Rasa hormatku pada bapak perlahan memudar.“Mas, kenapa ibu tak meminta cerai saja?”“Alasan yang sama seperti kamu yang tak mau kuceraikan.”“Cinta ....” sahut kami berdua. Mata kami bertautan. Hadir rasa teduh. Ya, cinta mampu menyatukan retakan-retakan parah menjadi satu bangunan utuh yang kukuh.“Sebesar apa cintamu padaku, Mas? Dapatkah cintamu itu bertahan dengan aneka guncangan?” gumamku.Mas Danu sudah kembali memejamkan mata, tak menjawab tanyaku padanya. Aku pun lelah. Bersandar di sofa dan ikut memejamkan mata. Raut wajah ibu mertuaku yang keibuan hadir menyapa. Aku rindu.***Keesokan paginya, suasana dukacita masih terasa. Beberapa kolega masih berdatangan ke rumah untuk mengucap belasungkawa. Sejenak terlupa dari isi surat itu.Seminggu berlalu. Surat yang terlupa dan tersimpan di balik toples gula itu kembali menggoda. Belakangan ini aku sibuk dengan para tamu, menenangkan Mas Danu juga menenangkan anak-anak yang sempat trauma akibat kepergian bapak yang mendadak. Bapa
Jika kalah dengan orang di atasku, aku masih bisa terima. Namun, jika kalah dengan orang susah, aku tak bisa terima. Sungguh tak masuk akal. Karena itu, lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Aku menghadang ibumu yang pulang dari mengantar makanan untuk ayahmu. Aku meminta ibumu menjadi milikku. Walau hanya sekali, aku ingin ibumu menjadi milikku. Cinta yang terlalu besar telah menjadi obsesi yang membahayakan banyak orang. Sayang, tidak ada yang menahanku waktu itu.Pada ibumu, kujanjikan uang yang banyak, rumah, mobil mewah, asal mau menjadi kekasihku. Ibumu marah dan menamparku. Keras sekali. Tapi aku tak merasa sakit. Aku hanya merasa terhina.Hari itu, aku memaksa ibumu, dan ayahmu tahu. Ia membela kehormatan istrinya dan kami berkelahi di tempat proyek. Kecelakaan pun terjadi, ayahmu jatuh terpeleset dari atas gedung, disusul ibumu yang berusaha menolong tetapi ikut jatuh. Aku yang habis dipukuli ayahmu hingga babak belur, lebih dulu terkapar tanpa tahu apa yang terjadi pada mereka
Diingatkan pada dosa, aku merasa kian merana. Ya Rabbi, memang amat berdosa bersikap seperti ini padanya. Aku berhenti melayaninya, beralasan tubuhku tak enak badan, dan selalu menghindar jika suami mendekati.“Kalau ada masalah ngomong. Kita selesaikan sama-sama.” Diraihnya jemariku, dielusnya lembut. Rasa tenang yang biasa menjalar dalam situasi seperti ini, sudah tak ada lagi.Kutarik pelan jemariku. Namun, dia menahannya.“Ada apa sebenarnya?” desaknya. “Aku sudah cukup bersabar. Jika ada masalah katakan. Jika aku punya salah katakan!”Dibentak olehnya, hatiku yang bimbang sejak kepergian bapak, semakin goyang. Lagi-lagi, bulir bening saja yang berbicara.“Ya Tuhan, Laras. Kamu tahu, kamu lebih terpukul karena kematian bapak dibanding aku, putra kandungnya. Sebenarnya ada apa? Jika kamu hanya menangis dan tak mau bicara, aku bisa apa?” Suara Mas Danu terdengar frustrasi.Mas, ayahmu telah menjadi penyebab kematian kedua orangtuaku. Kenyataan itu hanya menggema di hati ini, tak san
menusuk tajam, bahkan di antara temaram, kilat marah di matanya masih terpancar.“Maaf ... lama ditinggal Ibu pergi. Membuatku tak terbiasa ...,” kilahku menutupi gejolak rasa.“Apakah jika Ibu pergi, maka semua kenangan kalian juga ikut pergi?” Nada suaranya menghakimi.Jantungku berdegup kencang. Merasa bersalah, juga takut kena marah. “Maaf, Mas.”“Jika kenanganmu dengan Ibu bisa kamu lupakan semudah itu. Bagaimana denganku? Apakah hanya papan nisanku saja yang akan kamu ingat, atau itu pun akan kau lupakan dengan cepat?” Nada kecewa kental di sana.Ah, Mas Danu, mungkin kamu tak tahu perihnya jadi diriku yang tak pernah mengenal orangtua. Pada masa itu, belum musim ada kamera seperti saat ini. Masih langka orang yang memiliki foto. Hanya selembar foto usang yang diwariskan nenek padaku untuk mengenalkan diriku pada dua sejoli yang membuatku terlahir ke dunia ini.Sejak dulu kami miskin. Tak ada pesta besar yang dirayakan. Hanya syukuran kecil-kecilan, begitu nenek bilang ketika ak
Jangan melepaskan kesempatan berulang-ulang. Karena peluang bisa berubah jadi penyesalan akibat terlalu sering dilewatkan.____Hari, aku berharap semua menjadi lebih baik. Aku berharap luka ini mengering dengan cepat. Mungkin tak perlu aku baca lagi kelanjutan surat itu. Nyatanya, surat terkutuk itu telah membuatku begitu tersiksa dan nyaris kehilangan kekuatan untuk bertahan.Namun, satu hal yang tak bisa kusembunyikan. Surat Bapak untuk Mas Danu. Itu adalah amanat yang harus kutunaikan. Tak boleh ditahan-tahan lagi. Apalagi sudah sebulan lebih dari sejak almarhum pergi untuk selamanya. Kuambil surat yang kusimpan dalam laci di kamar tidur kami. Mas Danu bukan orang yang suka mencari barang sendiri. Ia suka minta tolong istri untuk mencarikan barang yang ia butuhkan. Sementara suratku yang kulempar di kolong ranjang Maryam, sudah kusimpan di tempat yang aman.Kupandangi surat untuk Mas Danu berkali-kali. Menimbang-nimbang, apa aku berhak ikut membaca surat yang jelas-jelas tertuli
Penyesalan meletup-letup. Dalam hatiku terus berulang-ulang meminta maaf padanya. Apa salah dia? Punya ayah sebejat Bapak mertua, tentu bukan keinginannya.“Laras ... kamu di sini? Sudah kubilang untuk tidak mengabarimu,” ujarnya begitu sadar.“Kenapa jangan mengabariku? Aku harus tahu keadaan Mas. Harus jadi yang pertama tahu,” suaraku tercekat. Kini gerimis kembali mengundang.Aku menyesal, Mas. Bukan hanya aku yang berduka, kamu juga. Mengapa aku bisa larut dalam kesedihan sendiri dan berpikir hendak melampiaskan semuanya padamu? Padahal jika kamu tahu, mungkin kemarahanmu akan lebih besar dariku. Engkau anak seorang penjahat, yang selama ini kaupandang sebagai pria terhormat.“Maafin aku ya, ngerepotin kamu terus. Di saat seperti ini, di saat kamu butuh bahu untuk bersandar, malah aku harus terkapar. Memalukan!” Wajahnya yang pucat merona merah. “Aku benci rumah sakit. Muak dengan bau obat. Juga aroma kematian di setiap lorong-lorongnya. Bisakah kaubawa aku keluar secepatnya?”Aku
Kehidupan lebih utama untuk dirawat, daripada luka masa lalu yang telah terbawa ke liang lahat.___Hening memasung lidah. Tak dapat berucap, meski ingin berbicara banyak. Biarlah sunyi ini menjernihkan hati. Kulihat Mas Danu membaca suratnya dengan tangan bergetar. Ada air mata tercurah di setiap kata yang dieja. Apa isinya?Aku mengamati ekspresinya. Ada emosi membuncah di sana. Tak kuat menunggu, aku berdiri dan bermaksud meninggalkan ruang kamar sejenak, agar ia dapat menyelesaikan membaca surat itu tanpa terganggu.Mas Danu tidak mencegahku karena larut. Entah apa yang bapak tulis di surat itu. semoga saja bukan penghancur rumah tanggaku. Apakah ini tandanya aku tak ingin rumah tanggaku hancur, walau tahu dia anak pembunuh orang tuaku?Ah, berulang kali aku mendesah sambil berjalan di koridor rumah sakit. Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang yang bercucuran air mata, atau terdengar erangan dari kamar-kamar perawatan. Tiba-tiba aku mendapat pencerahan, langsung dari kej
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa