"Ayah, Bunda, jangan pisah ....."
Tangis Naura pecah. Aku tak mampu untuk sekedar memeluk demi menenangkannya. Mas Rasha memeluk putri kesayangannya begitu erat. Ya Allah, kenapa begitu sakit?
Naura terus memukul dada bidang Mas Rasha. Putri kecil kami terus memberontak. Tak kuasa rasanya melihatnya seperti ini. Tapi, ini sudah jalannya.
Aku ikut mendekatkan diri. Naura masih saja terus menangis di dalam pelukan ayahnya. Tanganku perlahan mengelus rambut panjangnya. Air mata ini tak berhenti mengalir.
"Maafkan, bunda, Sayang."
*
Nauraku tertidur pulas setelah mengeluarkan segala uneg-unegnya.Kupandangi wajah putriku. Rasa sakit melihatnya seperti ini melebihi rasa sakit karena pengkhianatan. Di usianya yang masih belia, Naura harus merasakan sakitnya karena perpisahan.
Aku mengembuskan napas kasar menatap langit-langit kamar. Tak pernah terlintas di pikiranku, nasib pernikahanku akan berakhir seperti ini.
Pagi ini seperti biasa aku bergelut di dapur menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Sudah beberapa hari terakhir Nayla tidak berani muncul di hadapanku. Aku tak tahu apa yang sedang terjadi di antara mereka.Naura dan Mas Rasha sedang asyik menonton dfilm kartun kesukaannya. Seperti kebiasaan mereka, jika hari libur tiba, mereka menghabiskan waktu bersama.Ah, pemandangan ini mengingatkanku saat kondisi keluarga kami baik-baik saja. Bagaimana jika kami benar-benar berpisah?"Ayah, kenapa patrick begitu menjengkelkan? Dia selalu saja membuat spongebob kesusahan," protes putriku."Itulah persahabatan, Sayang. Tidak ada keduanya yang sempurna. Pasti masing-masing memiliki kekurangan. Nah, tugas kita adalah mau dan sama-sama menerima kekurangan masing-masing."Naura mengangguk lalu kembali fokus pada layar televisi."Lalu, bagaimana dengan squ .... Squit ... "Mas Rasha menahan tawa saat Naura tidak bisa menyebut nam
Seperti biasa, Naura punya kebiasaan tidur siang. Itu adalah kesempatan kami untuk berbincang tentang masalah keluarga ini. Papa, mama, mas Rasha dan aku berkumpul di ruang keluarga. Aku tak pernah melihat ekspresi datar tapi penuh amarah dari wajah papa. Hari ini tampak begitu menegangkan. "Rasha," ucap Papa setelah lama kami saling memilih diam. "I-iya, Pa," jawab Mas Rasha penuh rasa takut. "Bisakah papa bilang, kali ini kamu sangat melukai papa?" Hening tak ada yang berani menyahut. "Kamu tahu, papa dan mama sudah puluhan tahun bersama. Tentunya banyak drama yang kami lalui bersama. Tapi, satu hal yang sangat papa hindari. Pengkhianatan." Papa menjeda ucapannya. Berulang kali papa memegang dadanya. Aku sangat takut jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Mengingat papa memiliki riwayat penyakit jantung. Aku salut pada mama. Di saat seperti ini, tangannya tak berhenti mengelus lembut tangan papa. Memberikan kekuatan dan kelembutan. "Abahmu adalah sahabat kec
Semua berkas dan dokumen serta bukti sudah kuajukan di pengadilan. Setelah menyadari perbuatannya sudah diketahui olehku, Nayla tak berhenti memohon agar aku tak menjebloskannya ke dalam penjara.Di mana keberaniannya selama ini? Bukankah jika berhadapan denganku dia begitu angkuh dan sombong? Kemana semua itu? Kenapa malah jinak di hadapanku?"Mbak, aku mau ngomong," ucapnya tanpa basa-basi. Aku yang sedang mempersiapkan diri hanya diam tak ada niat untuk sekedar merespon."Mbak, tolonglah, jangan laporin aku ke polisi. Iya, aku akui, sudah salah sama mbak. Sudah merebut Mas Rasha, bahkan lancang memakai barang-barangnya mbak tanpa ijin dulu. Tapi, tolonglah, Mbak, toh barangnya.masih utuh dan aku nggak jual."Kata-katanya membuatku sontak berhenti lalu mentapnya dengan ekspresi datar. Sumpah kali ini aku jengkel, dia mengatakan semua itu dengan entengnya tanpa ada rasa bersalah sama sekali. Seolah-oleh mewajarkan sesuatu yang salah dengan da
Dua hari berlalu, setelah pertemuan kami kemarin, akhirnya hari ini surat undangan sidang terbit. Raffa yang membawakannya saat aku tengah mengurus butik.Banyak pegawaiku yang bertanya apa yang terjadi sebenarnya. Di mata orang lain, kami terlihat seperti biasanya. Seperti tak ada masalah yang sedang kami hadapi.Aku sengaja merahasiakannya karena aku masih menjaga harga diri suamiku. Aku tak ingin, mas Rasha yang dinilai sebagai suami sempurna tiba-tiba dibenci orang karena masalah ini."Sampai bertemu di persidangan lusa ya, Ai. Aku harap apapun yang terjadi saat persidangan dimulai, kamu tetap bisa mengontrol emosimu.""Aku tahu," jawabku seraya memandangi secarik kertas yang berisi panggilan sidang.""Ya sudah, aku pamit dulu."Aku mengantar Raffa hingga mobil membawanya semakin menjauh.Tubuhku lemah seketika. Aku tak menyangka semua ini benar akan terjadi. Sebentar lagi aku akan menjalani kehidupan baru.
"Untuk apa dia ada di sini?" sinis mama pada wanita itu."Ma, biar bagaimana pun, dia juga menantu mama," jawab Mas Rasha."Bukannya kamu sudah talak dia?""Kami rujuk, Ma," jawab Nayla kali ini. Senyumnya mengembang. Aku hanya memilih diam sebagai penonton.Mama mendengus kasar. Aku tahu mama sangat membenci Nayla sejak kejadian beberapa waktu silam. Belum lagi dia hadir kembali lalu menghancurkan rumah tangga kami.Papa menatap tajam putranya yang saat ini duduk di hadapannya."Dengar Rasha. Sampai kapanpun, kami tidak akan pernah mau menerima wanita ini di keluarga kita," tegas Papa."Tapi, Pa—""Kamu lupa sama apa yang sudah dia perbuat? Dia sudah mempermalukan keluarga kita, di hari pernikahan malah kabur bersama laki-laki lain. Lalu, dia kembali hadir. Papa tidak tahu tujuan dia sebenarnya. Yang jelas, papa tidak akan pernah sudi menerimanya sebagai menantu!"Mas Rasha semakin ka
Hari berlalu, saat ini aku sedang berada di sebuah ruangan khusus bersama Sinta dan pengacaraku-Raffa.Aku masih tak percaya, kaki ini akan memijak di gedung yang bisa memisahkan kedua pasangan. Gedung yang sedikitpun tak pernah aku inginkan bisa berada di sini."Ai, lima belas menit lagi kita masuk ke dalam ruangan persidangan," ucap Raffa mengingatkan. Aku mengangguk."Rasha kok belum datang juga ya?" tanya Sinta."Baguslah kalau dia tidak datang. Tiga kali tidak menghadiri sidang, otomatis hakim akan memutuskan kalian resmi bercerai. Bukankah itu yang kamu mau, Ai? Semuanya dipermudah?""Aku tak mengharapkan apa-apa kecuali bisa segera melepaskan diri."Sinta mengelus lembut tanganku. "Kamu wanita kuat, Ai. Aku sudah lama kenal sama kamu."Lima belas menit berlalu, saatnya kami bersiap untuk menghadiri sidang perceraianku. Namun, tak sedikitpun aku menangkap sosok Mas Rasha hadir.Hingga d
"Aku tidak serendah itu!" desisku berlalu meninggalkan dia yang terus saja mengoceh."Aku juga sudah bilang apa. Kamu sih nggak percayaan. Istrimu itu sudah main api. Kamunya saja selalu menganggap dia bidadari surga yang sangat suci. Ternyata, iblis bertopengkan bidadari."Aku membalikkan badan, tampak Nayla tersenyum sinis. Itulah mengapa aku selalu menolak ajakan Raffa. Karena wanita ini akan memanfaatkan semuanya."Jaga mulutmu! Jangan menyembunyikan kebusukanmu sendiri! Kamu menjadikan aku tameng agar Mas Rasha lupa kalau kamu lah yang lebih parah di sini. Aku hanya diantar pulang.""Huh, siapa yang bisa menjamin. Berduaan di mobil.""Aku tidak peduli bagaimana tanggapanmu. Bagiku itu tidak penting. Berdebat denganmu hanya membuang-buang waktu."Aku meninggalkan mereka berdua, mengunci diri di dalam kamar.Ingin sekali aku pergi dari rumah ini, tapi aku ingat akan satu hal. Rumah ini adalah milikku. Seelah resmi
"Bunda, ayah kenapa? Kok nangis?" tanya putriku.Mas Rasha kemudian menghampiri putrinya lalu memeluk dan menciumnya. Kami.hanya bergeming melihat pemandangan yang ada di depan."Maafkan Ayah, Nak. Maaf ....""Ayah kenapa minta maaf? Apa ayah punya salah?"Mas Rasha tidak juga menjawab. Tangannya masih memeluk erat putrinya.Aku membiarkan mereka terus seperti itu. Biar bagaimana pun Naura adalah darah dagingnya meksipun aku yang memenangkan hak asuh untuk Naura.*"Mas, akta cerai kita terbit dua hari ke depan," ucapku saat kami hanya berdua."Soal harta, tenang saja. Aku memperjuangkannya bukan untukku sendiri. Tapi, semata untuk anak kita Naura. Aku tak ingin hak Naura diambil alih oleh wanita itu. Jadi, selama Naura masih berusia belia, aku yang mengatas namakan itu semua. Kecuali Naura sudah berumur tujuh belas tahun, semua harta itu balik nama menjadi milik Naura seutuhnya."Mas Rasha tetap me
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak