Anton mempercepat laju kendaraannya. Pria itu sungguh khawatir, sepanjang jalan' pikirannya terus menerka-nerka. Ia harus segera sampai ke alamat yang dikirim oleh Lilis.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu, Nis? Kenapa kamu bisa sampai nekat membunuh orang?" Guman Anton.Ditengah kecepatan mobilnya yang terus melaju, tiba-tiba ponsel Anton pun berdering. Pria berwajah tampan itu melirik nama sang Ayah terpampang di layar, kemudian kembali menaruh gawainya diatas dashboard mobilnya. Ia tidak mungkin mengangkat panggilan itu saat ini, Anton tahu betul tujuan Ayahnya apa.Setelah tiga jam perjalanan Anton pun tiba di lokasi yang dituju. Ada banyak orang yang berkerumun dan beberapa polisi yang tengah berjaga."Mas Anton!" teriak Lilis. Wanita itu pun berlari menghampiri Anton saat pria itu turun dari mobilnya."Mbak, ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?" tanya Anton. Ia tampak bingung dan khawatir, terlebih saat melihat police line d"Menurut orang-orang sekitar, pria itu penghuni kos di sana juga, dia tetangga kos Nisa. Kata mereka, pria itu pengangguran, tiap hari kerjaannya hanya mabuk dan nongkrong-nongkrong dengan teman-temannya. Saya yakin, Mas' Nisa itu tidak bersalah, dia hanya korban yang berusaha mempertahankan dirinya," "Saya pikir juga begitu, Mbak. Psikis Nisa memang tidak stabil, tapi dia tidak mungkin tiba-tiba mencelakai orang yang tidak bersalah. Pasti ada sebabnya ia sampai nekat melakukan itu semua," sahut Anton yakin."Sebenarnya ada berapa orang penghuni yang kos di sana, Mbak? Ko bisa tidak ada orang sama sekali saat kejadian itu?" tanya Anton penasaran."Semua kamar penuh' ko, Mas. Sepuluh kamar itu ada penghuninya semua. Namun, karena rata-rata mereka semua kerja di pabrik jadi kalau pagi sampai siang itu sepi, tidak ada orang. Karena mereka kerja sip. Berangkat pagi pulang jam lima sore. Makanya saat kejadian siang tadi di sana sepi nggak ada orang," jelas Lil
Mereka pun segera berlari mengikuti polwan itu untuk melihat kondisi Nisa.Anton terkejut saat melihat mantan istrinya yang masih di borgol itu tergolek lemas dengan darah mengucur di pelipis dan keningnya. Dua orang petugas berseragam coklat itu lantas membopong tubuh Nisa dan membawanya ke rumah sakit Bhayangkara menggunakan mobil ambulan.Anton dan Lilis pun segera mengikuti mereka. Mobil mewah Anton mengekor di belakang mobil ambulan yang melesat cepat meninggalkan polsek.Sesampainya di rumah sakit Bhayangkara, Nisa pun segera dilarikan ke UGD. Dokter meminta kami semua untuk menunggu diluar, hanya satu orang polwan yang diijinkan masuk mendampingi Nisa."Ya allah, mas. Bagaimana ini? Saya khawatir dengan kondisi Nisa, Mas," ucap Lilis cemas."Saya juga khawatir, Mbak. Tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik kita tunggu saja dokter itu keluar," sahut Anton. Ia pun menghempaskan bokongnya di atas kursi tunggu.Satu j
Setelah panggilan dengan Bu Minah berakhir, Tuan Romy pun segera menelpon anak buahnya dan menugaskan mereka untuk mencari Anton. Seorang adikuasa seperti Tuan Romy bisa melakukan apa saja dengan mudah. Jika ia mau, ia bisa dengan mudah melenyapkan Nisa dari dunia ini. Namun, itu bukan tujuannya. Keinginannya hanya satu, perempuan gila itu berhenti mengusik hidup anaknya. 💥Malam berganti pagi, Tuan Romy pun sudah siap untuk pergi ke kantor. Dengan penampilan yang rapi, pria paruh baya itu pun segera berangkat di temani oleh supir pribadinya. Ini adalah meeting penting baginya dan perusahan. Ia tidak boleh sampai telat. "Om Romy? Ko' Om ada disini? Anton nya mana?" tanya Adel saat ia masuk ke dalam ruangannya dan melihat Tuan Romy sedang sibuk mencari berkas di meja Anton. "Adel, kamu sudah datang?" ucap Tuan Romy bertanya dengan santai matanya kembali fokus mencari file penting itu."Iya, Om. Om lagi nyari a
Adel mengambil tasnya, ia pun turun ke lobby untuk menemui Pak Amin. Supir pribadi keluarga Tuan Romy yang ditugaskan untuk mengantarnya ke kampung."Ayo, Pak. Kita berangkat sekarang!" ajak Adel pada pria paruh baya yang tengah berdiri di samping mobil berwarna hitam itu.Pak Amin mengangguk, ia pun segera membukakan pintu mobil untuk kekasih anak majikannya itu.Sepanjang jalan gadis itu nampak gelisah. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam hatinya. Ia tidak sabar ingin segera tiba dan meminta penjelasan kepada calon suaminya itu."Ngebut dong, Pak! Lelet banget' kayak siput! Gue harus cepat sampai nih! Lo bisa nyetir nggak sih?" "I-iya, Non, maaf," sahut Pak Amin. Ia pun mulai mempercepat laju mobilnya. Beruntung hari ini Nyonya Wina sudah mengembalikan ponselnya, jika tidak' Adel mungkin akan kesulitan menghubungi Anton di saat seperti ini."Argh sial!" umpat Adel kesal saat nomor
"E-elo … nggak sedang bohongin gue kan?" tanya Adel terbata. Seketika ada perasaan bersalah karena telah menuduhnya yang tidak-tidak. "Untuk apa saya bohongin kamu, Del? Apa untungnya buat saya?" sahut Anton membuang nafas kasar. Ia tidak menyangka jika gadisnya itu bisa berpikiran buruk terhadapnya. "Lebih baik' sekarang kamu balik ke Jakarta! Kamu kesini diantar Pak Amin' kan? Biar saya bilang sama Pak Amin untuk bawa kamu pulang ke Jakarta," ucap Anton. Ia pun berjalan menuju mobil hendak menghampiri sang supir. Namun, seketika tangan Adel menghadangnya. "Gue nggak mau balik! Gue mau disini nemenin lo!" ujar Adel yakin."Tapi, Del! Disini saya repot dengan urusan Nisa. Saya tidak mungkin bisa jagain kamu! Dari pada nantinya kamu kesal, lebih baik kamu pulang. Jika urusan disini selesai, saya akan segera menyusul kamu ke Jakarta!" "Pokoknya gue nggak mau balik! Gue tidak akan kembali ke Jakarta tanpa lo! Gue mau nemenin lo sampai semua urusan
Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk pulang, Anton dan Adel mengantar Lilis terlebih dahulu sebelum mereka berdua kembali ke Jakarta. "Terimakasih, ya' Mas Anton, maaf sudah terlalu banyak merepotkan," ucap Lilis saat mereka tiba di rumahnya. "Tidak apa, Mbak. Itu sudah menjadi tanggung jawab saya. Kalau begitu saya pamit dulu' ya, Mbak. Salam pada anak-anak," "Baik, Mas. Nanti saya sampaikan salam dari Mas Anton pada Qila dan Fadlan jika mereka sudah pulang dari sekolah. Mas Anton dan Mbak Adel hati-hati di jalan," sahut Lilis dan segera di anggukan oleh Anton maupun Adel. Dua sejoli itu pun akhirnya pergi meninggalkan kampung halaman Nisa.Tidak bisa dipungkiri, di kampung ini Anton sempat menjadi bagian dari keluarga besar Abah dan Emak. Kenangan masa lalu yang indah sempat terukir, walau hanya sesaat."Anton? Lo kenapa' sih? Ko malah ngelamun? Ayo jalan!" ucap Adel menegur kekasihnya yang masih dudu
Sore menjelang malam, mereka pun tiba di Jakarta. Setelah mengantar Adel sampai ke rumahnya, Anton pun bergegas pulang. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Bu Minah ada di rumah sang Ayah dan menyambut dirinya dengan wajah tak bersahabat."Ibu? Sejak kapan ibu disini?" tanya Anton meraih tangan ibunya dan menciumnya takzim."Kamu dari mana saja Anton? Kenapa nomormu tidak bisa dihubungi?" tanya Bu Minah menatap tajam Anak sulungnya itu. Melihat raut wajah ibunya yang kesal, Anton pun bingung harus menjawab apa. "Kenapa diam saja Anton? Kamu tidak dengar apa yang ibu tanyakan?! Kamu dari mana saja? Kenapa pergi tidak pamit sama ibu?""Maaf kan Anton, Bu. Anton … Anton ada urusan,""Urusan? Urusan apa? Mengurus wanita jalang itu maksudmu?! Jawab Anton! Benarkan apa yang ibu katakan?" Mendengar cercaran pertanyaan dari ibunya, Anton pun hanya bisa mengangguk mengiyakan. Ia tidak mungkin berdebat dengan sang ibu d
***Satu minggu setelah perdebatan itu, suasana kembali mencair. Bu Minah berusaha untuk menghilangkan kebenciannya kepada Jannah. Bagaimanapun anak itu memang tidak berdosa. Tidak mungkin ia harus menanggung beban atas perbuatan keji yang dilakukan kedua orang tuanya. Bu Minah berusaha meyakinkan dirinya, meski itu tidak semudah yang dipikirkan. Tapi ia yakin, lambat laun rasa sayang itu akan tumbuh dengan sendirinya. Kring! Kring! Dering ponselnya berbunyi. Nama Tuan Romy terpampang di layar. Dengan antusias Bu Minah segera menggeser tombol hijau dan berbicara dengan pria yang kini kembali mengisi kekosongan hatinya. "Halo, Mas. Sudah berangkat?" tanya Bu Minah saat seseorang memanggil namanya. "Sudah, Minah. Ini Mas sudah di jalan, sebentar lagi sampai. Kamu sudah siap' kan?" "Sudah, Mas. Saya tunggu di luar ya, biar kita langsung berangkat," Sahutnya sebelum memutus panggilan. Hari