"Fuck off," ucap pemilik mata mengintimidasi yang menatapku tajam, meski setelahnya ia hampir jatuh jika badannya yang sudah ditopang tak dipegangi."Bro!"Aku langsung meninggalkan troliku, mendekat pada keduanya dan melingkarkan tangan kekar yang pemiliknya menatapiku dengan tatapan lemah hampir kehilangan kesadaran yang ia jaga."Ugh!" Rintihannya terdengar saat aku menggantikan tanganku menekan area basah yang terasa hangat.Meskipun takut dan tak mengerti apa yang terjadi, aku ikut melangkah masuk ke dalam kamar yang langsung rapat tertutup. "Bisakah kau tekan terus lukanya untuk sekarang? Aku harus menelpon." Aku hanya mengangguk, menekan pinggiran perut yang ototnya terasa keras juga basah karena darah terus keluar. "KAPAN KAU AKAN SAMPAI, HAH! REXY SUDAH KEHILANGAN BANYAK DARAH! JIKA KAU TELAT AKU AKAN MEMBUNUHMU DENGAN TANGANKU SENDIRI!"Teriakan yang dikatakan sepenuh hati itu membuatku menatap punggung tak sabar yang bisa saja membanting ponsel yang sedang ia pegangi. Pr
"Well, aku memang ingin membelimu."Seluruh diriku membisu kaget setelah mendengar ucapan lelaki narsis yang sarkas ini. Mengingat apa yang sudah pernah terjadi di antara kami, rasanya tidak salah jika aku buru-buru keluar dari dalam lift meski ia tidak berkomentar apapun saat Rexy menyebutku dengan Arini, bukannya Mira seperti nama yang terpampang jelas di nametag seragamku. "Young man, Please wait for us!" Tapi, lelaki yang pernah mengabaikan permintaan tolongku ini langsung menutup pintu lift, tidak perduli pada sepasang lansia yang ingin masuk bahkan setengah berlari."Kau lihat setajam apa tatapan mereka pada kita?"'Kita?'Tentu saja kita! Meski aku yang merasa tak tenang, tidak bisa melepaskan lenganku dari genggaman lelaki yang tertawa begitu terhibur."Sir, I-""Oh, come on. Jikapun aku akan membeli wanita saat ini, tentunya-" Ia menatapiku penuh penilaian, pupil matanya bergerak menilai dari ujung kepala sampai ujung sepatuku."-bukan wanita dengan pekerjaan kasar seperti
DING!Aku tak pernah merasa nyaman setiap kali mendengar suara lift yang terbuka.Rasanya, seolah aku diingatkan kembali pada kebodohanku yang terus memandangi pintu lift yang terbuka lebar, berharap Ken ada di antara manusia-manusia yang berjalan keluar.Tapi, pria yang ku tunggu tidak pernah nampak batang hidungnya. Tubuh Ken tinggi, seharusnya akan mudah bagiku menemukannya di manapun, termasuk lift yang terus kupandangi di malam aku tahu ia menghianati pernikahan kami. Namun, malam itu, aku yang seolah bermimpi di dalam kesadaran, tidak pernah melihat suamiku.Bahkan, bayangannya pun sama sekali tak terlihat setelah aku membalas 'ya' pada pesannya yang berkata ia akan menginap di rumah 'ibu'.Tidak satupun dari empat lift yang terus kupandangi setiap kali nada DING! terdengar, mengeluarkan suami yang terus kutunggu.Meski aku tahu apa yang sedang ia lakukan, seluruh kesadaranku hanya berpusat pada pintu-pintu lift yang terbuka, sampai tak menyadari siapa yang memberiku sebotol a
*********************"What the-!"Zander yang manik matanya membesar kaget, menatapi wanita mungil yang tubuh kecilnya akan jatuh dengan mata tertutup, jika Rexy tak sigap. Zander bisa melihat mata sang kakak membesar, meski tak ada kalimat yang bisa ia baca dalam wajah Rexy, kecuali terkejut saat memeluk tubuh mungil yang kehilangan kesadaran.Tanpa kata, Rexy langsung mengangkat tubuh Arini.Sementara Zander hanya bisa bengong, menatap perut Rexy yang pasti merasakan sesuatu yang membuat perutnya sendiri nyeri."Merepotkan sekali," ucap Zander menyusul masuk ke dalam kamar Rexy yang tak terlihat. Hanya ada tubuh Arini yang sudah ditutupi selimut di atas ranjang yang ia perhatikan. "Apa jahitan lukamu terbuka lagi, Bro?" Rexy yang sedang menatap pantulan perban di perutnya menurunkan kaos yang ia naikkan. "Let me call Boris, dia pasti masih ada di sekitar sini. Pemalas itu tidak mungkin mau menerjang badai," ucap Zander yang hanya mendapat lirikan.Tanpa
'Apa yang kehidupan ajarkan padaku?'Aku bisa menjawabnya dengan sangat mudah, "aku harus bersyukur pada apapun yang datang dalam kehidupanku."Kasih dan rasa kasihan karena aku anak yang dibuang saat usiaku masih hitungan hari, harus kusyukuri.Hidup dan tumbuh bersama sepuluh saudaraku meski harus kehilangan salah satunya, aku tetap diajarkan harus bersyukur karena bisa keluar dari rumah pertamaku yang menyesakkan.Meski keluarga suamiku tak menyukaiku, aku harus bersyukur dan terus bersyukur Ken memenuhi hariku dengan tawa dan ketenangan.'Tapi, apa aku juga harus bersyukur atas kematian anakku yang berjuang untuk hidup?'Rasanya ... rasanya kalimat itu bahkan salah untuk diucapkan.Namun, bersyukur untuk apa yang datang menyapaku adalah apa yang kehidupan ajarkan pada diri.Hanya saja, seluruh diriku menolak untuk mensyukuri kematian anak yang akan terus menjadi anakku sendiri. Jika aku bersyukur akan kepergiannya, seolah dengan tanganku sendiri aku menghapus keberadaanya. 'Kala
Aku yang terus berlari baru berhenti di meja resepsionis dan langsung bertanya kapan Arga pergi dengan nafasku yang naik turun."When- when sir Arga checked out?" Ucapku tak perduli pada dadaku yang rasanya terbakar atau nafas dan suaraku yang tersengal."Do you know his full name?" Aku yang nafasnya masih sangat panas jadi tertegun. Selain nama Arga, aku sama sekali tidak mengetahui apapun lagi tentangnya."Than, apa kau tahu di kamar mana ia menginap?"Aku yang menunduk dalam langsung melihat senyum wanita tua yang terasa begitu ramah, bukan karena ia seorang resepsionis yang sikap ramahnya memang sebuah keharusan."His name is Prasetya Arga, he checked-out this afternoon, 16:10," ucap wanita yang tatapannya tak menghakimi diriku sama sekali, setelah aku mengatakan nomer kamar yang bahkan tak jadi kubersihkan karena aku langsung berlari sebisa kakiku memijak.Tidak perduli pada apapun atau siapapun yang melihat!Aku tahu aku akan sangat terlihat aneh, apalagi aku tak berbohong deng
"Hei, apa kau sudah melihat secantik apa ibu dari bocah lucu yang ayahnya kau goda itu?"Aku yang sedang mengisi jadwal hadirku bahkan tak melirik Liyde. Aku hanya terus menulis dan menunggu ia menyerahkan daftar list kamar yang rasanya ingin ia simpan selamanya."Asal kau tahu, Mira, kau sama sekali tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan wanita cantik itu. Aku heran, bagaimana mungkin GM baru kita melirik padamu?""Saya butuh list saya, Liyde," ucapku tak ingin menanggapi."Apa kau tak pernah bercermin, Mira? Atau aku perlu membawa cermin besar agar kau bisa mengaca untuk melihat tampilanmu sendiri." Liyde mendecakkan lidahnya keras," tch, tch, tch! Aku heran bagaimana ada orang yang mau membayarmu yang seperti orang bisu ini? Ataukah ucapan orang benar tentang orang pendiam, mereka liar di atas ranjang."Aku hanya terus diam, membiarkan wanita tua yang terus memegang daftar list-ku bicara semau otaknya berpikir. Toh, tidak ada gunanya aku membantah, saat aku yang sudah pernah m
"Ken, cepatlah, aku bosan makan di kamar setiap hari."Ah, suara Anggita masih sama. Terdengar begitu manja dan riang. Apalagi tawanya yang seolah ingin ia pamerkan pada dinding bisu saat Ken yang keluar ia rangkul."Apa sih, yang menahanmu di dalam, Ken?"Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku yang sudah jongkok, melindungi diri di samping troli kecil yang berisi bubur.Tidak ada manekin yang akan menertawaiku di sini.Tidak akan ada pegawai toko yang menatapku penuh curiga saat ini.Tidak ada topi kebesaran yang akan bisa menyembunyikan sebagian tubuhku detik ini.Yang ada hanya troli kecil yang begitu enteng meski ada semangkuk bubur panas di atasnya. Tapi, 'kenapa aku harus selalu sembunyi?'Kenapa aku bahkan menahan nafasku agar tidak terdengar?Kenapa hatiku masih merasa sakit saat aku tahu, lelaki yang tangannya digandeng begitu manja itu tak lagi memintaku membersihkan kamarnya?'Bukankah seharusnya aku sadar? Sadar bahwa aku tetap pemain pembantu dalam cerita kami.'"Stt,"
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.