Ihsan menyantap suapan terakhir dari nasi goreng buatan Aynur. Rasanya memang lezat. Tak heran Aynur sukses dalam usaha kulinernya. Seandainya perasaan Ihsan tidak sedang dongkol, ia tak akan segan memuji masakan istrinya itu."Gimana? enak?" tanya Aynur ragu. Tak pernah terpikirkan bahwa Ihsan masih mau menyantap makanan dingin itu." Lumayan. Akan lebih enak jika dimakan saat masih panas. Dan... lain kali tak perlu repot-repot menghiasinya dengan telur dan tomat berbentuk hati." canda Ihsan untuk menutupi kebohongannya. Seketika Aynur menunduk dan berpaling karena malu."Sini aku cuci piringnya." ucap Aynur kemudian.Tidak biasanya Aynur mencuci piring milik Ihsan, keduanya juga jarang makan bersama di rumah, tapi kali ini Aynur rela membersihkan alat-alat makan di atas meja. Aynur lantas tersenyum senang, sepertinya usahanya meluluhkan hati Ihsan berhasil. Pria itu tak menanyakan tentang kejadian semalam.Aynur mengelap tangannya yang basah lalu berjalan santai menuju kamarnya."Ma
"Alhamdulillah... Mana istrimu?" Ihsan melihat sorot mata bahagia dan penuh harap dari mata ibunya. Sungguh tak tega Ihsan mengatakan jika Aynur menolak untuk datang. Ia tak kuasa membayangkan betapa kecewanya sang ibu jika mengetahui menantunya tak hadir malam ini."Maaf buk, Aynur tidak bisa datang..."ucap Ihsan akhirnya. Ada gurat kekecewaan terbaca dari raut muka Sarmi, wanita tua yang telah melahirkannya."Lain kali Ihsan akan mengajaknya kesini buk.." Ihsan berkata bohong, ia tak mungkin mengatakan pada ibunya bahwa setelah ini dirinya akan berpisah dengan Aynur."Kalian baik-baik saja bukan? tidak terjadi masalah?" tanya Sarmi seakan bisa membaca pikiran putranya. Ihsan menunduk mengangkat kopernya."InsyaAllah semuanya baik-baik saja buk. Ihsan capek, Ihsan izin mandi dulu." Ihsan mengangguk dan segera berlalu, ia tak ingin semakin larut berbincang dengan ibunya. Semakin ia menjawab pertanyaan tentang Aynur, maka dia harus berbohong lebih jauh lagi.Ihsan berjalan menuju kam
"Apakah mas Ihsan bahagia hidup bersamanya? jawab jujur mas?" Aisyah menatap dalam-dalam pada mata Ihsan. Ihsan terdiam untuk beberapa saat. Batinnya bergejolak, haruskah ia mengutarakan perasaannya saat ini? mungkinkah Aisyah akan menerimanya dan mau memulai semuanya dari awal lagi? Bukankah minggu depan ia akan mengakhiri kontrak pernikahannya bersama Aynur? "Aisyah, sebenarnya aku masih---""Ihsan!! istrimu datang!!" Sarmi tergopoh-gopoh menuntun seorang wanita dengan gamis dan bergo berwarna mocca. Tak ada make up tebal seperti biasanya. Aynur kali ini berbeda dari hari-hari sebelumnya.Ihsan terkesiap melihat kedatangan Aynur.Bukankah seharusnya dia bersama Bobby? bagaimana mungkin dia rela mengorbankan waktu berharganya untuk datang kesini?"Aynur, kamu datang kesini?" Ihsan bertanya lirih, seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat."Maaf, mas. Apa Kamu tidak senang aku berada disini?" suara Aynur bergetar, sejak tadi ia sudah ragu untuk masuk ke rumah mertuanya itu.Ia ter
Ihsan menatap Aynur yang duduk beberapa meter di depannya. Wajahnya terliha menegang. Nissa yang duduk di sampingnya menggenggam tangan Aynur seolah memberi semangat.Apa yang harus aku lakukan? pak Rahmat tak mungkin melepaskan Aynur begitu saja.Ihsan bangkit mendekat pada Rahmat."Maaf pak, istri saya sedang berhalangan saat ini. Tidak mungkin dia membuka kitab," ucapnya lirih.Rahmat menyeringai."Mengapa harus membuka kitab? bukankah dia seorang qiroah? tak sulit baginya memilih salah satu surat diantara 114 surat yang ada di dalam Al-Qur'an. Lagipula tadi sudah saya sampaikan, kalau surat lain terlalu berat baginya, Al Ikhlas pun tak masalah," jelas Rahmat dengan suara lantang. Ihsan menghela nafasnya, Rahmat memang sengaja mempermalukan istrinya. Bisa bisanya ayah Aisyah menyebut Aynur seorang qariah, padahal selama ini untuk menertibkannya membaca iqra' saja sulitnya bukan main. Ihsan kembali terduduk dengan lemas, ia tak tahu harus membantu dengan cara apa.Niat Ihsan memban
Flashback On :Jakarta ( Beberapa jam sebelum Aynur menyusul Ihsan ke Solo)Aynur tidur telentang dengan satu lengan berada di atas kedua matanya yang tertutup, otaknya sedang bergelut memilih antara mengikuti Ihsan atau mengantar Bobby."She!! gimana? belum dapet solusi juga?" Aynur masuk membawa camilan dan dua gelas jus jeruk segar."Gue bingung Va, gue pengen nemenin Ihsan, tapi gue ga mungkin ga nganterin Bobby." Aynur menghela nafasnya sebelum akhirnya duduk sambil memakan camilan yang disiapkan Ziva."Menurut Lo gue harus gimana?"Ziva menaikkan bibir bawahnya dengan dahi berkerut seolah sedang berfikir keras."Gue juga bingung sih, tapi coba Lo pikir deh! misal lo nganterin Bobby, oke Bobby tentu seneng. Namun Lo harus siap dengan segala konsekuensinya. Pertama Lo pasti sulit dapet maaf dari Ihsan, kedua keluarga Ihsan bakalan kecewa sama Lo, ketiga rencana awal pernikahan Lo kemungkinan besar bakal gagal karena Ihsan ga mau nerusin kontrak." Ziva berhenti sejenak lalu kembal
Aynur terbangun oleh suara adzan yang terdengar begitu merdu, suara yang mendayu dan penuh penghayatan sehingga membuat teduh hati setiap orang yang mendengarnya.Subhanallah... sudah lama aku tak mendengar suara seindah ini..Aynur duduk dan melihat sofa dengan bantal dan selimut yang sudah terlipat rapi di atasnya. Ya, semalam setelah pertengkaran kecil terjadi, Ihsan lantas mengambil bantal dan selimut untuk dibawa tidur di sofa. Hati Aynur terasa perih mengingat ucapan Ihsan semalam. Ia meraih ponselnya, mencari cari jadwal keberangkatan pesawat paling pagi hari ini. Jika pemilik rumah sudah tidak menginginkannya, mana mungkin dia tetap bersikukuh berada di rumah itu, ia harus pulang kembali ke Jakarta pagi ini.Aynur memilih jam penerbangan pertama, pukul 7.30 pagi, toh tak ada yang perlu dikemasi, bahkan semua barang-barangnya belum keluar dari koper. Aynur mendengus menyesali kedatangannya ke rumah Ihsan.Tau begini mending gue nganterin Bobby!! gerutunya. Baru saja ia memili
Kriyet... Kriyet...Aynur akhirnya berhasil melewati jembatan bambu, ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sehingga merasakan kelegaan luar biasa di dadanya. Ia menoleh ke belakang, Nissa sudah tak nampak lagi disana.Aynur mengeluarkan ponsel dari kantong rok yang ia kenakan, masih belum terlihat garis-garis sinyal disana. Ia lantas melihat jam di layar handphone yang sudah menunjukkan angka 10.50, ia segera bergegas menyusuri jalan setapak yang tampak sempit karena tertutup batang jagung setinggi 1 meter di kanan kirinya. Kini hanya terdengar suara-suara alam yang meneduhkan, kicauan burung dan hembusan angin membuat nyaman hati siapapun yang mendengarnya. Beberapa meter di depannya Aynur melihat beberapa orang tampak sedang memetik buah jagung. "Mbak, ngirim bekal buat bapaknya, ya?" sapa salah satu ibu-ibu dengan ramah. Aynur membalasnya dengan senyuman."Iya buk, panenannya bagus ya..."Aynur merasa tak ada salahnya sedikit berbasa basi dengan warga kampung, ia
Aynur tersenyum menyadari dirinya yang kini berada di punggung Ihsan. Ia tak menolak perintah Ihsan karena kakinya memang terasa sakit setelah berlarian bertelanjang kaki menghindari kejaran bodyguard Rahmat. Aynur merasa lega melihat sikap Ihsan yang jauh berbeda tak seperti semalam, meskipun sejujurnya ada perasaan tak enak di hati Aynur karena sejak tadi pakaian kotor dan kakinya yang penuh tanah berkali kali mengenai bagian tubuh Ihsan.Beberapa saat kemudian terdengar suara dari perut Aynur. Ihsan tersenyum geli menyadari tangan Aynur yang mencoba menekan perutnya agar tidak berbunyi."Kita istirahat dulu setelah menyeberangi jembatan." ucapnya datar. Ternyata mereka telah tiba di jembatan bambu yang Aynur lewati sebelumnya."Mas, turunkan aku disini. Aku lebih nyaman berjalan sendiri..." pinta Aynur lirih.Ihsan menuruti permintaan Aynur, ia menurunkan Aynur lalu menggandeng tangannya melewati lantai bambu yang berderit setiap ada kaki yang menginjaknya'Gue suka sikap Lo yang s