Satu minggu kemudian, Wanara sudah menjemput Jasena, Sumadra, dan Ki Butrik yang merupakan pengawal pribadinya. Semua atas perintah Ki Ageng Jayamena yang menginginkan kawan-kawannya Wanara berkumpul di desa tersebut dan segera menghimpun kekuatan untuk membentengi diri dari cengkraman penguasa jahat kerajaan Rawamerta.
"Aku berharap kalian ikut ke pulau Jowaraka, ada tugas penting dari guruku!" kata Wanara berbicara di hadapan kawan-kawannya.Belum sempat menjawab, tiba-tiba Resi Wana sudah menyahut dari belakang sambil melangkah menghampiri Wanara dan kedua rekannya."Kalian berangkat duluan! Tujuh hari ke depan, kami pun akan bertolak ke sebrang dan akan ikut berjuang menegakkan keadilan di tanah Jowaraka!" tandas Resi Wana.Wanara dan kedua rekannya langsung berpaling ke arah datangnya pria senja itu. Kemudian, mereka menjura sambil membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada sang guru."Terima kasih, Guru," sahut Wanara."BerangkatlaPada suatu siang, selesai melatih para murid padepokan tersebut, Wanara duduk termenung di sebuah bebalean bambu di beranda barak. Lantas ia memanggil Jasena, Sumadra, dan sekalian memanggil Ki Butrik yang sudah menjadi pengawal pribadinya itu."Duduklah, ada hal penting yang ingin aku bicarakan!" kata Wanara lirih."Baik, Raden," sahut Ki Butrik menjura hormat, dan langsung duduk di hadapan Wanara.Demikian pula dengan Jasena dan Sumadra, mereka pun langsung duduk bersebelahan dengan Ki Butrik. Mereka tampak penasaran menunggu Wanara untuk segera berkata.Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian berkata lirih, "Kita akan membentuk sebuah pasukan yang kuat, agar dapat membela diri bila diserbu oleh pihak kerajaan." Dua bola matanya bergulir mengamati tiga pria yang ada di hadapannya.Kemudian, Wanara berkata lagi, "Tapi aku justru merasa cemas. Bagaimana kalau hal ini diketahui lebih dulu oleh pihak kerajaan? Sedangkan kelompok kita belum mahir dalam berl
Hanya dalam waktu sekejap saja, ia sudah tiba di kuta Sera yang merupakan ibu kota kerajaan Jantara. Suasana kuta tersebut tampak ramai, banyak orang berlalu-lalang di jalanan utama kuta tersebut.Ki Butrik melangkah perlahan sambil mengamati suasana kuta. Sejenak, ia menghentikan langkah."Aku harus segera ke padepokan Resi Wana, kalau lama di sini bisa-bisa aku tergoda dengan makanan-makanan yang ada di warung-warung itu. Sedangkan aku tidak membawa uang sekeping pun," desis Ki Butrik, kemudian, ia melangkah ke sebuah perkampungan yang berada di perbatasan kerajaan Jantara dan Bayu Urip. Tampak di sebrang sungai desa tersebut yang sudah masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip, banyak sekali rumah-rumah yang dijadikan tempat pandai besi untuk produksi senjata tajam."Di sini banyak sekali orang yang mahir dalam membuat berbagai senjata," kata Ki Butrik terus mengamati kegiatan warga yang sedang bekerja membuat senjata-senjata tajam. "Pantas saja desa ini
Sikap pria itu, tentu membuat Ki Butrik semakin geram saja. "Rupanya kalian ini memang sengaja memancing emosiku," kata Ki Butrik tampak marah."Apa yang kau katakan memang benar, kami menantang kalian untuk bertarung," sahut pria paruh baya berkepala botak itu, ia tampak angkuh dan sombong."Baguslah kalau memang seperti itu." Ki Butrik mulai ancang-ancang untuk segera bertarung dengan para pendekar tersebut.Begitu pula dengan Burma dan Wora Saba, mereka pun langsung bersiap untuk segera melakukan perlawanan terhadap keenam pendekar itu.Dengan demikian, pertarungan pun tak dapat dihindari. Mereka langsung mengeluarkan jurus andalan masing-masing, saling memukul dan menendang satu sama lain. Hingga pada akhirnya, Wora Saba dan Burma dapat dijatuhkan oleh lawannya.Dengan kalahnya Burma dan Wora Saba, menjadikan Ki Butrik semakin amarah. Ia langsung membaca sebuah mantra, menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara mengagetkan. Saat itu la
Siang itu, tanpa diketahui oleh rekan-rekannya. Wanara diam-diam berangkat menuju istana kerajaan Rawamerta, ia berniat akan membobol gudang persenjataan istana kerajaan Rawamerta."Tindakanku ini memang salah, niat mencuri ke istana. Meskipun mencuri, aku rasa Dewa tidak akan marah, karena ini untuk keperluan perjuangan melawan kezaliman," ujar Wanara berkata sambil melayang terbang menuju ke arah timur.Setelah tiba di atas atap istana ia langsung meluncur turun, dan mendarat tepat di belakang istana dekat dengan gudang persenjataan. Ia langsung melangkah mengendap-endap."Besar sekali gudang senjata ini," ucap Wanara sambil mengamati bangunan besar yang berada di belakang istana tersebut.Wanara menyelinap ke pojokan dinding gudang persenjataan itu, karena ada dua orang pengawal yang sedang berjaga-jaga di depan pintu gudang tersebut."Aku harus melumpuhkan mereka terlebih dahulu, agar dapat masuk ke dalam ruangan itu," bisik Wanara sambil mengamati gerak
Ternyata apa yang dikatakan oleh Wanara memang benar, di gudang persenjataan tampak lengkap sekali dipenuhi senjata-senjata dari berbagai jenis. Sehingga membuat Jasena dan Sumadra terkejut dibuatnya."Ternyata, Wanara tidak bohong," desis Jasena. "Tapi bagaimana caranya, Wanara membawa ribuan senjata ini?" tambah Jasena bertanya-tanya."Sudahlah, jangan kau pikirkan itu! Kau tahu sendiri ilmu yang Wanara miliki sekarang sudah seperti ilmu Dewa!" timpal Sumadra langsung melangkah keluar dari gudang persenjataan itu.Semenjak itulah, Wanara dan kawan-kawannya semakin bersemangat dalam melatih para murid di padepokan tersebut.Padepokan itu pun sudah diberi nama oleh Wanara sendiri, atas permintaan Ki Ageng Jayamena. Yakni, dengan nama Padepokan Dewa Petir.Jumlah murid-muridnya pun semakin lama semakin bertambah banyak, mereka berasal dari berbagai daerah. Bahkan ada di antara mereka yang berasal dari negri sebrang."Padepokan ini sudah tidak dapat menam
Beberapa bulan kemudian, sekitar seratus pemimpin dari berbagai kepatihan dan kadipaten yang ada di wilayah kerajaan Rawamerta datang menghadap ke Padepokan Dewa Petir untuk memberi penghormatan serta mengangkat Wanara menjadi seorang pemimpin untuk segera melakukan kudeta terhadap kekuasaan Prabu Bagaskara yang mereka nilai sangat tidak berpihak kepada kepentingan rakyat.Sebagai pihak bawahan, para patih dan adipati yang datang itu, berjanji akan membantu perjuangan tersebut, dan akan mengirim upeti setiap tahun, serta bersedia melakukan apa pun yang diperintahkan oleh Wanara."Kami mewakili seratus pemimpin daerah kepatihan dan juga kadipaten serta kademangan-kademangan yang ada di wilayah kerajaan ini. Menyatakan bahwa Raden Wanara resmi kami angkat sebagai pemimpin kami, yang kelak akan menjadi raja di kerajaan ini," tegas Warda Kusuma seorang patih dari wilayah kepatihan Dang Resta.Saat itu bukan hanya para petinggi kepatihan dan kademangan saja yang
Pada suatu siang, selesai melatih para murid di padepokan, Wanara memegang sebilah pedang pusaka miliknya. Pedang pusaka itu adalah pedang peninggalan ayahnya yang dititipkan kepada Ki Ageng Jayamena yang merawatnya ketika kedua orang tuanya sudah meninggal.Setelah Wanara beranjak dewasa, pedang pusaka itu langsung diserahkan oleh Ki Ageng Jayamena."Pedang ini memang sangat luar biasa, tanpa dipergunakan langsung pun sudah dapat melindungiku dari marabahaya," desis Wanara.Kemudian meletakkan pedang tersebut dan ia langsung meraih pedang yang satunya lagi yang ia dapatkan hasil rampasan dari gudang persenjataan istana.Diamatinya pedang tersebut, dalam hatinya Wanara merasa kurang puas pada senjata itu."Pedang ini jelek sangat tidak cocok untukku," desis Wanara merasa ragu dengan pedang yang ia dapatkan dari istana."Pasukan kerajaan Rawamerta yang mempunyai kesaktian tinggi, tidak seharusnya menggunakan pedang seperti ini," sambung
Wanara tiba di pesisir pantai langsung mendarat di tempat sepi jauh dari hingar-bingar penduduk setempat. Hal itu ia lakukan agar tidak membuat warga yang ada di perkampungan tersebut kaget melihatnya terbang."Akhirnya sampai juga," desis Wanara langsung melangkah menuju ke perkampungan nelayan.Ia tampak ceria dengan raut wajah cerah terus melangkah menyusuri pantai menuju perkampungan nelayan.Ketika baru melangkah beberapa tombak saja, tiba-tiba ia dihadang oleh empat orang prajurit kerajaan bersenjata lengkap.Keempat prajurit tersebut kebetulan sedang berada di pantai itu, melihat kedatangan Wanara yang hendak menuju ke arah timur. Mereka langsung berlari mengejar Wanara."Hentikan!" seru salah seorang dari mereka menghunus pedang dan langsung mendekati Wanara.Kemudian menodongkan senjata tersebut tepat mengenai dada Wanara. "Kau mau ke mana?" tanya prajurit itu dengan sikap tegas.Meskipun dirinya sedang dalam keadaan terancam
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan