Aku bersyukur sarapan kami tak berakhir buruk. Meski Arga dan Ken masih menunjukan tatapan tidak bersahabat satu sama lain, setidaknya tidak ada layangan tinju ataupun kata yang akan membuat telinga memanas."Terimakasih, sudah ngajak Om sarapan bubur ayam," ucap Arga menjajarkan kepalanya dengan pandangan Banyu.Bocah lelaki yang menghabiskan dua mangkuk bubur dan tiga sate telur ini mengangguk dengan pipi bersemu. "Sama-sama, Om Arga," jawab Banyu yang rasanya sangat tidak terbiasa dengan pujian yang benar-benar tertuju untuk dirinya.Bocah kecil ini bahkan memegang bajuku seolah ingin mencari dukungan untuk rasa apapun yang sedang ia rasakan."Saya harap anda menikmati makanan pinggir jalan ini, Tuan." Arga berdiri menjajarkan pandangan dengan lelaki yang membuatku mendongak untuk melihat tatapan macam apa yang sedang keduanya perlihatkan pada satu sama lain."Saya yang seharusnya berterimakasih karena anda mengajak kami makan di sini, Tuan," ucap Ken menjulurkan tangan yang Arga
Plakk!!"Benalu!"Pipiku yang berdenyut terasa panas, tapi aku hanya bisa diam tak menyangka ibu akan langsung menamparku begitu keras dan sepenuh hati. Daripada sakit, aku lebih-lebih merasa kaget dengan apa yang ibu lakukan. Wanita yang tidak pernah memandangku dengan ramah ini ucapannya memang tajam. Namun, baru kali ini ia mengangkat tangannya untuk menyentuhku.Kurasa, inilah yang membuatku diam tak melakukan apapun, meski bagian dalam pipiku terasa perih. "DASAR BENALU TIDAK TAHU DIRI!"Tanpa membiarkan diriku bereaksi, ibu langsung mencengkeram lenganku, menarikku begitu kasar."KELUAR DARI RUMAH PUTRAKU!"Aku tidak tahu kenapa aku menurut saja saat ibu menyeretku keluar. Kakiku hanya melangkah tanpa perlawanan ataupun ingin melakukan penolakan. Dan begitu kami ada diluar, ibu melemparku begitu saja sampai tubuhku terhuyung. Beruntung aku tidak jatuh dan terduduk di atas lantai dingin. Lantai bisu yang hanya bisa melihat dua manusia yang alas kakinya menginjaki."Seumur hidu
"Wulan?"Aku yang berpikir sama dengan ibu menatap Arga. Lelaki yang wajahnya belum bisa kulihat meski lengannya masih kupegangi."Apa maksudmu?"Arga tampak kaget saat mendengar ucapan ibu. Saat ia menoleh ke belakang, aku tahu kalimat yang baru saja ia ucapkan adalah sesuatu yang tidak ingin ia sampaikan.'Setidaknya tidak dengan cara seperti ini.'"Apa maksud ucapanmu? Apa hubungan anak buangan ini dengan Wulan?"Arga tak perduli pada tanya ibu yang menuntut jawaban. Ia terus memperhatikanku yang diam karena aku bahkan tak tahu apa yang sedang kurasakan, kecuali sadar ia mengetahui apa yang tidak kuketahui.Jikapun tante Wulan tahu tentang siapa diriku, tapi ..., 'bagaimana- bagaimana ia bisa tahu? Aku tidak mengenalnya selama hidup kecuali Tante Wulan adalah ibu dari Anggita. Bahkan suaminya saja aku baru melihatnya saat aku bertemu dengan ibu di mal ... jadi bagaimana tahu tentang diriku?' Kepalaku jadi terasa pusing seketika. Dulu, tepat sebelum aku bertemu dengan Anggita. Aku
'Jika saja aku bisa tak perduli pada rasaku seperti yang sudah-sudah, akan sebaik apa itu terasa?'Tapi, isakku malah makin terdengar saat Arga menarikku dalam pelukannya. Ia tak perduli bagaimana tanggapan Ken yang terus berdiri melihat kami tanpa protes. Meskipun aku tahu, suami yang kutinggalkan lima tahun lalu ini, dipenuhi tanya yang hanya ia simpan untuk diri.---------------------------Zraaasss!!Suara shower menggema dalam kamar mandi yang airnya sedang kubasuhkan pada wajah. Mataku begitu sembab, perih dan merah.'Sungguh kombinasi yang tak akan bisa kututupi sekalipun aku mengompresnya, bukan?'Orang yang mengatakan perasaanmu akan lebih baik jika menagis, pasti tidak pernah benar-benar bersedih, karena perasaanku tak lebih baik sedikit pun, apalagi saat aku menatap pantulan diri dalam cermin westafel.Yang kulihat hanya ... kosong. Seolah ada lubang yang begitu terasa meski tak nampak saat aku melihat manik mataku sendiri.Tok! Tok!Ketukan pelan membuatku menatap pintu
"Ken, aku ... aku sudah mengajukan gugatan perceraian untuk kamu."Apa suaraku bergetar? Ya.Apa tanganku gemetaran? Ya.Apa kakiku terasa lemas? Ya.Apa debaran jantungku keras? Ya.Aku merasakan semua itu! Tapi, ada sesuatu dalam diri yang merasa lega aku mengucapkan apa yang sudah kukatakan. Meskipun, aku tidak tahu kenapa bibirku bisa mengukir senyum untuk kalimat yang seharusnya tidak mampu ketertawai. Sampai wajah Ken terasa berbayang dan mataku tergenang dengan air yang terasa begitu menyakitkan. Sangat-sangat menyakitkan.Ken diam, menatapiku dengan wajah yang tak mampu kugambarkan.Apa yang sedang ia pikirkan kini? Apa yang sedang ia rasakan saat ini? Kalimat apa yang akan ia ucapkan setelah ini? Atau reaksi macam apa yang akan ia berikan?Tapi, Ken tidak mengatakan apapun. Ia justru menarikku dalam pelukannya. "Ken ... ayo kita akhiri segalanya."Hanya kalimat ini yang mampu kuucapkan pada Ken yang tetap tidak bersuara. Lelaki yang bibirnya terus membisu ini hanya menari
"Apa salahnya dengan membuang anak yang tidak diinginkan siapapun ke tempat sampah?"Aku hanya bisa menatap nanar wanita paruh baya yang memegangi cincin di jari manisnya itu. Sementara wajah suaminya begitu jelas tercetak di pelupuk mataku.'Apa yang salah?''Karma?' Nyut!Rasanya sesuatu menghantam kepalaku begitu keras meski aku tetap berdiri dengan memegangi pundak Banyu. "Jika kehadiranmu hanya untuk mengingatkan apa yang sudah kulakukan, apa harus kamu menyakiti putriku?"'Menyakiti ... siapa- Menyakiti Anggita?'"Jika kau memang datang untuk mengingatkanku pada apa yang sudah kulakukan, seharusnya kau datang padaku bukan pada kehidupan putriku."Aku bisa merasakan jalan nafasku terganggu, tapi apa perduli wanita di hadapanku ini, saat kalimat yang ia ucapkan begitu entengnya seolah tak perduli bagaimana diriku menerima."Tapi, kenapa kau harus datang dan menyakiti putriku. Putriku tidak tahu apa-apa, tapi kenapa kau harus datang dan menyakitinya seperti ini?"Tubuh Banyu berg
"Aku ... aku tak ingin jadi manusia yang tidak menyukai anak ini, Arfan."Pria yang namanya kusebut dengan nama lain ini menoleh padaku."Saat ini aku benar-benar tidak tahu apa yang sedang kurasakan.""Apa kamu jadi membencinya?"Manik mataku yang masih tersembunyi di balik kacamata, membesar. Seluruh diriku menyadari berat tubuh Banyu yang tangannya terus melingkar erat pada leherku. Pelukan yang rasanya harus ia lakukan untuk mencari tempat aman.Tempat aman yang bisa membuat Banyu bersembunyi dari rasa tak menyenangkan. Rasa bersalah pada wanita paruh baya yang melihat sekotor apa tangan Banyu karena bermain pasir basah. Rasa takut yang membuat tubuh kecil Banyu menegak setegak-tegaknya seolah itu sebuha keharusan.'Apa aku jadi membencinya? Membenci ... Banyu?'Tanganku yang memeluk Banyu berhenti bergetar, begitupun seluruh tubuhku yang lemas.Tanganku masih merasakan setegang apa pundak kecil yang menyembunyikan tangan kotornya di belakang tubuh, saat menyadari keberadaan tant
Lorong tempatku berdiri jadi terasa berbeda ketika Ken menatapku.Sementara Tian yang manik matanya tak mau diam di tempat sama, membungkuk. Menyapa ku juga Arga yang tangannya menahan pintu.Semetara dua lelaki dewasa di samping kami hanya melempar pandangan tanpa kata."Uhuk! Uhuk!" Suara batuk yang gerdengar disengaja itu membuatku menatap Tian, aku tidak sendiri tentu."Maaf," ucap lelaki yang wajahnya tak menunjukan penyesalan sedikit pun itu. "Apa kamu baru pulang bermain?"Banyu yang masih dalam gendonganku mengangguk pada tanya Tian. "Iya. Banyu sama Tante main di rumah Om Arga," jawab Banyu dan tersenyum saat tangan Arga mengusap kepalanya.Aku bisa melihat kekhawatiran dalam mata Tian yang menunjukan kepanikan saat melirik Ken yang masih diam."Apa ... saya sebaiknya pulang, Tuan?" Tanya Tian pada Ken yang meliriknya sesaat. "Apa kamu lupa tujuanmu kemari?""Ah," balas Tian yang pasti mengingat apa yang ia lupakan."Kalau begitu, apa saya boleh masuk dulu atau ... anda i
***********************Selembar surat.Hai, onty Mira.Well, emm... Aku sudah lulus sekolah per-surat ini sampai padamu. Sementara Ben masih sedang mempersiapkan diri untuk ujian penerimaan siswa baru hmmm... kuharap ia diterima. Well, aku dan Muray mommy tahu ia akan berusaha yang terbaik.Oh, apa rajutan baju dan syal yang Rose kirim sudah sampai padamu? Ia menanyakan satu hal itu setiap hari. Sampai aku bosan rasanya (just kidding lol).Apa kau tahu onty? Sidney hamil anak ke 3 dan uncle Carter begitu senang sampai tak perduli pada gosip yang beredar tentang seproduktif apa dirinya. Huh! Sungguh para penggosip tua yang suka sekali membicarakan orang lain!Jika kota kecil ini bukan tempat yang indah, kurasa aku dan Ben tidak akan betah tinggal di sini (this is a BIG lie, ok?) Karena aku suka sekali dengan sandwich tuna buatan nyonya Li. Ia titip salam untukmu by the way.Oh, apa kau tahu onty? Banyak turis yang datang untuk bermain ski berkat resort baru milik kakakmu. Hmm... Ia
Hujan masih saja turun dengan deras. Rintiknya begitu ruah bahkan tak mau berhenti saat tubuh tanpa nyawa ditimbun tanah merah yang juga basah.Apa dunia sedang ikut berduka untuk terlepasnya sebuah nyawa dari raga? Siapa yang tahu. Yang jelas, empat orang penggali makam akhirnya bisa pulang ke rumah mereka dengan mengantongi lembaran rupiah.Senyum syukur yang mereka pancarkan tidak ada hubungannya dengan punggung sepi yang menatapi makam dengan nisan baru. Obrolan mereka yang meninggalkan area makam, tak memiliki korelasi apapun dengan sorot mata yang sedang lelaki pemilik barisan gigi paling rapi tunjukan. Mungkin satu-satunya penghubung mereka dengan lelaki itu hanya cipratan air yang membawa tanah pada sepatu pun ujung celana.Entah kalimat apa yang ia ucapkan pada makam yang diguyur hujan itu. Rintik dan tetesan air dari langit seolah tak membiarkan telinga manusia mendengar apa yang lelaki pemilik barisan rapi itu sampaikan.Pun, gerakan tubuhnya yang akhirnya berbalik lal
Pernahkan kamu merasa ingin mati sampai tak bisa melihat dirimu membayangkan hari esok? Pernahkan kamu dikhianati duniamu sampai bernafas saja terasa sesak?Pernahkan kamu merasa dirimu jadi manusia paling bodoh hanya karena mengikuti kata hatimu? Pernahkah kamu merasa sendirian diantara tawa menggema yang bahkan matamu lihat dan menyentuh kulit telingamu yang tipis?Jika tidak pernah, jangan berani-beraninya menyalahkan pilihan yang ku ambil. Aku adalah anak yang tumbuh dengan tuntutan orang tua yang lupa jika sentuhan hangat itu hal yang penting. Aku adalah anak yang tidak diajari untuk mengasihi orang lain jika orang itu tidak mampu memberiku sesuatu.Aku adalah anak yang diajari semua yang kumiliki ada harganya termasuk kehidupan nyaman yang merenggut senyum polosku. Apa aku melawan? Tidak! Karena menjalani hidup seperti itu adalah apa yang dunia kenalkan padaku! Sampai datang hari dimana seseorang bertanya, 'apa aku bahagia?'Ah, andai saja aku tidak diam seolah kalimatnya
PRANGG! Bunyi cangkir yang jatuh bersama isinya itu membiat suster Yuli menoleh pada wanita yang berdiri langsung menatapi pintu.Suster yang dengan senang hati menerima tawaran Arga untuk merawat Anna ini, menatap Anna yang tangannya terkepal saat Arga masuk membawa tubuh wanita yang tangannya lunglai di udara. Tanpa kata, Arga langsung meletakkan tubuh Arini di atas lantai dingin di hadapan Anna. Wanita paruh baya yang dulu mengambil dirinya sebagain anak dengan syarat, Arga harus melupakan masa lalu. Hal yang tidak akan pernah bisa Arga lakukan meski ia begitu pandai bermain lakon."Aku ingin ibu mengenalnya, Bu," ucap Arga mengusap pipi Arini. Begitu lembut dan penuh rasa.Tatapan yang tidak pernah Anna lihat dari anak yang ia rawat dan besarkan dengan segala tuntutan kesempurnaan tanpa cela."Namanya Arini, Bu, usianya 28 tahun," ucap Arga masih menatap Arini dengan pandangan yang begitu lembut.Pandangan yang masih tersisa saat ia mendongak menatap sang ibu yang menahan nafany
Aku tidak lagi bisa melihat Banyu karena mobil yang kunaiki tenggelam semakin dalam, sementara air yang masuk dari celah-celah mobil sudah menenggelamkan separuh lututku.Bohong jika aku tidak merasa takut saat air dingin danau semakin menenggelamkan kakiku. Dan akan terus naik sampai tak ada lagi ruang tersisa untuk udara.Menenggelamkan apa pun yang ada di dalamnya termasuk diriku.Aku bisa merasakan punggungku berkeringat meski seluruh tubuhku merasa dingin. Rambut-rambut halusku berdiri sementara tanganku yang gemetar kutahan untuk menurunkan jendela karena itu satu-satunya jalan keluarku.'Apa aku menyerah pada hidupku?'Kurasa iya, aku menyerah untuk hidup. Tapi, bukan karena aku ingin mati. "Ingin mati?" Ucapku menatapi tanganku yang gemetaran. Bahkan tremor yang kulihat tidak berhenti ketika kedua tanganku, kusatukan. Rasanya ... rasanya aku bisa melihat akan berakhir seperti apa diriku. Sendirian di dalam mobil yang akan jatuh ke dasar danau. "Apa akan ada orang yang menem
****************"Kenapa kau begitu keras kepala bertahan untuk hidup?"Suara yang terdengar begitu putus asa itu terdengar di dalam kamar penuh barang pecah yang sengaja di banting, dilempar, dihempaskan semau tangan yang memegangnya.Tangan gadis muda dengan wajah kuyu yang terlihat begitu lelah apalagi saat memandang perutnya yang membuncit."Kenapa kau begitu keras kepala untuk hidup?" Ulang gadis muda itu dengan mata menatap perutnya sendiri. Ia seolah sedang mengajak bicara bakal manusia yang tumbuh dengan sangat baik meskipun sudah banyak cara dan usaha ia upayakan agar janin yang tumbuh sehat di dalam rahimnya mati. "Apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak akan pernah menerima kehadiranmu, aku tidak akan mau menerima keberadaanmu dan aku tidak ingin kau hadir dalam kehidupanku.""Apa yang kau harapkan dengan bertahan, hah? Kenapa kau tidak mati saja?"Anna, gadis dengan wajah begitu kuyu itu menatap wanita lain yang masuk ke dalam kamarnya setelah men
"Kamu harus menghilang, Arini."Aku yang matanya membesar hanya bisa menatap Anggita dengan waspada. Sementara Anggita berjalan mendekati dapur, mengambil pisau yang membuat ku berteriak seperti orang kesetanan saat ia menghampiri kamar."JANGAN, ANGGITA! JANGAN LAKUKAN! AKU AKAN PERGI! AKU AKAN PERGI! ANGITA!"Brug! Aku yang berteriak bahkan jatuh tersungkur bersama kursi yang membuatku makin tak bisa bergerak saat Anggita mengangkat tubuh bulat Banyu yang tangannya jatuh lunglai."KEN! KEN!"Sampai aku tidak tahu kalimat apa saja yang kuteriakkan dalam ketakutan saat Anggita mengangkat tubuh kecil Banyu lalu menggendongnya dan menghampiriku yang terus memohon."Kenapa kamu menangis, Arini? Aku tidak akan menyakiti Banyu."Aku berusaha menghentikan isakku. Sementara mataku menatapi Anggita dengan permohonan yang terpancar dari seluruh diri. "Aku hanya membawa Banyu agar kamu tidak macam-macam."Aku benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang Anggita katakan, saat tangannya yang m
Nyut!!Kepalaku begitu sakit. Mungkin karena aku belum tidur sama sekali.Nyut!!Tidur? Ah, iya. Aku baru tidur tiga jam kurang sejak kemarin malam. Pantas saja kepalaku berdenyut-denyut.Nyut!"Kemarin?" Rasanya aku mengucapkan kalimat itu dengan otak yang berpikir, sementara mataku masih terpejam rapat.Bukan hal biasa, karena setelah aku menelan obat agar bisa tidur, tubuhku akan terbangun lebih dahulu dibandingkan mata. tapi, aku yang masih belum mampu membuka mata merasakan rasa tak biasa. Rasa yang membuat seluruh diriku merasa waspada.'Waspada? Waspada pada apa?' Aku yang rasanya tidak bisa menggerakkan tubuh ingin membuka mata. Tapi, mataku yang rapat terpejam terasa begitu berat sekedar untuk kuangkat.'Apa yang terjadi?' Aku yang kesadarannya belum sepenuhnya bangkit, bisa merasakan dahiku berkeringat. Sementara dadaku berdetak begitu cepat. Otakku menggali memori. Aku yang keluar dari rumah Arga bertemu dengan Nabila juga wanita tua yang kembali terkejut menatapiku, 's
Aku yang memutuskan memejamkan mata, bisa merasakan langit gelap semakin cerah. Dan benar saja saat aku membuka mata, langit pagi yang mendung sudah lebih terang. "Ga," panggilku pada lelaki yang kepalanya sudah bersender pada kepala sofa. Sementara tangannya yang memeluk pundakku sudah meregang.Aku menarik nafasku dalam, menatapi lelaki dengan barisan gigi rapi yang masih lelap tertidur. "Aku pulang dulu, terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku," ucapku menyentuh pipi Arga lalu bangun dari sofa yang membuatku sadar bokongku kebas. Aku menghampiri pintu yang semalam kubuka dengan password yang Arga berikan padaku, lalu membuka pintu yang otomatis tertutup begitu aku sudah keluar. Lorong tidak begitu sepi, aku bisa melihat dua anak berseragam SD berdiri di depan lift sementara empat orang dewasa di samping mereka bercengkrama. Dari lorong lain aku bisa mendengar suara langkah terburu-buru yang lalu bergabung dengan kumpulan manusia yang sudah berkumpul menunggu lift terbuka.