"Astaghfirullah, Nak. Jangan berbicara seperti itu!"
Ustadz Hakim dan Umi Salamah menegur putri angkat mereka. Pun denganku yang hanya mampu menggelengkan kepala setelah mendengar permintaan Khanza.Menceraikan dia? Tentu saja tidak akan pernah aku lakukan sampai kapan pun!"Lalu saya harus bagaimana, Abi? Saya hanya perempuan biasa yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami saya ternyata telah menikah lagi. Saya tidak siap dan tidak akan pernah rela dimadu." Khanza terduduk di dekat Umi Salamah yang langsung menyambut istriku ke dalam pelukannya.Sedangkan aku? Hanya mampu menundukkan kepala, merasa malu kepada istriku, juga Ustadz Hakim dan istrinya."Jadi, alasan kamu pergi dari rumah itu karena kamu sudah tahu Mas menikah lagi?" Kali ini aku memberanikan diri menatap Khanza."Ya. Aku sudah tahu kalau Mas Emir menikahi wanita lain secara diam-diam. Aku marah, aku sakit, dan aku benci kalian berdua! Aku memutuskan pergi karena aku sadar, aku tidak akan sanggup hidup dengan seorang pengkhianat!""Istighfar, Nak." Umi Salamah mengelus punggung Khanza untuk menenangkan istriku yang hampir histeris."Aku tidak mau kembali lagi padanya, Umi. Aku tidak mau hidup dengan pria yang bahkan tidak bisa menjaga kesetiaan. Apa karena aku belum bisa mengikuti keinginannya, lantas dia berhak mengkhianatiku?""Sayang, jangan berkata seperti itu. Mas minta maaf karena telah mengkhianati kamu. Tapi demi Allah, Mas mencintai kamu. Mas tidak ingin kehilangan kamu lagi.""Bohong!" Khanza berteriak."Sungguh, Mas tidak berbohong."Aku mendekat padanya. Bersimpuh di depannya yang sama sekali enggan menatapku."Maaf ... maaf atas semua kesakitan yang kamu rasakan selama ini. Tapi Mas mohon, jangan meminta berpisah. Sampai kapan pun, Mas akan tetap mempertahankan kamu.""Egois," desisnya.Tak apa. Aku memang egois karena tidak ingin kehilangannya. Berpisah dengan Khanza, sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Meski kini ada Najwa yang juga menjadi pendampingku, tetapi tidak bisa menggantikan posisi Khanza sepenuhnya di hati ini.Khanza dan Najwa.Dua wanita yang sama-sama kucintai, tetapi dengan porsi yang berbeda. Jika ditanya hati ini lebih condong kepada siapa, tentu saja jawabannya adalah Khanza. Namun, hal itu bukan berarti aku akan melepas Najwa karena walau bagaimanapun, wanita itu kini telah menjadi tanggung jawabku."Nak Emir, sebaiknya hal ini kita bicarakan lagi besok. Kasihan Khanza jika harus ditekan seperti ini. Biarkan dia berpikir secara jernih agar pembicaraan nanti tidak melibatkan emosi. Saya harap, Nak Emir bisa mengerti. Saya sangat memaklumi bahwa Nak Emir sangat merindukan Khanza. Tapi saya juga sangat memahami perasaan Khanza saat ini." Ustadz Hakim angkat bicara."Maaf, Ustadz. Tapi saya tidak akan pergi dari sini jika tidak bersama istri saya. Jika memang Khanza tidak bisa ikut bersama saya malam ini, maka izinkan saya untuk menginap di sini." Aku tetap bersikeras. Tidak ingin menyiakan kesempatan barang sedetik saja. Andai aku lengah, aku takut Khanza akan berbuat hal nekat dengan pergi lagi secara diam-diam."Silakan kalau memang Nak Emir mau menginap di sini. Saya akan meminta pada salah satu santri untuk menyiapkan kamar di pondok."Tidak perlu, Ustadz. Izinkan saya untuk tidur di sini saja. Tidak apa meski saya harus tidur di sofa. Yang penting bagi saya adalah, saya tidak ingin berjauhan lagi dengan Khanza."Ustadz Hakim dan Umi Salamah saling tatap. Keduanya mengangguk bersamaan setelah cukup lama aku menunggu jawaban."Kalau begitu, terserah Nak Emir saja. Saya tidak akan melarang jika memang Nak Emir tidak keberatan tidur di sofa.""Saya sama sekali tidak keberatan.""Umi, tolong bawa Khanza ke kamarnya. Biarkan dia istirahat supaya lebih tenang. Abi akan menemani Nak Emir di sini."Umi Salamah menuruti perintah suaminya. Ia menuntun Khanza kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Aku menatap kepergian istriku dengan sendu. Khanza sama sekali tidak menoleh lagi padaku."Nak Emir.""Oh, iya, Ustadz." Aku gelagapan. Rupanya diri ini terlalu larut dalam kekecewaan karena Khanza masih saja menolakku, hingga tidak menyadari Ustadz Hakim sudah memanggilku beberapa kali."Istirahatlah. Insha Allah besok kita berbicara lagi dengan hati yang sudah jauh lebih tenang. Terutama Khanza. Saya masih mengkhawatirkan dia karena selama ia tinggal di sini, saya belum pernah melihatnya sampai histeris seperti tadi," ucapnya sembari menghela napas."Saya tidak pernah menyangka ujian hidupnya begitu berat. Khanza tidak pernah bercerita tentang hal ini baik kepada saya maupun istri saya. Dia hanya bilang bahwa dia sudah tidak memiliki siapa pun dan memohon agar diizinkan tinggal di sini. Khanza juga meminta agar saya tidak melapor pada pihak yang berwajib atas kecelakaan yang dia alami. Dia ingin hidup tenang, begitu katanya." Ustadz Hakim tersenyum lirih."Saya sudah menganggapnya seperti putri saya sendiri. Saya sangat menyayanginya meski tetap saja ada batasan di antara kami. Melihatnya menangis seperti tadi, hati saya ikut merasakan sakit," sambungnya seraya mengusap sudut matanya yang mulai berair."Saya mengerti, Ustadz. Saya menyesal karena telah menyakiti istri saya."Ustadz Hakim mengangguk. Pria yang usianya sebaya dengan Papaku itu menepuk bahu ini. "Poligami itu tidak mudah. Jangan nekat melakukannya jika kita sama sekali tidak mengetahui ilmunya. Apalagi, jika kita memulainya dengan perselingkuhan," ucapnya menohok, bak tamparan keras untuk diri ini.**Bersambung."Poligami tanpa meminta izin kepada istri pertama memang diperbolehkan, tetapi tidak dianjurkan. Ada adab yang harus dikedepankan untuk menghargai perasaan sang istri pertama. Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap ( hak-hak ) yatim ( bilamana kamu menikahinya ), maka nikahilah perempuan ( lain ) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka ( nikahilah ) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zhalim.Nak Emir masih ingat penggalan surat An-Nisa tersebut?"Perkataan Ustadz Hakim semalam masih melekat dalam ingatan ini. Ya, aku sadar telah melakukan kesalahan fatal dengan menyakiti Khanza. Ego dalam diri ini mencuat ketika Khanza tidak pernah mau mengabulkan permintaanku. Seharusnya, aku menuntunnya dengan sabar hingga hatinya terbuka dan secara ikhlas mau menjalankan kewajiban untuk menutup aurat. Bukan dengan menikahi wanita lain yang
Kepulangan Khanza disambut haru oleh Papa dan Mama. Kedua orangtuaku langsung menuju rumah ini ketika aku memberi kabar pada mereka. Suasana haru melingkupi kami. Mama tak hentinya menangis sambil memeluk tubuh menantu kesayangannya. Tak jarang, kalimat bernada sindiran ia lontarkan pada putranya ini yang telah menjadi sebab kepergian Khanza. Aku menerimanya dengan ikhlas. Se-pedas apa pun ucapan Mama, tetap aku terima karena memang begitulah kenyataannya. Aku-lah penyebab Khanza memilih pergi dan menjauh dari kami. Aku yang telah bermain hati dan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga ini. "Kamu jangan pernah meninggalkan kami lagi. Hampir setiap malam Mama tidak bisa tidur karena mengkhawatirkanmu. Mama takut terjadi sesuatu yang buruk padamu. Mama tidak akan pernah berhenti menyalahkan Emir karena dia biang keladi masalah ini! Andai saja dia tidak jelalatan dan menikah lagi, kamu pasti tidak akan memilih pergi!""Sudah, Ma. Emir sudah menyadari kesalahannya. Kita bi
"Maaf jika Mas terkesan mengabaikanmu. Mas harus terus berada di samping Najwa untuk menguatkannya."Aku memberi penjelasan kepada Khanza agar ia tidak salah paham dan merasa diabaikan. Sebelum jenazah ayah mertuaku dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, aku sempatkan menghampiri Khanza yang terus didampingi oleh Mama. "Tidak apa, aku mengerti.""Kamu tidak marah?" Aku memastikan."Kenapa harus marah? Dia kan istri Mas Emir juga.""Berjanjilah untuk tidak berpikiran macam-macam. Mas janji setelah semuanya selesai, Mas akan lebih sering menghabiskan waktu denganmu.""Tidak perlu terlalu berlebihan, lakukan saja sewajarnya. Aku tidak akan menuntut waktu lebih banyak karena aku tidak ingin dikatakan sebagai istri yang serakah. Berbagi waktulah dengan adil padaku juga Najwa."Perkataan Khanza sama sekali tidak membuatku senang. Ia seolah menghindar dariku yang sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengannya. "Mas hanya ingin mengganti waktu satu tahun selama kita
Pov Khanza"Jaga diri baik-baik, Abi dan Umi akan selalu mendoakan kamu. Jika suatu saat kamu memutuskan untuk menyerah, kembalilah ke sini. Pintu rumah ini akan selalu terbuka untukmu."Perkataan Abi Hakim menjadi pengantar ketika aku memutuskan untuk kembali bersama Mas Emir. Meski hati ini berat melakukannya, aku berusaha menerima takdir diri yang ternyata dipertemukan kembali dengan suamiku. Emir Alfaraz ... suami yang kukira sangat mencintaiku, ternyata tega menduakan diri ini. Marah, benci, bahkan hancur. Itulah gambaran hatiku saat itu. Mas Emir telah menodai ikatan suci pernikahan dengan menghadirkan orang ketiga dalam bahtera rumah tangga kami. Tidak ada pilihan lain selain pergi. Hidup bersama pengkhianat hanya akan memupuk luka yang terus menggerogoti hati ini. Ikhlas Berbagi? Tidak!Aku tidak akan pernah sudi berbagi dengan wanita lain. Hidupku terlalu berharga jika harus bertahan dengan suami yang telah tega mendua. Tidak ada jaminan ia akan berlaku adil jika aku mene
Pov Khanza"Kenapa Anda membawa saya ke tempat ini?"Pria yang ternyata Kakak dari Najwa menarik wajahnya yang tadi begitu dekat. Ia berjalan menuju lemari usang yang tidak jauh dari ranjang tempatku duduk dan menyandarkan tubuhnya di sana. "Supaya kamu tidak mengganggu kebahagiaan adikku.""Saya Mengganggu? Anda tidak salah?" Aku cukup tersinggung dengan apa yang ia katakan. Seharusnya perkataan itu lebih pantas ditujukkan kepada adiknya. Najwa yang hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku dan Mas Emir. Mencuri sebagian hati suamiku tanpa memikirkan perasaanku. Lantas kenapa pria ini malah menuduh orang yang salah?"Istirahatlah. Sebentar lagi anak buahku membawakan makanan untukmu."Pria yang kutahu bernama Aidan sama sekali tidak menanggapi ucapanku. Ia kembali berjalan menuju pintu kamar dan hampir saja keluar sebelum aku menahannya."Anda ingin membunuh saya?"Pergerakannya terhenti. Ia bergeming di posisinya tanpa menoleh padaku."Jika memang dengan membunuh saya membua
Pov EmirHampir satu minggu sudah Khanza menghilang dan aku masih berusaha untuk mencarinya. Meski rasa lelah kadang menyapa karena selain disibukkan oleh pekerjaan, aku pun harus mendampingi Najwa yang tengah mengandung dengan kondisi yang sangat lemah. Istri keduaku menolak setiap makanan yang dimasak oleh Asisten Rumah Tangga di rumah Mama. Alhasil, aku harus menuruti keinginannya yang kerap kali ingin makan makanan luar bahkan di waktu yang seharusnya aku gunakan untuk beristirahat.Papa menyarankan untuk melapor kepada polisi atas kehilangan Khanza dan aku sudah melakukannya. Namun hingga saat ini belum menemukan titik terang di mana istriku itu berada. Bahkan di Pondok Ustadz Hakim pun sudah aku kunjungi dan Khanza tidak ada di sana. Ustadz Hakim menyayangkan karena hal seperti ini harus terulang. Beliau merasa kecewa karena aku lalai menjaga putri angkatnya tersebut."Maafkan saya, Ustadz." Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan di depan ayah angkat Istri pertamaku."Mas ....
"Sayang!"Khanza yang tengah duduk di salah satu kursi menoleh padaku. Tanpa merasa sungkan ataupun malu oleh beberapa orang polisi yang berada di ruangan ini, aku memeluk istriku erat. Rindu, khawatir sekaligus lega bercampur menjadi satu. Kehilangan Khanza kembali ditambah dengan menghadapi kehamilan Najwa yang cukup lemah membuatku nyaris gila. Rupanya mempunyai dua istri tidak semudah yang aku bayangkan. Berusaha bersikap adil tapi nyatanya sangat sulit kulakukan jika situasi sudah mendesak. Apa memang aku harus melepas salah satunya seperti yang diminta oleh Mama Alice?Ah, biar nanti saja kupikirkan lagi. Yang terpenting saat ini aku ingin melepas rindu kepada istri pertamaku ini. "Kamu dari mana saja? Apa yang terjadi sampai kamu menghilang beberapa hari?" cecarku setelah mengurai pelukan. Aku sedikit kecewa karena Khanza tidak membalas pelukanku. Bahkan tidak terlihat senang ketika bertemu denganku lagi. "Maaf, Pak Emir. Sebaiknya kita duduk dulu. Kita dengarkan keterangan d
"Bolehkah aku menyerah?"Perkataan Khanza terus terngiang di telinga ini. Ucapannya tersebut berhasil membuatku hampir kehilangan napas. Melepaskan Khanza sama saja dengan merenggut separuh jiwaku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kacaunya hidupku jika harus kehilangan dia untuk yang ke sekian kalinya."Mas mohon jangan menyerah. Beri Mas waktu untuk memperbaiki semuanya dan mengembalikkan semuanya seperti semula." Aku mengeratkan pelukan di pinggangnya. Saat ini kami tengah berbaring bersama di peraduan dengan posisi Khanza membelakangiku. Kupeluk dirinya dari belakang. Rasa takut kehilangan membuatku mengabaikan keberadaan Najwa dan kakaknya yang mungkin saja masih berada di ruang tamu. "Bagaimana caranya? Semuanya sudah terlambat, Mas. Najwa sedang mengandung anakmu dan kamu tidak mungkin menceraikannya.""Nanti kita pikirkan. Mas akan membicarakannya dengan Papa dan Mama. Kamu harus janji tidak akan meninggalkan Mas lagi. Mas mohon bersabarlah sebentar saja." Aku terus berus
"Mas, jangan deket-deket! Aku mual nyium bau badan kamu!"Aku menghela napas pasrah sembari menuruti keinginannya. Memberi jarak agak jauh karena dia yang katanya mual jika berdekatan denganku. Kehamilan Khanza kali ini lebih parah dari yang pertama. Itu yang ia katakan ketika aku bertanya tentang perbedaan dengan kehamilannya yang dulu. Jika dulu ia masih bisa makan nasi, maka sekarang mencium baunya saja ia langsung muntah. Dan yang paling parah, ia selalu mengusirku jika suaminya ini sedang ingin bermanja dengannya. Akan tetapi, aku tetap bersabar demi dia dan calon bayi kami. Apa pun keinginannya akan aku turuti termasuk ketika ia memintaku mengambilkan mangga muda di pohon yang letaknya di depan rumah Ustadz Hakim. Bayangkan. Malam-malam kami berangkat ke Ciamis demi memenuhi permintaan ngidamnya yang aneh.Namun meski begitu, aku bahagia. Akhirnya aku bisa menjadi seorang ayah dari anak yang lahir dari rahim wanita yang sangat kucintai. Rumah tanggaku dengan Khanza di pernik
"Lebih baik Mas Emir mencari wanita lain untuk dijadikan pendamping. Jangan wanita cacat sepertiku yang bahkan untuk berjalan saja susah."Itulah jawaban Khanza atas pertanyaanku hari itu. Dia menolak ketika aku melamarnya secara langsung. Akan tetapi, bukan Emir namanya jika menyerah begitu saja. Akan kulakukan berbagai cara untuk membujuknya agar ia mau menerima. "Mas tidak menginginkan wanita lain. Jika mau, Mas bisa saja menerima Kiyomi yang tergila-gila sama Mas. Tapi Mas menolaknya karena memang tidak mencintainya. Hanya kamu dan cuma kamu. Andai kita tidak bisa bersama lagi, lebih baik Mas menduda seumur hidup," tuturku selembut mungkin. Berharap ia merasa tersanjung atas penuturanku barusan. "Manis sekali. Andai saja dulu Mas bisa bersikap seperti itu. Tegas menolak hadirnya wanita lain di tengah pernikahan kita. Mungkin jalan ceritanya akan berbeda," pungkasnya yang selalu berhasil membuatku tak berkutik. "Mas rela meminta maaf sampai beribu-ribu kali untuk hal yang satu i
"Wildan dan Khanza dinyatakan kritis."Keterangan dari Ustadz Hakim membuat tubuhku makin lemas. Tidak. Khanza tidak boleh pergi meninggalkanku selamanya. Dia harus sembuh karena ada bayinya yang sangat membutuhkannya. Papa menuntunku untuk duduk di kursi tunggu. Beliau mengusap punggung putranya ini yang masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mengapa orang-orang baik seperti mereka harus mengalami hal tragis seperti ini? Mengapa tidak aku saja yang menggantikan posisi mereka?"Khanza tidak akan pergi kan, Pa? Dia harus tetap hidup demi anaknya. Katakan pada Dokter untuk menyelematkan mereka. Berapapun biayanya tidak masalah. Emir akan membayar semuanya," racauku seraya meremas rambut dengan kasar. "Tenanglah. Daripada meracau seperti ini lebih baik kamu berdoa. Papa paham perasaanmu. Tapi kita tidak bisa melawan apa yang sudah Tuhan gariskan untuk setiap umatnya," ucapnya bijak.Ya, aku paham dan mengerti maksud ucapan Papa. Akan tetapi, tetap saja hati ini dilanda ketakutan
"Papa senang akhirnya kamu bisa fokus pada pekerjaan. Perusahaan kita makin maju di tanganmu," ucap Papa ketika kami tengah mengobrol di ruang tengah. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Satu tahun sudah semenjak pertemuanku dengan Khanza di pesta pernikahan Aidan, kami tidak pernah bersua kembali. Hanya kabar terakhir yang kudengar dari Mama, bahwa Khanza baru saja melahirkan. Akhirnya, impian Khanza untuk memiliki momongan terkabul. Aku turut senang mendengar kabar bahagia itu meski dalam sudut hati yang lain merasa iri. Kenapa bukan aku ayah dari anak yang dikandung Khanza? Mengapa di saat ia menikah dengan pria lain, Tuhan memberi anugerah sebesar itu kepada mantan istriku?"Emir.""Ya, Pa?" Guncangan di bahu aku rasakan. Sepertinya aku terlalu larut dalam lamunan tentang mantan istriku hingga tidak mendengar panggilan dari Papa. "Melamun lagi, hmm?" tanyanya. Aku menghela napas. "Sedikit." Papa memandang sendu putranya ini. Wajahnya yang tadi ceria berubah murung ketika m
Keinginan Kiyomi untuk berpindah agama ternyata tidak main-main. Ia sangat antusias ketika aku mempertemukan dia dengan Ustadz Hakim. Semoga saja jalannya dipermudah hingga ia benar-benar diberi hidayah untuk berubah. Aku sendiri memilih berpamitan setelah menitipkan Kiyomi di sana. Awalnya wanita itu keberatan, tetapi aku meyakinkan dia bahwa aku akan sesekali mengunjunginya. Jujur aku masih tidak menduga dia bisa senekat itu demi seorang pria. Bahkan Kiyomi sampai menentang kedua orang tuanya karena melarang gadis itu berpindah agama. Cinta memang buta dan pepatah itu benar adanya. Namun, aku salut karena dengan kejadian ini, Kiyomi berniat memeluk Islam dan semoga saja ia akan Istiqomah dengan niatnya tersebut. Dua bulan sudah gadis itu tinggal di Pondok dan aku belum pernah sekalipun menemuinya. Hanya sesekali bertanya pada Ustadz Hakim tentang perkembangannya di sana. Kabar baik aku dapatkan. Kiyomi begitu tekun memperdalam ilmu agama, bahkan ia sempat menangis ketika Ustadz H
Pov Emir"Selamat menempuh hidup baru lagi. Mas akan selalu mendoakan semoga kalian berbahagia sampai maut memisahkan."Doa yang aku ucapkan untuk Khanza benar-benar tulus. Mantan istri yang masih sangat kucintai itu memang berhak mendapatkan kebahagiaan bersama pria yang tepat untuknya. Dokter Wildan. Pria itu sudah sah menjadi suami Khanza, menggantikan diriku yang kini harus mengikhlaskan mereka berdua. Benar apa yang dikatakan Papa. Tidak semua hal yang kita inginkan akan kita dapatkan, termasuk ketika aku ingin memiliki Khanza kembali. Aku yang telah menyakitinya. Aku juga yang telah membuang dengan memilih melepaskannya. Kini aku harus memetik hasil dari keputusanku tersebut. Mengikhlaskan ia bersama pria lain yang jauh lebih baik dariku. "Terima kasih, Mas."Suara lembutnya terdengar bergetar. Ia menangis. Entah karena bahagia atau justru karena mengasihani mantan suaminya ini. Tidak. Aku tidak boleh membuatnya menangis, apalagi di hari bahagianya. Karena itulah, aku bergeg
Pov Khanza. "Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan padamu."Suara Dokter Wildan menghentikan langkahku yang baru saja keluar dari ruang rawat Najwa. Berbalik, aku bisa melihat keseriusan di wajahnya. "Anda ingin bicara apa?""Bagaimana kalau sambil makan siang di Kantin? Supaya ngobrolnya agak enakan," tawarnya. Aku sempat ragu karena sebenarnya tidak nyaman jika harus berduaan dengannya. Akan tetapi, mengingat mungkin saja apa yang akan ia bicarakan adalah hal yang penting, maka terpaksa aku menyetujuinya. "Boleh."Dokter Wildan mempersilakan aku untuk berjalan terlebih dahulu, sedangkan dia mengikut di belakangku. Kami memasuki Kantin yang cukup ramai karena memang sudah saatnya jam makan siang. "Apa yang ingin Anda bicarakan?" tanyaku setelah pesanan kami datang. Dokter Wildan yang duduk berhadapan denganku memberi isyarat agar kami makan terlebih dahulu sebelum memulai obrolan. Menghela napas, kuturuti keinginannya meski hati sedikit jengkel. Tidak tah
"Kamu?"Ternyata informasi dari Mama memang benar. Kiyomi sudah duduk manis di ruang tamu dan ditemani Mama yang memasang wajah ditekuk. Sangat kentara kalau ia tidak menyukai kedatangan wanita ini. "Emir! Akhirnya kita bertemu lagi."Kiyomi berdiri, bergerak mendekat ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Hampir saja wanita ini mendaratkan kecupan di pipi, tetapi beruntung, aku dengan sigap menjauh dari jangkauannya. Kiyomi terlihat kecewa dan aku sama sekali tidak peduli. Gadis asal Tokyo ini memang cukup fasih berbahasa Indonesia karena ia pernah bercerita bahwa dulu pernah menetap cukup lama di sini bersama orang tuanya. Namun, setelah Kiyomi lulus SMA, mereka kembali ke negara asal karena kedua orang tuanya harus mengurus perusahaan keluarga yang terbengkalai. Perkenalanku dengan gadis itu ketika ia berkunjung ke salah satu Resto milikku. Kiyomi ternyata salah satu teman baik dari Daniel, sahabat sekaligus partner kerjaku di sana. Gadis itu memang cantik, pun dengan pe
Pov Emir."Emir, Najwa kecelakaan dan dia ingin bertemu denganmu."Berita tentang Najwa telah kudengar dari Aidan. Mantan kakak iparku tersebut memintaku untuk datang ke rumah sakit dan menjenguk Najwa yang katanya ... selalu memanggil namaku. Tak aku pungkiri, rasa cemas tentu hadir ketika mendengar berita itu. Apalagi Aidan berkata bahwa kondisi Najwa bisa dikatakan cukup parah. "Biar Mama yang menemani kamu ke sana."Aku bernapas lega ketika Mama bersedia mengantarku. Beliau pasti mengerti bahwa putranya ini agak canggung jika harus datang ke sana sendirian, mengingat statusku dan Najwa yang hanya sebatas mantan. Namun, ada yang sedikit mengganjal ketika mengingat kembali perkataan Aidan. Najwa selalu memanggil namaku bahkan sebelum ia sadarkan diri sepenuhnya. Sebenarnya, ada apa dengan Najwa? Mengapa setelah kami berpisah cukup lama, ia masih saja menyimpan namaku di hatinya?Setengah jam perjalanan terasa sangat cepat. Aku dan Mama langsung menuju ruang rawat Najwa atas petun