"Jangan teriak, Pak. Adek bayi lagi tidur. Pak, selama ini, sudah berapa kali, Mas Helmi menyusahkan kami, terutma Bapak? Sudah puluhan kali. Dari ia masih sekolah sampai setua ini. Kami hanya ingin memberi efek jera pada Mas Helmi. Mbak Ratih melarang bukan karena ia tega, tapi karena ia pun merasa kesal dengan kelakuan adik iparnya. Bapak hitung saja, sudah berapa uang yang dikeluarkan oleh Mbak Ratih untuk Mas Helmi?""Itu kan juga uang Cahyo." "Bapak lupa, jika butik Mbak Ratih sangat ramai sewaktu di Bangka? Mas Cahyo hanya punya ruko pakaian yang disewakan sebulan sebesar satu juta lima ratus. Mas Cahyo pun di sana ikut mengelola bisnis Mbak Ratih, sementara pekerjaan sampingannya hanya tukang antar paket. Jadi, tujuh puluh lima persen keuangan mereka itu dari Mbak Ratih." Pak Burhan nampak diam sebentar, tangan Fira masih tertaut erat di tangan Pak Burhan. "Pak, jangan begini. Fira pun mendukung usul dari Mbak Ratih karena tak ingin kejadian lalu terulang lagi." "Betul kata
Semenjak pulang, sifat dan sikap Mas Helmi jauh berubah. Ia lebih sayang keluarga dan juga jadi pengertian. "Pak, ayo kita cek gula," ucap Mas Helmi saat berkunjung ke rumah. Sekarang, ia bekerja di toko perabotan milik mertuanya Mbak Imah. Ya, seperti dulu. Cuma bedanya, sekarang ia ikhlas dan senang menjalaninya. "Memang sudah tanggalnya, Nduk?" tanya Bapak padaku, karena memang sudah waktunya. "Harusnya sih besok, Pak. Cuma kalo mau sekarang sih ga papa. Mumpung Mas Helmi ngajakin. Lagian besok Fira ga bisa nganterin, Ataya kan lagi sakit," ucapku. "Ya sudah, Hel, nanti sore aja." Tak lama kemudian, Ibu datang membawa pisang goreng buatannya. Ibu dan Bapak sudah rujuk kembali dan hidup bersama denganku. Tadinya, Mas Cahyo meminta kedua orang tua kami tinggal bersamanya. Tapi aku tak mau. Mungkin karena sudah terbiasa, akan ada yang hilang saat mereka tak ada. Seperti saat minggu lalu Bapak dan Ibu menginap di rumah Mas Cahyo, aku susul ke sana karena sudah tiga hari tak pul
Tak ada jawaban apapun darinya, ia malah langsung naik ke mobil dan meletakkan Ataya di jok kemudi. Ya Allah, ada apa dengan Mas Lian? "Itu si Ataya dibawa, gimana caranya ngebawanya, Fir? Kalian ada masalah?" tanya Mbak Ambar. Aku menggeleng. Masa iya Mas Lian marah padaku hanya karena meninggalkan Ataya sendirian. Memang bukan 'hanya' sih, apalagi kening ataya sampai benjol begitu. "Tadi, Ataya jatuh, Mbak." "Hah? Dari tempat tidurmu?" tanya Mbak Ambar. Ia pasti tengah mengira jika Ataya jatuh dari sana. "Bukan. Dari situ." Aku menunjuk kasur lipat tempat biasa kugunakan untuk mengganti baju Ataya. "Lah terus, Lian marah kaya tadi?" Aku mengangguk. "Walah, si Lian. Mbokya apa-apanya diselesaikan dengan kepala dingin gitu, loh. Sekarang, kalau Atayanya lapar dan haus gimana? Sedangkan pabrik susunya masih di sini?" Ah, iya, benar! Untuk apa aku berdiam diri? Ck, begitu saja kamu tak bisa berpikir, Fira! Dasar lamban! Aku segera berganti pakaian, lalu menyabet kunci motor da
Setelah mendapat telepon dari Mbak Ambar, aku segera pulang. Kuminta Mas Lian untuk segera mengemudikan mobilnya. "Ada apa memangnya, Dek?" tanyanya. "Nggak tahu, Mas. Mbak Ambar nelepon, katanya Bapak kenapa itu." Tanpa berkata lagi, Mas Lian segera mengemudikan mobilnya menuju rumah. Sepanjang perjalanan, hatiku rasanya tak tenang. Apalagi, bukan sehari dua hari aku mengurus beliau. Ckiit! Jantungku berdetak keras saat Mas Lian menginjak rem dadakan. Jantungku rasanya hendak melompat, begitupun dengan Ataya yang langsung menangis karena aku terdorong ke depan. "Ya Allah, maafin Mas, Dek!" "Hati-hati, Mas! Ada apa?" "Sepertinya ada kucing di depan." Mas Lian segera duduk, hatiku semakin dilanda rasa tak enak. Apalagi Bapak mengeluh tak enak badan tadi pagi. Kepalaku berdenyut seketika. "Gimana, Mas?" tanyaku begitu Mas Lian masuk lagi ke dalam mobil. "Gapapa, Dek. Untungnya si kucing nggak papa." "Alhamdulillah. Ya sudah, ayo cepetan nyalain mobilnya, Mas." Akhirnya mobi
"Sabar, Mas. Ingat, jangan saling menyalahkan. Toh belum tentu juga jika Mas Cahyo mengantar, lalu masih hidup. Ini tentang takdir, Mas. Perkara hidup dan mati itu urusan Allah."Aku mengangguk, membenarkan apa yang Mas Lian ucapkan tadi. "Sudah, aku mau urus administrasi dulu. Kamu hubungi Mbak Ratih. Suruh persiapkan rumah untuk menyambut jenazah Bapak." Aku mengangguk. Rasa sesak melanda. Apalagi Ibu, ia kini tengah terisak di pelukan Mas Helmi. Hatiku teriris melihatnya. Bahkan keluarga kami baru saj mereguk manisnya bersama. Namun kenapa secepat ini Allah ambil Bapak dari sisi kami? "Halo, Mbak," ucapku begitu panggilan tersambung. "Iya, Dek. Gimana Bapak?' "M-mbak," ucapanku terpotong karena aku terisak. Ya Allah, sesak sekali rasanya. "Loh, kenapa menangis? Bapak baik-baik saja, kan?""Mbak, tolong rapihin rumah, ya. Sekalian minjem kursi di Pak RT. Sebentar lagi Bapak pulang," ucapku. "Loh, kenapa pakai kursi segala?""Bapak, Mbak. Beliau sudah meninggal." Terdengar me
Setelah empat puluh hari meninggalnya Bapak, rumah seakan masih diliputi kesedihan. Terutama Ibu dan juga Mas Helmi. Kakak laki-lakiku itu, terlihat sangat tertekan. "Mas berasa sangat bersalah karena telah menyusahkan Bapak di sepanjang hidupnya, Fir. Apakah Bapak sudah mengampuni semua kesalahanku?" tanyanya pagi ini, saat aku tengah duduk di depan warung bersama Ataya. "Insya Allah, Mas. Nggak ada yang nggak mungkin. Jangan lupa untuk mengirim do'a selalu untuk Bapak, ya, Mas. Kita semua sayang sama Bapak. Semoga almarhum di terima amal baiknya di sisi Allah," ucapku. "Aamiin." Mas Helmi masuk ke dalam rumah, sementara aku menjemur Ataya karena matahari sudah menampakkan sinarnya. Kulihat Mas Lian tengah membuka bengkel. Setelah pertengkaran kami waktu itu, aku selalu membawa Ataya ke mana pun aku pergi, meskipun hanya di warung.Kemarin, Mas Lian juga membelikan anak kami stroller, agar memudahkanku menaruh Ataya. Aku bersyukur, karena ia mengertiku. "Assalamu'alaikum," ucap
"Besok kita ke rumah Mas Cahyo, Bu?" tawar Mas Lian saat kami tengah makan malam. Kali ini Mbak Ambar memasakkan sop ayam khas klaten, segar. "Boleh. Apa tidak merepotkan?""Nggak, Bu. Ibu pasti kangen sama cucu-cucu Ibu, kan?" Ibu mengangguk."Makasih ya, Lian, Fira. Kalian selalu baik sama Ibu, maaf kalau selalu merepotkan kalian." "Untuk apa Ibu minta maaf? Ibu kan ibu kandung kami, nggak ada kata merepotkan. Justru kami bangga, karena bisa merawat Ibu di usia senja," ucapan Mas Lian membuatku terharu. Ibu tersenyum, lalu kami melanjutkan makan. "Ibu ke kamar dulu ya, Fir." "Iya, Bu." Aku membereskan meja makan, sementara Mas Lian duduk di depan televisi bersama Ataya. Bayi berusia tiga bulan itu tiba-tiba bangun. "Ke kamar yuk, Mas," ucapku. Mas Lian mengangguk, lalu mematikan televisi. Kuambil Ataya agar memudahkan Mas Lian untuk mengunci seluruh pintu. "Anak cantik, bobo lagi, yuk?" ucapku pada Ataya yang hanya mampu tersenyum itu. Kubaringkan tubuhnya di atas kasur,
"Loh, Riska?"Aku menoleh pada Mas Lian, dan sedikit terkejut karena wanita itu langsung mengajak pelukan dengan suamiku itu. Mas Lian buru-buru melepas pelukannya, sementara wanita itu terlihat sedikit cemberut. "Lian, apa kabar? Ngapain di sini? Ya ampun, sudah lama banget nggak ketemu." Aku masih terus memandangi Mas Lian dan perempuan yang ternyata bernama Riska itu. Bahkan jika perlu, akan kutendang wanita itu karena telah berani-beraninya memeluk suamiku. "Perkenalkan, Ris, ini Fira, istriku," ucap Mas Lian sambil merangkulku yang tengah menggendong Ataya. "Oh, kamu sudah menikah? Aku baru minggu kemarin pulang, jadi nggak tahu kalau kamu sudah menikah. Yah, sayang banget, ya. Aku telat. Padahal-""Kami masuk dulu," potong Mas Lian. Sementara aku masih sedikit terkejut dan tak percaya jika wanita itu berbicara seperti itu. Kenapa? Apa dia dan Mas Lian pernah memiliki masa lalu bersama? Apa sangatlah indah masa lalu di antara mereka sehingga dia menyayangkan Mas Lian yang te