Sesampainya di kamar, aku meminta tolong Mas Rafael untuk membuka resleting gaun yang kukenakan. Sesaat, dia menatapku, seperti sedang memikirkan sesuatu, sebelum akhirnya mendekat ke arahku dan membantu melepasnya. Aku merasakan hawa panas di sekujur tubuhku, dan seketika bulu romaku merinding, ketika tak sengaja tangannya menyentuh bahuku.
Seketika kesadaran menyentakku, agar tak membiarkan dia melepas sepenuhnya gaun ini. Setelah resleting belakang gaun terbuka, segera aku memutar posisiku yang membelakanginya, dan menghadapnya.
"Udah, Mas, gak apa-apa, biar aku saja yang lanjutin membukanya," ujarku padanya sambil memegang bagian atas gaun itu agar tak melorot dan menampakkan bagian dadaku kepadanya, karena bagaimanapun aku tak sudi disentuh oleh pria yang ku anggap telah membohongiku ini, meskipun dia telah sah menjadi suamiku.
"Mas, tolong ambilkan aku minuman," pintaku padanya mencari alasan, agar dia tak melihatku ketika berganti pakaian. Ketika dia keluar kamar, gegas aku menukar baju, lalu berbaring di ranjang sambil membaca-baca.
Lima belas menit berlalu, tapi ia masih tak kembali. Aku keluar kamar untuk mencarinya. Langkahku tiba-tiba melambat, saat samar-samar mendengar suara-suara meninggi di dapur. Aku mendekat, mencari posisi yang pas agar tidak ketahuan. Dan sepertinya mereka sedang bertengkar.
"Mas, pokoknya kamu hanya milikku, tolong jangan sentuh wanita itu,mas!! Carilah alasan untuk tidak menyentuhnya ketika dia memintamu melakukan kewajibanmu sebagai suami padanya, kalau bisa cari cara agar kamu tidak sekamar dengannya!!!" seru Desi.
"Tapi Desi, bagaimanapun dia sudah sah jadi istriku, baik secara hukum, adat, dan agama. Jika aku harus menjauhinya, untuk apa aku harus menikahinya!!!" tegas suamiku padanya.
"Apa kamu melupakan apa yang sudah kita lakukan, Mas?" lontar Desi padanya.
"Itu hanyalah sebuah kekhilafan, Desi, tolong ...!! biarkan Mas bahagia dengan Alena !!" bentak suamiku padanya.
"Tapi Mas, bukankah dulu alasan Mas menikahi perempuan itu hanya demi uang dan harta ayahnya saja?!" sergah Desi penuh amarah.
"Desi, cukup!!!" bentak Mas Rafael berbalik, dan aku juga berjalan keluar dari tempat persembunyianku di belakang partisi yang menyekat dapur dan ruang makan itu. Tiba-tiba kami bertubrukkan, dan nahas, kami terjatuh, dengan posisi Mas Rafael di atasku, seketika gemuruh di dadaku membuatku seperti kehabisan oksigen.
Desi berlalu meninggalkan kami. Ada yang menyala, tapi bukan api, ketika melihat adegan tak disengaja yang barusan terjadi.
Secepatnya Mas Rafael berdiri, mengulurkan tangannya dan membantuku berdiri. Tangan yang masih sama, yang mampu mengalirkan getar-getar hangat di hatiku, saat jemari ini tergenggam dalam tangannya.
"Alena, apa kamu mendengar percakapan kami?" tanya Mas Rafael curiga.
"Ehm ... oh ... nggak, kok, Mas. Aku baru aja ke dapur, karena mas kelamaan baliknya, (makanya) aku susul. Aku haus banget, mau ambil minum." jawabku berbohong.
"Ya udah, kamu minum dulu, mas mau ke kamar ganti baju, sekalian mau pesan gofood untuk makan malam kita. Kamu mau makan apa?" tanyanya padaku.
"Samain aja deh sama Mas," jawabku.
"Oke, sampai ketemu di kamar," ucapnya padaku.
Aku hanya mengangguk padanya. Pikiranku masih kacau, mengingat pembicaraan mereka barusan. Hal apa yang sudah dua insan itu lakukan, sehingga membuat Desi sepertinya tak bisa melepas Mas Rafael. Tapi aku harus membuat drama agar Desi marah dan makin membenciku, untuk tahu kebenaran perasaan Rafael padaku.
Seketika aku berlari kecil menyusul Mas Rafael, dan dia berhenti tepat di depan kamar Desi, saat mendengar suara kaki yang menyusulnya .
"Mas ... gendong,” kataku manja bernada centil pada mas Rafael.
Secepatnya, aku sudah berada dalam gendongan mas Rafael, di antara dadanya yang bidang dan tangannya yang kekar, nyaris meluluhlantakan benteng pertahanan hatiku.
Dan tak lama kemudian terdengar suara 'pranggggh....!!!' sepertinya sesuatu barang pecah di kamar Desi. Dan disusul suara Jay yang menangis. Ah, apa peduliku pada wanita itu, tapi nuraniku sebagai wanita ingin menenangkan balita yang menangis itu, tapi ya sudahlah, perasaanku juga masih sedang tak karuan sekarang.
***
Mas Rafael meletakkanku di atas ranjang, dia tersenyum padaku sambil membelai pucuk kepalaku. Aku merasa gugup, dan menggeser dudukku untuk memberi jarak di antara kami. Aku mencoba mencari alasan, agar dia tidak berbuat macam-macam, apalagi meminta haknya padaku.
"Mas ... anu ... anu ... emm ... aku sedang datang bulan mas," ujarku padanya berbohong.
"Iya sayang, tidak apa-apa, mas juga masih belum siap, kok," ucapnya sambil mengecup keningku.
Tiba-tiba ada yang bergemuruh, tapi bukan petir. Oh, my God ... Aku harus bagaimana? Aku sudah sah menjadi istrinya, sementara aku juga masih belum siap memberi haknya. Berharap dia tetap tak akan memaksaku di malam-malam berikutnya.
Aku mencoba memejamkan mataku, tidur dengan posisi memunggunginya, untung saja dia sudah terlelap duluan. Terdengar dengkuran halus dari hidungnya, bersahut-sahutan dengan detak jam di dinding kamar yang baru kutempati. Entah mengapa, rasa kantuk masih belum juga menghampiriku.Tiba-tiba saja aku teringat quotes dari Benjamin Franklin yang mengatakan: "Bukalah matamu lebar-lebar sebelum pernikahan, dan setengah tertutup sesudahnya."Aku menyesal, kenapa baru sekarang aku menyadari hal tersebut.Aku memang terlalu bodoh, karena termakan sikap baik dan tutur manisnya padaku. Sebelum menerima lamarannya dulu, semestinya aku harus mencari tahu bibit, bobot, dan bebetnya. Ya, tiga kata yang selalu papa ingatkan padaku dulu, bila waktunya tiba untuk menemukan pendamping hidup.Papa selalu mengingatkanku untuk tidak tertipu tampan dan mulut manis lelaki. Akan tetapi, besarnya rasa suka dan cintaku pada Mas Rafael kala itu, bahkan menutup ma
Aku terbangun ketika cahaya mentari pagi menilisik di antara celah-celah kamar yang baru kutempati ini. Tak berselang lama, terdengar gedoran di pintu kamarku, disertai teriakan suara perempuan, ya, siapa lagi kalau bukan Desi. Aku meraba dan menoleh ke samping, tak ada suamiku di sebelahku. Apa mungkin ia sudah berangkat ke kantor? Ah, tak mungkin. 'Bukankah saat ini dia masih cuti,' batinku dalam hati. Dengan malas aku berjalan mengambil sisir di meja riasku yang baru itu. Menyisir rambutku yang terasa kusut ini. Ide di pikiranku seketika menyuruhku untuk mengerjain Desi saja. Aku mengacak-acak rambutku, me-makeup-in pipiku dan leherku, membuat tanda menyerupai cupang, biar saja dia kira aku dan Mas Rafael sudah bercumbu malam ini, dan berprasangka bahwa ini tanda ini adalah kissmark dari Mas Rafael. Aku membuka pintu kamar, dan Desi tengah melintas di hadapanku. "Mengapa Des ..?" tanyaku sambil berakting dengan memegang-megang leherku yang t
Aku terbangun, ku lihat di sebelahku sudah ada suamiku tengah terbaring sambil memelukku. ‘Ah, manisnya wajahnya,’ gumamku. Tapi, kenapa tiba-tiba aku ada di kamar bersama dia? Bukankah tadi aku tengah berbaring di sofa ruang keluarga sambil menonton drakor? ‘Hmm ... mungkin saja aku ketiduran, dan dia mengangkatku,’ tebakku dalam hati. Pelan-pelan aku menggoyangkan badannya untuk membangunkannya. “Mas, bangun, Mas ... “ ujarku padanya. “Hmm ... “ Ia menggeliat sambil mengucek mata. “Selamat pagi, Sayang,” sapanya padaku sambil mengusap lembut pipiku. Aku yang tak bisa menahan hati, dengan rasa penasaranku yang menggebu-gebu langsung memperlihatkan foto mereka yang sempat ku foto pakai HP tadi. “Mas, sepertinya foto ini keren, yah, Mas. Keluarga bahagia,” sindirku padanya. Seketika wajahnya memucat. Terlihat jelas rasa kaget di air mukanya. Namun, dia berusaha menguasai diri dan bersikap
Satu jam dalam perjalanan, akhirnya kami tiba juga. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya kami sampai juga di alamat yang tertulis di kertas yang ku dapati dalam lemari kamar Bik Ijah.Setelah mengetok pintu dan mengucapkan salam beberapa kali, akhirnya pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Wanita ini terlihat anggun meski dengan berpakaian sederhana. Meski kepalanya telah dipenuhi sebagian uban, tetapi dengan gaya rambutnya yang ia gulung kebelakang itu membuat wanita ini tampak anggun dan berwibawa.“Ya, Neng. Neng-neng ini siapa, ya, dan hendak apa?” tanyanya menyelidik pada kami. “Ayo, silakan masuk dulu, silakan duduk,” ajaknya pada kami dan mempersilakan kami duduk.Setelah duduk, aku mulai berbasa-basi dan memperkenalkan diri. Ku lihat rasa kaget di wajahnya ketika aku memberitahu bahwa aku istrinya Mas Rafael, majikannya dulu di kota. Ia manggut-manggut, sebelum akhirnya menanyakan maksud kedatangan kami padanya.&ldq
“Pak, stop ... stop dulu,” kataku pada supir grab yang kami tumpangi.Mendadak mobil kami berhenti.“Ada apa, Mbak?” tanyanya bingung.“Mundur, Pak. Mundur dikit mobilnya,” perintahku padanya.Tanpa banyak tanya ia menuruti. Mobil bergerak mundur perlahan. Lalu, aku menyuruhnya menghentikan mobil, ketika sampai di dekat tempat di mana aku melihat wanita yang mirip Desi tadi.“Kenapa, sih, Lena?” Tanya Vika penasaran.Tanpa menjawab, aku mengeluarkan ponsel, lalu memfoto wanita itu yang tengah bersama dengan seorang pria, tetapi pria itu bukan suamiku.Vika melongokkan kepalanya untuk melihat apa yang sedang ku foto. Spontan aku menariknya, dan menutup jendela mobil, agar kami tak terlihat oleh Desi.“Itu sepertinya Desi, baju yang dia pakai sama dengan yang dikenakannya tadi pagi saat berangkat dari rumah,” terangku padanya.Vika hanya manggut-manggut, sambil me
“ Toloongg ... “ jeritku meronta sambil memalingkan wajah darinya.Dia semakin mendekatkan bibirnya ke arahku, dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Semakin aku mencoba bergerak untuk melepaskan diri dengan menggoyang-goyangkan kepalaku, dia malah semakin memepetku dan melumat bibirku. Antara terbuai oleh perasaan menikmati dan juga seketika merasa jijik membayangkan bahwa hal yang sama pasti pernah dia lakukan dengan Desi.Dengan sekuat tenaga aku mendorongnya dan menjerit, “Lepaassskannn!!!” Refleks ia melepasku.Sementara aku mengusap kasar bibirku yang ku rasa najis karena telah ternoda oleh lelaki yang telah menghianatiku ini.Sesaat ia mematung menatapku, seperti yang sedang pulih kesadaran. “Maaf, Alena,” ujarnya menarik napas berat.“Aku terbawa perasaan. Tolong jangan pernah ucapkan lagi kalimat perceraian padaku, jika kamu tak ingin aku berbuat macam-macam padamu,” tekannya padaku.
Aku memilih untuk mengunci pintu kamar, tak berniat untuk melihat wajah Mas Rafael, apalagi bila harus sekamar dengannya malam ini. Kejadian tadi sungguh sangat membuatku malu bila mengingatnya. Jujur saja, selama mengenalnya, ia belum pernah mengecup bibirku, apalagi berbuat macam-macam padaku.Menenggelamkan wajah ke kasur dan menutup kepala dengan bantal adalah hal yang kulakukan agar tak terpengaruh oleh perdebatan dan adu mulut mereka berdua di luar yang masih terdengar samar-samar di telingaku. Ku coba menutup mata, berharap bisa tidur nyenyak, meski pikiranku sedang menyusun rencana agar bisa menjebak keduanya. ‘Sepertinya aku harus berpura-pura pulang ke rumah orang tuaku saja,’ pikirku.Esoknya, kala mentari sudah mulai menampakkan sinar dan kehangatannya, aku gegas mempersiapkan diri dan beberapa keperluan pribadi yang ku butuhkan saja selama pergi seminggu itu yang akan ku bawa. Tak lupa juga aku meletakkan beberapa CCTV yang ku sambung di HP yan
Melihatku mengkerutkan kening sambil menatap layar ponselku, membuat Vika mendekatiku dan turut nimbrung. “Kenapa, Len?” tanyanya sambil melihat ponselku, lalu aku kembali memutar rekaman CCTV yang barusan kulihat tadi. “Halah, dasar ganjen! Cowok mana aja diembat!” lontar Vika padaku. “Kamu kenal cowo ini gak, Vik?” tanyaku penasaran. “Gak,” jawabnya. “Kayaknya kita harus cari tahu siapa lelaki itu,” ucapku. “Oke, mari kita came on!” ajak Vika sambil meraih kunci motor dan helmnya. “Loh, ke mana?” tanyaku bingung. “Lakukan penyamaran!” ujarnya sambil menarik kaca helmnya kebawah. “Penyamaran apa?” “Lah, untuk menyelidiki siapa itu si gondrong!” tukas Vika berlalu menuju motornya. Aku menurut saja. Gegas kumasukkan ponselku dalam saku celana, memakai jaket hoodie pinkku dan menutupi kepala dengan topi jaket tersebut, serta tak lupa memakai masker agar penyamaran ini tak ketahuan. Kusodork
Segera ku pesan taxi online, menuju ke rumah sakit cinta kasih tempat dimana papa dibawa. Segala pikiran berkecamuk dalam dada. Bagaimana bila semua tidak baik-baik saja.Tiga puluh menit dalam perjalanan akhirnya aku sampai juga. Untung saja jarak antara Laboratorium pelangi dan rumah sakit cinta kasih tidak begitu jauh.Setelah membayar taxi online tadi aku segera menelepon mama, untuk menanyakan dimana mereka berada."Halo, Ma. Aku udah sampai nih di rumah sakit," kataku pada mama lewat telepon sembari berjalan menuju tempat resepsionis."Kita di IGD, Nak," jawab mama lemah.Setelah bertanya pada bagian resepsionis arah ruangan UGD, aku berjalan cepat menuju ruang IGD tersebut.Dari jauh aku melihat mama yang tengah memeluk papa sambil menangis terisak-isak. Aku segera berlari berhambur ke pelukan mama. Tak terasa air mata jatuh dipelupuk mata, semakin lama semakin deras tak terbendung lagi. kugenggam erat tangan mama, mencoba memberinya kekuatan, lidah dan mulutku kelu tak mampu b
Dua minggu setelah aku membawa rambut dan liur Mas Rafael dan Jay ke Laboratorium Pelangi, kini aku kembali lagi mendatangi tempat ini sendiri tanpa ditemani Vika.Aku keluar rumah tanpa sepengetahuan Mas Rafael. Ia sedang ada meeting penting pagi ini di kantornya. Desi juga sedang tidak ada di rumah. Dan saat pergi, aku memberi alasan pada Bik Ijah bahwa aku sebentar mau ke mall bersama Vika.Perasaanku campur aduk duduk di Klinik ini. Menunggu sesuatu yang hasilnya membuat perasaanku deg-degan tak beraturan. Seorang analis kesehatan yang menerima sampel itu dua minggu yang lalu dariku menyuruhku untuk agak sedikit sabar sebentar menunggu giliranku dipanggil.Untuk membunuh kebosanan, aku membuka wo tv, dan menonton drama layangan pedot yang tengah viral. Terbawa perasaan menonton film tersebut, tepat saat episod satunya berakhir, tiba-tiba seorang perawat memanggil namaku, dan menyuruhku untuk masuk ke ruangan dokter.Segera ku masukkan ponselku ke dalam tas. gegas aku melangkah ma
Pulang dari laboratorium pelangi, aku mengajak Vika untuk pergi ke rumah papa mamaku. Rinduku sudah menggunung pada mereka. Kesibukan Mas Rafael membuat kami susah mengatur jadwal untuk sekedar menjenguk kedua orangtuaku tersebut. Sudah hampir empat bulan aku tidak pulang ke rumah ini. Kondisi pagar rumah tertutup, tetapi belum digembok. Aku membuka pagar pelan-pelan agar sampai tidak ketahuan, karena ingin memberi kejutan kepada papa mama. Vika mengikutiku memasuki pekarangan rumahku istanaku ini yang sudah empat bulan tak kukunjungi. Rumah terasa sepi, tak seperti biasanya akan ada satpam yang berjaga-jaga di pos satpam. Bunga-bunga mama di taman juga terlihat tidak begitu terurus. Aku menekan bel rumah berkali-kali tanpa mengucapkan salam. Sengajaku agar kedatanganku adalah surprise untuk papa dan mama. Selang lima belas menit terdengar sahutan. Pintu dibuka oleh mama. Mama sangat terkejut melihat kedatanganku, segera aku berhambur ke dalam pelukan mama. Mama mengecupku berkali-
Entah apa yang membuat hatiku agak sedikit bahagia hari ini. Kupoles makeup tipis di wajahku. Kelihatan natural seperti tidak memakai apa-apa. Ya, gayaku memang begitu adanya. Aku tersenyum mengamati wajahku di cermin, berjanji pada hatiku untuk menemukan titik terang antara Jay, Rafael, Steven dan Desi. Segera aku mengambil tasku, kuperiksa semua isinya apakah masih aman, terlebih-lebih sampel DNA Mas Rafael dan Jay yang telah kuambil itu. Hari ini aku berencana akan pergi ke laboratorium pelangi ditemani oleh Vika. “Mas, aku mau keluar dulu ya, mau jalan sama Vika,” ujarku pada suamiku yang tengah mandi di kamar mandi Tiba-tiba Mas Rafael membuka pintu kamar mandi, aku tersentak kaget melihatnya tidak memakai apa-apa. Spontan aku menutup wajah dengan kedua tangan. “Loh, kenapa kamu takut, bukannya kamu udah lihat semuanya?” godanya padaku. Tak kusahut ucapannya. Aku membalikkan badan dan meninggalkannya. “Aku mau keluar bareng Vika, mau refreshing.” Aku setengah berteriak mengat
Malam ini suamiku agak lama pulang karena lembur seperti katanya tadi saat meneleponnya, aku memilih untuk tidur duluan tanpa menunggunya, sementara di luar angin kencang, dan suara petir yang bersahut-sahutan dengan air hujan yang jatuh tak mengenal waktu dan tempat tersebut.Aku terus mencoba memejamkan mataku meski terasa susah karena perasaan takut dengan suasana hujan yang terasa mencekam, apalagi tak lama setelahnya lampu ikut-ikutan padam, sungguh membuat keadaan tampak semakin menyeramkan.Saat kantuk mulai menjalari diriku, mataku mulai terasa berat. Barang lima menit aku mulai terltidur, terdengar suara ketukan di depan pintu kamar kami. Seperti yang bermimpi, terdengar seperti suara Mas Rafael.“Alena, Lena ... buka pintunya.”Aku membuka mata, dan masih bergeming, rasanya berat sekali menggerakkan tubuhku untuk sekedar berjalan dan membukakan pintu untuknya.Aku masih mengucek-ngucek mata ketika teleponku berdering. Telepon
Siang ini Jay pulang sekolah dijemput oleh Steven. Ketika keduanya memasuki rumah membuat perasaan curiga dan penasaranku muncul. Jika diperhatikan dengan seksama keduanya sangat mirip bagai pinang dibelah dua. Hanya kelihatannya Jay adalah versi kecil dari Steven. Untuk mengobati rasa penasaranku, aku berencana untuk melakukan tes DNA Jay dan suamiku apakah benar bahwa Jay adalah anaknya dari hasil hubungannya dengan Desi di masa lalu.Satu jam setelah mengantar Jay, Steven pamitan untuk pulang ke tempatnya. Hatiku tak tahan untuk menanyai masa lalu dan hubungannya dengan Desi.“Steven ...!” panggilku tatkala Steven hendak keluar rumah. Dia membalikkan badan melihat ke arahku.“Ya?” ucapnya.“Em, Aku mau nanya sesuatu,” kataku berusaha menahan diri, agar bicaraku tak membuatnya curiga.“Apa itu?” tanyanya sambil berjalan dan mengambil kursi tepat di hadapanku.“E–ehm, mau nanya aja
Untuk beberapa saat hening, aku dan Vika terdiam, terhanyut dengan pikiran masing-masing, sambil memandangi ikan-ikan koi yang tengah asyik berenang ke sana kemari. Tiba-tiba Bik Ijah datang memanggilku.“Non Alena!!”Aku mengalihkan pandanganku melihat ke arah Bik Ijah yang tengah berdiri di pintu penghubung antara taman dan dapur itu.“Ya, Bi, ada apa?”“Non, Tuan Rafael sudah pulang, Non Alena dipanggil sama Tuan Rafael.”“Oh, baiklah, ayok Vika,” ajakku pada Vika sembari beranjak meninggalkan taman menuju ruang makan, tempat dimana suamiku tengah menungguku.“Alena, tapi aku malas ketemu suami kamu, aku tunggu di kamar saja yah,” ujar Vika mengelak untuk bertemu dengan Mas Rafael.“Baiklah,”Vika berlalu langsung menuju kamar tempat dia menginap, sementara aku langsung duduk di hadapan Mas Rafael yang tengah duduk di meja makan.“Ini pesana
30 menit berlalu setelah aku menelepon Mas Rafael, ponselku kembali berdering. Tertera nama suamiku di layar lewat aplikasi berlogo hijau itu. Segera kuangkat, tak lama kemudian terdengar suara di seberang sana.“Ada yang agak lebih susah dapatnya gak?” ucapnya dengan kesal dengan napas memburu.“Maksud Mas, apa?” tanyaku berpura-pura bingung.“Ya, pesananmu itu, terdengar aneh, dan sudah nyari di restoran yang dekat dengan kantor mas tapi gak ada, aneh-aneh saja!” gerutunya lagi.Vika cekikikan mendengar suara Mas Rafael yang menggerutu kesal di telepon. Aku sengaja memberi speaker, biar kami berdua bisa mendengar bagaimana reaksinya dan usahanya mencari dan membeli beberapa daftar pesanan makanan yang telah kukirim padanya setengah jam yang lalu. Aku pun ikutan cekikikan dengan menahan tawa dengan telapak tangan sebelah kananku. Ada sedikit perasaan puas telah mengerjainya sore ini.“Ya, diusahain lah, Ma
Terdengar suara ketukan di pintu kamar tamu yang aku dan Vika tempati. Ketukan yang sangat kasar dan berturut. Kulihat Vika masih terlelap dalam tidur sorenya dengan suara dengkuran halus yang keluar dari hidungnya. Dengan malas kubuka pintu kamar tamu dan terlihat Desi sedang berdiri sambil berkacak pinggang padaku.“Hei wanita tak tahu diri, gak usah sok belagu ya kamu di sini. Sudah seperti nyonya besar saja. Main ajak nginap teman segala lagi di sini. Kamu pikir ini rumah kamu, hah?” ucap Desi marah padaku.Aku hanya tersenyum sinis menatapnya, tak menggubris ucapannya. Vika terbangun dan mendekati kami. Melihat Vika mendekat membuat Desi makin murka.“Hei kamu, gak usah jadi ikutan jadi benalu ya di sini, secepatnya kemasi barangmu dan pergi dari sini!!” teriak Desi marah sambil menunjuk pintu, mengisyaratkan agar Vika segera pergi dari rumah suamiku.Aku hanya berdecak kesal padanya, tanpa menggubris perkataannya, aku segera