30 Kami sekeluarga di sini, merayakan masa-masa kejayaan perusahaan yang dibangun dengan susah payah oleh bapak mertua. Adam dan Hawa, anak kami pun ikut serta. Bersama kedua babysister yang selalu mengawasi polah lucu mereka. Sementara Caca mendoktrinkanku agar berperilaku bak ratu."Anak-anak sudah ada yang mengurus, Mbak. Fokuslah pada dirimu sendiri. Hanya dua hari kita di sini. Nikmati!" bisik Caca berulangkali. Ia ingin aku berhenti jadi Upik Abu yang sibuk momong di belakang. Menghindarkan anak-anak dari keramaian, lalu berkutat di dapur sendirian. Ia ingin aku berada di depan, bersama ibu-ibu muda lainnya, yang sukses dengan karirnya, yang anggun dengan busananya, yang cemerlang dengan prestasinya. Membicarakan banyak hal visioner untuk kemajuan perusahaan. Pun Caca, datang bersama suami dan putranya. Keduanya bebas bermain di taman, di pantai dekat villa, menonton televisi, sementara Caca sibuk dengan acara demi acara yang dikhususkan bagi pegawai perusahaan. Di sela acara
31Kamu hanya perlu mendengar hatimu berbicara, karena tidak semua logika bisa masuk ke dalamnya.Debur ombak di pantai biru yang terhampar di bawah balkon Villa berlantai dua, cahaya senja yang temaram, kulit Mike yang kecokelatan, mata birunya yang terang, dadanya yang bidang, senyumnya yang menghanyutkan, tingginya yang menjulang, mana di antara itu semua yang menjadi celah untukku bisa melakukan penolakan? Pernikahanku yang berantakan, suami yang sering menghilang tanpa kabar, kehadiran istri siri yang menuntut dinikahi secara resmi, janin di perut wanita lain, atau malah debar jantung yang tak terkendali sehingga membuat hatiku lemah bagai istana pasir?Bila sudah kuminta padanya, jangan menggangguku, tetapi ia tetap saja menatap penuh harap, bukankah itu hanya seperti melihat cerminan diriku yang menanti di luar pintu hati untuk mengemis cinta yang terlanjur diberikan kepada orang lain?Mike sepertiku. Cerminan diriku. Berdiri tanpa ragu di luar pintu. Menunggu pemilik hati memb
32“Aku tidak pada posisi bisa memilih, Mister. Tolong jangan mendorongku terlalu jauh!” Sejujurnya, aku tidak sedang mengatakan hal-hal kiasan. Aku sedang mengatakan kebenaran. Kami berada di balkon lantai dua yang menghadap pantai. Jika dia terus maju, aku takut terdesak ke belakang dan akhirnya terjungkal. Bagaimana jika orang melihat kami berdua seperti ini? Tinggal beberapa jengkal dan kepalaku akan bersentuhan dengan dadanya yang lapang.Buru-buru aku menghindar, melangkah pergi. Menyudahi percakapan yang lebih banyak menguras emosi dan energi.“Laras!” Mike memanggil keras.Aku berhenti melangkah. Dengan dada berdebar-debar, tak berani menoleh walau hanya satu derajat saja. Aduh bagaimana ini? Sekalipun kemungkinan besar ini skenario mertuaku, tapi efeknya bukan setingan. Aku sungguh tergoda. Semua padanya teramat memesona. Bagaimana jika aku benar-benar menyukainya lalu berulang merindukannya? Bagaimana jika kehadirannya meruntuhkan pertahananku untuk setia pada ikatan suci y
Menjadi bahan pembicaraan orang, dicap bodoh, disebut budak cinta, dianggap tak tahu diri, dipandang kampungan, dan masih banyak lagi stigma buruk yang dilekatkan orang padaku, membuatku tak kaget jika kali ini kembali jadi bahan pembicaraan mereka. Namun, sinyal Caca berbeda. Ia seperti mencurigai sesuatu yang lain.“Mas Danu enggak akan sengaja mencium Mbak di depan Mister Mike, di tempat umum pula, jika Mbak murni tak ada apa-apa dengan pria itu.” Kali ini senyum Caca terlihat sinis. “Berapa durasi ciuman kalian? Tiga menit, 40 detik. Benar?” Aku terbeliak kaget. Caca menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak. “Jangan heran. Mbak berciuman di depan kantor. Banyak saksi mata. Dan semua saksi mata itu pegang hape lebih sering dibanding pegang Alquran. Tahu kan akibatnya? Semua orang bisa ikut merekam. Bahkan yang iseng malah ngasih backsound untuk adegan Mbak yang luar biasa. Judulnya pun bombastis, Cinderella diperebutkan dua pangeran bermobil mewah. Tak percaya, cek saja di a
Tidak! Aku bisa terseret pusara asmara jika begini. Sebaiknya, aku menghindari hiruk pikuk ini. Semua keceriaan dan kemewahan ini amat tak cocok bagiku.Menepi, duduk sendiri, jauh dari hiruk pikuk keramaian. Seseorang yang lancang, seperti punya radar untuk mengikuti ke mana pun aku pergi. Seseorang yang tampan dengan bajunya yang casual. Untuk gathering kali ini, perusahaan tak mewajibkan baju formal supaya semua kekakuan di perusahaan bisa sementara ditanggalkan. Pun aku demikian, hanya mengenakan gamis biasa dengan jilbab instan yang masih terlihat manis meski tanpa aksesoris.Ia mengangsurkan cake cokelat yang jadi sumber kemesraan Caca. Dari tangannya, aku langsung tahu bahwa dia sudah terlalu berani mengumbar peduli.Kenapa harus dia yang selalu datang menghampiri? Karena itu dia maka aku menahan diri untuk tidak mendongak menatap matanya. Teringat semua tuduhan Caca, membuatku lebih mawas diri. Bagaimana jika orang lain melihat
Kuingin menempatkan anak-anakku di dekat kakek dan keluarga besar Wicaksono.Ladang yang subur akan menghasilkan tanaman unggul. Tak mungkin aku mundur dan membiarkan tunas-tunasku tercabut atau berada jauh dari jangkauanku. Bertahan! Hanya itu hal terbaik yang bisa kulakukan untuk mereka. Pendidikan mereka, baju mereka, makanan mereka, tempat tinggal mereka, semua terjamin dan kualitas nomor satu selama mereka dekat dengan kakeknya. Untuk mendukung mereka, yang bisa kulakukan sebagai ibu hanya mendoakan.“Saya tahu, kalian mencari putraku untuk menyempurnakan pesta malam ini,” sambutan dari bapak mertua membuat ingatanku kembali melayang pada sosok yang membuatku mengenal arti cinta, rindu dan cemburu, “tetapi dia tidak ada.” Bapak mertua memandang ke arahku. Membuat orang-orang ikut mengalihkan pandangannya padaku. Tegang, segera kubenahi ekspresi wajah agar tidak tampak menyedihkan.“Bangunan yang tua pada akhirnya harus dirobohkan untuk diganti dengan bangunan baru yang lebih koko
“Aku mengerti, Mas. Aku memahamimu. Aku tak marah padamu dan berharap, Mas Danu bisa segera pulang. Aku dan anak-anak selalu merindukan dan mencintaimu,” bisikku sambil membelai wajah Hawa, buah hati kami. Pengikat jiwa. Setiap aku rindu padanya, kan kupandangi wajah putra-putri kami untuk mengalihkan rasa.Tiba-tiba terdengar isakan di sana. Lalu panggilan diakhiri. Membuatku bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi.Hati merasa ada yang janggal. Hingga kutelepon kembali. Setelah panggilan pertama tak diangkat, panggilan kedua, akhirnya telepon diangkat.“Hallo,” sapa suara di sana. Hatiku meradang mendengar wanita itu yang mengangkatnya. Kenapa wanita itu begitu berani? Aku harap ia terus sembunyi. Sesuai statusnya sebagai istri simpanan.“Berikan teleponnya pada suamiku,” perintahku, berubah naik darah. Kubangkit dari ranjang dan mondar-mandir di kamar. Ada yang aneh, apakah wanita itu melarang Mas Danu meneleponku?“Mas Danu sedang istirahat, Mbak. Besok pagi saja,” aturnya. Tentu
“Laras, kamu mau Ibu jodohkan sama anak Ibu?” tanya wanita terhormat yang menjadi langganan tempat laundry-ku itu.Tentu saja aku terkejut. Apa dia sedang menggodaku karena setiap mengantar baju mereka, aku selalu terkesima memandangi putranya? Apa wanita itu tahu bahwa diam-diam aku mengagumi anaknya? Menjodohkan kami, mungkinkah? Ah, itu terlalu ajaib.Keajaiban adalah suatu kejadian yang langka, yang sangat ganjil dan aneh sehingga mustahil terjadi. Keajaiban adalah suatu peristiwa yang sulit diterima akal, tetapi nyata adanya. Bagaimana aku bisa mengalami keajaiban?Berdoa memiliki suami tampan saja tak pernah! Apalagi ini tampan dan kaya! Sungguh kombinasi yang langka. Sekalipun ada, makhluk seperti itu tentu sudah ada yang punya. Tak mungkin bersanding denganku yang papa. “Bukan, ini bukan keajaiban, ini candaan!” Karena mengira, nyonya dermawan itu hanya bercanda, maka aku pun menjawab bercanda.“Siapa yang tidak mau, Bu. Bahkan wanita buta tak akan menolak keberuntungan itu,”
“Usahamu ‘kan masih bisa berjalan dengan baik, Mas. Dulu, Mas tak mau bekerja di perusahaan Bapak. Memilih berdikari di atas kaki sendiri. Mengapa sekarang harus mengandalkan harta Bapak untuk sukses?”“Dulu aku punya Sekar yang membantuku memenangkan banyak tender. Dia pintar melobi orang. Sekarang aku sering tak beruntung.”Hatiku retak mendengar jawabannya. Mengapa harus mengungkit jasa wanita itu dalam hidupnya. Itu seperti menyindirku yang tak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, kecuali berdoa.“Maaf, Sayang. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu dengan ceritaku. Aku hanya ....”“Sudahlah, Mas. Tak perlu kaujelaskan. Semua terang bagiku. Dia adalah batu berlian, sementara aku batu kerikil.”“Bukan begitu ... bukan begitu maksudku. Maafkan aku salah bicara. Seharusnya tak kusebut-sebut namanya saat bersamamu.”Senyum tipis kuberikan. Sekadar menenangkan. Sekalipun aku tak tenang, merasa tak berguna sebagai pasangannya.Dia memandangku dengan tatapan yang aneh. Tatapan yang m
Ini cinta yang berat, juga rumit. Di sisi hati, aku benci. Di sisi lain begitu mencintai. Di satu waktu, aku ragu. Di lain waktu, begitu menggebu. Adakah aku akan tetap berdiri di sisinya sekuat baja?___Kugandeng tangan Mas Danu. Membawanya menjauh dari rubah betina itu. Namun, kaki suamiku seolah terpaku. Tak bergerak dari tempatnya berdiri. Mungkinkah, dia jatuh cinta lagi?Mas Danu melepas pegangan tanganku, berjalan mengejar wanita itu, lalu memegang tangan Sekar hingga wanita itu berbalik. Menatapnya dengan pandangan penuh kebahagiaan. Ia menang. Sekali lagi ... dia menang dan menempatkan diriku sebagai pecundang. Rasa sakit melihat itu, membunuhku. Aku tak mampu bertahan lagi dengan siksa batin ini.Sekar langsung bergerak hendak memeluk Mas Danu, hingga aku tak sanggup memandang dan memilih memejamkan mata. Terkatup bersama bulir kristal bening yang merembes, membasahi pipi.“Jangan! Hubungan kita sudah berakhir.” Suara Mas Danu terdengar jelas. Segera kubuka mata untuk melih
Biarlah yang lalu terbawa angin, agar yang sekarang bisa hidup dengan tenang, tanpa beban, ataupun penyesalan.___“Siapa, Mas?”Masih bergeming. Mas Danu mendadak beku. Tak dihiraukannya lagi ponsel yang terjatuh ke lantai. Apalagi menjawab pertanyaanku.Kuputuskan menghampiri dan menggoyang tubuhnya. Ia pun tersentak kaget. Kedua tangannya mencengkeram tubuhku erat.“Kamu tidak akan percaya ini, Laras. Dia ....”Aku melihatnya kebingungan. Sebenarnya apa yang terjadi?Apakah ini tentang Caca? Mas Danu tak tahu bahwa aku sudah memegang separuh rahasia Bapak.“Pemilik rumah ini adalah ....” Mas Danu sulit sekali berkata-kata. Mengusap wajahnya berulang-ulang. Lalu memegang dadanya dengan pandangan nanar. Siapa?“Dia ... Sekar.” Lirih suaranya, tapi dahsyat akibatnya.“Sekar, Mas?” Tanganku mencengkeram sisi meja agar tidak jatuh pingsan. Dia, wanita itu kembali setelah sekian lama. Tak mungkin rumah ini menarik baginya. Pasti ada hal lain yang hendak dia rebut dariku. Mas Danu.Kugele
Aku pernah menentang niat baik istriku yang hendak menjadikan kamu menantu. Keberadaanmu menyiksaku. Namun, kamu tahu apa yang dikatakan istriku? Dia bilang, “Justru aku harus berada di dekatnya, sebab jalan takdir kalian tak akan jadi serumit ini jika malam itu aku tidak menemuimu.”Di situ aku terenyak. Menyadari istriku sengaja datang. Dia membaca surat-suratku untuk ibumu. Ia bilang, “Aku jatuh cinta padamu, lewat kata yang kau untai untuk sahabatku.” Jadi dia sengaja datang ke tempat seharusnya aku bertemu ibumu. Dia ingin menghiburku. Tanpa tahu aku sudah memilih alkohol untuk menemaniku.Dia merasa, dirinya yang membuat hidup kita berantakan. Pernahkah kamu melihat cinta sebodoh itu? Cobalah bercermin. Karena cinta yang bodoh itu, juga pernah kamu rasakan untuk anakku. Juga pernah kurasakan pada ibumu. Juga pernah dirasakan Danu pada Sekar. Hampir dari kita semua, pernah menjadi bodoh karena cinta. Merasa cinta adalah segalanya. Padahal, itu hanya ilusi. Hanya sebuah perasaan y
“Sebaiknya kita kembali ke rumah kita, Mas. Di sini banyak duka yang membayang.” Setelah Mas Danu pulih sempurna, aku segera mengajukan keinginan yang lama terpendam. Rasanya tak betah terus berada di rumah ini. Penuh foto Bapak yang membuatku muak.“Duka itu ada di hati, terbawa ke mana pun kita pergi.” Ia duduk di balkon favoritnya untuk membaca koran. Secangkir wedang jahe—kesukaan Bapak—tersaji. Padahal, dulu Mas Danu tak suka minum wedang jahe. Ia lebih suka minum teh atau kopi. Semakin hari, ia semakin mirip dengan Bapak mertuaku itu. Mungkinkah ini hanya bayanganku saja?“Aku sudah menghubungi pihak bank. Rumah ini masuk daftar lelang. Jadi, bukan sehari dua hari ini terjadi. Semua sudah dijalankan diam-diam sejak lama oleh Caca. Aku akan merebut kembali semua milikku.” Dingin dalam suara itu membuatku kembali teringat almarhum Bapak. Akankah suamiku berubah menjadi pria ambisius yang mencintai bisnis dibanding keluarga?“Tak bisakah Mas relakan? Kita masih punya banyak hal ber
Kuambil tisu dan menyeka beberapa keringat di wajahnya. Padahal AC mobil menyala, tapi bisa-bisanya ia berkeringat.“Jangan pikirkan hal-hal berat dulu, Mas. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Sebaiknya kita pulang dan istirahat. Apa gunanya banyak harta jika tubuh sakit?”Dia diam, tak bersuara. Masih memijat kepalanya dengan wajah meringis menahan sakit. Segera kupasangkan seatbelt ke tubuhnya dan menyetir pulang.Meski dipaksa beristirahat, Mas Danu tetap gelisah dalam tidurnya. Ini memang tak mudah bagi kami. Tiba-tiba saja, kemewahan yang kami nikmati selama ini direnggut paksa. Bagai penduduk pribumi yang didepak kompeni. Kami tertipu oleh serigala berbulu domba.“Tidak, Bapak ... Bapak ... kembali. Kembalilah! Jangan pergi!” Mas Danu mengigau dalam tidurnya. Kusentuh keningnya, panas. Dia kembali demam. Kepanikan melanda diriku yang bingung harus bagaimana dalam situasi semacam ini. Suamiku yang kuharapkan bisa berdiri tegak, justru berulang kali jatuh sakit. Masalah bertubi-tu
“Mungkin kamu tak sadar, tapi ciuman tadi adalah kemesraan pertama kita setelah Bapak tiada.” Lirih suara Mas Danu terdengar seperti pria yang lama menanti pujaan hati. Rasa bersalah menghantam, menggoyahkan nurani.Masalah ini membuat kami menyatu kembali. Setelah sebulan lebih aku membentengi diri karena dendam yang tiba-tiba menyulut hati. Surat Bapak telah menjadi tembok tinggi bagi hubungan kami. Sering tiba-tiba terlintas dalam hati, meninggalkan Mas Danu untuk lepas dari bayang masa lalu. Merasa bersalah pada kedua orang tuaku, telah hidup berbahagia dengan orang yang membuat keluarga kami sengsara. Kakek nenek, mereka mungkin juga mengutuk diriku yang mencintai keturunan pria penghancur keluarga. Namun, aku bisa apa jika hati selalu tergerak untuk mencinta?“Ini seperti petualangan di gunung yang curam. Aku harus mendaki, mencari misteri yang tersembunyi di gelapnya hutan. Saat Bapak masih hidup, semua terlihat normal. Namun, begitu pasak itu dicabut, tenda kita ikut berguncan
Aku tak sempat memikirkan masa lalu. Hanya masa depan kami yang kupikirkan. Bagaimana nasib anak-anak ke depan jika kerajaan bisnis Bapak tumbang? Aku tak ingin melihat anak-anakku hidup kekurangan seperti yang dulu kurasakan.“Aku akan cari tahu, Laras. Benar dia atau orang lain yang mengendalikannya. Tak akan kubiarkan rumah ini berpindah tangan.” Mata Mas Danu menjelajah ruang. Melihat aneka barang yang tertata seperti saat Ibu tiada. Tak banyak yang berubah. Bahkan, foto pernikahan kami yang dihelat demikian mewah, terpanjang di dinding dengan bingkai emas. Berjajar dengan foto Bapak dan Ibu yang duduk berdampingan di sofa besar. Foto itu diambil di ruang keluarga rumah ini. Sejenak, netra suamiku berdiam di sana. Menatap kedua wajah orang tuanya yang menyunggingkan senyum.“Rumah ini dipenuhi kenangan mereka ....” Suara pria berkulit bersih itu bergetar. Bola matanya berkaca-kaca, bak kristal lampu yang dari Eropa yang melengkapi desain rumah berarsitektur Mediteran.“Aku tumbuh
Di akhir hayat ini, aku tersadar bahwa hal yang banar-benar bisa dibawa pulang ke kampung akhirat hanyalah amal. Jadilah anak soleh yang menjadi amal jariyah bagi bapak dan ibu, sekalipun aku malu meminta itu darimu.Semoga kamu bisa jaya dengan kemampuanmu sendiri, hingga kamu bisa menghargai setiap proses. Semoga dengan ini, kamu juga bisa menguji sedalam apa cinta Larasati. Apakah hanya karena materi, atau sungguh cinta murni? Mampukah dia bertahan dalam kesetiaan saat ujian menerpa rumah tangga kalian dengan dahsyatnya? Sudikah dia memulai dari nol bersamamu jika tak ada sepeser pun warisan bapak yang jatuh pada kalian? Ataukah dia pergi ke pelukan pria lain yang menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan?Bagaimana pun arah peta hidup kamu selanjutnya, bapak berdoa semoga kamu bangga jadi diri sendiri. Semoga surat ini menjadi penjelas, jika nanti notaris datang membacakan surat wasiatku dan tak banyak yang bisa Bapak wariskan untuk kalian. Segera urus aset-aset yang memang bisa