"Bang, jadi antar aku kesidang terakhir kan?" kutelfon Bang Ridho pagi ini."Jadi dong, untuk adekku satu ini kenapa tidak?""Ya sudah, aku tunggu abang jemput!""Yaelah, manja bener ini yang sebentar lagi jadi janda!" "Apaan si, Bang? Ngledek aja. Udah buruan aku sudah siap!""Iya ... Iya ... Sabar Nona cantik."Aku tersenyum kemudian mematikan panggilan telfonnya. Aku masih berdiri mematung didepan cermin, melihat penampilan baruku yang lebih baik. Gamis lebar warna pink terjurai membalut tubuhku. Juga kupadukan dengan kerudung syar'i yang senada.'Ternyata terlihat cantik tak perlu dengan memamerkan bentuk tubuh.' aku bergumam mengangumi penampilanku kali ini.Tlakson berbunyi, itu pasti Bang Ridho. Dia enggan turun makanya lebih memilih mentlakson. Bikin telingga penging aja!"Ayo, Bang!" aku segera masuk kemobil, duduk tepat disamping kemudi.Bang Ridho bukannya menjawab atau melajukan mobilnya justru dia menatapku dengan pandangan aneh."Bang!" teriakku kali ini langsung menga
Sialnya Bang Ridho mendengar hingga seketika menghentikan laju kendaraannya. Ah, aku jadi salah tingkah."Kenapa mau pergi saja? Padahal belum masuk!" Fahri mendekat dengan nafas ngos-ngosan."Noh, si JB yang nyuruh buat balik aja. Katanya kamu lagi ada tamu jadi ngga enak buat bertamu."Aku mendelik pada Bang Ridho, kenapa ia panggil aku dengan sebutan JB. Uh ... Kalau saja tak didepan Fahri, sudah aku lancarkan lagi cubitan pada pingangnya.Fahri terlihat mengkerutkan kening tapi setelah itu ia kembali normal, mungkin sedang berfikir apa itu JB."Jangan sungkan masuk saja, biar aku kenalkan pada mereka!" Fahri berucap. Namun entah kenapa aku benar-benar tak ingin bertemu dengan perempuan itu."Ya sudah, aku parkir dulu. Turun duluan noh si JB. Aku parkir mobil!" kembali Bang Ridho membuat aku kesal setengah mati.Aku turun dibukakan pintu oleh Fahri, dengan lembut aku merapikan gamisku yang sempat kusut terduduki, Fahri terdiam, menatapku dari ujung kaki sampai ujung kepala, aku ben
PoV RidhoAku benar-benar kasian dengan Ainun, dia adik sepupuku satu-satunya yang dekat denganku. Ia anak dari adik Ibuku. Perangainya lembut dan juga sangat optimis dalam menekuni sesuatu. Terbukti selama tujuh tahun membangun usaha rumah makan, ia berhasil mengembangkan puluan cabang yang tersebar di Jabodetabek bahkan kabarnya sudah merambah sampai ke Bandung.Sayangnya, suaminya --Wisnu--sangat berbanding terbalik kelakuannya. Dia laki-laki pas-pasan yang suka tebar pesona pada setiap wanita. Ingin rasanya aku bicara pada Ainun, tapi ... Apa mungkin percaya jika aku katakan tanpa dia lihat sendiri?Beruntung tak lama, Ainun tiba-tiba menelfon. Bilang jika aku untuk memergoki Wisnu yang tengah makan siang bersama sekretarisku. Sejak saat itu, aku dukung penuh ia untuk bercerai, terlebih setelah Wina terbongkar ternyata banyak wanita lain yang juga korban dari Wisnu, bahkan sudah sampai menikah dan punya anak.Kasian Ainun. Kepercayaannya ia nodai hingga menimbulkan trauma bahkan s
"Ayu hamil oleh Pak Wisnu, Bu."Apa! Aku membelalakan mata, benar-benar Mas Wisnu itu PK penjahat kel@min! Sungguh tak tau malu banget Mas Wisnu. Bisa-bisanya makan adik iparnya juga sampai hamil. Uh ... Dasar laki-laki ngga bisa lihat yang bening sedikit."Wah ... Mas Wisnu benar-benar biadab! Untung sekarang dia bukan lagi suamiku. Kalau masih sudah kujadikan ulekan itu burungnya!" Soni terkekeh."Ibu bisa ngelucu juga." Ngelucu, dia bilang aku sedang ngelucu? Yang benar saja!"Lah ini serius, aku ngga sedang ngelucu, Son!""Hee ... Maaf, Bu. Habis ibu lucu sih masa itunya Pak Wisnu di jadikan ulekan, kalau ngga lagi tegang ngga bisa dong, Bu!"Iya juga ya? Ah ... Soni bikin pikiranku beterbangan kemana-mana."Hahaha ... Iya juga. Ya sudah ngga usah bayangin kemana-mana! Sebentar aku ganti baju, kita langsung kerumah makan!""Baik, Bu."Soni memang pelayan yang setia, sikapnya yang jujur itulah yang membuat aku suka padanya. Jarang orang di kasih kepercayaan, bisa memegangnya deng
"Sungguh, Bang? Kok rasanya aku tak percaya ya ... Abang sama Ning Ria!" aku memasang wajah mengejek."Terserah kamu, Nun. Kalau ngga percaya juga ngga papa. Sebenarnya aku kesini juga mau ngajak kamu menenin dia milih baju pengantin. Tapi sepertinya ...." Bang Ridho mengantung ucapannya. Ia ternyata sensitif banget kalau tentang rasa."Hee ... Maaf! Aku sebenarnya cuma penasaran bagaimana sebenarnya awal mula Abang sama Ning Ria, diejek dikit aja udah wafer lu, Bang!""Baper kali!" "Ya itu maksudnya, aku sengaja biar Abang benerin. Eh, tadi apa? Abang mau ajak aku buat pilih baju pengantin?""Iya, makanya aku kesini, emang kamu pikir aku kesini hanya untuk numpang makan saja!"Aku nyengir kuda, memang ngga biasanya Bang Ridho begini kalau ngga ada yang penting."Kamu mau aku pilihkan tempat diseiner baju pengantin?" tanyaku."Bukan, kalau tempat itu aku serahkan sama calon istriku, karena pasti ia lebih tahu.""Terus?""Ya ... Sengaja aku ajak kamu biar tak timbul fitnah. Ngga enak
[Aku sengaja pilih gaun yang mahal, biar bangkrut sekalian, sungguh aku tak ingin menikah dengannya.][Wah ... Kamu, Ri. Kenapa di terima kalau sebenarnya tak mau!][Entahlah, pokonya aku ingin buat dia menyesal telah memilihku! Akan aku permalukan dia karena telah lancang melamarku tanpa meminta izin terlebih dahulu.]WA yang sempat kubaca dari gawai Ning Ria membuatku terkejut. Ternyata dia ... Ah! Wanita cantik tapi ternyata busuk hati.Aku tak akan biarkan ini semua terjadi, kasian Bang Ridho, namun kalau Ning Ria berfikir Bang Ridho akan mundur karena permintaan mahalnya, itu semua tak akan terjadi. Akan aku pastikan kalaupun Ning Ria meminta istana, Bang Ridho akan sanggup memenuhi, hingga Ning Ria sendirilah yang akan malu.Tak lama Ning Ria kembali datang untuk mengambil HP, mungkin tadi reflek dan gugup ketika seorang pelayan memanggilnya."Maaf, Mbak. Aku masuk lagi!" pamitnya kembali yang aku jawab hanya dengan senyuman. Biarlah aku pura-pura tak tahu jika dia berniat untuk
PoV FahriSudah beberapa kali aku salat istiharah, namun entah kenapa, dalam mimpi yang kutemui bukan Ning Ria. Mungkinkah ini petunjuk jika dia bukan yang terbaik untukku? Lantas siapa wanita yang hadir dalam mimpiku, gadis berkerudung ungu yang selalu kulihat hanya punggungnya saja. Aku sangat yakin dia bukan Ning Ria, atau ... Ah! Mana mungkin?"Maaf, Dek. Sepertinya aku belum bisa untuk melamarmu!" kutelfon Ning Ria, yang langsung menanyakan kapan kedatanganku untuk melamarnya."Kenapa, Ustad? Apa alasannya?" tanyanya, sungguh aku tak tega mengatakannya."Karena saya sudah coba untuk melakukan salat istiharah, namun nyatanya Adek tak pernah hadir ..."Belum selesai aku berkata, sudah kudengar isakan kecil. Sungguh aku makin kalut dibuatnya."Bukankah yang Adek lakukan juga sama? Saya tak datang dalam mimpimu, Dek! Mungkin akan datang jodoh terbaik untukmu, Dek."Terdiam, hening ... Tak ada suara apapun yang terdengar. Sungguh aku dilema, walau memang aku belum terlalu menaruh hati
Langsung saja aku menghubungi Soni, aku penasaran apa maksud ucapannya. Rumah makan sengaja di bakar? Karena apa?"Hallo, Son. Kamu jangan mengada-ada dengan berita kebakaran itu!" langsung saja aku berondong pertanyaan sebelum ia sempat berkata."Iya, Bu. Buat apa saya mengada-ada, Bu. Itu menurut berita yang Saya dengar dan sumbernya juga dari orang yang terpercaya!" penjelasan Soni membuat aku makin bingung. "Lantas siapa pelakunya?" tanyaku penasaran."Kalau menurut yang aku dengar ... Ayu, Bu.""Apa!" aku membelalakan mata. Ayu? Kenapa dia membakar rumah makan, yang notabennya adalah sumber penghasilannya."Bagaimana bisa Ayu melakukan itu?" tanyaku kembali, seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Katanya Ayu keguguran dan yang menyebabkan itu adalah kakaknya. Lastri. Ayu tak terima dan merasa akan di singkirkan dari rumah makan dan di jauhkan dari Pak Wisnu. Akhirnya Ayu nekad membakar rumah makan. Katanya banyak saksi mata, para pegawai juga ada yang meli
"Bertahan ya ... Sebentar lagi kita sampai!" ucapku menenangkan. Sebenarnya aku sendiri panik setengah mati. Bagaimana tidak, melihat kondisi Ning Ria yang sudah tak karuan. Tiba di lobi rumah sakit, aku segera turun, berlari memanggil perawat untuk segera membawa tandu. "Tolong! Gawat darurat!" Aku berlari, seketika dengan sigap beberapa perawat datang menuju mobil. "Kamu harus kuat ya, Neng!" ucapku sambil terus berjalan mengimbangi roda. Bude hanya bisa menangis, melihat kondisi Ning Ria yang sudah setengah sadar. Perawat dengan sigap memanggil dokter untuk segera melakukan pemeriksaan. Aku langsung memeluk Bude, saat Ning Ria sudah memasuki IGD. "Tenang, Bude. Pasti semua baik-baik saja." Kuelus punggung Bude dan membawanya untuk duduk. Fahri terlihat tergesa berjalan menuju tempat kami. "A, sudah hubungi Kyai Salim?" tanyaku begitu ia tiba. "Udah, Dek. Mereka sedang menuju kesini." Aku bernafas lega, setidaknya dalam kondisi seperti ini keluarga tahu. Aku terus berdo'a u
"Ada apa, Dok?" aku bertanya sedikit panik melihat raut wajah dokter yang seperti nya memiliki masalah.Beliau menghela nafas panjang, aku yakin dia berat untuk menyampaikan."Begini, Bu, Pak. Menurut hasil Lap yang saya terima, jika maaf Sperm* Pak Fahri kurang sehat."Deg! Aku langsung berpaling kepada Fahri yang berada di sebelahku, pasti ia terpukul dengan penuturan dokter Rafli. Raut wajah Fahri terlihat sendu."I-itu artinya kalau saya mandul, Dok?" Fahri bersuara dengan bergetar.Kami tidak memvonis Pak Fahri mandul, cuma jika Pak Fahri ingin memiliki momongan. Sebaiknya Pak Fahri sering konsultasi dan menjalani pola hidup sehat. Agar keinginan itu dapat terwujud.***Fahri keluar dengan lemas. Bahkan ketika aku pegang tangannya ia tak merespon sama sekali. Pandangannya kosong dan entah apa yang sedang ia pikirkan."A ...."Dia masih diam saja, berjalan dengan lambat."Aa ngga papa kan?" Kugoyangkan sedikit tubuhnya."Astaghfirullah ... Maaf, Dek. Aa hampir putus asa menerima
"Apa, Bude. Alhamdulilah ... Ya Allah, rahasia Allah memang tak terduga ya. Selamat ya, Bude. Semoga debay dan ibunya sehat sampai lahiran." Aku turut bahagia mendengar kabar tentang kehamilan Ning Ria. Pasti kini dia tengah bahagia, setelah merasa terpuruk atas meninggalnya Bang Ridho."Iya, Nun. Bude bersyukur banget, bude dapat penghibur untuk hidup Bude. Cuma kata dokter Ria kandungannya lemah dan harus di jaga sebaik mungkin. Kamu mau kan ikut menjaga?"Aku melonggo, tak maksud dengan apa yang di sampaikan oleh Bude Sri. Aku, ikut menjaga?"Maksud, Bude?""Maksud Bude, ingin agar kamu menemani dia saat cek up dan sebisa mungkin sering main kesini. Hibur dia agar tak terus merasa sedih."Ucapan Bude ada benarnya, memang jika kandungan lemah akan sangat rentan jika stres. Aku harus membantu Bude untuk merawat Ria sampai melahirkan, aku harus pastikan Bang Ridho junior lahir kedua ini dengan selamat. Aku berjanji padamu, Bang! "Baik, Bude. Nanti aku usahakan waktu yang banyak untuk
PoV Wisnu"Kamu kerja baru setengah bulan udah izin empat hari! Kamu pikir ini usaha milik nenek moyangmu?!" gentak Pak Suid pemilik cucian motor dimana tempatku bekerja. Ya ... Sejak setengah bulan yang lalu, aku bekerja sebagai buruh cuci motor. Terpaksa untuk menyambung hidup."Maaf, Pak. Saya sakit, ngga bisa di paksa kalau lagi kambuh," ucapku pelan berharap dia mengerti."Memangnya kamu sakit apa? Sakit maag!""Bu-bukan, Pak. Sa-saya sakit gonore,"jawabku pelan."Apa kamu kena gonore, kencing nanah, raja singa, aids." Dia menyebutkan macam-macam penyakit, padahal semua itu berbeda. Ah! Dia itu lebay sekali.Aku tertunduk, tak mau berdebat pada orang yang minim ilmu, yang mengira antara gonore dengan raja singa bahkan Aids itu sama."Mulai hari ini saya kamu pecat! Saya tak mau punya karyawan memiliki penyakit kelamin. Bisa-bisa nular lagi." Kata tajam pemilik usaha itu membuat nyeri ulu hati."Tapi, Pak! Penyakitmu tak menular jika hanya bersentuhan." Belaku berharap ia lebih ta
PoV RiaMenjadi istri seorang bernama Ridho Herlambang. Ternyata begitu bahagia, walau telat karena keegoisanku. Kini aku sadari jika menjadi istri Mas Ridho, itu sebuah keberuntungan. Selain dia baik, pengertian, juga sangat penyayang. Aku merasa bak jadi seorang putri raja saat bersamanya, dia memanjakanku lebih dari Abah.Andai saja, aku sejak pertama tak menolaknya, berlaku menjadi istri sepenuhnya, mungkin aku tak akan merasa sebersalah ini. Bagaimana tidak, saat aku terpuruk dan di vonis menderita kista ovarium, dia yang belum menyentuh ku sama sekali masih saja menerima ku apa adanya. Bahkan jika aku tak dapat memiliki anak."Kan masih ada solusi, Dek. Hidup berumah tangga bukan melulu soal keturunan. Buktinya yang anaknya banyak saja bisa mereka bercerai. Aku tak memusingkan hal itu, kita bisa adopsi anak kan?" ucapnya kala aku masih ragu untuk kembali padanya."Tapi, Mas. Kamu anak satu-satunya. Pasti ibumu menginginkan penerus untuk usahamu dan pasti harus anak kandung. Buka
"Astaghfirullah, Pak. Kita kesana, ini yang kecelakaan mobilnya Bang Ridho." Aku panik ketika yakin jika mobil itu milik Bang Ridho, semoga saja bukan Bang Ridho yang bawa. Melihat dari kondisi mobilnya yang rusak parah pasti pengemudi nya juga tak kalah parah."Kita putar balik ya, Pak!""Iya, Bu. Sebentar di depan kan over boden jadi kita harus memutar agak jauh.""Iya, Pak. Tapi cepat ya!"Ya Allah, lindungilah orang-orang yang aku sayangi, keluargaku juga teman-temanku. Aku masih panik dan harap-harap cemas. Ya Allah .... Aku terus menyebut nama-nya.Ketika tiba di sana, ambulan sudah datang, masih banyak orang yang berkerumun. Aku langsung turun ketika Pak Sopir sudah memarkirkan mobilnya. Segera berlari menuju TKP. Tak kuhiraukan panggilan Pak Sopir yang mungkin khawatir karena aku lari."Pak! Bagaimana keadaannya?" tanyaku pada salah satu orang lewat yang sepertinya sudah melihat."Yang mobil pribadi, meninggal ditempat, Mbak. Karena tercepit setir dan kepalanya pecah."Astaghf
"Assalamualaikum, Dek." "Waalaikumsalam," jawabku dengan datar, namun tetap aku meraih tanganya untuk Salim takzim.Fahri menjatuhkan diri di sofa, sebenarnya aku ingin langsung berkata, tapi melihat raut wajahnya yang seolah lelah, aku urung melakukan. Takut membawa setan. Biarkan ia tenang terlebih dahulu.Aku mengambil segelas air putih untuknya."Minum, A."Ia meraih gelas yang kubawa dan meneguknya sampai habis. Tak lama kemudian ia bangkit dan mengatakan jika ia ingin mandi.Setelah isya lewat, baru Fahri kembali dari masjid Pesantren, aku yang siap untuk mengikuti semua dramanya sudah tak sabar menunggu."Uni, biasa ya!" Dari depan pintu kamar ia sedikit mengeraskan suara. "Apa, A? Mau ngopi ya. Biar aku bikinin, Uni sedang beres-beres di dapur Pesantren.""Tak usah, Dek! Nanti nunggu Uni saja!" Dia menghentikan langkahku yang akan menuju dapur."A ... Apa bedanya sih buatanku dengan Uni, apa buatanku kurang manis? Atau kemanisan. Katakan saja biar aku bisa introspeksi diri."
"Dek!" Aku menghela nafas berlahan, agar embun di mataku segera sirna. Kubalikan badan setelah yakin jika aku kuat tanpa harus menangis."Terserah, Aa saja! Intinya aku tak mentolerir jika terbukti suamiku berkhianat!" Kuputuskan untuk melangkah pergi, tak kupedulikan Fahri yang masih memanggilku. Sungguh, aku merasa tak berdaya kali ini. Aku tak punya bukti perselingkuhan mereka, dengan siapa aku harus meminta tolong."Bang Ridho." Seketika aku terlintas ingat akan dia, dulu aku selalu membagi suka dukaku padanya, namun sekarang? Ah! Aku segan jika harus bercerita padanya. Sementara dia juga punya masalah yang kadarnya hampir sama.Ponselku berdering, nama Bang Ridho terpampang. Dia panjang umur, baru saja kuingat langsung menelfon."Assalamualaikum, Hallo, Bang.""Waalaikumsalam, ngapain, Nun? Kamu sibuk nggak?""Sibuk apaan, Bang. Biasa aja cuma jalan-jalan keliling pesantren tiap hari.""Hahaha ... Iya, ya. Sekarang kan anakmu ratusan, harus sering-sering bertemu agar hafal nama
PoV RidhoAku masih sangat berharap jika Ria tetap menjadi istriku. Tak peduli jika Ria tak mudah hamil, bukankah ada solusi lain! Hidup bukan hanya soal keturunan."Kamu itu, Dho! Masih saja mengharapkan perempuan yang kemungkinan susah hamil. Kaya kaga ada perempuan lain saja!" Cetus Mama yang tak pernah lelah mengomel hal yang sama.Aku memaklumi dan tak menjawab apapun. Karena bagiku itu sama saja akan menjadi Boomerang bagiku. Jadi aku memilih diam.Tiap pagi aku selalu chat Ria, sekedar menanyakan keadaannya. Sungguh, sebenarnya aku rindu, rindu senyumnya, rindu manjanya bahkan rindu saat ia selalu menyuruhku melakukan hal-hal yang lebih banyak di kerjakan perempuan, walau itu tugas seorang suami.Aku rindu! Pekikku sendiri."Mas, sudah makan?" Dari sebrang sana terdengar suara lembut istriku. Aku tergugup, ini kali pertama ia menanyakan hal yang sepele."Be-belum, Dek. Nanti saja!" Gagapku, tak menyangka jika Ria menelfon hanya sekedar untuk menanyakan itu."Makanlah, jangan sa