RIDA Aku turut bahagia atas pernikahan mas Adnan dengan Lestari. Meski baru pertama melihat, aku tahu wanita barunya itu baik. Dan, tentu nanti akan berpengaruh baik juga pada anak-anak jika sedang bersama mereka. Azka dan Azkia pun sepertinya senang pada Lestari. Aku menyadari ada tautan hati di antara mereka sama seperti tautan hati pada mas Afgan. Kudoakan pengantin dari lubuk hati terdalam. Hati ini sudah bersih dari sakit hati dan dendam masa lalu pada mantan. Toh, diapun sudah menyadari kesalahannya, dan aku pun sudah bahagia dengan pasangan baru. Mas Afgan tak pernah melepasku saat kami ada di pesta ini. Ia seolah ingin memamerkan kemesraan di depan publik. Aku malu sebenarnya, tapi tak bisa protes nanti malah digoda habis-habisan. Pria ini tak pernah lupa mengenalkanku pada relasinya. Ia dengan bangga akan mengatakan ini istri tercinta saya. Betapa tersanjung diriku yang selau merasa tak percaya diri. Mas Afgan selalu mendukungku untuk lebih yakin pada diri sendiri. Ia t
Meskipun pemimpin, Alan sepertinya sangat bergantung dengan mas Afgan dalam memutuskan sesuatu. Ia seolah tak percaya pada kemampuannya sendiri. Padahal menurut suamiku, adiknya itu memlilki kemampuan besar, hanya saja suka inscure jika berhadapan dengannya.Selama mas Afgan ngobrol dengan adiknya, aku pergi ke dapur. Rencananya ingin membuat sesuatu untuk mas Afgan. Meski nanti para pelayan dengan segala cara melarang, aku tetap kukuh ingin masak. Jadilah mereka ikut serta.“Katakan saja, Nyonya mau dibuatkan apa?”.“Ayo kita masak bersama. Tolong siapkan bahannya, ya!”Akhirnya mau tak mau mereka melakukan tugas yang kuperintahkan. Aku hanya memasak kalau mas Afgan sedang libur dan ada di rumah. Dan itu jarang juga. Tak masalahlah sesekali masak sendiri untuk suami.Sampai beres masak, mas Afgan belum selesai juga ngobrol dengan Alan.. Begitulah mereka kalau sudah membahas persoalan bisnis jadi lupa semuanya.Aku minta pelayan menyiapkan makanan di gajebo taman belakang. Kami akan m
“Tutup mata!” pintanya.Hmm aku tahu apa bayaran maafnya. Dia pasti minta kami tak keluar setelah shalat subuh ini.Baiklah, Sayangku! Aku akan tebus prasangka itu dengan pelayanan yang akan membuatmu melayang ke angkasa.Mas Afgan menahanku turun dari ranjang setelah kami melalui permainan panas selepas sholat subuh. Katanya ia ingin memelukku lebih lama. Mungkin sampai siang.Mumpung hari libur katanya jadi manfaatkan untuk berduaan. Terlebih tak ada anak-anak jadi makin banyak saja peluang bermesraan.Dia sudah bilang pada Alan untuk tak menganggunya. Ponsel pun dimatikan agar tak ada gangguan sama sekali. Mas. Afgan bilang sehari saja ia ingin lepas dari kesibukan.Kami ngobrol banyak hal, hingga sampai pada rencana punya adik untuk Azkia. Kalau hamil sekarang, putri kecilku akan punya adik di usia empat tahun. Sudah cukuplah untuk jadi kakak.“Sayang, aku senang kalau kita banyak anak. Hidup pasti ramai, tapi aku juga menyerahkan padamu, pastinya melahirkan itu sakit, mengurus ju
Sebagai orang tua sudah seharusnya memahami sisi fsikologis anak yang akan memliki adik. Jangan hanya menuntut mereka untuk baik pada saudara barunya, tapi tak dipahami sisi jiwanya.*“Papa, aku mau punya adik baru!” kata Azka pada mas Adnan saat datang ke rumah untuk menjemput anaknya..“Alhamdulilah, barokallahu. Kakak harus baik sama adik baru, ya. Nanti ditemani!” sambut mas Adnan.Azkia pun mengikuti langkah kakaknya. Dengan kalimat yang sudah lancar, ia mengungkapkan kegembiraan ada bayi di perut mama. “Selamat, ya atas kehamilannya. Semoga dimudahkan kelahirannya!” sambut mas Adnan. Aku merasa itu adalah ucapan tulus dari lubuk hati terdalam.“Selamat, ya Mba. Semoga saya juga menyusul!” ucap Lestari. Terlihat sekali ia memang ingin punya anak lagi. Mungkin untuk menguatkan hubungan dengan mas Adnan juga.Kuaminkan permohonannya untuk segera hamii. Sangat berar sekali harapan pada pasangan yang baru menikah dua bulan lalu.*Hari ini mas Afgan bilang pekan depan ada undangan
ELA Andai ini bukan di tempat umum, akan kumaki wanita kampungan ini. Enak saja aku harus hormat padanya. Jangan Mentang-mentang istri Afgan lantas bisa semudah itu menundukkan Ela. Tidak semudah itu, bodoh! Gaya Rida selangit. Huh, mungkin efek jadi orang kaya baru. Lihat saja siapa yang akan bertahan jadi wanita paling dihormati. Mungkin sekarang aku sedang dipandang buruk sebagai pelakor, penghancur rumah tangga Jim dan Cindy. Namun, seiring waktu para pembully itu juga akan cape sendiri. Baiknya sekarang aku tak cari masalah dulu pada Rida. Kata Jim, keberadaan Afgan sebagai rekan kerja harus dipertahankan. Itu sangat berguna untuk menahan laju serangan keluarga Romanov yang makin berjaya saatnya ini. Meski aku tak mau bermanis muka pada Rida, baiknya memang menuruti perintah Jim kali ini. Kalau perusahaan dia hancur, aku juga akan rugi. Daripada jadi masalah baiknya kutinggalkan saja wanita kampungan itu. Lebih baik cari pakaian untuk menambah koleksi fashionku. “Baiklah,
Telpon sialan kenapa tak berhenti menjerit. Kevin benar-benar membuatku naik darah. Ia tak menghentikan panggilan hingga terpaksa kuangkat. “Kenapa lama sekali, Sayang! Aku sedih kau benar-benar ingin melupakanku. Bukankah kita pernah saling cinta. Ayolah Ela aku masih tergila-gila padamu!” Cih! Dasar buaya burik! Kamu pikir aku bodoh dapat percaya ucapan gombalmu itu. Dasar cowok gila. Cukuplah kau meninggalkanku saat skandal yang membuatku sempat sekarat mencuat. Di saat Adnan marah besar, kau malah kabur. Saat itu aku seperti sedang di ujung kematian. Eh, dia malah pergi menyelamatkan diri. Dasar pengecut. “Aku akan menikah dengan Jim. Kau berhentilah menganggu. Salahmu sendiri mengapa kabur saat aku di ujung kematian. Sialan, kau!” Kevin tergelak di ujung telpon. Kemudian, pria itu menyampaikan ribuan alasan mengapa dulu harus pergi. Dan, aku tak peduli dengan argumen bodoh itu. Karena kesal kututup saja saluran telponnya. Setelah itu kami memblokir nomor kontak Kevin. Keli
JIM Akhirnya keluarga mengizinkanku menikahi Ela. Janin dalam kandungannya adalah alasan terkuat untuk menerimanya sebagai bagian dari keluarga Pratama. Inilah yang menjadi mimpi keluarga sekian lama, yaitu munculnya keturunan. Sebagai anak tunggal, tentu saja hanya padaku mereka berharap. Jika tak ada penerus, bingung juga mewariskan harta kelak. Dengan dua istriku sebelumnya, aku tidak memiliki keturunan. Bukan karena salah satu kami mandul, tapi memang tidak ada rezeki dari Tuhan. Buktinya mantan istri pertamaku sekarang sudah melahirkan anak kembar dari suami barunya. Cindy pun pernah punya anak dari Afgan. Sementara Ela tengah mengandung benihku saat ini. Ela sangat bahagia ketika kusampaikan berita ini. Dia pun menangis dalam pelukanku saking terharu. Setiap wanita ingin memiliki status jelas dalam sebuah hubungan. Meski diberi kekayaan berlimpah kalau masih menjadi simpanan tetaplah tak berguna. Jujur aku berat melepas Cindy. Perasaanku padanya bukanlah main-main. Itu seba
JIMAku belum sempat memenuhi permintaan Ela untuk bicara pada Kevin agar tak mengganggunya lagi. Begitu jika sekali saja terlihat si bodoh itu menggoda Ela, dipastikan wajahnya harus operasi plastik. Aku tidak akan memberinya kesempatan sedikitpun untuk melawanKadang aku bingung mengapa om yang cerdas punya anak tolol seperti dia. Hobinya hanya main wanita dan hura-hura. Beban perusahaan mereka pada ada akhirnya tak bisa dialihkan oada Kevin. Kehadirain Cindy di pesta ini sungguh di luar dugaan. Aku merasa tak pernah mengundang mereka. Mungkin saja dia mendapat undangan sebagai tanda masuk dari petugas yang disogok. Aku makin syok ketika ia memperkenalkan pria di sampingnya adalah calon suaminya. Bukan itu yang menjadikanku ternganga tapi kedudukan lelaki berdarah blasteran itu itulah yang membuat bulu kudukku merinding. Dia adalah pengusaha muda sekaligus CEO Grand Company yang katanya memjadi sekutu Romanov saat ini. Mungkin hubungan Cindy dengannya dijalin berdasarkan manfaat
RIDA“Ela selalu bilang takut tobatnya tak diterima. Ia selalu berkata dosanya sangat besar, ia ingin menebusnya meski harus bertaruh nyawa. Ela, Ela...” Akhirnya tangisan Jim pecah. Ia menutup wajah dengan satu tangan.. Aku yang menyaksikannya pun tak kuat menahan jatuhnya air mata. “Setahun aku mendampinginya dalam sakit. Kupenuhi pintanya agar mewujudkan ketenangan. Rupanya Ela lebih ingin pergi menghadap- Nya daripada tetap di sisiku. Katanya ia tak mau menyusahkanku, ia ingin pulang saja pada Allah. Dia juga sering menyuruhku menikah lagi dan menceraikannya. Aku, aku tak bisa. Ela adalah separuh jiwaku. Kalau dia pergi aku bagaimana?” Tangisanku kini telah bersuara. Aku tak menyangka seperti itu nasib mereka. Ela, kau telah menebus dosamu sungguh. Aku akan bersaksi di hadapan-Nya nanti bahwa kau telah berada di jalan-Nya. Setelah ini aku dan Jim terjebak dalam kebisuan. Hanya tangisan yang memenuhi gendang telinga. Sunyi... * Aku diizinkan masuk ke ruang rawat Ela. Hati in
RIDA Awalnya aku tak percaya melihat perubahan penampilan Ela. Wanita itu menutup auratnya rapat, tak berhias seperti dahulu. Pancaran wajah tak menguarkan aura keangkuhan, malah bersinar dan makin menguatkan pesona keelokan parasnya. Aku kembali mencubit punggung tangan sebelah untuk memastikan bahwa yang terlihat bukan ilusi. Kenyataannya terasa sakit tangan yang dicubit. Artinya ini alam nyata bukanlah mimpi. Kekagetanku akan perubahan penampilan Ella ditambah dengan keterkejutan melihat sikapnya. Dia mengucapkan salam dengan santun dan penuh kelembutan. Sungguh jejaknya di masa lalu benar-benar telah tertutup oleh perubahan itu. Aku hanya bisa melafadzkan hamdalah tasbih dan tahlil ketika yakin bahwa Ela memang telah berubah. Tiada kata yang dapat melukis bahagia ini selain mengucap puja puji syukur ke hadirat Ilahi. Kuseka air mata yang tak bisa dicegah untuk jatuh. Kiranya melihat musuh tobat lebih membahagiakan daripada menyaksikan kehancurannya. Ela pun sama, pipinya tel
ELAAku menyerahkan pemesanan makanan pada Jim. Bingung juga harus memesan apa sebab yang ada dalam daftar menu serasa asing. Aneh memang sebab kata Jim dulu kami sering ke sini. Wah, dapat darimana uang untuk membayarnya. “Makanannya pasti mahal, apa kau punya uang untuk membayar harganya?” Aku ingin memastikan bahwa kami tidak akan malu pulang dari sini. Jadi perlu diselidiki soal keuangan yang ia miliki. “Insya Allah, ada. Aku juga akan membawamu ke hotel. Kita akan menginap di sana sampai kau ingat tujuan kita ke sini. Tadinya aku mau membawamu pulang, tapi dipikir lagi lebih baik dituntaskan sekarang!” Aku hanya bisa bengong mendengar penjelasannya. Selepas itu aku hanya perlu meyakini bahwa yang dikatakan Jim itu benaLalu, aku membayangkan seperti apa kamar sebuah hotel. Pastilah bagus sekali. Kasurnya empuk, ruangannya luas, dinding kokoh dan jendela besar. Mungkin! Aku jadi tak sabar ingin ke sana. Bukan apa-apa, penasaran saja. Benarkah kenyataannya sesuai hayalanku.
ELA Mataku terbuka saat aroma tajam menembus lubang hidung. Entah apa yang dioleskan di batang dan bawah hidung. Baunya tak menyenangkan. Meski sudah terbuka, aku belum otomatis menyadari ini sedang ada di mana? Maka dari itu kesibukan sekarang adalah menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri. Karena tak juga menemukan jawaban, aku mencoba bangun. Ternyata untuk menggerakkan badan, tenaga ini sangatlah payah. Karena gagal, aku kembali rebahan. Mungkin butuh waktu beberapa saat lagi agar pulih. “Alhamdulilah kamu sudah sadar, Sayang!” Aku menoleh pada seseorang yang kini menghampiri. Jim ya dia Jim. Ya ampun kenapa harus ada jeda dulu baru mengingat. Hubunganku saat Ini dengannya apa? Mengapa dia mencium keningku? Oh, iya kami suami istri. Tapi, dari kapan kami menikah? Lalu, mas Adnan ke mana? Astagfirullah! Apa yang terjadi denganku? Mengapa tiba-tiba lupa ini dan itu? “Aku di mana?” tanyaku pada lelaki yang kini sedang mengelus pipi ini. “Kau tak ingat?” Jim malah balik ber
ADNAN Hari ini waktu yang kugunakan untuk membersamai keluarga. Kesempatan libur tak kusia-siakan sebab memang jarang punya waktu untuk mereka. Azka dan Azkia bukan jadwal di sini. Kemarin mereka baru dipulangkan pada Rida. Kadang, tak rela harus berpisah sementara dengan mereka. Namun, mau bagaimana lagi, hanya itu jalan nyaman agar anak-anak tetap mendapat kasih sayang orang tua kandungnya. Kurasa Rida pun sama. Meski tak diperlihatkan, aku bisa menduga ia tak rela kalau mereka dijemput. Dia akan mencium dan memeluk anak kami kalau waktu berpisah lagi. Meski saat ini sudah tak ada air mata, tetap saja di hati muncul denyut nyeri. Anak korban perceraian tetap tak bisa sama dengan anak yang hidup dalam naungan keluarga utuh. Mereka harus mengikuti ritme hidup orang tua yang telah tak satu rumah. Tak akan juga menyaksikan ayah dan ibunya bersama seiring sejalan lagi. Padahal, mungkin sangat ingin anak-anak itu melihat kembali kebersamaan tersebut. “Tuan, Nyonya maaf menganggu, ada
ADNAN“Ini adik kak Diva, kak Azkia dan ka Azka!” terangku saat ketiga bocah itu berkumpul mengelilingi adik bayinya. Mereka baru diijinkan menengok mama Lestari dan adik bayi. “Adik, adik?” celetuk Azkia. Mungkin dia bingung mengapa yang baru lahir pun di sebut adiknya. Selama ini yang Azkia tahu, adiknya adalah anak yang dilahirkan Rida. “Iya, dedek bayi ini adalah adik kak Azkia. Sama dengan adik Alfan” jawab Lestari. Setelah mengangguk, Azkia mulai memanggil bayi baru itu dengan kata Adik. Begitu juga Azka dan Diva. Mereka terlihat antusias mencandai adiknya. “Nah, sekarang adik bayi mau mimi dulu. Ayo kita bermain di luar!” Aku menggiring tiga bocah ini keluar untuk memberi kesempatan pada Lestari menidurkan putri kami. Bayi kecil itu baru berusia tujuh hari. Di ruang keluarga tak henti-hentinya tiga anak ini bertanya. Tentang bayi, tentang ingin mengajaknya bermain.. Bahkan Azkia ingin memberinya permen. Aku terangkan perlahan bahwa permen bukan makanan bayi. Kalau sampai
Kami sampai di pintu gerbang mansion milik Edward Douglas alias suami Cindy. Untuk tembus ke dalam, harus melewati satpam yang tampangnya cukup garang. Jim akhirnya mengatakan bahwa Cindy pasti mau menemuinya. Ia sedikit memaksa pada satpam agar menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Setelah debat cukup alot, akhirnya satpam itu menyerah. Dia menyampaikan kepada majikan bahwa ada tamu yang ingin bertemu. Tak lupa juga menyebut namaku. Kami butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk menunggu izin masuk ke rumah Cindy. Untunglah kami duduk di dalam mobil hingga bisa bertahan lama dalam penantian ini. Jika tidak, akan terkena sengatan mentari Jakarta yang pastilah membakar kulit. Aku dan Jim mengucapkan hamdalah ketika izin untuk masuk telah keluar. Mobil pun kembali dikemudikan oleh Jim untuk memasuki gerbang menuju pelataran.. Ternyata jarak antar gerbang dan pintu utama lumayan jauh. Kalau ditempuh jalan kaki bisa-bisa kelelahan. Luar biasa memang tempat tinggal Edward Douglas.
“Jim, bolehkah aku minta bantuan?” “Apa, katakan saja!” “Aku ingin ke Jakarta.” Pria itu melepas pelukan, lantas mengubah posisi duduk. Ia kini menghadapkan badannya padaku. “Aku ingin menemui Rida, Adnan dan Cindy. Aku ingin minta maaf pada mereka. Bukankah kyai bilang dosa pada manusia akan diampuni Allah jika manusia itu mengampuninya.” Keputusanku untuk meminta maaf pada mereka sudah bulat. Ini adalah hasil perenungan panjang. Aku telah menang melawan ego yang selalu menghalangi atas nama harga diri. Aku tak pernah tahu kapan usia ini berakhir. Untuk itu harus segera menjalankan satu masalah yang belum terselesaikan, yaitu minta keikhlasan maaf dari orang-orang yang kusakiti. “Alhamdulillah, masya Allah. Inilah yang kutunggu, Ela. Kesediaanmu menyingkirkan ego. Besok kita minta izin kyai untuk pergi ke Jakarta. * “Pakailah kerudung dan gamis baru itu. Kita akan bertemu orang-orang baik. Anggap saja ini sebagai bentuk penghargaan pada manusia. Dan jangan sampai juga mereka
“Sedang apa, Sayang?” Aku bosan mengapa lelaki itu selalu bertanya demikian. Aku sudah mengatakan bahwa sedang menimang bayi mungil ini. Apa tak melihatnya? Ah, kurasa dia sudah gila. “Sssst, bayi baru tidur, jangan berisik, nanti dia bangun!” Untunglah, lelaki ini tak bertanya lagi. Ia hanya menatapku lama. Aneh, mengapa selalu begitu. Bertanya terus diam kalau sudah dijawab. Ya, ya mungkin dia kurang waras. Kasihan sekali. “Ela, mandi, yuk. ‘Kan sebentar lagi ustazah datang!” Dasar tak waras, mengapa dia menyuruhku mandi. Aku sudah mandi dengan bayi tadi pagi. Sekarang ‘kan sudah malam. Aku menepis tangan yang ingin menyentuh tubuh ini. Dengar, ya aku ini wanita bersuami. Mengapa pegang-pegang sembarangan. Dan, dia terus memaksaku. Tanganya direkatkan pada tubuh. Aku tak mau, tak mau! “Aaaaaa!” Aku marah, aku ingin menghajar lelaki kurang ajar ini. Aku tidak terimaaa. Dan, aku pun lemas. Lalu jatuh. * “Ela, makan sedikit saja, nanti kita jalan-jalan, ayo!” Kekuatan cin