Tiga puluh hari kemudian…
Siang itu, selesai berlatih jurus-jurus yang diajarkan oleh Ki Wirya Tama. Wanara langsung melangkah menghampiri gurunya yang sedang berbincang dengan seorang pria yang kesehariannya suka membantu menggarap sebidang tanah di ladang milik gurunya. Setibanya di hadapan sang guru, Wanara memberi hormat kepada sang guru dan orang kepercayaannya itu, dengan membungkukkan setengah badan."Duduklah!" pinta Ki Wirya Tama tersenyum menatap wajah muridnya."Baik, Guru." Wanara langsung duduk bersila di hadapan sang guru dan bersebelahan dengan pria paruh baya yang merupakan orang kepercayaan gurunya."Bagaimana dengan jurus-jurus yang sudah aku ajarkan kepadamu, Wanara?" tanya sang guru.Wanara tersenyum-senyum. Kemudian menjawab pertanyaan gurunya, "Aku sangat senang karena sudah mendapatkan banyak kemajuan, Guru.""Sekarang aku sudah menjadi lebih kuat, aku sudah bisa menghancurkan batu dengan pukulan tanganku, dan pikiran pun bMalam harinya, Wanara sudah berada di beranda rumah bersama gurunya. Karena malam itu, ia akan menerima ilmu pamungkas dari Ki Wirya Tama.Wanara sudah bersiap menerima pelajaran dari sang guru, ia duduk dengan sikap hormat di hadapan gurunya."Perlu kau ketahui, bahwa ilmu ini adalah ilmu pamungkas yang akan kau kuasai, ada dua jurus yang hendak aku ajarkan. Tapi, kau harus memilih salah satunya! Karena dari kedua jurus ini sudah mempunyai keterkaitan antara satu sama lain," kata Ki Wirya Tama mengawali perbincangannya dengan Wanara."Baik, Guru. Apa saja yang harus aku pilih?" tanya Wanara menatap wajah sang guru. Sejatinya, jantung Wanara sudah berdebar-debar ingin mengetahui jurus apakah yang hendak diajarkan oleh gurunya itu."Yang pertama adalah satu jurus dua kekuatan atau yang kedua satu jurus empat kekuatan. Kau pilih yang mana?" Ki Wirya Tama langsung memberikan pilihan kepada muridnya itu.Tanpa banyak bicara, dan hampir tidak berpikir lagi, Wanar
Esok harinya, ketika matahari baru terbit. Wanara sudah menampakkan wajah mendung di hadapan gurunya, ia merasa sedih jika harus meninggalkan Ki Wirya Tama sendirian."Kau tidak usah khawatir. Barga akan menemaniku di sini. Ingat, harus pulang sekarang, Santika menunggumu!" kata Ki Wirya Tama tersenyum-senyum.Wanara tidak dapat berkata-kata lagi, ia langsung memeluk tubuh pria berusia senja itu. Setelah itu, Wanara langsung pamit kepada gurunya."Aku berangkat sekarang, Guru. Terima kasih atas ilmu yang sudah Guru ajarkan, semoga bermanfaat.""Berangkatlah, dan berhati-hatilah!" kata sang guru melepas kepergian Wanara.Wanara segera melangkah tanpa menoleh lagi ke arah gurunya. Sejatinya, ia merasa tidak tega melihat pemandangan tersebut. Oleh sebab itu, Wanara mempercepat langkahnya agar segera menjauh dari kediaman Ki Wirya Tama."Di padepokan Ki Resi Wana, aku harus mengamalkan jurus pamungkas ini," desis Wanara sambil terus melangkah menyusuri perb
Di suatu sore yang sejuk, Resi Wana mengajak keempat muridnya duduk-duduk santai bercengkerama sembari menikmati keindahan alam saat matahari terbenam di ufuk barat. "Wanara, kemarilah!" panggil Resi Wana."Iya, Guru. Sebentar!" sahut Wanara sambil maju dengan segera menghampiri gurunya.Resi Wana menoleh ke arah Wanara. "Mana pengawalmu?" tanya Resi Wana.Dengan lirihnya, Wanara pun menjawab, "Ki Butrik sudah berangkat ke hutan untuk membantu Wora Saba menebang kayu, Guru."Resi Wana hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, kemudian ia berkata lagi, "Pelajaran jurus pamungkasmu bagaimana, Wanara?""Berkat restu Guru, aku sudah berhasil menguasai semuanya," jawab Wanara dengan raut wajah bahagia. "Sekarang aku sudah bisa melompat tinggi," sambung Wanara."Maksudmu terbang?""Iya, Guru. Kau lihat!" Wanara bangkit dan langsung ambil ancang-ancang kemudian menghentakkan kakinya melompat tinggi ke udara dengan begitu ringan dan mudahnya.
Di suatu hari, bertepatan dengan pergantian musim hujan ke musim kemarau. Wanara dan sahabat-sahabatnya tengah berkumpul di bawah atap pendapa sambil berbincang-bincang."Wanara, nasibmu jauh lebih bagus daripada aku yang lebih dulu menuntut ilmu di sini," ujar Wora Saba tersenyum mengarah kepada Wanara."Kau lebih hebat dariku, Wora Saba," sahut Wanara tetap merendah."Sewaktu di padepokan Ki Wirya Tama, katanya kau diajarkan ilmu pamungkas untuk menghindari malapetaka. Benarkah?" tanya Wora Saba lirih."Iya, itu memang benar. Tapi, belum sepenuhnya sempurna," jawab Wanara. "Kau lihat sendiri, terbang saja aku masih belum bisa tinggi!" sambung Wanara."Intinya kau harus yakin dan jangan putus asa!" Wora Saba senantiasa memberikan dukungan kepada sahabatnya itu."Berkat ajaran dari guru, yang tanpa lelah. Baik itu Guru Wirya Tama ataupun Guru Resi Wana. Keduanya sudah membuat bangkit semangatku untuk menekuni ajaran dari mereka secara terus-menerus sian
Wanara hanya tersenyum-senyum melihat ketiga kawannya sedang bertarung melawan ketiga perampok itu."Aku tidak mempunyai pasangan untuk berkelahi," teriak Wanara."Kau diam saja. Ini urusan kami!" Wora Saba menyahut sambil terus menggempur musuhnya."Ya, sudah. Aku jadi penonton saja!" Wanara langsung melangkah mundur dan duduk santai di sebuah batang pohon yang roboh yang ada di pinggiran jalan tersebut.Setelah lama bertarung. Akhirnya, Wora Saba dan kedua rekannya mendapatkan kemenangan, dengan sangat mudahnya mereka sudah menjatuhkan keempat pria paruh baya itu. Lantas, Wanara bangkit."Hai, Pak tua! Memangnya kalian ini tidak ada kerjaan lain selain jadi perampok?" tanya Wanara berkecak pinggang di hadapan ketiga perampok itu."Tidak ada lagi Raden. Kami terpaksa menjalankan pekerjaan seperti ini," jawab salah satu dari mereka tampak gemetaran, ketika melihat sebuah sinar keluar dari bola mata Wanara."Apa kau bilang? Pekerjaan?!" Wanara menge
Setelah melakukan pendaratan dengan sempurna, Wanara langsung bergegas menuju ke sebuah desa yang ada di tepi pantai tersebut. Desa tersebut merupakan tempat kelahirannya tidak jauh dari perkampungan nelayan tempat Wanara bertemu dengan Jasena dan Sumadra.Tetapi rasanya aneh sekali, karena tak kelihatan satu orang pun di sekitar desa tersebut."Guru! Aku datang!" teriak Wanara dengan suara lantang dengan air muka berseri-seri.Mendengar suara teriakan dari Wanara. Tiba-tiba saja, orang-orang dari desa tersebut keluar dari persembunyiannya, semua beramai-ramai mengerumuni dan mengelu-elukan Wanara."Ternyata, kau Wanara. Kami mengira kau makhluk dari angkasa yang terbang dan mendarat di sini akan membuat malapetaka," ujar salah seorang dari mereka.Kemudian, ada seorang pria berkata, "Wanara, kau tega sekali meninggalkan gurumu seorang diri.""Guruku di mana guruku?" tanya Wanara tampak sudah tidak sabar lagi ingin berjumpa dengan gurunya."Ki Agen
Di atas udara, ia memutar tubuhnya dan melesat ke arah selatan. Dalam sekejap mata, Wanara sudah tiba di sebuah gubuk sederhana milik Ki Ageng Jayamena yang telah lama ia tinggalkan.Matanya yang tajam mengawasi sekeliling rumah tersebut. Kemudian, ia meluncur turun dari ketinggian dan mendarat tepat di hadapan rumah sederhana yang berdiri kokoh di tengah perkebunan pisang yang berjajar rapi di sepanjang jalan dan di bagian sisi kanan dan kiri rumah tersebut.Kemudian, Wanara melangkahkan kakinya mendekati daun pintu rumah itu. Ia tampak ragu untuk mengetuknya. "Apakah guru akan memaafkan aku?" desis Wanara berdiri di balik pintu dengan menampakkan wajah penuh kegundahan.Akan tetapi, rupanya Ki Ageng Jayamena sudah mengetahui kedatangan muridnya itu. Maka dari dalam rumah, ia pun berkata mempersilahkan Wanara untuk menunggunya di beranda rumah."Duduklah, Wanara. Sebentar lagi aku akan keluar!" kata sang guru."I–iya, Guru," jawab Wanara gugup, kemudi
Keesokan harinya, Wanara langsung mendatangi tempat yang dituju. Yakni, barak para prajurit kerajaan Rawamerta yang menamakan diri mereka sebagai prajurit Dewa petir.Ketika sedang terbang, Wanara mendengar suara gaduh orang-orang sedang tertawa. Seperti sedang merayakan sesuatu.Dengan cepat, ia menukik turun dari udara menuju ke arah asal suara itu.''Aku rasa, itu adalah tempatnya," desis Wanara mengarahkan dua bola matanya ke beberapa bangunan barak yang berjajar rapi di sepanjang pantai.Kakinya segera menginjak tanah kembali, tepat di depan deretan barak-barak tersebut. Ratusan prajurit kala itu tengah beristirahat sambil berbincang-bincang, tampak kaget dengan kedatangan Wanara."Hai, pasukan Dewa petir!" seru Wanara.Para prajurit itu tampak ketakutan. Mereka mengira Wanara adalah siluman yang datang dari langit, para prajurit itu hendak berlari masuk ke dalam barak. Namun, Wanara segera mencegahnya, "Prajurit Dewa petir jangan kabur kalian!" be
Setelah berhasil mengalahkan siluman-siluman tersebut, Raja Wanara langsung mengajak para senapatinya untuk kembali ke tenda saat itu juga. Sementara itu, kedua permaisurinya pun sudah terjaga dari tidur mereka, dan tengah menunggu kedatangan suami mereka dengan perasaan cemas. Setibanya di perkemahan, sang raja segera memerintahkan kepada para prajuritnya agar tidak lengah dan bersiaga penuh secara bergiliran. Karena, sang raja khawatir akan datang kembali teror dari para siluman utusan Raja Nainggolo. "Sebaiknya, kalian tetap bersiaga dan berjaga secara bergiliran!" kata sang raja mengarah kepada salah seorang prajurit senior yang bertanggung jawab atas tugas keamanan di perkemahan tersebut. "Baik, Baginda Raja. Hamba akan segera mengaturnya," jawab prajurit senior itu. Malam terasa semakin dingin, suasana pun sudah mulai sepi. Tidak terlalu gaduh oleh hilir-mudik para prajurit, karena sebagian dari mereka sudah terlelap tidur. Dan hanya men
Siluman itu sangat tangguh. Ia dapat bertarung dengan sebaik-baiknya. Meskipun usianya sudah tua, namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing Raja Wanara dengan gerak tipu yang diperagakannya."Kau telah melumpuhkan kawanku, maka terimalah pembalasan dariku ini!" bentak siluman itu bersuara keras dan terdengar parau."Berhentilah! Jangan kau menganggu kami!" Raja Wanara pun balas membentak sambil meloncat tinggi dan memukul keras kepala makhluk tersebut.Sontak tubuh siluman itu terhempas jauh hingga membentur batu padas yang ada di sekitaran tempat tersebut. Akan tetapi, ia tidak menyerah begitu saja. Siluman itu bangkit dan menggeram sambil menatap tajam wajah sang raja, dari mulutnya menyemburkan api bak seekor naga."Hati-hati, Baginda Raja!" teriak Senapati Jasena tampak khawatir melihat pemandangan seperti itu.Raja Wanara hanya tersenyum sambil meloncat tinggi demi menghindari serangan dari siluman tersebut yang menyemburkan api dar
Pada malam harinya, Raja Wanara dan ketiga senapatinya tengah berbincang santai di depan tenda sambil menikmati sajian sederhana yang tersedia di hadapan mereka.Sementara itu, Santika dan Sekar Widuri sudah terlelap tidur di dalam tenda dengan dikawal ketat oleh para prajurit wanita yang menjadi pengawal pribadi sang ratu."Susana malam ini sangat dingin sekali. Akan tetapi, langit sangat cerah dan bulan pun bersinar terang. Sungguh indah luar biasa," desis Senapati Yandradipa mengangkat wajahnya menatap keindahan langit yang tampak cerah itu."Mungkin ini pertanda akan datangnya musim kemarau, setelah lama kita mengalami musim Siak," sahut sang raja sambil menikmati hidangan sederhana yang disajikan oleh para pelayannya.Kemudian, Senapati Jasena menyahut pula, "Iya, Baginda. Sepertinya ini memang sudah waktunya pergantian musim."Raja Wanara menghela napas dalam-dalam, kemudian mengangkat wajahnya dan memandangi langit yang tampak cerah itu, ser
Ketika matahari sudah terik dan terasa panas menyengat. Maka, Senapati Jasena langsung menyeru kepada para prajuritnya untuk segera beristirahat dan mendirikan tenda di sebuah hutan yang ada di bawah perbukitan dekat dengan lembah Kalen Laes yang masih masuk ke dalam wilayah kerajaan Bayu Urip bagian timur."Sebaiknya kita beristirahat saja dulu! Ini adalah tempat yang bagus, sang raja pasti menyukai tempat ini!" seru Senapati Jasena. "Kalian segera dirikan perkemahan dan persiapkan makanan untuk sang raja dan permaisurinya!" sambung Senapati Jasena kepada para prajurit dan juga para pelayan yang ikut dalam rombongan tersebut."Baik, Gusti Senapati," sahut salah seorang pimpinan pelayan tersebut menjura kepada sang senapati.Setelah itu, mereka pun langsung membagi tugas dengan mendirikan tenda terlebih dahulu untuk dijadikan tempat penyimpanan bahan-bahan makanan. Setelah itu, mereka segera mempersiapkan kebutuhan untuk memasak dengan dibantu oleh puluhan p
Setelah kematian Rosapati, akhirnya para pendekar dari gerombolan tersebut, merasakan bahwa mereka telah dikelilingi oleh beberapa prajurit yang kuat. Mereka menyerang dengan begitu semangat dari berbagai penjuru.Demikian pula dengan Senapati Yamadaka dan Senapati Yandradipa, mereka memiliki ketangkasan dalam memainkan pedang mereka. Sehingga lawan-lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuh kedua senapati itu dengan ujung senjata mereka."Kita sudah akal dan cara untuk mengalahkan para prajurit itu, kita tidak bisa lagi melanjutkan perlawanan terhadap mereka. Sebaiknya kita lari saja dari tempat ini! Kau lihat sendiri, Rosapati pun sudah binasa!" ujar salah seorang pendekar dari kelompok pemberontak itu. Ia mulai ragu melihat pemandangan seperti itu.Kawannya itu hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia dan kawan-kawannya tidak dapat membebaskan diri dari cengkraman para prajurit kerajaan Bumi. Lawannya yang mereka hadapi ternyata memiliki
Ketika rombongan Raja Wanara sudah tiba di sebuah hutan yang berada di luar wilayah kerajaan Bumi. Tepatnya di sebuah alas yang masuk ke dalam wilayah kedaulatan kerajaan Bayu Urip, tenyata rombongan tersebut sudah dihadapkan dengan sebuah ancaman dari kelompok kecil yang sering melakukan teror di wilayah kerajaan Bayu Urip. Mereka berusaha untuk melakukan tindakan penghadangan terhadap rombongan Raja Wanara.Para prajurit yang mengawal sang raja tampak siap dalam menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena mereka sudah diberi tugas secara langsung oleh Senapati Jasena pada setiap kelompok yang ada di bawah pimpinan panglima masing-masing. Senapati Jasena telah memerintahkan para prajuritnya untuk melawan siapa saja yang dianggap berbahaya terhadap keselamatan sang raja dan kedua permaisurinya."Siapa mereka?" tanya sang raja mengerutkan kening sambil mengamati puluhan orang bersenjatakan pedang berbaris rapi menghadang di tengah jalan.Kemudian,
Keesokan harinya, Senapati Jasena dan para prajuritnya langsung melakukan persiapan jelang keberangkatan mereka pada hari itu menuju ke wilayah kerajaan Buana Loka, dalam rangka kunjungan persahabatan dari pihak kerajaan Bumi kepada pihak kerajaan Buana Loka yang merupakan sebuah kerajaan sahabat yang kini menjadi sekutu kerajaan Bumi.Dengan gagahnya, ia melangkah menuju ke barak para pelayan yang berada di belakang barak prajurit. Sang senapati langsung menghampiri salah seorang kepala pelayan yang hendak ikut dalam rombongan Raja Wanara."Selamat datang di barak kami, Gusti Senapati," ujar seorang pria berusia sekitar 30 tahun dengan sikap ramahnya menjura kepada sang senapati.Senapati Jasena hanya tersenyum, lalu berkata, "Sebaiknya pedati yang mengangkut barang logistik kebutuhan makanan dan lainnya langsung dikeluarkan sekarang! Tunggu di depan istana, sebentar lagi kita akan segera berangkat!" perintah Senapati Jasena kepada para pelayan istana dan kusir yang
Satu hari menjelang keberangkatan rombongan sang raja. Maka, Senapati Jasena dan dua senapati lainnya yang hendak ikut mengawal sang raja sudah mempersiapkan segalanya yang tentu akan dibutuhkan dalam melakukan perjalanan jauh tersebut."Apakah kita perlu membawa pasukan panah, Senapati?" tanya Senapati Yandradipa mengarah kepada Senapati Jasena yang merupakan panglima senior di kerajaan Bumi."Aku rasa mereka sangat penting untuk dilibatkan dalam pengawalan ini. Kau siapkan 50 prajurit panah yang benar-benar memiliki kemampuan tinggi! Sisanya bawa saja para prajurit campuran dan jangan lupa sertakan lima orang kusir pedati yang akan membawa barang-barang keperluan logistik dan peralatan lainnya!" jawab Senapati Jasena menuturkan.Dengan demikian, Senapati Yandradipa dan Senapati Yamadaka langsung meluncur ke barak prajurit yang berada di belakang istana utama, untuk menyiapkan para prajuritnya yang akan diperintahkan untuk mengawal sang raja dan kedua perma
Pagi itu, Panglima Yandradipa dan Yamadaka sudah berada di ruang utama istana kerajaan Bumi. Mereka datang memenuhi undangan dari sang raja, bahkan dijemput langsung oleh utusan istana yang diperintahkan oleh sang raja menjemput kedua punggawanya ke istana kepatihan Waraya timur."Aku sangat senang mendapat kabar tentang keberhasilan kalian," ujar sang raja tampak semringah. "Oleh sebab itu, kalian aku minta untuk datang ke istana ini. Karena, sang guru sepuh memintaku untuk menganugerahkan gelar kepada kalian berdua," sambung sang raja menyampaikan maksud dan tujuannya dalam mengundang kedua punggawanya tersebut.Panglima Yandradipa dan Yamadaka saling berpandangan, raut wajah mereka tampak semringah. Dengan kompaknya mereka menjura kepada Raja Wanara dan Maha Patih Ramanggala."Terima kasih, Baginda Raja. Ini merupakan bentuk penghormatan Baginda terhadap kami berdua," sahut Panglima Yandradipa sambil membungkukkan badan di hadapan sang raja.Raja Wan