BAB 17Aku menggandeng tangan Papa menjauh dari manusia laknat seperti Lusi. Membiarkan Lusi dengan asumsinya tersendiri. "Kenapa nggak kamu jelaskan saja, Sof, siapa kamu dan Papa sebenarnya?""Buat apa, Pa? Percuma menjelaskan kepada mereka yang mata hatinya sudah tertutup. Mereka tak akan percaya tanpa pembuktian. Biarlah, Pa, Sofia akan membuktikan kepada mereka semua siapa Sofia sebenarnya. Tidak untuk sekarang, nanti ada saatnya mereka akan tau siapa Sofia dan mas Farhan sebenarnya."Papa mendesah, aku pun tak tau apa yang sedang Pap pikirkan tentang anak semata wayangnya ini dengan tetangga suaminya. Aku tak memikirkan ocehan Lusi tadi. Sama sekali tidak. Malah yang terlihat seperti memendam amarah adalah Papa. Papa yang terlihat tidak terima dengan perlakuan para tetangga Mas Farhan yang absurd itu. "Ya sudah, terserah kamu saja. Papa percaya sama apa yang akan kamu lakukan. Ternyata anak Papa ini sudah dewasa ya. Sudah bisa memilih mana yang benar dan mana yang tidak," uca
BAB 18"Iya ya, amit-amit deh nanti kalau aku punya mantu harus yang kaya biar nggak menderita anak perempuanku. Salah-salah malah dijual lagi ke Om-Om senang. Ih ngeri banget deh. Gak nyangka kelihatannya saja alim eh ternyata jual bini juga demi kesenangan."***"Astaghfirullahaladzim … tinggal di sini benar-benar menguji iman dan emosi." Aku mendaratkan tubuh di atas kasur di dalam kamar. Sedangkan Mas Farhan sudah duduk di atas kasur sembari menatapku. "Kamu berhutang penjelasan padaku perihal ucapan mereka yang bilang kamu jalan sama om-om. Apa maksudnya?" Aku menatap Mas Farhan sekilas lalu aku kembali mengubah posisiku menjadi duduk. "Sofia cepatlah jelaskan apa maksud ucapan mereka itu?"Aku menghela napas kasar lalu aku mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Mulai saat aku bertemu dengan Lusi dan Bu Saras tanpa sengaja sama Papa kemarin ditambah tadi juga ketemu Lusi gak sengaja di kantor Papa. "Astaga … jadi mereka pikir Papa kamu itu om-om senang?" Aku menganggu
BAB 19 Hah, Mbak Hilda … Mbak Hilda … ternyata suami kamu mengais rezeki di perusahaan Papa toh. Kayak begitu kok sombongnya bukan main. Hemm aku semakin gak sabar menanti saat itu tiba. Ingin sekali lihat bagaimana reaksi mereka ketika ternyata yang menjadi manajer bukanlah suami Mbak Hilda seperti yang digadang-gadangkan tapi ternyata Mas Farhan lah yang akan menempati posisi tersebut. "Dek, emangnya bener kalau suaminya Mbak Hilda mau diangkat jadi manajer?" Suara Mas Farhan membuyarkan lamunanku. Aku pun menoleh ke arahnya. "Kenapa memangnya, Mas?""Enggak sih, tanya aja. Soalnya Mas sendiri juga dengar desas desus katanya pas acara ulang tahun perusahaan nanti akan ada pengumuman pengangkatan manajer yang baru.""Kamu tau darimana?""Dari Pak Taufiq. Yang ngajarin aku kemarin.""Terus dia bilang kalau siapa yang bakal jadi manajernya?""Ya enggak sih. Gak penting juga buat Mas kan? Bagi Mas sudah diterima bekerja di kantor Papa kamu saja sudah syukur. Ditambah lagi aku kan bel
BAB 20Saat ini aku dan Mas Farhan tengah berada di sebuah toko furniture. Aku dan Mas Farhan tengah melihat-lihat mana yang sekiranya cocok untuk diletakkan di kamarku dan kamar Ibu. Aku juga rencananya mau beli meja makan biar kita kalau makan tidak lesehan lagi. "Mas mau yang mana?""Kok tanya aku? Aku mah terserah kamu saja mana yang cocok. Mas itu gak pandai memilih beginian lha beli aja gak pernah." Dia mengulas senyum aku pun membalasnya. "Yaudah berarti terserah aku nih ya.""Iya, Sayang.""Yaudah Bang tolong aku mau yang warna itu, merek itu dua, warnanya juga samain saja. Sama aku mau meja riasnya yang itu dua. Terus lemari pakaian yang itu dua. Emmm apa lagi ya … oh iya meja makan yang model itu jangan lupa ya." Setelah aku menyuruh para pekerja furniture aku membalik badan menghadap Mas Farhan. Namun, raut wajah Mas Farhan tampak seperti kebingungan. "Mas kamu kenapa? Kok bengong?""Dek, kamu gak salah tunjuk kan?""Enggak kok aku benar. Kenapa memangnya?""Kenapa banya
BAB 21"Aduh, maaf ya, jadi ketahuan deh kalau itu asli. Gimana? Sudah percaya kan sekarang?" Aku tersenyum sinis saat Mbak Hilda melihat nota belanjaanku dengan Mas Farhan. Ibu-ibu yang berada di warung Mbak Siti pun hanya bisa melongo menyaksikan itu semua. Termasuk Mbak Hilda yang sudah memainkan bibirnya ke kanan dan ke kiri. Aku sih cuek saja, masa bodo orang itu mau menanggapinya seperti apa. "Wah, ternyata itu asli ya Mbak Sof, bagus-bagus lagi barang nya." Mbak Siti memuji barang yang sudah kubeli itu. Apa yang dikata Mbak Siti itu memang benar, kualitas barang yang aku beli memang bagus, makanya nggak heran kalau harganya bisa mahal begitu. "Halah, baru juga segitu doang. Nanti nih ya kalau suamiku sudah resmi menjabat jadi manajer aku juga pasti akan membeli perabotan yang lebih mahal dari pada yang Mbak Sofia beli.""Oh ya? Hemm, bagus deh kalau begitu. Aku tunggu kabar pembelian perabotannya ya, Mbak. Jangan lupa perlihatkan juga nota nya biar gak kita kira nyicil. Oke
BAB 22Kini, di tanganku dan Mas Farhan sudah ada tiga paperbag. Yah, kami baru saja membeli baju untuk persiapan acara besok. Meski pada awalnya mas Farhan dan juga Ibu sempat menolak sebab melihat price tag yang memang terbilang mahal tapi pada akhirnya mereka menerima sebab aku yang terus memaksa. Bukan tanpa sebab aku membujuk mereka untuk tidak protes, kan besok adalah hari penting bagi keluarga kecilku ini. Masa iya mau menyambut hari bahagia aku membiarkan mereka berpenampilan biasa saja? Aku dan Papa sudah memastikan besok adalah hari yang penuh dengan kejutan. Apalagi untuk para tetangga yang absurd dan super julid Ibu mertuaku itu. Hah, tidak sabar rasanya menanti hari esok. Setelah kamu bertiga makan malam di rumah makan lesehan, baik aku, Mas Farhan, dan juga Ibu akhirnya memutuskan untuk pulang. Kami harus mempersiapkan fisik untuk acara besok. Ditambah lagi pagi-pagi sekali kami harus dirias sebab aku sudah memesan jasa seorang MUA ternama di kota ini untuk membuat pen
BAB 23"Mari Mbak Siti, kita pergi dulu ya." Aku hanya berpamitan dengan Mbak Siti. Tidak aku hiraukan manusia-manusia yang sukanya menghina itu. Biarlah nanti mereka kejang-kejang setelah tau semua kebenarannya. Percuna aku koar-koar sekarang toh mereka akan tetap menyangkal. "Oh iya Mbak Sof, hati-hati," ucap Mbak Siti. Aku rasa hanya Mbak Siti yang sedikit waras di kampung ini. Aku hanya mengangguk sembari tersenyum. Selama di perjalanan, aku tidak hentinya-hentinya menyunggingkan senyum karena sebentar lagi kebenaran akan terkuak. Sepuluh menit berlalu, mobil yang kita tumpangi akhirnya sampai juga di lobi kantor Papa. Dan ternyata di sini sudah ramai para karyawan yang juga turut menghadiri pesta yang tentunya mereka membawa keluarga mereka masing-masing "Ayo Bu, Mas, kita turun." Aku mengajak Ibu dan Mas Farhan untuk turun karena Papa sudah menghubungi kalau beliau sudah berada di dalam. Mas Farhan dan Ibu mengangguk. Mereka mengikutiku yang turun terlebih dahulu. Tangan k
BAB 24Mulai hari ini Papa menyerahkan perusahaan ini untuk kamu dan Farhan kelola." Aku berdiri dan baru saja aku berjalan tiga langkah ke arah panggung tiba-tiba terdengar seperti suara berdebam. Dan selanjutnya terdengar teriakan dari arah belakang. Aku pun turut menoleh untuk melihat apakah gerangan yang terjadi. "Lho, Bu Saras? Kok malah pingsan?" Aku seketika nyeletuk seperti itu. Ya … gimana ya, lha aku merasa lucu aja gitu. Seharusnya yang pingsan itu kalau gak Mas Farhan kan ya Ibu. Secara mereka yang mendapatkan kejutan lha ini kok tapi malah Bu Saras yang pingsan. Hadeh …."Ini gara-gara kamu Mbak Sof. Ibu sampe pingsan begini. Kalau ada terjadi sesuatu sama Ibu aku gak akan memaafkanmu Mbak Sof!" Tiba-tiba saja Lusi berbicara sembari menatapku tajam. Lha kok malah jadi dia yang ngegas? Dan lagi kenapa nyalahin aku? Memangnya aku salahnya apa? Tepok jidat deh. "Kenapa aku? Salahku apa? Kamu aneh deh Mbak Lusi. Oh aku tahu, Ibu kamu shock saat tau ternyata aku adalah anak
Sofia melajukan mobilnya menuju rumah Pak RT. Meski begitu Sofia tetap memerintahkan bawahannya untuk bersiap di kantor polisi dan menunggu telepon darinya. Dia akan memberikan salah satu kesempatan untuk yang terakhir kalinya. Kalau saja Bu Saras tetap tidak mengaku maka dengan sangat terpaksa Sofia akan memenjarakannya."Ingat, kamu harus bersiap di sana. Begitu aku telepon kamu ke sini sama polisi," titah Sofia penuh ketegasan.Tanpa menunggu jawaban, Sofia langsung memutuskan sambungan telepon dan fokus menyetir.BrakBrakTerdengar suara langkah berderap yang kian mendekat saat Sofia memukul pintu dengan keras. "Siapa, sih gak sabaran ...." Mata Bu Saras membelalak dan terdiam saat melihat Sofia yang datang. "Pantesan gak sabaran."Sofia menyunggingkan senyum seringai. "Justru karena aku terlalu sabar makanya baru ke sini. Ayo, ikut!"Bu Saras menahan tangannya yang ditarik oleh Sofia. "Heh, dasar gak sopan! Datang-datang malah tarik orang.""Masih mending Bu Saras aku tarik.
"Halah gak usah pura-pura, Bu Saras. Aku tahu kalau Bu Saras yang bikin mertuaku pingsan."Antara terkejut, tetapi senang Bu Saras berkata, "Jadi si Marini cuma pingsan?"Tentu saja Bu Saras senang mengetahui kenyataan kalau Bu Marini hanya pingsan dan bukannya meninggal. Artinya dia bukanlah seorang pembunuh dan tidak akan dipenjara. "Maksud perkataan Bu Saras apa?"Sofia tersenyum samar, dia berhasil menjebak Bu Saras. Memancingnya untuk mengaku kalau yang membuat Bu Marini pingsan adalah dirinya. Sofia tidak punya bukti, karena itu dia harus membuat bukti.Degh"Ya ... ya maksudnya ke-kenapa kamu sampai besar-besarkan masalah ini kalau mertuamu itu cuma pingsan? Emang apa lagi?" jawab Bu Saras terbata-bata. Bahkan keringat sebesar biji jagung sudah memenuhi dahinya. Mulutnya mungkin bisa berbohong, tetapi tidak dengan gerak-geriknya yang jelas menunjukkan kecemasan."Beneran?" Mata Sofia memicing, tetapi Bu Saras tetap bungkam. "Padahal aku punya bukti CCTV loh.""Mana mungkin! Ta
"Ibu kenapa–""Aku gak bisa cerita, Mas. Pokoknya kamu nyusul ke rumah sakit sekarang," potong Sofia sebelum suaminya selesai bicara. Setelah itu langsung mematikan sambungan telepon. Tanpa berpikir, Farhan langsung izin untuk pulang cepat dan menuju rumah sakit. Meski tidak bisa berpikir jernih, Farhan berusaha fokus berkendara. Salah-salah dia justru ikut dirawat di rumah sakit. Setelah sampai, Farhan menghampiri gegas Sofia yang sedang duduk dengan raut cemas di depan ruang UGD. "Mas!" Sofia bangkit dan memeluk sang suami saat melihatnya. "Bagaimana keadaan ibu? Kenapa dia bisa pingsan?" cecar Farhan yang langsung memberondong Sofia dengan pertanyaan begitu mereka bertemu. Sofia menggeleng. "Aku juga nggak tahu Mas. Sebab waktu aku pulang Ibu udah pingsan."Mendengar hal itu, Farhan makin khawatir dengan kondisi sang ibu. Pasalnya selama ini, Bu Marini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda penyakit kronis. Bahkan Beliau juga tidak pernah mengeluh sakit. "Mau ke mana?" tanya
"Lho Mama mau ke mana?" tanya Lusi saat melihat mamanya sudah seperti bersiap untuk pergi. "Mau ke rumah si Marini. Mau buat perhitungan sama tuh menantunya, enak saja main pecat anak orang tanpa alasan yang jelas.""Tapi, Ma ...." Lusi mencoba mencekal lengan mamanya. Meski detik berikutnya sang mama menghentakkan tangannya dan cekalan Lusi langsung terlepas. "Sudah, jangan halangi Mama, Lusi! Kamu terlalu baik, makanya si Sofia seenaknya sama kamu. Udah, biar mama aja yang urus," ujar Bu Saras dengan mata memerah dan rahang mengeras. Perempuan paruh baya itu sangat marah. "Aku ikut, Ma.""kamu di sini aja. Tunggu beres. Kalau mama yang turun tangan dijamin masalah beres."Meski Bu Laras melarang Lusi, nyatanya sang anak tetap membuntutinya secara diam-diam. Lusi mau melihat secara langsung bagaimana Sofia diberi pelajaran oleh mamanya. Pokoknya Lusi mau mensyukuri setiap kejatuhan Sofia. Sesampainya di tujuan, rupanya Sofia dan Farhan masih belum pulang. Mereka masih di kantor
"Tutup mulutmu!" "Ups maaf aku sengaja, hahaha!" Sofia tergelak sembari memegang perutnya karena tidak tahan sebab menahan kegelian melihat wajah shock di depannya. Namun, menurut Lusi tawa Sofia seperti ejekan baginya. "Katakan apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Lusi sembari menatap Sinis Sofia. "Lho kan aku sudah bilang barusan kalau aku ke sini karena menggantikan suamiku bertemu dengan mantan pacarnya yang tidak tahu malu dan tidak tahu diri ini." Sofia memandang remeh pada Lusi. "Tutup mulutmu Sofia! Aku ke sini tidak untuk bertemu denganmu tapi dengan Farhan. Katakan di mana dia!""Ups, sabar dulu dong nafsu amat sih sama laki orang." Sofia sengaja mengeraskan suaranya sehingga membuat orang-orang yang ada di sekitarnya menoleh ke arah mereka. "Pelankan suaramu, Sofia!" Lusi menatap Sofia penuh amarah bahkan wajahnya saja sudah memerah. "Lho, kenapa? Bukankah ini yang kamu inginkan? Mana Lusi yang pandai merayu suami orang saat di chat? Kenapa tiba-tiba sekarang melempe
BAB 36[Baiklah, kalau kamu serius dengan ucapanmu silahkan temui aku di cafe wash-wush besok pas jam makan siang.][Baiklah, aku udah gak sabar buat ketemuan sama kamu deh. Sampai jumpa besok ya, Sayangku]Sofia sampai menggelengkan kepalanya membaca isi pesan dari Lusi. Ia tidak habis pikir kenapa bisa ada manusia tidak tahu diri dan tidak tahu malu seperti Lusi. Dulu saja dihina, dicaci, bahkan, dicampakkan. Lantas? Kenapa sekarang dia seolah-olah mau membahas masa lalu seakan masih peduli? Cih! "Yasudah lebih baik kita tidur sekarang. Gak usah kamu pikirkan si Lusi karena sampai kapan pun aku gak kan pernah mau lagi berpaling padanya. Ya kali aku katarak secara kamu dan dia saja cantikan kamu ke mana-mana. Kamu juga bisa menerimaku dan Ibuku apa adanya. Masa iya mau aku tukar sama koreng cicak begitu." Sofia tergelak mendengar Farhan mengatakan koreng cicak untuk Lusi. "Kok ketawa sih, Sayang." Farhan menjawil hidung istrinya. "Habis kamu lucu masa iya dikata koreng cicak.""Lh
BAB 35[Sekarang kenapa kamu terlihat sangat tampan? Kenapa gak dari dulu saja kamu tampak tampan, Mas? Kamu pasti masih mencintaiku kan, Mas? Secara kita dulu berhubungan lumayan lama. Dua tahun berpacaran itu bukan waktu yang sebentar kan, Mas? Bukan mudah juga kan kamu melupakanku? Karena sekarang kamu sudah mapan maka aku mau untuk kamu jadikan pasangan. Gimana? Bahkan jadi yang kedua pun aku gak masalah asalkan cinta dan kasihmu lebih utama untukku]Mata Sofia tidak bisa menutup karena saking terkejutnya. Apakah suaminya menyimpan rahasia darinya? Ah, sepertinya tidak. Sofia tidak percaya jika suaminya seperti itu. Sofia melihat foto profil yang ada di nomor tersebut dan matanya kembali membulat saat tahu kalau yang mengiriminya pesan barusan di nomor sang suami ternyata Lusi. "Dasar upil ayam betina, seenaknya saja dia dulu mencampakkan Mas Farhan dan sekarang dia ingin minta kembali setelah tahu suamiku sudah mapan. Cuih, definisi ulat gak tau diri.""Kamu kenapa, Dek? Kok ng
BAB 34"Maksud kamu korupsi?" Farhan mengangguk. Sedangkan mata Sofia membeliak. "Siapa?" tanya Sofia yang penasaran karena ia sendiri belum pernah sidak dadakan. "Dia …." Farhan menjeda ucapannya. Ia menatap Sofia lekat. Seperti ada kekhawatiran dari sorot matanya. "Mas, kenapa? Kok diam? Siapa yang sudah ambil uang perusahaan? Dan berapa total kerugian kita?""Pak Lek Wiro, Sof, dia kerjasama dengan Pak Aldi.""Pak Aldi kepala HRD?" Farhan mengangguk. "Keduanya kerjasama untuk meminta bayaran pada calon karyawan yang mau masuk ke perusahaan kamu.""Kita, Mas, itu perusahaan kita karena kita yang akan membesarkannya lagi nanti." Farhan tersenyum sekilas lalu ia mengelus kepala Sofia. "Makasih ya sudah mempercayaiku. Oh iya balik lagi soal Pak Lek Wiro. Ternyata dia dan Pak Aldi juga memotong gaji karyawan yang masuk sebesar tiga ratus ribu setiap bulannya. Jika satu orang tiga ratus maka kamu bisa membayangkannya sendiri bukan berapa yang akan mereka terima setiap bulannya kare
BAB 33"Lho, aku salah ya? Yaudah deh kalau begitu aku minta maaf ya, Bulek. Gimana? Boleh kan? Aku sudah minta maaf lho, persis seperti apa yang Bulek katakan barusan atas hinaan Bulek terhadapku dan juga Ibu mertuaku." Sofia tersenyum manis. Namun, bagi Bulek Lilis dan juga Pakle Wiro hal itu adalah penghinaan bagi mereka. "Kurang ajar kamu ya Sofia! Seumur hidup gak pernah ada yang berani kurang ajar padaku seperti itu!" "Oups, kalau begitu aku berarti pemecah rekor dong ya. Rekor karena bisa berlaku kurang ajar padamu, Bulek.""Mbak Marini! Ajarkan menantumu ini sikap sopan santun! Percuna pendidikan tinggi dan katanya pemilik perusahaan tapi tata krama dan adab saja dia tidak punya!""Hei!" tunjuk Sofia pada wajah sang Bulek. "Jangan pernah mengacungkan jarimu di depan wajah Ibu mertuaku! Beliau sudah sangat-sangat baik dalam mengajariku! Tapi aku begini karena ingin memberimu pelajaran. Bulek pikir aku akan diam saja dan memaafkan begitu saja perbuatan Bulek yang kurang ajar p