Hari berlalu, saat ini aku sedang berada di sebuah ruangan khusus bersama Sinta dan pengacaraku-Raffa.
Aku masih tak percaya, kaki ini akan memijak di gedung yang bisa memisahkan kedua pasangan. Gedung yang sedikitpun tak pernah aku inginkan bisa berada di sini.
"Ai, lima belas menit lagi kita masuk ke dalam ruangan persidangan," ucap Raffa mengingatkan. Aku mengangguk.
"Rasha kok belum datang juga ya?" tanya Sinta.
"Baguslah kalau dia tidak datang. Tiga kali tidak menghadiri sidang, otomatis hakim akan memutuskan kalian resmi bercerai. Bukankah itu yang kamu mau, Ai? Semuanya dipermudah?"
"Aku tak mengharapkan apa-apa kecuali bisa segera melepaskan diri."
Sinta mengelus lembut tanganku. "Kamu wanita kuat, Ai. Aku sudah lama kenal sama kamu."
Lima belas menit berlalu, saatnya kami bersiap untuk menghadiri sidang perceraianku. Namun, tak sedikitpun aku menangkap sosok Mas Rasha hadir.
Hingga d
"Aku tidak serendah itu!" desisku berlalu meninggalkan dia yang terus saja mengoceh."Aku juga sudah bilang apa. Kamu sih nggak percayaan. Istrimu itu sudah main api. Kamunya saja selalu menganggap dia bidadari surga yang sangat suci. Ternyata, iblis bertopengkan bidadari."Aku membalikkan badan, tampak Nayla tersenyum sinis. Itulah mengapa aku selalu menolak ajakan Raffa. Karena wanita ini akan memanfaatkan semuanya."Jaga mulutmu! Jangan menyembunyikan kebusukanmu sendiri! Kamu menjadikan aku tameng agar Mas Rasha lupa kalau kamu lah yang lebih parah di sini. Aku hanya diantar pulang.""Huh, siapa yang bisa menjamin. Berduaan di mobil.""Aku tidak peduli bagaimana tanggapanmu. Bagiku itu tidak penting. Berdebat denganmu hanya membuang-buang waktu."Aku meninggalkan mereka berdua, mengunci diri di dalam kamar.Ingin sekali aku pergi dari rumah ini, tapi aku ingat akan satu hal. Rumah ini adalah milikku. Seelah resmi
"Bunda, ayah kenapa? Kok nangis?" tanya putriku.Mas Rasha kemudian menghampiri putrinya lalu memeluk dan menciumnya. Kami.hanya bergeming melihat pemandangan yang ada di depan."Maafkan Ayah, Nak. Maaf ....""Ayah kenapa minta maaf? Apa ayah punya salah?"Mas Rasha tidak juga menjawab. Tangannya masih memeluk erat putrinya.Aku membiarkan mereka terus seperti itu. Biar bagaimana pun Naura adalah darah dagingnya meksipun aku yang memenangkan hak asuh untuk Naura.*"Mas, akta cerai kita terbit dua hari ke depan," ucapku saat kami hanya berdua."Soal harta, tenang saja. Aku memperjuangkannya bukan untukku sendiri. Tapi, semata untuk anak kita Naura. Aku tak ingin hak Naura diambil alih oleh wanita itu. Jadi, selama Naura masih berusia belia, aku yang mengatas namakan itu semua. Kecuali Naura sudah berumur tujuh belas tahun, semua harta itu balik nama menjadi milik Naura seutuhnya."Mas Rasha tetap me
"Bunda mau ke mana?" tanya Naura saat mendapatiku sedang merapikan pakaian ke dalam koper."Mau ke rumah nenek di desa, Sayang.""Bunda nggak ngajak Naura?"Aku berhenti sejenak lalu duduk di sampingnya.Ku pandangi wajah cantik putriku. Hidung dan matanya mewarisi milik ayahnya."Bunda perginya sebentar, Nak. Naura nanti sama ayah, nenek dan kakek ya. Bunda mau jenguk kakek yang lagi sakit.""Tapi, Naura mau ikut, Bunda," rengeknya"Naura kan masih sekolah. Kalau kita sekolah itu nggak boleh ke mana-mana."Naura terdiam. Aku tahu dia ingin ikut ke desa. Hanya saja, jika Naura ikut, bagaimana sekolahnya? Ngajinya? Dan ku rasa dia sekarang mrmbutuhkan sosok ayahnya.Ku genggam tangan mungil anakku. "Naura, selama bunda pergi, jangan nakal ya, Nak!"Naura mengangguk patuh. Kulanjutkan mempersiapkan semuanya.Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku segera memesan taksi online untu
"Neng, abah pengen makan masakan Neng. Bisa?" tanya Abah saat malam menjelang."Atuh pasti bisa, Abah. Kalau Abah butuh sesuatu dari Neng, sok, atuh, Abah bilang aja. Insya Allah selama Neng bisa mah."Abah, cinta pertama di hidupku itu tersenyum. Tapi, aku tahu, abah menyembunyikan luka itu.Pengkhianatan yang dilakukan oleh menantu kesayangannya membuatnya begitu sangat terluka."Ya sudah, nanti besok minta tolong sama Bagus untuk antar ke pasar." Aku mengangguk.Kupapah tubuh lemah abah menuju kamar dibantu oleh Umi. Seperti inilah abah, beliau tidak ingin memanjakan dirinya dengan hanya berbaring di kamar.Abah tersenyum kala melihat dua wanita yang begitu dicintainya duduk bersimpuh di kakinya. Abah meminta untuk didudukkan di kursi. Katanya beliau capek terus-terusan berbaring."Abah teh sangat bersyukur punya dua bidadari di samping abah. Istri solehah dan juga anak sholehah.""Tidak ada yan
"Ainun?" "Bunda?" Ainun turun dari motor lalu menyalami Bu Risma. "Kapan datang?" "Kemarin, Bun. Sendiri?" Bu Risma tersenyum masam. "Tuh, Aisyah." Aku mengikuti arah pandangan Bu Risma. Tampak seorang wanita muda sedang berjalan sedikit sempoyongan karena membawa belanjaan yang begitu banyak. Saat hendak membantunya, Bu Risma menahan tanganku. "Nggak usah. Dia sudah biasa." Aku tak bisa berdiam. Ku lepaskan tangan Bu Risma yang menahanku tadi lalu menghampiri Arumi. "Teteh?" Aisyah kaget setelah melihatku meraih belanjaan yang terjatuh. Aku tersenyum padanya. Tampak keringat mengucur dari keningnya. "Teteh bantu ya?" Aisyah melirik ke arah mertuanya. Mungkin dia takut. "Sudah, jangan pedulikan yang lain." Aku berjalan mendahuluinya dan Aisyah mengikut di belakangku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Sepertinya Bu Risma tak suka dengan yang
Pagi kusambut dengan perasaan yang lega. Entah mengapa hari ini aku ingin memulai hidup dengan tenang tanpa disangkutpautkan oleh apapun. Sudah puluhan kali ponselku berdering. Aku tahu siapa pelakunya. "Teh, mau kemana?" tanya Bagus. "Ke kebun teh." "Kangen sama si Aa pasti. Makanya mau healing." Aku tersenyum kaku. "Sok tahu kamu." Aku terus mengayuh sepedaku menuju kebun teh yang terletak dua kilometer dari rumah. Sekali-sekali aku berlomba dengan Bagus. Saudara sepupuku ini memang yang paling dekat denganku. Setiap pulang, dia lah yang menyambut kami. Sayangnya, saat terakhir bersama Mas Rasha, dia harus menjaga abahnya di rumah sakit. "Teteh kuat pisan, euy, ngayuh sepedanya. Salut Bagus teh," ucapnya dengan napas ngos-ngosan. "Harus atuh. Biar kuat jalani hidup." Alis Bagus saling bertaut. Aku tahu dia pasti kebingungan. "Aya-aya wae Teteh, mah. Segala disangku
"Umi, hari ini masak apa?" tanyaku pada umi yang sibuk memotong sayuran. "Sayur lodeh, tempe orek, dan ikan bakar." "Neng bantu ya?" Aku membantu umi memotong bahan untuk sayur lodeh. Saat kami asyik sibuk di dapur, seseorang mengetuk pintu. Aku segera melangkah untuk melihat siapa yang bertamu sepagi ini. "Assalamualaikum." "W*'alaikumussalam. Eh Aisyah?" Aku segera mempersilahkannya masuk. Tampak wajah Aisyah pucat. Ada apa dengannya? Wajahnya tertunduk lesu. Tak seperti biasa, Aisyah kali ini tampak berbeda. "Ada apa, Aisyah?" "Bantu aku, Teh. Aku ingin periksa kesehatan tanpa harus Aa tahu." Aku mengerutkan kening. "Memangnya kenapa kalau Fariz tahu?" Aisyah mengangkat wajahnya seraya tersenyum tipis. "Aku tidak ingin menjadi beban fikiran Aa. Teh Ainun mau kan?" Aku menimbang permintaannya. Pasti ada alasan lain mengapa Aisy
Pov Rasha."Tunggu mas pulang ya, Sayang. Ini mas lagi di jalan. Kebetulan jalannya lagi macet banget.""Iya, Mas. Adek dan Naura sudah kangen sama kamu," ucap wanita yang sudah tiga tahun bersamaku.Dia Ainun, gadis cantik yang dulu dijodohkan denganku. Dulu, tak ada rasa cinta sedikitpun di antara kami berdua. Aku masih menyimpan rasa dengan teman kuliahku, begitupun dia yang ku dengar sudah memiliki tambatan hati.Namun, perjodohan tetaplah perjodohan. Keputusan kedua orang tua kami tidak dapat diubah. Kami harus menyerah pada takdir yang diatur oleh kedua orang tua kami.Seiring berjalannya waktu, rasa itu muncul dengan sendirinya dan semakin kuat. Aku bersyukur memiliki dia, wanita sholehah yang dikirimkan Tuhan untukku."Ya sudah, mas tutup dulu ya, Sayang."Aku memutuskan sambungan telpon setelah memberikan kecupan manis lewat udara.Lama aku menunggu, tapi macet kali ini sungguh mengganggu. Aku p
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak