"Baru tiba?" tanyanya setelah keheningan yang begitu lama.
"Iya," jawabku.
Matanya mengarah pada Naura yang sejak tadi memperhatikan kami. Tubuhnya disejajarkan seraya tersenyum manis. Senyum indah yang pernah ada untukku.
"Namanya siapa?" tanyanya lembut.
"Naura, Om," jawab Naura seraya mengulurkan tangannya kemudian disambut olehnya.
"Kalau Om?" tanya Naura lagi.
"Panggil saja Om Fariz," jawab Fariz seraya tersenyum.
"Pasti temannya bunda, ya?" Senyum di wajahnya seketika memudar tergantikan raut wajah yang tampak sedih.
"Iya, cantik, om temannya Bunda sejak SMA sampai kuliah."
"Wah lama dong, Om?"
Aku yang sejak tadi hanya sebagai penonton keakraban mereka gegas mencari nomor Abah.
Mereka terus bercerita satu sama lain hingga keakraban terjalin di antara mereka. Naura yang antusias bercerita tentang perjalanannya sedangkan Fariz terus menyimak ocehan N
"Neng, abah mau ngobrol dulu sama kamu. Boleh?" tanya Abah saat aku tengah merapikan meja makan."Baik, Abah. Ainun bereskan semua ini dulu ya.""Abah tunggu kamu di ruang kerja abah." Aku pun mengangguk seraya tersenyum.Menit berlalu, setelah semua dibersihkan aku melangkah ke ruang kerja abah. Kuputar gagang pintu kemudian sedikit mendorong daun pintu. Tampaklah sosok ayah yang tengah serius membaca surat kabar."Abah," tegurku pelan."Sini, Nak!" Aku melangkah mendekatkan diri. Ekor mataku menangkap bingkai foto yang berdiri tegak di atas meja kerja. Foto ketika aku masih berusia sepuluh tahun tengah memeluk erat Abah dan Umi."Atuh duduk, Neng! Kenapa malah bengong?" goda Abah. Aku terkesiap tersenyum kaku kemudian mendudukkan diri di kursi."Abah mau kamu jujur sama abah.""Iya, Abah.""Apa semua baik-baik saja?" Aku mengerutkan kening tak mengerti."Abah ini ayah ka
"Kapan pulang?" tanya Rasha melalui sambungan telpon."Belum tahu, Mas. Aku masih ingin di sini.""Pulanglah, Dek! Mas rindu kamu, rindu Naura juga,""Yakin hanya itu?" pancingku.Mas Rindu masakan kamu juga," bujuk Rasha.Ainun memutar mata malas. Dia tahu suaminya saat ini merasa kerepotan lalu beralibi rindu dengan masakannya."Loh, bukannya ada Nayla di sana, Mas? Kamu harus mencicipi masakan dia agar nanti bisa terbiasa," Sindir Ainun.Rasha memijit kepalanya. Dia seperti kehilangan akal bagaimana caranya agar Ainun segera kembali."Nayla tidak bisa diharapkan, Dek. Masa tiap hari mas harus delevery? Habis nanti uang mas. Belum kebutuhan ini dan itunya yang begitu banyak. Pulanglah, Dek," keluhnya.Ainun menarik sudut bibir. Tak ada sedikitpun rasa kasihan yang timbul. Justru rasa bahagia yang dia rasakan. Mas Rasha kini menikmati babak baru atas ulah Nayla-istri barunya-.&n
Satu minggu telah berlalu, Ainun dan Naura sangat menikmati liburannya. Ainun merasa bahagia meskipun mudik kali ini tanpa suaminya.Tentang Aisyah, Ainun sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Tak jarang mereka saling berkunjung. Meskipun setiap kunjungan Ainun, membuat Aisyah sedikit merasa tersisih karena perlakuan Bu Risna yang begitu menampakkan rasa sukanya pada Ainun.Fariz yang mengetahui hal itu terus menghibur istrinya dan menyarankan agar tak mengajak Ainun lagi ke rumahnya, cukup hanya Aisyah saja yang mengunjungi Ainun karena abah, umi dan Naura begitu menyayangi Aisyah."Tante Aisyah, Naura mau dong sekali-sekali diajak jalan ke kebun teh," pinta Naura saat mereka menikmati teh hangat di halaman depan rumah."Kan janjiannya sama nenek," celetuk Umi."Nenek mah lama banget ditungguinnya. Setiap Naura ajak, nenek pasti sibuk," gerutunya begitu menggemaskan."Naura sayang, tante Aisyah juga sibuk." Ainun
"Naura, jangan jauh-jauh mainnya!" Teriak Aisyah.Dari kejauhan aku hanya menyimak keakraban keduanya. Naura yang sedang aktif-aktifnya terus berlari melewati setiap lereng kebun teh. Sekali-sekali Aisyah berhenti karena kelelahan mengejar gadis kecilku.Langkahku berhenti tepat di bawah pohon rindang. Entah kenapa, hari ini rasa malas betah menghampiriku. Biasanya aku begiru bersemangat mengajak Naura berkeliling kebun teh setiap kami pulang kampung.Aku mendudukkan diri lalu menatap luas perkebunan yang terpampang hijau. Udara sejuk di pagi hari dan hamparan hijau begitu menyegarkan paru-paru hingga pandanganku.Pikiranku seketika menerawang pada beberapa tahun silam. Saat itu setiap pulang sekolah, aku dan Fariz akan menghabiskan waktu bareng sejenak di bawah pohon ini. Menikmati indahnya hamparan hijau perkebunan teh dan semilir angin sejuk yang menyentuh kulit.Lamunanku buyar ketika seseorang berdiri tepat
"Dek, bangun! Ini sudah subuh," bisik Mas Rasha tepat di telingaku.Mataku perlahan mengerjap menyesuaikan cahaya lampu kamar yang sudah dinyalakan. Sosok Mas Rasha duduk di tepian ranjang sedang tersenyum manis ke arahku.Seketika aku terperanjat dari pembaringan ketika menyadari di mana aku sekarang. Mas Rasha merapikan anak rambut yang menutupi sedikit wajahku."Kenapa aku bisa di sini, Mas?"Mas Rasha kembali tersenyum lalu mendekatkan wajahnya. "Semalam kan ..... "Netraku membulat sempurna kala Mas Rasha sengaja menggantungkan kalimatnya. Matanya berkedip nakal membuatku semakin ketakukan."Apa semalam kita .... "Mas Rasha terkekeh pelan kemudian mencubit pipiku dengan lembut."Mas mau ke mesjid bareng abah. Mandilah lalu shalat," ucapnya seraya berlalu meninggalkanku dalam kebingungan.Setelah Mas Rasha pergi, aku memeriksa keadaan tubuhku. Tak ada tanda merah dan tak ada tanda
Sore ini Ainun hendak berkunjung ke rumah Fariz atas perminataan Aisyah. Sebenarnya Aisyah sengaja melakukan hal ini agar mertuanya berhenti membahas masa lalu Fariz. Ainun sebenarnya enggang, hanya saja, dia kasihan pada Aisyah. Semenjak kepulangannya, Aisyah merasa tersisih.Kali ini Ainun tak mengajak Naura turut serta. Hanya ditemani Rasha sesuai permintaan Aisyah. Ainun tak ingin Naura dijadikan senjata oleh Bu Risna."Kita mau kemana sih, Dek?" tanya Rasha."Ke rumah Aisyah," jawabnya datar.Langkah mereka berhenti kala sudah berada di depan pintu ber cat kan warna putih tulang. Perlahan kutekan bel yang tertempel manis di dinding. Selang beberapa waktu, Aisyah muncul di balik pintu."Assalamu'alaikum," sapa mereka bersamaan."Wa'alaikumussalam, Teteh, Mas. Mari masuk di dalam!"Mereka beriringan masuk lalu duduk di atas sofa. Tampak Aisyah sibuk menuju dapur setelah pamit sebentar. Keduanya tak ter
"Jadi, ini alasan kamu pulang sendiri, Neng?" tanya Abah saat kami tengah duduk di ruang keluarga.Saat ini abah mengintrogasi kami berdua. Aku sungguh tak menyangka abah akan tahu semua ini. Padahal sebisa mungkin aku berusaha menyembunyikannya dari abah.Ada rasa ketakutan luar biasa saat melihat mimik abah saat ini. Aku sangat tahu wataknya, abah tidak akan membiarkan seseorang menyakiti putrinya. Dan kini abah tahu semuanya, aku tahu apa yang bakal terjadi."Abah." Kali ini Mas Rasha mulai bersuara.Abah menatap tajam menantu kesayangannya. Wajah Mas Rasha pucat pasi. Berulang kali dia kedapatan menyeka keringat yang menempel di keningnya.Tanpa komando, Mas Rasha bersimpuh di kaki abah. Kini bahunya terguncang. Aku dan umi hanya diam menyimak. Biarlah kali ini urusan suamiku yang menjelaskan semuanya."Ampun, Abah. Maafkan Rasha. Saya sudah menyakiti Ainun istri saya," ucapnya di sela tangis. Abah ber
"Aw! Pelan-pelan, Dek!" keluh suamiku.Aku dengan penuh kehati-hatian membersihkan luka robek di wajah suamiku. Aku tak tahu bagaimana papa melakukannya. Membayangkannya pun sangat ngeri. Wajah suamiku hampir tak berbentuk. Wajah penih lebam dan hampir tak dikenali lagi. Sungguh beringas pukulan papa.Tak terasa air mataku mengalir setiap tangan ini berusaha merawat dan mengobati wajah suamiku. Ada rasa iba dan sakit melihatnya. Egoku mengalahkan perasaanku.Mas Rasha menyentuh tanganku yang tengah sibuk memberikan salep luka pada wajahnya. Tatapan kami bertemu, netra mas Rasha berembun. Aku mencoba memalingkan pandangan, namun tangan Mas Rasha membingkai wajahku."Maaf, Sayang, maafkan mas ...."Mas Rasha menitikkan air mata, bahunya terguncang kuat."Tolong, jangan ceraikan mas. Selamatkan pernikahan kita."Aku menepis kasar tangannya. Amarah kembali menguasai diri ini. Dia memintaku menyelamatkan
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga tak terasa Naura mengandung anak keduanya. Anak pertama diberi nama Muhammad Abhyzar Wicaksono. Kini, kandungan Naura memasuki usia tujuh bulan. Seperti sebelumnya, kedua belah pihak keluarga mengadakan acara tujuh bulanan. Awalnya semua berjalan dengan baik, hingga Nayla yangbsedang sibuk di dapur terjatuh begitu saja. Mwreka yang sedang berada di dalam rumah, gegas menghampiri Nayla lalu mengangkatnya. "Ibu Nayla pingsang!" pekik mereka. Suasana menjadi semakin gaduh. Arkan langsung memanggil Fariz untuk memberitahunya. "Papa, Mama Nayla pingsang!"Fariz segera berdiri lalu berbisik di telinga Rasha. Prosesi masih berjalan. Fariz langsung menggantikan posisi Rasha. Rasha berlari sekuat yang dia mampu kemudian mencari istrinya di antara kerumunan. "Nay!" pekiknya begjtu melihat istrinya lemah tak berdaya. "Arkan, hubungi ambu
"Naura, aku ingin bertemu sebentar," ucap Nino melalui sambungan telepon. Naura yang baru saja lepas dinas hanya bisa mengembuskan napas pelan. Dia begitu tahu bagaimana perasaan Nino saat ini. Namun, bagaimanapun, Naura sudah menerima cinta Arif. Sosok lelaki yang selama ini diam-diam menaruh hati padanya. "Naura, bisa kan?" "Kita ketemu di rumah saja.""Tidak. Aku sudah ada di rumah sakit untuk menjemputmu."Naura memijit pelipisnya. Dia tahu bahwa Nino itu orang yang sangat nekat. Seperti saat ini. Nino sudah tahu Naura telah memantapkan hati untuk siapa."Naura, please! Untuk kali terakhir."Naura menerawang. Dia.dilanda kecemasan. Dia begitu menjaga perasaan Arif calon suaminya. "Arif harus tahu.""Tidak pelu. Aku kan sahabatmu."Naura mengalah. Akhirnya dia memilih untuk mengikuti keinginan Nino. "Baiklah, tunggu aku di sana!"Naura bergegas menu
Pagi ini Naura disibukkan oleh pasien yang tiba-tiba membludak di poli umum.Suster Lisa yang membantu ikut kerepotan hingga dia berinisiatif memanggil Manda-rekan profesinya. Waktu berlalu begitu cepat hingga akhirnya pasien terakhir masuk. Naura yang sedang meluruskan tangannya tiba-tiba berhenti sejenak saat menyadari siapa yang tengah duduk di depannya. "Nino?" ucapnya sedikit ragu. Sosok yang ada di depannya mengulas senyum tipis tanpa membalas ucapan Naura. Naura berusaha bersikap normal. Matanya mulai berkaca. Ingin sekali dia menumpahkan segala kekesalan yang ada pada dirinya. Namun, Naura urung melakukannya. Selain karena masih di lingkungan kerja, dia juga tak ingin terlihat lemah di depan orang yang masih mengisi hatinya. "Pagi, Dokter Naura!" sapa Nino yang menyadarkan Naura dari lamunannya. "Hai, Nin!"Hanya itu yang bisa diucapkan saat ini. Naira sedang berperang dengan ak
Setahun sudah pernikahan kami. Suatu kesyukuran dari pernikahan kami lahirlah seorang putra yang kami beri nama Muhamma Arkan Hafiz. Berharap kelak Arkan akan menjadi anak sholeh dan penghafal Al Qur'an. Aa Fariz melantunkan adzan di telinga bayi kami. Suara merdunya membuatku menitikkan air mata. "Pa, ini adek Naura kan?" tanya putri kami. "Iya, Sayang. Nanti dia yang akan menjaga Naura dari orang jahat."Mata Naura berbinar. "Naura punya teman main dong, Bunda?""Iya, Sayang," jawabku. Arkan lahir melalui operasi sesar. Ketuban pecah dini dan semakin berkurangnya air ketuban membuatku harus menjalani operasi itu. Operasi sesar yang menurut orang di luar sana begitu mengerikan. Kuakui memang. Tapi, apapun itu, aku menikmati semuanya. Bagiku, yang penting bayiku lahir dengan selamat. "Assalamu'alaikum," sapa Sinta. "Wa'alaikumussalam."Ternyata Sinta tidak sendiri. Ada Mas Yuda, Nino, dan juga Raffa. "Wah si ganteng. Mirip pap
"Papa, Bunda, Naura ingin bicara," ucap Naura pada kedua orangtuanya saat mereka sedang duduk santai di teras rumah. "Soal apa, Sayang?" tanya Fariz. Naura memilin ujung jilbabnya. Berulang kali dia menggingit bibir bawahnya. Fariz dan Ainun saling memandang satu sama lain. Mereka masih menunggu putrinya angkat bicara. "Naura?" tanya Ainun. "Pa, Bunda, eum itu. A-arif katanya mau datang ke rumah.""Oh, ya? Kapan?" tanya Ainun. Fariz menoleh ke arah istrinya. Dahinya mengernyit karena maaih belum mengerti tentang apa yang dikatakan istrinya."Papa masih belum ngerti, Bun."Ainun menoleh ke arah suaminya dengan senyum yang menghiasi wajah cantiknya. Ainun meraih tangan suaminya lalu mengelus punggung tangannya. "Itu loh, si Arif-temannya Naura mau datang ke rumah.""Iya, Papa juga dengar tadi. Cuma, dalam rangka apa?"Ainun gemas mendengar penuturan suaminya yan
"Sha, aku sudah siapkan makan malam buat kita.""Iya."Selalu saja seperti itu. Dia tidak pernah sedikitpun bersikap manis padaku. Kecuali jika ada Ainun. Rasha selalu saja bersikap dingin. Aku hanya bisa menangis dalam hati saat diperlakukan seperti ini. Kembali ku langkahkan kaki ini menuju meja makan. Aku menunggu dia yang masih betah memandangi wajah mantan istrinya. Jangan tanya sakitku seperti apa. Tentu kamu tahu rasanya di posisi ini. Ibarat lagi Armada, 'Aku punya ragamu tapi tidak hatimu.' Menyesakkan bukan?Waktu berlalu dan aku masih betah menunggunya di sini. Di meja makan. Aku sudah memoersiapkan semuanya. Makan malam dengan masakan kesukaannya. Bahkan aku meminta resep pada Ainun. Nyatanya, itu lebih memyakitkan. "Ainun kirim makanan?" tanyanya saat beberapa sendok kiah soto Betawi masuk ke dalam mulutnya. "Ainun?" Dia mengangguk. "Masakan ini Ainun yang buat kan
"Pov Nayla."Naura, mama ingin bicara," ucapku saat Naura tengah duduk di taman bunga milik Ainun. Naura tak menyahut. Hal itu membuat hatiku sedikit menciut. Dia sejak dulu sudah membenciku. Di awal pertemuan kami aku telah menciptakan rasa benci untukku hingga dia pendam sampai kini. Bukan salah Naura jika dia membenciku begitu sangat. Ini memang salahku yang hadir menjadi penghancur istana yang susah payah mereka bangung. Hanya demi sebuah ambisi yang tak masuk akal, aku sudah menghancurkan hati banyak orang. Termasuk Naura. "Mama minta maaf sama kamu, Sayang," ucapku tulus. Namun, lagi dan lagi Naura tak menggubrisku. Aku paham akan itu semua. Jika aku berada di posisinya. Aku akan melakukan hal yang sama. "Mama sudah menghancurkan kebahagiaan kalian.""Sudahlah, Ma. Naura malas buat bahas masa lalu," ucapnya dingin. "Meskipun begitu, mama masih merasa bersalah.""Telat."
Lima belas tahun berlalu. Waktu berlalu begitu cepat. Kini aku menyaksikan putriku-Naura memakai jas berwarna putih.Suatu kebanggan bagi kami para orangtuanya. Cita-cita yang didambakan sejak dulu kini sudah menjadi nyata. "Dokter Naura!" sapaku lembut. Dia tersipu malu. "Ah, Bunda bisa aja."Naura telah menyelesaikan pendidikan profesi dokternya dan kini bekerja di salah satu instansi di Jakarta.Naura dikenal sebagai salah satu dokter yang berdedikasi tinggi. "Papa mana, Bun?" tanyanya sambil celingukan."Papa manti nyusul bareng Ayah dan Mama Nay."Naura memeluk tubuhku dengan sayang. Sejak dulu Naura seperti ini. Tak pernah berubah. "Bunda, Naura mau tanya sesuatu."Aku menoleh ke arahnya. "Iya, Sayang?""Sebenarnya ada yang ingin melamar Naura," ucapnya. Aku merasa bahagia. Senyum di wajahku tergambar begitu jelas. Dia gadis kecilku yang kini berusia dua p
"Bagaimana para saksi? Sah?""SAH!""SAH!"Suara menggema di segala sudut ruangan. Di sini, sebuah gedung dengan dekorasi nuansa putih dan pink yang memperindah tempatku melangsungkan pernikahan.Fariz melalui arahan dari penghulu nikah menyentuh ubun-ubunku seraya membacakan doa yang kuaminkan.Air mata perlahan metes kala sebuh sentuhan hangat mendarat di keningku. Tanganku kemudian meraih tangannya kemudian mencium punggung tangan sosok yang kini menjadi suamiku.Aku telah resmi menjadi istri seorang Muhammad Alfariz. Tangannya perlahan menyematkan cincin di jari manis sebelah kananku. Pandangan kami bertemu. Ada rasa getar cinta yang terasa begitu kuat. "Terimakasih sudah menerimaku, Ai," bisiknya. Aku mengangguk seraya mengulum senyum ini.Dari jauh kulihat Raffa dan Rasha memandangku dengan pandangan yang berbeda. Tak ada senyum darinya. Wajahnya begitu terlihat mendung. "Bunda!" pekik Naura saat kami selesai melak