Pagi itu, Dika mendatangi unit apartemen Bella. Ia memencet bel beberapa kali, tetapi gadis itu tidak keluar dari dalam sana. Tangan Dika terkepal kuat-kuat, ia marah saat Bella mengabaikannya kembali.Tangannya mengambil ponsel dari dalam saku celananya, ia menekan nomor gadis itu. Nomornya aktif, tetapi tidak diangkat.Kilatan marah muncul dari matanya, Dika benar-benar yakin jika Bella adalah pelaku di balik ini semua.Tingkah dan sikap anehnya yang ditunjukkan kemarin dan sekarang adalah bukti untuk meyakinkan dirinya bahwa Bella benar-benar pelakunya.Dika tidak bisa berpikir jernih, orang yang paling ia percayai bisa melakukan itu. Bella yang selalu memberikan dukungannya lewat perkataan, tatapannya, sentuhan tangannya, dan senyuman yang menenangkan bisa melakukan hal yang seperti ini.Hati Dika hancur. Ia seketika hilang arah untuk melangkah.Apakah masih ada seseorang yang akan memeluknya ketika ia terjatuh? Apakah akan ada yang mendukung dan membantunya?Dika menghapus sisa-s
Bella sudah bersiap, ia menunggu Dika menjemputnya. Sejujurnya ia khawatir, apa yang akan terjadi saat ia bertemu dengan kepala keluarga Alexander.Berhadapan dengan neneknya saja sudah mmebuat tubuh bella bergetar, apalagi bila berhadapan dengan tetua keluarga lain. Jantung Bella berdebar.Bella menatap jam yang ada di ponselnya, Dika sudah telat 10 menit dari janji awal. Ujung tangannya berniat untuk menghubungi pemuda itu, tetapi ia menggeleng. Ia yakin Dika sedang dalam perjalanan, tetapi ia juga berpikir Dika tidak pernah telat seperti ini.Ponselnya berdering, cepat-cepat Bella mengangkatnya. Ia tidak sempat melihat nama si penelpon, jadi ia langsung memanggil namanya, “Dika? Kamu kok lama?”Si penelpon nampak kebingungan, ia berujar, “Dek?”Suara itu membuat Bella langsung mematikan panggilannya. Tubuhnya bergetar, ia tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhnya yang ketakutan ketika mendengar suara itu.Pikirannya masih teringat jelas setiap kata per kata yang diucapkan oleh si pe
Dika menekan tombol bel, ia menunggu Bella membukakan pintu. Begitu pintu terbuka, Dika mendapati Bella tengah tersenyum menyambut kedatangannya.“Udah dateng? Masuk, yuk!” mendengar suara Bella membuat Dika bersemangat, ia mengangguk lalu mengikuti Bella dari belakang.“Kamu mau minum apa?” Bella menawari, Dika menggeleng.“Nanti aja,” jawaban dari Dika membuat Bella mengerucutkan bibirnya, namun ia tetap berjalan ke dapur kecil untuk membuatkan segelas susu cokelat hangat untuk pria muda itu.Begitu terhidang di hadapannya, Dika langsung meneguknya, Bella meliriknya saja. “Katanya nanti aja ….”Dika tertawa saja mendengar gadisnya menyindirnya, “Udah dibuatin, sayang kalau nggak diminum.” Jawab Dika santai.Bella mengangguk, ia ikut tertawa. Begitu Dika meletakkan gelas kosong ke meja, Bella langsung berujar membuka percakapan, “Gimana keadaan nenek? Kondisinya baik-baik aja, ‘kan?”Dika mengangguk, “Nenek udah baik-baik aja, tapi masih harus dirawat di rumah sakit.”Bella menganggu
Bella duduk di luar bersama anggota keluarga Alexander, Bella berusaha untuk menjauhi dan menjaga jarak dari Gabriella. Ia menyembunyikan wajahnya dengan rambut panjangnya.Dika yang sadar akan tingkah Bella yang aneh, menegurnya, “Kamu kenapa, Bella?”Bella menggeleng, “Nggak, aku mau ke belakang bentar, ya.”Saat Dika mengangguk, Bella berjalan cepat menuju toilet terdekat. Dalam hati ia menyesal sudah ikut ke rumah sakit, ia melupakan tentang saudara sepupu Dika, Gabriella.Hatinya begitu cemas, takut bila Gabriella masih mengingat wajahnya. Saat Bella selesai menyuci kedua tangannya, ia membalikkan badannya. Gabriella berdiri di sana.Jantung Bella berdebar, ia sedikit menunduk dan pergi dari sana.“Wajah kamu nggak asing. Kita pernah ketemu sebelumnya?” ujar Gabriella pelan.Bella membalikkan badannya, ia menjawab sesantai mungkin, “Aku nggak pernah lihat kamu sebelumnya.”Gabriella memandang Bella lamat-lamat, setelah itu ia tertawa. “Kamu adiknya Mark, ya?”Bella membulatkan ma
Bella terdiam untuk sesaat, ia saling bertatapan dengan Mark. “Omong kosong, Mark! Gimana caranya kamu ngelakuin itu?”Mark menjawab langsung tanpa berpikir, “Bareng lo.”Bella semakin dibuat terdiam, “Sebenernya kamu kenapa sih, Mark?”Mark mengalihkan pandangannya, “Gue yang nggak ngerti sama isi pikiran lo! Setiap saat lo nerima tatapan penghinaan dari orang-orang, tapi lo diem aja? Kenapa? Kenapa lo nggak marah?”Bella mengalihkan pandangannya malas, “Aku marah, Mark! Aku marah setiap kali orang bilang kalau aku yatim piatu. Apa yatim piatu itu sebuah kecacatan?”Bella diam, begitu pula Mark, “Aku cuma bisa marah, nangis, terpukul sendiri. Selain itu, apalagi yang harus harus lakukan selain diam dan menerima aja?”Bella menunduk, ujung tangannya menyapu bersih air mata yang mengalir. Selanjutnya, ia menatap Mark sungguh-sungguh, “Jangan buat diri kamu semakin hancur dengan ngelakuin ini, Mark. Kita nggak bisa ngontrol orang lain, tapi yang bisa kita lakukan adalah diam dan membiar
Bella memberanikan diri untuk mendatangi Mark, ia melangkah pelan menuju kamar pemuda itu. Begitu ia berada tepat di daun pintu, Bella menarik nafasnya dalam-dalam.“Mark,” ujar Bella pelan.“Aku mau ngomong,” Bella melanjutkan perkataannya.Pintu terbuka, Mark menatap Bella lalu mempersilahkannya masuk. “Masuk aja.”Bella duduk di kursi, mereka saling bertatapan beebrapa saat hingga Mark memutuskan untuk berucap, “Kenapa lo? Udah berubah pikiran?”Bella mengangguk samar, “Apa kalau ngelakuin itu akan ngerasa bebas?”“Gue nggak tahu, tapi setidaknya itu salah satu cara untuk bebas.” Mark menjawab singkat.“Kalau kita gagal, apa yang akan terjadi?” Bella bertanya sekali lagi, ia masih butuh keyakinan kuat untuk menyetujui rencana Mark.“Lo akan tahu kalau mencobanya.” Bella melemparkan buku yang ada di atas meja hingga mengenai lengan atas pemuda itu.“Kalau kamu jawabnya gitu, aku juga tahu! Maksud aku, kalau kita gagal kita harus apa? Apa kita bakal ketahuan terus ditangkap polisi?”
Saat gadis itu berjalan di koridor sekolah, ia berpapasan dengan Dika. Bella memilih untuk tidak menghiraukannya, tetapi pemuda itu dengan cepat mencekal lengannya.“Kamu kemarin ke mana aja? Aku kemarin ke apartemen kamu, kayaknya kamu pergi seharian, ya? Ponsel kamu nggak bisa dihubungi.” Dika menjelaskan.Bella menjawab tanpa ekspresi, “Aku ada urusan, ponsel aku hilang di jalan.”Dika mengangguk mengerti, ia menyadari jika Bella tidak bersemangat seperti terakhir kali ia bertemu. Dika berdehem, “Nenek udah sadar, mau ketemu nenek?”Bella menghembuskan nafasnya, ia lalu menggeleng, “Aku nggak mau. Kamu nggak denger apa yang aku bilang tadi, aku sibuk. Aku nggak punya waktu, ngerti?”Dika terdiam, ia tidak menyangka Bella kembali akan bersikap seperti ini seperti sebelumnya. Bella menatap tangannya yang dicekal oleh Dika, “Lepasin tangan aku.” ujarnya dengan datar.Begitu Dika melepaskannya, Bella berjalan melewati Dika. Pemuda itu dengan cepat kembali mencekal tangannya, Bella mena
Bella masih terbaring di rumah sakit. Mark tidak memberinya izin untuk pulang terlebih dahulu karena kondisi Bella yang belum stabil.Bella terbaring di atas ranjang rumah sakit, ia menjadikan tangannya sebagai bantalan. Matanya menatap meja kecil di samping ranjang, tiba-tiba air matanya menetes. Ia merasa begitu sepi dan hampa.“Apa aku bisa hidup dengan baik?” tanyanya pada diri sendiri.Bella menghapus air matanya. Tetapi cairan itu masih mengalir deras dari mata indahnya, dada Bella menjadi sesak.Ia masih berusaha mengampus air matanya, tetapi sepertinya usahanya menjadi sia-sia karena air matanya terus saja mengalir tanpa bisa berhenti sesuai keinginan hati Bella.Pintu terbuka, Mark berdiri di sana membawakan sekotak kue stroberi. Mark menatap punggung Bella, gadis itu terbaring memunggungi pintu masuk.Matanya menangkap tubuh Bella yang sedang bergetar, hati Mark menjadi iba. Ia tahu jika Bella sedang menangis. Ujung tangannya menyentuh permukaan tubuh Bella, “Bella, aku bawa
Kesenangan yang dilakukan oleh pria itu membuat kehidupan Bella menderita. Setiap malam, mimpi itu menghantuinya, terkadang ketika ia tengah tertidur secara tiba-tiba ia menangis.Ini sudah satu tahun berlalu sejak kejadian itu, tetapi Bella tetap tak bisa melupakan saat ia diculik, dipukul, dan dikurung. Ia trauma pada setiap orang, ia trauma ditinggal sendiri.Jadi, kehidupan Bella semakin tertutup. Ia tidak bisa berinteraksi dengan banyak orang. itu cukup mengganggunya.Ketika ia memberanikan diri untuk keluar berdiri di tengah keramaian, tubuhnya akan bergetar hebat. Tiba-tiba saja ia akan mual lalu memuntahkan isi perutnya.Bella sudah melakukan banyak cara, tapi rasanya tak ada yang bisa membuatnya sembuh melupakah kejadian itu.Bella menatap jendela kamarnya tanpa menampakkan ekspresi apapun di wajahnya, di tangannya ia tengah memegang sebuah benda tajam.Ia tidak bisa hidup dengan perasaan ketakutan yang menghantuinya setiap saat. Bella tidak bisa hidup sendiri, perasaan sepi
Ingatan hari itu begitu membuat perasaannya terpukul. Saat matanya terpejam, bayangan itu selalu hadir menemani tidurnya. Bukankah itu adalah mimpi yang menakutkan?Saat tengah malam tiba, Bella kerap sekali bangun dari tidurnya. Ia berteriak kencang, bayang-bayangan itu bagaikan monster yang akan menerkamnya kapan saja. Ia tidak akan pernah bisa melupakan itu.Suara pekikkannya membuat pria muda datang mendekapnya, bukannya hatinya merasakan ketenangan, ia justru merasakan perasaan takut yang tidak ia mengerti datang dari mana.Ia berteriak kencang, “Pergi! Jangan pukul aku. Lepasi aku, aku mohon. Aku nggak mau dikurung di sini!”Mark yang tengah bersamanya tak melepaskan pelukannya walau Bella memukul tubuh pemuda itu sebagai bentuk pemberontakkan. Mark tidak akan melepaskan ataupun menjauh, ia akan bersama Bella setiap saat menemani gadis itu hingga pulih.“Sst, tenang. Aku nggak akan mukul kamu, aku nggak akan culik kamu, dan aku nggak akan ngurung kamu. Jangan takut ….”Bella mem
Mark yang baru saja sadar langsung berlari dengan sekuat tenaga begitu mengetahui keberadaan Bella. Tubuhnya masih lemah, bercak darah segar masih menempel di bajunya. Akan tetapi Mark tidak memikirkan itu, tujuannya hanya untuk bertemu Bella saja.Saat tiba di depan pintu yang tertutup rapat, jantung Mark berdebar kencang. Ia langsung mendobrak pintu itu, tetapi tenaganya sudah terkuras habis.Stefene yang datang membawakan kunci segera membuka pintu, saat pintu terbuka mata Mark langsung tertuju pada Bella yang terbaring meringkuk di lantai.Mark berlari cepat mendekatinya. Ia berusaha membangunkan Bella dengan suara seraknya, “Bella, bangun ….?”Gadis itu tak kunjung membuka matanya. Tubuh Mark bergetar, ia langsung saja menggendong Bella membawanya ke rumah sakit.“Siapkan mobil!” teriak Mark dengan suara bergetar.Saat di dalam mobil pun mark Kembali memanggil Bella, air matanya menetes, dadanya kembali sesak. “Bella bangun ….”Gadis ini sama sekali tak menyaut, matanya masih ter
Mark belum juga menemukan Bella, ia sudah berjalan mengelilingi gedung penginapan bahkan sudah memeriksa seluruh kamar dengan kekuatan yang ia punya. Tetapi ia tidak juga bertemu dengan Bella.Mark begitu frustasi sekarang, bahkan ia sudah memerintahkan pengawalnya untuk membawa Dika yang terbaring di jalan.Dika tengah pingsan di jalan, tak ada yang membantunya saat itu. Pemuda itu masih tak sadarkan diri karena dipukuli oleh Mark.Saat pengawal membawa Dika dalam keadaan tidak sadarkan diri, Mark mendekati Dika. Ia memaksa Dika untuk bangun dengan pukulan sekali lagi, “Bangun, brengsek! Udah cukup waktu istirahat lo!”Dika membuka matanya perlahan, ia tersenyum setelah itu. “Lo nggak ketemu Bella?”Mark menatap Dika sisnis, ini mencengkram kerah baju pemuda itu dan berkata , “Bilang sama gue, di mana Bella, brengsek!”Bukannya menjawab, Dika kembali tertawa. Ia mendekati Mark dengan langkah lunglainya, “Gue nggak akan ngasih tahu lo di mana Bella.”Dika kembali tertawa melihat kepal
Mark meminta pengawalnya untuk mencari keberadaan Bella, pasalnya hingga malam tiba gadis itu tak kunjung kembali membuat Mark khawatir padanya.Di tengah kekhawatirannya, Daniel mendatanginya. Pemuda itu bertanya, “Kenapa, lo kayaknya bingung banget?”Mark mengangguk, ia menceritakan bahwa Bella menghilang sejak ia keluar di siang hari. “Bella belum pulang ke penginapannya, dia terakhir keluar tadi siang.”Mendengar itu, Daniel langsung mengeluarkan ponselnya menelpon gadis itu. Hingga deringan ketiga, gadis itu tidak menjawab ponselnya. “Nggak diangkat.” Ucap Daniel pelan.Mark mengangguk, ia juga sudah menelpon Bella sedari tadi, tetapi gadis itu tidak mengangkatnya. Pikiran Mark semakin ke mana-mana, takut-takut terjadi sesuatu pada gadis itu.Mark mendatangi Stefene yang baru tiba, pria dewasa itu tadi keluar untuk mencari Bella, “Gimana, kamu tahu ke mana Bella, Stefene?”Stefene menggeleng lemah, “Maafkan saya, tuan muda nona Bella belum juga ditemukan.”Mark memijat keningnya,
Mark yang menatapnya terus menerus membuat Bella mengalihkan pandangannya. Mark berkata pelan, “Daniel suka sama kamu, kenapa nggak coba pacaran aja sama dia?”Bella sudah menduga jika Mark akan berkata seperti ini, jadi Bella menjawabnya dengan senyuman tipis. “Daniel udah tunangan, nggak mungkin aku iyain dia.”Mata mark Membelalak, “Kalau dia nggak tunangan, berarti kamu mau sama Daniel?”Ucapan Mark membuat Bella memukul lengan pemuda itu pelan, pipinya bersemu merah ia sangat malu sekarang. Mark masih saja terbahak menertawakannya.“Jadi kamu beneran suka sama Daniel?”Pertanyaan dari Mark membuat Bella diam, ia tidak tahu apa jawabannya karena sejujurnya ia tidak mengerti perasaannya sendiri. Saat ia bersama Daniel akhir-akhir ini, ia merasa tenang. Jantungnya berdetak dengan stabil.Namun perasaan itu sama ketika ia bersama Mark, ia pun merasakan ketenangan.Tapi ada yang berbeda, ketika Bella bersama Dika hanya ada perasaan marah di dadanya. Seolah Bella muak pada pemuda itu.
Saat sore tiba, semua murid Lit High School menuju ke pantai menikmat senja di sore hari. Bella berjalan beriringan bersama Mark, tak lupa kepada Stefene, Elard, dan pengawal ikut serta. Hal itu membuat mereka manatap Bella secara terang-terangan.Dalam hati mereka beranggapan bahwa itu semua hanya untuk penjagaan Mark, kekasih Bella. Dengan jelas Bella dapat mendengar mereka membicarakannya bahwa ia hanya memanfaatkan Mark saja.Mark yang sadar itu menatap mereka tajam, Bella langsung menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin ada keributan apapun.Mark berjalan mendahului Bella, ia bersikap seolah kesal pada sikap gadis itu yang hanya menerima saja, bukannya marah dan menjelaskan semuanya.Mark tidak mengerti mengapa Bella masih saja merahasiakan siapa dirinya sebenarnya. Jika mereka tahu bahwa Bella adalah putri dari Wilson, mereka tidak akan memberikan penghinaan pada gadis itu.Rasanya Mark ingin sekali berteriak mengumumkannya, tetapi ia menahannya. Ia tidak ingin membuat Bella mar
Bus sudah berhenti, semua murid sudah turun dari bus. Bella dengan semangat menggandeng lengan Mark, gadis itu tersenyum senang, “Mark, kita udah sampe.”Mark mengangguk, ia sendiri tidak tahu mengapa Bella begitu semangat padahal sebelumnya gadis itu muntah beberapa kali. Tak jauh berbeda dengannya, ia tidak muntah, tetapi tubuhnya begitu lemas.Mark menatap Elard, “Kepalaku pusing.” Katanya.Elard segera memapah tubuh Mark, sedang Bella yang melihat itu mengikuti pemuda itu dari belakang. “Mark, kamu nggak papa? Mau ke rumah sakit sekarng?”Mark menggeleng pelan, “Nggak perlu, aku istirahat aja.”Bella mngerucutkan bibirnya, ia pun mengangguk.Stefene sudah menyiapkan penginapan, jadi Bella dan Mark menuju ke penginapan. Sedangkan teman-teman sekolahnya, mereka juga beristirahat di penginapan yang sudah disediakan oleh sekolah.“Kamu bener-bener nggak papa? Kalau mau ke rumah sakit nggak papa, Mark.” Pemuda itu menggeleng pelan.“Nggak papa, aku cuma perlu istirahat aja. Lagi pula k
Karya wisata tepat dilakukan hari ini. Bella sudah bersiap pagi-pagi sekali, senyuman manis di wajahnya tak pernah sekali pun pudar. Ia begitu menawan.Saat ia keluar dari kamarnya, Mark sudah menantinya di depan pintu. Tidak hanya pemuda itu saja, melainkan Elard dan Stefene pun turut menyertainya.Senyuman Bella memudar, ia menatap mereka bergantian. Lalu mendengus kesal karena kenyataannya ia akan pergi karya wisata bersama Mark, Elard, Stefene, dan beberapa pengawal.Itu adalah pesan dari neneknya kemarin bahwa jika tetap ingin pergi, maka Bella harus ditemani oleh Stefene dan pengawal. Bella setuju, akan tetapi Mark merengek untuk tetap ikut bersamanya. Pada akhirnya, Elard diikut sertakan untuk menjaga kesehatan pemuda itu.Sebelum pergi, Bella berpamitan pada neneknya. Wanita tua itu mengangguk, ia sudah memerintahkan pengawal untuk menyiapkan mobil yang nyaman selama perjalanan. Dalam hati Bella kesal, ia ingin naik bus bersama teman-temannya. Tetapi ia hanya bisa menuruti, ia