Setelah perjalanan yang memakan waktu hampir enam jam, akhirnya kami sampai di rumah minimalis bertingkat dua dengan halaman yang cukup luas. Suasanya cukup asri dan segar karena ditumbuhi macam-macam bunga dan pohon buah.
Kuangkat tangan kiriku melihat jam, waktu sudah menunjukkan jam sembilan pagi. Saat masuk kedalam rumah aku disambut Papa dan bang Heru yang sudah terlihat segar sepertinya mereka baru selesai mandi. "Bagaimana, nyenyak tidurnya di jalan?" tanya bang Heru seraya mengusap rambutku. Aku menggeleng. "Gak bisa tidur," jawabku. "Istirahatlah, nanti setelah makan siang kita bicara di ruangan Papa," ucap Papa seraya beranjak dari duduknya. "Bang, kok gak ke vila yang biasanya?" Tanyaku. Bang Heru tersenyum. "Hilman dan antek-anteknya sudah berjaga disana, dan kita memilih jalan aman bersembunyi disini. Rumah ini peninggalan almarhum Kakek dari Mama, sudah abang renovasiAku terkejut saat sadar kalau ponsel lamaku menyala, pantas saja ada pesan masuk dari Bang Azlan. Sepertinya ponsel lamaku dengan yang baru tertukar dikamar tadi, ada banyak pesan masuk dari Bang Azlan juga Bang Hilman. Mereka mempertanyakan keberadaanku."Bang, kalau location, Nay matikan gak bakal terlacak kan?" Tanyaku pada Bang Heru.Bang Heru mengernyit bingung. "Kurang paham, nanti abang tanyakan teman abang ya, untuk sementara matikan saja ponselmu dulu," jelas Bang Heru.Aku kembali mematikan ponselku. Semoga saja keberadaan kami tak terlacak, aku membuka laptop untuk mengecek pekerjaanku, ada beberapa laporan dari sekretarisku bahwa Bang Azlan berusaha masuk keruanganku untungnya dapat dicegah oleh satpam, hari ini juga dia tak masuk kerja.Aku kembali mengecek kamera CCTV di rumah, untungnya tekhnologi sudah sangat canggih. Walaupun jauh, aku bisa memantau apapun yang mereka lakukan. Kulihat Tante Ira masih ada di rum
Seminggu sudah aku berada ditempat persembunyian, tak ada tanda-tanda mencurigakan dari Bang Heru dan Papa. Sudah jelas, pengkhianat dalam keluarga ini adalah, Bang Hilman dan Tante Ira. Bodohnya aku mencurigai Papa dan Abangku sendiri."Bang, sampai kapan kita disini?" Tanyaku.Jujur saja, aku mulai jenuh berada disini. Aku tak bisa mengakses sosial mediaku seperti biasa, aku tak bisa jalan-jalan. Aku bagai burung dalam sangkar, tak tahu kapan akan dilepaskan untuk terbang bebas."Besok kita pulang," jawabnya tanpa menatapku.Aku mendesah lega, jadi penasaran bagaimana keadaan rumahku setelah kutinggal seminggu. Apa mereka masih betah disana? Atau sudah pergi, karena tak mendapatkan apa yang mereka mau.Bang Heru menatapku. "Sertifikat rumah, gak kamu tinggal 'kan?" Tanyanya.Aku menggeleng. "Ada kubawa," jawabku.Bang Heru menunjukkan pesan dari temannya, rumahku
Jantungku berdebar ketika mobil sudah berhenti didepan rumahku sendiri, ada perasaan tak nyaman menelusup dihati. Rumah terlihat sepi, padahal setengah jam sebelum kami sampai, mereka masih ada di rumah. Sekarang kemana mereka? Kamera CCTV mendadak rusak, hanya menampilkan layar hitam, sepertinya ada yang tak beres. Mereka sudah mengetahui bahwa aku memakai kamera tersembunyi.Apa sekarang mereka sedang menyusun rencana untuk menjebakku?"Kita tunggu polisi dulu, baru turun," ucap bang Heru.Aku bergeming, menatap rumahku dari jendela mobil. Halamannya begitu kumuh tak terawat, padahal baru seminggu aku pergi. Rumahku sudah seperti tak berpenghuni, mereka manusia-manusia jorok!Lima menit kemudian ada mobil honda jazz berhenti dibelakang mobil kami, sepertinya itu polisi yang melakukan penyamaran, mereka keluar dari mobil tanpa seragam. Hanya memakai kaos biasa."Mereka akan menyamar jadi pembeli rumahmu,
Aku terpaku menatap perempuan dihadapanku. Dia, Anita, sahabat kecilku dulu. Aku menyeringai menatapnya, dulu memang kami bersahabat tapi sekarang dia adalah pengkhianat. Kuhempaskan tangannya dengan kasar, matanya berembun ekspresinya berubah ketakutan seraya menutupi perut buncitnya dengan blazer."Anak siapa itu?" tanyaku datar.Anita bergeming, dia melangkah mundur berusaha menjauhiku. "Kamu tak akan bisa lari," ketusku.Anita menunduk. "Ma-af," lirihnya.Aku berdecih. "Apa maafmu, bisa merubah keadaan?" Sinisku."Anak siapa itu?!" Aku mengulang pertanyaan yang sama."A-anak, Azlan," jawabnya gugup dengan bahu bergetar.Tapi aku tak langsung percaya, apalagi aku sempat melihatnya bergumul dengan bang Hilman melalui CCTV."Bukan anaknya Hilman?" tanyaku sinis.Anita terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin dia tak menyangka jika
Perutku terasa diisi kupu-kupu, membuat perutku geli membayangkan perut ini membuncit seiring membesarnya janin di perutku. Tak sabar rasanya, kurebahkan tubuhku diranjang. Tak sabar menanti pagi untuk periksa kesehatan sekaligus kehamilanku. Ternyata benar janji Allah yang tertulis di Al Qur'an dalam surah Al Insyirah ayat 5 sampai 6.Dibalik setiap kesulitan pasti ada kemudahan, dibalik setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Kehamilan ini, membawa kebahagiaan untukku, meskipun rumahtanggaku tak lagi utuh. Aku berharap dia menjadi penerang dalam hidupku, dan penenang dalam jiwaku.Allah memberiku banyak ujian dalam rumah tanggaku, tapi Allah juga memberikan kejutan.Kulirik ponselku yang bergetar di nakas, ada panggilan dari polisi bernama Ageng. Untuk apa dia menelfonku tengah malam begini?Kuraih ponselku seraya menggeser icon hijau, mengangkat panggilan."Halo, selamat malam! Maaf mengganggu is
(Spesial PoV Azlan)Aku terbangun dengan kepala terasa berat, dan bagian bawah perutku terasa sangat sakit. Aroma obat menyeruak menusuk indera penciumanku, kuperhatikan sekelilingku aku bukan lagi didalam penjara, tapi disebuah ruangan serba putih. Ditanganku sudah menempel jarum infus.Aku mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya, saat digelandang keluar rumah dalam keadaan tubuh masih melekat dengan Tante Ira, membuatku teramat malu dan hina dihadapan Nayra. Tatapan sinis dari para tetangga membuatku semakin malu, penyesalan menyeruak didalam dada.Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit untuk melepaskan 'barangku' dari milik Tante Ira, aku terus memikirkan bagaimana caranya untuk merayu Nayra agar mau kembali padaku. Tak kugubris, jeritan Tante Ira yang mengerang kesakitan karena organ intimku terlalu lama berada didalam miliknya.Kepalaku berdenyut nyeri, ditambah rengekan tante Ira membuat kepalaku terasa
POV NayraPapa dan bang Heru pamit keluar sebentar ada yang diurus, hanya ada dua bodyguard yang berjaga didepan pintu apartemenku. Kurebahkan tubuhku di sofa, fikiranku berkelana memikirkan bagaimana menjebloskan Tante Ira dan Hilman. Benar kata Papa mereka begitu licik dan licin sekali, susah untuk ditangkap. Begitu banyak tempat mereka bersembunyi, bahkan mereka begitu pintar mencari kesempatan saat para petugas sipir lengah.Aku memijit kepalaku, lalu tangan kananku mengelus perutku yang terasa kram. Mungkin karena aku terlalu banyak fikiran, hingga berdampak pada kandunganku. Kupejamkan mata, beristirahat sejenak melupakan masalah yang datang silih berganti. Aku jadi ingat ucapan teman SMP dulu."Selagi nafas masih berhembus, kehidupan terus berjalan, masalah itu pasti akan ada. Tergantung bagaimana kita menghadapinya," ucap Puji waktu itu.Bagaimana kabarnya dia sekarang, ya? Apakah cita-citanya menjadi hakim
Adelia meringkuk dibalik jeruji besi, tubuhnya menggigil, selangkangannya terasa basah karena terus mengeluarkan cairan berbau busuk. Tahanan yang lain, duduk menjauhinya tak ada satupun yang mau menolong atau mendekatinya. Bahkan sipir pun acuh tak acuh dengan keadaannya. Bahkan, Ibunya yang selama ini dia bela tak pernah mengunjunginya."Tunggu aku, Nayra, jangan kau fikir setelah aku mendekam seperti ini kau bisa bebas! Akan kubuat kau menyusul Ibumu di neraka!" gumam Adelia.Begitulah jika hati diselimuti dengan iri dan dengki, ditambah dendam masa lalu karena termakan hasutan orang lain. Bukannya menyesali perbuatannya, dia malah semakin dendam dan menyalahkan orang lain."Pak! Tolong dong, ini perempuan j*l*ng dipindahkan, bau busuk!" teriak salah satu tahanan.Semua orang memanggilny dengan sebutan 'j*l*ng', kabar tentang dia ditangkap dalam keadaan ganc*t menyebar keseluruh sel tahanan. Terlebih, sekarang di
Misteri Kematian HilmanHilman bergeming dengan keringat sebesar biji jagung bercucuran saat terbangun dari tidurnya. Mimpi buruk yang sama seperti kemarin, perempuan berwajah menyeramkan datang dan berusaha membunuhnya. Bahkan perempuan itu terus meraung-raung, saat ia berusaha menjauh, yang membuat ia heran perempuan mengerikan itu menggendong bayi berwajah sangat menyeramkan. Wajahnya penuh luka tusuk.Hilman merasa mual saat mencium bau busuk, matanya bergerak kesana kemari mencari asal bau busuk tersebut. Suasana sel sangat sepi, sipir yang biasa berjaga di depan juga tak ada. Tengkuk Hilman terasa dingin, bulu halusnya meremang."Hilman ..."Suara perempuan itu lagi terasa nyata, dengan susah payah Hilman menelan salivanya. Dia ingin lari, tapi tubuhnya sama sekali tak bisa di gerakan."Hilman ... Ini aku!" lagi suara itu semakin dekat.Tubuh Hilman bergetar saat merasakan pelipisnya disentuh ses
2 Tahun berlalu ...Ira berjalan tertatih menuju kamar mandi, para sipir mengawasinya dari kejauhan. Ira tersenyum miris, meratapi nasibnya begitu mengenaskan, menghabiskan masa tua seumur hidup di penjara. Anak angkatnya sudah tiada, anak tirinya menjauh, keluarganya tak peduli. Dia benar-benar sendirian di penjara, walaupun sesekali Broto menjenguknya.Ira tak menyangka jika Broto masih berbaik hati menjenguk dan membawakannya makanan, padahal dia sudah menghancurkan rumah tangga dan mencelakai anak cucunya. Tapi, Broto masih berbesar hati mengikhlaskan semua yang terjadi. Tapi hukum tetap berjalan, Ira tetap harus menjalani hukumannya atas kasus percobaan pembunuhan dan pencemaran nama baik.Ira terduduk di sudut kamar mandi, dia putus asa. Tak ada lagi harapan untuk melanjutkan hidup, dia ingin ajal segera menjemputnya karena sudah tak tahan lagi di hantui penyesalan. Belum lagi rasa bersalah pada istri pertama Broto menghantuinya, ba
POV AgengTubuhku menegang saat mendengar penjelasan Heru, tentang Nayra yang hendak dilamar seorang ustadz di kampungnya. Jantungku berdebar, hatiku hancur berkeping, rasanya kaki ini lemah tak bertulang membuatku terduduk disudut kamar. Cinta pertamaku akan di lamar orang lain, haruskah aku mundur dan mengalah? Sekian lama kunanti, tapi kenapa Tuhan seolah tak memihak kepadaku? Apa aku tak pantas menjadi pendampingnya?"Allah, izinkan hamba untuk memilikinya dan menjaganya hingga akhir hayat hamba, jadikanlah ia pasangan halal hamba,"Aku mengusap wajah kasar, rasanya tak ada lagi harapan untuk memiliki Nayra kembali. Terlebih lelaki itu akan melamar minggu depan, Nayra bolehkan aku menikungmu di sepertiga malam? Jika tak bisa meminta hatimu padamu, maka akan kupinta cintamu pada Sang Pemilik Cinta.Hampir tiga bulan aku berusaha mendekatinya kembali, tapi kenyataannya nihil. Nayra menganggapku teman biasa, terang
Sudah hampir dua bulan Azlan berada di rumah sakit tahanan, tubuhnya semakin kurus kering. Bermacam-macam obat sudah dia minum, tapi tak ada perkembangan pada kesehatannya. Penyakitnya semakin parah bahkan alat kelaminnya semakin membengkak, membuatnya merintih kesakitan sepanjang hari.Sedangkan Hania kembali masuk penjara karena sudah menyebarkan video asusila dan membawa kabur narapidana. Bahkan orangtuanya juga ikut terjerat masuk kedalam penjara karena terjerat kasus kekerasan dan penganiayaan. Mereka semua hanya bisa meratapi nasib sial yang menimpa, tak ada keluarga yang mau menolong atau pun membantu meringankan masa tahanan.Herman setiap hari mendampingi Azlan, bahkan tak segan membantu membersihkan tubuh keponakannya."Om," lirih Azlan.Herman mengangguk. "Ada apa?" tanyanya seraya mengusap punggung tangan Azlan."Aku ingin bertemu Nayra,"Herman menggaruk pelipisnya, dia bingung hen
Nayra bergeming menatap perempuan paruh baya yang juga menatapnya di balik jeruji besi. Tubuhnya sangat kurus, pipinya terlihat cekung, seperti tak ada semangat dan gairah untuk hidup. Perempuan paruh baya itu, Ira. Perlahan dia mendekati Nayra yang masih mematung, meskipun Ira sempat membenci Nayra, tapi rasa sayangnya pada Nayra masih ada. Sedari kecil dia merawat Nayra hingga dewasa, demi mendapatkan hati sang suami. Tapi ternyata, cintanya tetap bertepuk sebelah tangan.Dendam masa lalu, tak terbalaskan dan kini dirinya harus menghabiskan hidup didalam tahanan. Matanya mengembun saat melihat Nayra, terlintas bayangan wajah Amira perempuan yang dahulu dia sakiti karena dendam.Nayra reflek mundur ketika tangan Ira hendak menyentuh pipinya."Nay, ini mama nak," lirih Ira dengan suara parau.Nayra menundukkan wajahnya, air mata meluncur bebas membasahi pipinya. Hatinya merasa tak terima, walaupun dia sudah berusaha
Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah hampir sebulan Nayra berada di kampung halaman kakek dan neneknya. Kini dia sudah siap menjalani hari dan melanjutkan kembali pekerjaannya di kota, hatinya sudah berdamai dengan orang-orang di masa lalu. Kalaupun dipertemukan kembali, dia sudah biasa saja tak akan merasa sakit hati."Nay, sudah siap?" tanya Heru setelah merapikan kerah bajunya.Hari ini, Heru akan melamar Syifa sebelum mengantar adiknya pulang ke kota. Heru tak mau berlama-lama menggantung hubungannya dengan Syifa, karena dia tahu semua perempuan selalu ingin kepastian bukan hanya janji manis tanpa bukti."Gantengnya, abangku!" puji Nayra seraya menepuk bahu Heru.Heru tersenyum tipis. "Iya dong, ganteng!" sahut Heru jumawa.Aldo dan Aldi yang ada dibelakang mereka hanya tersenyummelihat tingkah abang dan adiknya. Mereka bahagia bisa berkumpul kembali, tak ada lagi pengkhianat yang
Herman berdiri didepan gundukan tanah yang bertaburan kembang tujuh rupa, didepan nisan ada foto perempuan muda yang tengah menggendong bayi laki-laki. Herman berjongkok, mengusap nisan dengan mata berembun."Dik, Mas menemukan anakmu, walaupun dalam kondisi sedang sekarat. Mas akan berusaha menyembuhkannya," gumamnya dengan air mata berlinang."Mas tak ikhlas, melihat mereka memperlakukan Azlan bak hewan, aku yakin kamu juga pasti sakit hati melihat anakmu diperlakukan seperti itu, akan Mas balas semua kejahatan mereka," ucapnya lagi dengan tatapan penuh amarah.Herman, mengusap wajahnya. Lalu beranjak dari pemakaman adiknya, yang tak lain Ibu kandung dari Azlan. Duapuluh sembilan tahun yang lalu, Azlan dititipkan pada pasangan suami istri yang belum dikaruniai anak, Pak Ginting dan Bu Maya. Saat itu, orangtua Azlan berada diambang perceraian. Sehingga mau tak mau, Ibu kandungnya menitipkan anaknya pada orang lain.Semua
POV AuthorSudah hampir seminggu Azlan berada didalam ruangan sempit semenjak kabur dari rumah sakit, tangan dan kakinya terikat tali tambang. Dia terus memanggil Ayah dan Ibunya tapi tak ada yang menggubris, dia seperti dibuang, tak ada yang merawat. Bahkan makan pun hanya diberi roti tawar selembar tanpa selai maupun minuman.'Sebenarnya apa maksud mereka membawaku kabur? Kalau seperti ini lebih baik aku dipenjara!' Batin Azlan seraya menatap sekeliling ruangan kumuh dan sempit. Hawa didalam ruangan begitu pengap karena tak ada jendela, bau busuk karena lendir yang keluar dari kemaluannya bercampur menjadi satu dengan kotorannya.Azlan mengerang frustasi, dia tak menyangka akhir hidupnya akan seperti ini. Tak ada lagi kesempatan untuk kembali bersama Nayra, terlebih kini dia penyakitan, bahkan perempuan lain pun pasti enggan mendekatinya."Seandainya aku tak selingkuh, mungkin hidupku bahagia bersama istri dan ana
Pov NayraSetelah seminggu perawatan, akhirnya aku kembali pulih dan diizinkan pulang meskipun hati dan jiwa ini belum sepenuhnya pulih. Luka itu masih menganga lebar meneteskan darah, setelah mengetahui bahwa belahan jiwaku yang bersemayam didalam rahim ini telah pergi selamanya. Bahkan dia pun enggan bertahan, tak ingin melihat dunia yang penuh konspirasi ini."Nay, mau makan apa?" Tanya Bang Heru seraya ikut duduk di sampingku.Aku menggeleng. "Masih kenyang," jawabku singkat.Bang Heru mengangguk, lalu kembali fokus dengan gawainya. Aku hanya diam menikmati semilir angin sore yang menerpa wajah, kami berada ditepi danau didekat rumah mendiang nenek kami. Aku memilih pulang kekampung halaman nenek untuk menenangkan jiwa yang tengah terguncang.Dua minggu lagi, aku sudah resmi berstatus janda. Aku akan terbebas dari ikatan pernikahan, kututup cerita pahit bersama bang Azlan. Akan kubuka lembaran b