mendekap tubuh Anna. Anna terdiam, sambil mendongak, menatap Adnan dengan air mata masih mengalir pelan di pipi. "Siapa nama pria yang menyentuhmu, Anna? Apa kamu sangat mencintainya?" Kali ini suara Adnan terdengar lebih lembut, sinar matanya pun tak berapi-api seperti tadi.Anna hendak memberitahu namun sebenarnya dia pun tidak tahu siapa nama asli pria tersebut. "Apa nama samarannya Mr. D?" tanya Adnan lagi sambil menempelkan keningnya ke kening Anna.Dahi Anna langsung mengerut kuat. "Bagaimana kamu bisa tahu nama samarannya? Iya, aku sangat mencintainya, di
Lima menit sebelumnya, Adnan mendapat panggilan dari Bruno, sang sekretaris, bahwa akan diadakan rapat di restaurant. Adnan pun bergegas turun ke bawah, melihat sosok yang amat dia kenali bersama seorang pria. Saat ini, Adnan dapat merasakan dadanya terbakar membara, menahan cemburu, melihat tangan Anna disentuh oleh seorang pria. 'Siapa pria itu? Apa dia yang menyentuh tubuh Anna!' Tanpa pikir panjang, Adnan melangkah cepat hendak melihat apa yang dilakukan Anna. Dengan jarak aman, Adnan melirik-lirik ke depan. Memandang Anna dan sosok itu berjalan cepat ke bangunan di samping. Adnan terpaksa bersembunyi di balik pilar sambil sesekali menyembulkan kepala hendak mengintip.'Apa yang mereka bicarakan?'Di ujung sana, Adnan dapat melihat Anna dan pria tersebut terlibat pembicaraan serius. Adnan menajamkan pendengaran tapi karena suara kendaraan di jalan raya, menghalanginya. 'Sial, hampir saja!'Dengan buru-buru Adnan menggerakkan kepala kala matanya sedikit lagi bertemu dengan mata
Anna begitu ketakutan, melihat ayahya berdiri dengan raut wajah merah padam. Sementara Adnan mundur beberapa langkah kala mendengar Anna memanggil pria paruh baya di belakang dengan sebutan ayah. Anna berdiri sambil mengusap pelan bibirnya sesaat."Mengapa Ayah ada di sini?"Sebuah pertanyaan bodoh meluncur bebas dari bibir Anna tiba-tiba. Wanita itu lupa bila ayahnya terkadang akan datang ke apartment sekadar menengok keadaannya. "Kamu belum menjawab pertanyaan ayah barusan! Siapa yang hamil dan siapa pria ini hah!" tanya Ramdan sambil melirik Anna dan Adnan secara bergantian.Anna tak langsung menjawab tengah mencari kata-kata untuk bisa berkilah. Akan tetapi, belum sempat dia menanggapi, Adnan terlebih dahulu membuka suara hingga membuat mata Anna terbelalak."Saya suami Anna, Pak. Tadi saya hanya memberi pendapat saja jika Anna siapa tahu saja sedang hamil," jelas Adnan, dengan raut wajah datar. "Apa?!"Ramdan amat terkejut. Kedua tungkai kakinya mulai lemah. Lantas dengan perl
Adnan semakin mendekat hingga membuat Anna panik setengah mati. Bagaimana tidak, tatapan pria itu seakan ingin memangsanya. Tanpa sadar Anna meneguk ludah berulang kali kala melihat otot-otot perut Adnan terlihat menggoda saat ini. 'Astaga, apa kamu sudah gila, sadarlah dia pria brengsek yang suka celap-celup!' Anna menggeleng cepat, mengusir pikiran nakalnya sesaat. Lalu, menyilangkan tangan di depan dada berusaha menyembunyikan buah dadanya yang tak mengenakan dalaman sama sekali. "Hei, pria mesum! Berhenti atau aku akan menendang burungmu itu!" seru Anna tiba-tiba. Adnan mengindahkan perkataan Anna, malah menyeringai tajam. "Jangan sok jual mahal, Anna. Kamu yang membuat aku seperti ini. Lagipula aku ini suamimu, jadi wajar-wajar saja jika aku menyentuh tubuhmu.""Cih! Aku tak sudi tubuhku disentuh oleh pria mesum sepertimu, tubuhku hanya boleh disentuh oleh pria yang pertama kali menjamah tubuhku!" Perkataan Anna membuat dada Adnan bergemuruh. Langkahnya terhenti seketika. "
Anna membuka mata seketika saat tak dapat merasakan tamparan mendarat di pipinya barusan. Ia langsung melirik ke samping, melihat Naila malah berdiri tepat di hadapan Adnan. Adnan terlihat sangat terkejut dengan pergerakkan Naila yang menurutnya sangat cepat dan tidak dapat diprediksi itu. Dengan wajah menahan kesal, ia menatap Naila. "Kenapa kamu menamparku?" tanya Adnan sambil mengusap pipinya yang pedas. "Itu karena kamu sudah menyentuh tubuh temanku, Adnan!" seru Naila.Adnan ingin menyahut. Namun, tatapan tajam Ali yang berada di belakang, membuat Adnan bungkam. Ali baru saja tiba bersama Anya.Dalam hitungan detik, Naila mengalihkan pandangan kepada Anna lalu mendekat. Anna merasa bersalah, tatapan Naila menyiratkan kekecewaan. "Naila, maafkan aku karena tidak memberitahu kamu tentang permasalahanku, aku benar-benar minta maaf."Naila membuang napas kasar kemudian memegang kedua tangan Anna. "Kamu membuatku kecewa, Anna. Padahal kita bisa mencari bersama-sama solusinya, tapi
"Maksud Tante dengan kekasihku ya?"Anna memaksa tersenyum meski jantungnya sudah dag dig dug, seperti genderang perang. Dia menerka-nerka apa Anya sudah mengetahui kejadian semalam, entahlah. Anna berharap tidak.Anya tersenyum lebar, senyumannya membuat Anna panik. "Tentu saja dengan anak Tante, masa dengan kekasihmu."Anna menelan ludah berulang kali, terlihat gugup. "Tapi Tante mengapa harus menikah sama Adnan, aku punya kekasih, Tante?"Anya tersenyum penuh arti. "Kamu pikir Tante tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian semalam."Sekarang, senyum wanita paruh baya di hadapannya membuat Anna menarik napas panjang. "Memangnya semalam ada apa, Tante?"Anna masih mencoba mengelak. Meski keringat dingin menjalar di telapak tangannya saat ini. "Sudahlah, tak usah banyak tanya, ayo ikut Tante sebentar!" Tanpa mendengarkan balasan Anna, wanita yang wajahnya masih terlihat segar itu menarik tangan Anna keluar dan menyeretnya ke suatu tempat.Anna nampak panik, bertanya pada Anya mau
Demi mengatasi rasa gugupnya, Anna meneguk ludah berulang kali. Bagaimana tidak, Anya sedang melayangkan tatapan menyelidik padanya sekarang. "Anna, Green, siapa yang tidur dengan Adnan?" Anya mengulangi pertanyaan kala Anna maupun Green terdiam. Anne melirik Green sekilas lalu terkekeh hambar. "Bukan Adnan anak Tante kok, Adnan kekasihku, nama belakangnya Adnan juga, hehe.""Iya, Adnan pacar Anna, Tante." Green menyenggol cepat lengan Anna sambil melempar senyum kecut pada Anya pula. Selama ini, Anya mengira Anna memiliki kekasih. Anna dipaksa Naila unfuk berbohong. Naila sangat tak setuju bila Anna menikah dengan pria seperti Adnan. Meskipun begitu, Anya kerapkali meminta Anna membawa pacarnya ke rumah sekadar ingin tahu. Dan pada akhirnya ia berbohong lagi mengatakan jika kekasihnya berkerja menjadi abdi negara di perbatasan dan hanya pulang di waktu tertentu. Semenjak saat itu, Anya tak pernah lagi bertanya."Nama kekasihmu Adnan juga, Anna?" tanya Anya."Iya, Tante," balas Anna
"Anna, kamu ada di dalam 'kan?" kata Naila lagi dari luar. Anna semakin gusar. Tampak panik sekaligus kebingungan. Mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Namun, kepalanya semakin pusing. Matanya berkeliling sejenak di ruangan, melihat dress yang dikenakan saat menghadiri bridal shower Green nampak robek. Lalu melihat juga pakaian seorang pria berserakkan di mana-mana. Siapalagi kalau bukan punya Adnan. Anna yakin bila terjadi sesuatu di antara mereka semalam. Apalagi tubuh keduanya dalam keadaan polos sekarang. Di seberang ranjang, Adnan pun terlihat bingung. Sedari tadi mengamati keadaan kamar. "Anna?" Suara Naila terdengar lagi. Lamunan Anna buyar."I-ya Naila, tunggu sebentar!" balasnya setengah berteriak. Lantas dengan cepat menoleh ke arah Adnan. Matanya langsung menutup, melihat Adnan belum menutup burungnya."Adnan, cepat sembunyi dan pakai bajumu itu!" perintah Anna lalu mengambil celana dalam Adnan sambil menahan jijik. Kemudian tanpa melihat ke belakang, dia