“Mbak, dipanggil Mister Mike di ruangannya,” kata salah satu rekan kerja yang satu divisi denganku. Amanda yang ikut mendengarnya melempar tatapan tajam. Meja kami saling berdekatan meski diatur berseberangan. Sejak kembali dari Cilacap, wanita yang semula ramah itu berubah dingin bak es batu. Mungkinkah karena cemburu?Mike adalah atasan kami. Dia punya wewenang untuk memberikan instruksi. Tak mungkin mengabaikan panggilan itu jika ingin bersikap profesional selaku pegawai. Kecuali aku sengaja memamerkan kartu emas sebagai pegawai spesial – menantu CEO—untuk mengacuhkan panggilan itu.Kuanggukkan kepala. Mengacuhkan tatapan pegawai lain yang mulai kasak-kusuk di belakang. Mengabaikan panggilan Mike ketika jam kantor adalah tindakan bodoh yang membenarkan asumsi orang. Menghindari masalah tak membuat masalah itu hilang. Justru kian berlarut-larut.Hadapi, Laras. Tegaskan padanya sikapmu dan jangan biarkan pria itu mengira berkuasa terhadap dirimu. Nasihat diri yang bergema berkali-kal
“Kamu membuatku takut karena kamu bagian dari rencana mereka. Kamu membuatku takut, karena kamu tega mengatakan ini semua padaku. Kamu membuatku takut, karena berbagai kerumitan ini semakin menjadi-jadi setelah kamu ada.” Kutatap Mike putus asa. “Katakan padaku, mengapa kamu bisa mencintai wanita biasa sepertiku di saat kamu tahu betapa malang nasibku? Untuk saham itu?” Bibirnya menyeringai. “Saham itu akan kudapatkan untuk kuberikan padamu! Jika kau ragu, kita bisa buat surat perjanjian.”“Perjanjian lagi? Pernikahan itu sendiri adalah perjanjian agung. Tapi mereka mengingkari. Membaut semua hanya sebagai lelucon semata. Kamu tidak jatuh cinta Mister. Kamu hanya memanfaatkan situasi ini. Tak ada alasan bagimu untuk menyukaiku!”Pria berkepala batu itu menggeleng. “Jujur, aku pun tak mau terlihat ini jika bukan karena kamu! Karena keteguhan cintamu membuatku iri. Ibuku bukan wanita setia yang bisa menetap dalam satu cinta. Karena itu ia sering berganti-ganti pasangan dan membuatku m
“Kalau begitu dia harus memilih satu di antara mereka. Dia tak bisa memiliki keduanya,” sergah Mike tak puas dengan pernyataan Caca. Mereka berbicara dengan volume rendah tetapi penuh penekanan dalam setiap kalimat. Aku bisa merasakan kemarahan pada kedua insan yang tengah membicarakan diriku, yang kini tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Aku tahu itu karena merasakan selang infus di tanganku.“Kata siapa dia harus memilih. Dia lelaki. Dia berhak menikahi dua, tiga atau empat wanita yang disukainya sekaligus. Kamu hanyalah seorang mualaf yang tak sungguh-sungguh mengimani Islam. Kamu bahkan tak berusaha mempelajari ajarannya. Kamu berpindah keyakinan untuk menikah, tetapi kemudian gagal. Tahu apa kamu tentang poligami? Asal Laras ikhlas, asal Sekar mau, mereka bisa hidup bersama dengan berbagai suami. Kau telah mengotori nama Laras. Menjauhlah darinya sekarang!”“Aku tidak akan bergeser, satu centi pun darinya. Kamu tidak pernah memikirkan kebahagiaan Laras. Kamu hanya takut saha
Caca duduk di samping ranjang tempat tidurku.“Kamu jaga kesehatan, dong. Atur pola makan. Minum vitamin kalau perlu. Wajahmu pucat seperti mayat.” Seperti biasa, Caca jago mengomeli orang.“Apa gunanya cantik jika tidak sehat. Kamu enggak perlu diet. Sekarang lagi tren pria suka wanita montok. Kata Mbok Minah, kamu ajrang makan, ya? Ngemil juga enggak. Duh, ngapain setiap hari makan hati. Sudah mikirin Mas Danunya. Pikirin Adam dan Hawa saja,” imbuhnya meracau. Kali ini aku suka ada yang memarahi. Caca, Caca, dia membuatku merasa memiliki seseorang sebagai teman.“Kok bisa pingsan kenapa? Kamu kecepekan apa? Atau mau berhenti kerja.”Ketika pembicaraan sudah ke arah sana, seketika aku panik.“Aku ga mau berhenti kerja, Ca. Kecuali kamu juga berhenti kerja.”“Lho kok begitu sih? Apa hubungannya sama aku?”“Aku ingin seperti kamu. Jadi wanita karier yang pintar, lincah, dan mandiri.”Caca menghela nafas. “Baiklah. Sesukamu saja. Tapi jangan bikin ribut-ribut lagi. Mbak juga harus memik
Aku sudah berhenti kursus dan tak pernah mengangkat teleponnya lagi. Aku masih bekerja seperti biasa, tetapi selalu mengalihkan tugas yang berkaitan dengannya. Amanda dengan senang hati mengambil alih tugas-tugasku sehingga bisa kian dekat dengan pria pujaannya.“Yes, true! Kristal yang terlancur pecah, tak akan kembali seperti semula.”Mike berdecak. “Ck, lalu bagaimana dengan pria itu? Ia jelas-jelas telah menggoreskan ribuan sayatan dibanding aku,” protesnya. Dia selalu menyebut Mas Danu dengan pria itu, seolah lidahnya kesulitan menyebut nama suamiku.“Dia memiliki apa yang tidak kamu miliki. Kejujuran hati!”“Jujurkah pria yang mendua?”“Sejak awal dia jujur bahwa dia tak mencintaiku dan hanya mencintai wanita itu. Hubungan suami istri tidak hanya dibangun berlandaskan cinta, tapi juga saling pengertian. Aku bisa mengerti dia, karena aku pernah berada di posisinya. Kamu pun sama, Mister. Kamu di posisi di mana sulit menahan perasaan yang terlalu kuat mendorong akal sehat.”Kuberj
Lantunkan doa, langitkan asa, biar para Malaikat mengamininya. Kamu tak tahu kapan akan tiba waktu berbahagia, yakni kala doa itu terwujud dalam mihrab cinta. ===Subuh ini, masih terlalu dini bagi penghuni rumah yang biasa beraktivitas pada pukul 6 pagi. Remang cahaya dalam mihrab kecil di sudut ruangan—tempat bermunajat—menghadirkan suasana sakral yang mendekap diri dalam berbagai keajaiban. Suamiku pulang.“Aku sekarang jelek, ya, kayak tengkorak,” selorohnya. “Atau kamu yang gemukan?”Tak menyangka, ia akan mengatakan hal-hal yang tak pernah dikatakan sebelumnya. Sejak kapan ia peduli penampilannya di depanku atau peduli penampilanku di depannya?Teringat pada perutku yang membuncit. Tak’kah terlihat?“Mas ... sebenarnya aku,” baru hendak kukatakan kabar kehamilan, ketika telunjukkan diletakkan di bibirku. "Kamu terlihat cantik, bodohnya aku tak pernah tahu itu sebelumnya," pujiannya membuat jantungku dag-dig-dug tak menentu."Di surga, banyak bidadari tak berparas. Kulihat kam
“Bagaimana kamu bisa hamil di saat Danu tidak di sini?” tanya bapak keheranan.“Aku menghamilinya sebelum kecelakaan,” potong putranya. Sungguh mengejutkan. Tak kusangka ia akan memberikan jawaban semacam itu. Rasa malu menjalar, tapi senang ada yang membela. Terlebih ini pertama kalinya Mas Danu berada di pihakku.Tak berlama-lama di meja makan, Mas Danu mengusaikan aktivitasnya. Ia mengaku rindu pada anak-anak dan tak sabar menyapa mereka.Masih banyak pertanyaan yang berhimpun di kepalaku, tetapi kutahan hingga kami senggang. Sungguh sulit dipercaya bahwa ini nyata. Saking bahagianya, apa pun yang diinginkannya, bergegas kulakukan. Khawatir semua hanya delusi yang terjadi akibat kerinduan yang terakumulasi sekian lama.Pria kurus itu masuk ke kamar kami, menghirup udaranya seakan menghirup udara di pegunungan. Tangannya direntangkan lebar-lebar. “Uwah ... kamarku. Rasanya sudah berabad-abad, bukan?” Ia menoleh padaku, mengerling nakal. Ya ampun, benarkah dia bersikap genit barusan?
Mencintai tak harus memiliki. Namun jika terlanjur memiliki, harus mencintai sepenuh hati. Masih menakar apakah ia benar telah berubah atau hanya perubahan sementara? Oh, tidak. Bahkan aku sedang berpikir apa benar dia suamiku? Aromanya mungkin sama, tetapi penampilannya jauh berbeda.“Apa kamu memiliki perasaan pada pria itu?” tanyanya memecah hening.Kugelengkan kepala. Seandainya ada, perasaan itu hanya perasaan sesaat yang kini benar-benar telah musnah. Kekosongan yang tercipta kala suami tak ada, kini benar-benar telah terisi saat dia kembali. Semudah itukah memaafkan? Nyatanya iya.Memaafkan adalah seni kebesaran hati yang mungkin sulit diberikan oleh orang-orang tinggi hati. Akan tetapi, bagi hati sebening embun pagi, selalu ada samudera maaf bagi yang tulus memintanya. Apalagi jika memberi dan meminta maaf itu merupakan salah satu bentuk kemuliaan hati. Dicaci tidak tumbang, dipuji tidak melayang.“Dia bilang itu anaknya.” Mata Mas Danu melihat ke perutku.“Mas percaya padaku
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa