Wanara tiba di pesisir pantai langsung mendarat di tempat sepi jauh dari hingar-bingar penduduk setempat. Hal itu ia lakukan agar tidak membuat warga yang ada di perkampungan tersebut kaget melihatnya terbang.
"Akhirnya sampai juga," desis Wanara langsung melangkah menuju ke perkampungan nelayan.
Ia tampak ceria dengan raut wajah cerah terus melangkah menyusuri pantai menuju perkampungan nelayan.
Ketika baru melangkah beberapa tombak saja, tiba-tiba ia dihadang oleh empat orang prajurit kerajaan bersenjata lengkap.
Keempat prajurit tersebut kebetulan sedang berada di pantai itu, melihat kedatangan Wanara yang hendak menuju ke arah timur. Mereka langsung berlari mengejar Wanara.
"Hentikan!" seru salah seorang dari mereka menghunus pedang dan langsung mendekati Wanara.
Kemudian menodongkan senjata tersebut tepat mengenai dada Wanara. "Kau mau ke mana?" tanya prajurit itu dengan sikap tegas.
Meskipun dirinya sedang dalam keadaan terancam
Setelah itu, keempat prajurit tersebut langsung pamit dan berlalu dari hadapan Wanara. Mereka tampak ketakutan sekali, dan tidak berani macam-macam lagi terhadap Wanara yang mereka anggap sebagai Dewa yang turun dari langit.Para prajurit itu langsung pulang ke istana dengan menunggangi kuda mereka masing-masing. Mereka hendak melaporkan kejadian yang sudah mereka alami.Sementara Wanara kembali melanjutkan perjalanan menuju ke tempat kediaman Sekar Widuri yang berada di perkampungan nelayan itu.*Setibanya di istana kerajaan, empat prajurit yang baru saja dihajar oleh Wanara langsung melaporkan tentang kejadian yang mereka alami.Mendengar laporan dari para prajuritnya, tentu sang raja sangat murka."Kenapa kalian tidak menangkap pendekar itu?" tanya sang raja dengan suara keras membentak keempat prajuritnya."Mau bagaimana lagi Gusti Prabu? Dia terlalu kuat dan kami tidak dapat melawannya," jawab prajurit itu.Tanpa basa-basi, Prabu Bagaska
Di istana kerajaan Rawamerta hari itu datang beberapa tamu utusan dari kerajaan Jantara. Mereka datang ingin melaporkan pesan dari raja mereka kepada Prabu Bagaskara.Demi mendengar laporan dari para prajurit Jantara, Prabu Bagaskara segera bangkit dan mengajak maha patih serta pengawal untuk keluar menghampiri sang tamu tak diundang itu.Dengan sangat hormat, Prabu Bagaskara menyambut hangat kedatangan para prajurit utusan dari kerajaan Jantara. Ia langsung mempersilahkan tamunya untuk duduk di pendapa istana."Aku persilahkan kalian untuk duduk!" ucapnya dengan tersenyum lebar.Empat orang prajurit tersebut menjura dan membungkukkan badan seraya memberi hormat kepada sang raja. "Terima kasih, Tuan Raja," ucap mereka serentak.Para pelayan pun langsung menyajikan jamuan makan dan minum bagi para tamu-tamu tersebut. Prabu Bagaskara tampak bersikap ramah tidak seperti biasanya yang selalu menampakkan sikap jumawa di hadapan siapa saja.Setelah itu sang r
Namun dalam perkelahian yang semakin sengit, perhatian Jasena dan Sumadra lebih tertuju kepada keempat lawannya. Terkadang, mereka kehilangan pengamatan diri, sehingga Jasena pun sedikit mengalami luka akibat sabetan pedang dari para prajurit tersebut. Meskipun demikian, mereka sangat menyadari keadaan sebenarnya. Maka oleh sebab itu, mereka pun segera menempatkan posisi dan terus meningkatkan alur serangan terhadap empat prajurit tersebut. "Kita harus menyatukan kekuatan!" bisik Sumadra. "Baiklah," sahut Jasena. Kini mereka pun berkelahi secara bersamaan melawan empat orang prajurit itu. "Binasakan saja mereka! Jangan dikasih ampun!" teriak salah seorang prajurit yang merupakan pimpinan di antara empat orang prajurit itu. Mereka langsung menyerang dengan sabetan pedang yang begitu deras mengarah ke tubuh Jasena dan Sumadra. Namun, kelincahan mereka dalam mengolah pedang. Ternyata dapat dimentahkan oleh pergerakan Jasena dan Su
Sore itu, Wanara tengah kedatangan tamu. Mereka langsung diizinkan oleh seorang murid padepokan, untuk duduk di pendapa menunggu Wanara dan ketiga gurunya yang tengah berada di barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena. "Silahkan, Ki sanak duduk dulu di pendapa! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru untuk seger menemui Ki Sanak," kata anak muda itu bersikap ramah terhadap dua tamu tersebut. "Terima kasih, Andika sudah mengizinkan kami masuk ke area padepokan ini," jawan salah seorang di antara dua tamu itu tersenyum lebar. "Iya, Ki Sanak. Tunggu sebentar! Aku akan memanggil Raden Wanara dan guru!" Kemudian, mereka langsung melangkah menuju pendapa. Sementara murid tersebut segera melangkah menuju barak tempat tinggal Ki Ageng Jayamena untuk memberi tahukan tentang kedatangan dua pendekar itu. Tidak berselang lama, Wanara sudah tiba di pendapa bersama Ki Ageng Jayamena. Sementara itu, Ki Wirya Tama dan Resi Wana tidak ikut. Mereka masih ada uru
Pagi itu, Santika dan Sekar Widuri sedang berbincang dengan Wanara di sebuah saung tempat khusus Wanara bersantai. Kedua gadis berparas cantik itu sudah mulai akrab dan tidak bertikai lagi.Hal tersebut membuat Wanara jadi bahagia. Pasalnya, kedua gadis yang ia cintai sudah mulai rukun dan tidak saling berselisih paham lagi, semua itu berkat nasihat dari Resi Wana kepada cucunya–Santika. Ia sedikit banyaknya sudah memberikan nasihat-nasihat yang baik terhadap Santika cucu semata wayangnya."Ternyata mereka sudah berdamai, Terima kasih Dewata agung," desis Wanara dalam hati.Kedua bola matanya terus memandangi wajah kedua gadis yang tengah duduk bersebelahan di hadapannya.Wanara menghela napas dalam-dalam. Lalu berkata lirih, "Kakang merasa bahagia hari ini," desis Wanara sambil berbaring di atas bangku panjang yang terbuat dari kayu.Raut wajahnya tampak berseri, dan memancarkan sinar cerah, secerah langit pada saat itu. Santika dan Sekar Wid
Ketiga orang tua itu, sudah sepakat bahwa mereka menyarankan kepada Wanara untuk menunda niat baiknya itu dalam mempersunting Santika dan juga Sekar Widuri."Kami harapkan, kalian tidak tersinggung dengan keputusan kami ini," ucap Ki Wirya Tama ikut angkat bicara.Wanara mengangkat wajah sambil tersenyum. "Tidak, Guru. Kami sangat mengerti dengan maksud dari kalian," kata Wanara.Setelah selesai membahas mengenai hal tersebut, Santika dan Sekar Widuri kemudian langsung pamit kepada tiga pria senja itu, dan mereka pun pamit juga kepada Wanara untuk kembali ke barak dan beristirahat sejenak.Setelah berlalunya kedua gadis cantik itu, Wanara langsung menggeser posisi duduknya lebih mendekat ke arah guru-gurunya itu. Ia langsung mengutarakan niatnya kepada ketiga orang tua tersebut."Mohon maaf, Guru. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan kepada kalian," ujar Wanara berkata penuh hormat dan bersikap ajrih di hadapan ketiga gurunya."Katakan s
Raksasa itu tertawa. Kemudian berkata, “Sebentar lagi kau akan mati!"Di antara suara tertawa makhluk bertubuh raksasa itu. Suaranya terdengar menggema dan membuat bulu kuduk merinding.Namun, tidak berlaku bagi Wanara. Ia tetap bersikap tenang dan tidak merasa gentar sedikitpun, meskipun menghadapi makhluk yang berwajah menakutkan.Tiba-tiba saja, suara tertawa itu semakin lama semakin banyak entah dari mana asal mereka. Akan tetapi, yang terlihat hanya satu sosok siluman saja.Wanara benar-benar telah terpengaruh oleh banyaknya suara tertawa itu. Karena itulah maka pemusatan perlawanannya menjadi terganggu."Jangan banyak tertawa! Lawan aku jika kau benar-benar berani!" Dengan suara lantang Wanara menantang makhluk itu.Dengan demikian, makhluk tersebut kembali melancarkan serangan ke arah Wanara. Ia terpaksa meloncat mundur dan bahkan kadang-kadang dengan serta-merta ia menyabetkan pedangnya sekadar untuk membebaskan diri dari tekanan siluman i
Setibanya di pendapa istana, Sande Braja langsung mempersilahkan Wanara untuk duduk, "Duduklah, Pendekar! Kau tenang saja, aku ini siluman, tapi aku sangat menghargai bangsamu!" kata Sande Braja lirih."Terima kasih, Raja." Wanara tersenyum. Lalu duduk di hadapan Sande Braja.Setelah itu, Sande Braja segera memerintahkan prajuritnya untuk mengambilkan pedang dan juga memerintahkan prajuritnya segera menjamu tamunya itu. Dengan demikian, kedua prajurit itu langsung melaksanakan tugas dari sang raja."Kau tunggu! Aku akan menunjukkan pedang buatan rakyatku. Jika kau minat, kau boleh membawa pedang itu!" kata Sande Braja.Wanara tidak banyak bicara, ia hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Dalam benaknya tumbuh berbagai pertanyaan terkait dengan ucapan raja siluman itu.Tidak lama berselang, dua prajurit itu sudah kembali ke pendapa. Salah satu dari mereka membawa makanan dan minuman serta buah-buahan segar yang hendak disuguhkan untuk Wanara. Sem
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan