Aku pun segera mentransfer uang lima puluh juta ke rekening Imron. Bagaimanapun juga, Imron harus berhasil membujuk mucikari itu. Ini jalan satu-satunya agar aku bisa bertemu Nisa.
Drt.. Drt.. Drt..
Notifikasi pesan masuk dari Imron.[Uangnya sudah masuk bos! Sekarang juga saya akan menemui Mamy Mona! Semoga saja dia tidak curiga dengan rencana kita! Doakan saya ya, bos!] tulis Imron dalam pesan watsapnya.
[Oke! Goodluck! Saya percaya sama kamu, saya yakin kamu bisa menjalankan misi ini dengan baik!] balasku padanya.
☀
**
Pagi hari orang-orang sudah siap untuk mengantarkan Emak ke tempat peristirahatan terakhirnya. Pak RT dan para warga sudah mulai memindahkan jenazah Emak ke dalam keranda. Mereka akan mulai membawa jenazah ke pemakaman. Jalanan yang becek dan licin membuat kami kesulitan. Beruntung jarak rumah Lilis dan kuburan tidak terlalu jauh.Selama prosesi pemakaman Aqila dan Fadlan terus menangis. Mereka tampak begitu sedi
"Ih… apaan' sih lo? Jangan kegeeran deh! Kan gue udah sering bilang, gue nggak mungkin naksir sama lo! Lo itu bukan tipe gue, jadi mana mungkin gue bisa suka sama lo!""Kamu yakin nggak mungkin naksir sama saya?""I-iya lah! Gue yakin 100%," jawab Adel terbata, sorot matanya terlihat begitu gugup."Hmm, oke' saya pegang omongan kamu! Ingat! Jangan sampai kamu jilat ludah kamu sendiri!""Nggak bakal! Amit-amit deh gue naksir sama lo! Kayak nggak ada cowok lain aja di dunia ini. Sudah ayo berangkat! Katanya udah lapar?" ucapnya. Ia pun berjalan keluar dari ruangan mendahuluiku.Sesampainya di mobil Adel pun kembali bersuara.
Sepanjang jalan gue masih terus memikirkan hal nggak penting ini. Entah kenapa gue kesel banget mengetahui kenyataan jika Anton memang bukan cowok cupu dan lugu yang seperti gue pikirin.Seandainya saja gue tau dimana dan dengan siapa dia akan melakukan treesome, gue pasti nggak bakal penasaran seperti ini. Jangan-jangan nih cowok pasti punya kelainan sex?"Sudah sampai! Ayo turun, jangan bengong aja! Kamu kenapa, sih? Dari tadi diem aja? Diajak ngomong juga nggak nyaut, aneh!" ucap Anton saat kita tiba di kantor.Gue pun segera turun dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya."Woy! Saya lagi ngomong sama kamu, bukan sama ban mobil! Dasar cewek aneh, diajak ngomong malah pergi gitu aja! Nggak punya sopan santun!
Nisa terkejut, ia tidak menyangka jika akulah laki-laki yang ada di hadapannya."Nga-ngapain kamu disini, Mas?" tanya Nisa terbata. Ia mundur beberapa langkah ke belakang dengan wajah yang tampak panik.Aku menoleh ke arah Imron, memberi kode agar dia segera meninggalkan ruangan ini membiarkan aku dan Nisa berbicara empat mata.Imron mengangguk, walau dengan berat hati ia pun meninggalkan kami berdua dengan wajah sedikit kecewa. Bagaimana tidak, momen langka seperti ini pasti banyak di idamkan oleh para pria. Menikmati pemandangan indah di depan mata, tubuh sexy bak gitar spanyol milik Nisa yang tentunya sangat menggoda.Kini kami hanya berdua di dalam kamar ini. Aku segera men
Dengan isak tangis Nisa mulai memasang bajunya satu per satu. Ia begitu terpukul, berulang kali Nisa melemparkan pertanyaan yang sama padaku. Sepertinya ia masih tidak percaya dengan kenyataan ini."Apa benar Emak meninggal? Apa yang sebenarnya terjadi dengan Emak, Mas? Kamu jangan mempermainkan ku, jika kamu hanya ingin aku pulang, tidak dengan cara seperti ini Mas! Kamu tidak perlu mengarang cerita jika Emak sudah meninggal!""Kamu lihat ini, Nis! Itu adalah makam Emak, kamu lihat sendiri' kan di atas nisan itu tertulis nama Emak!" ucapku menyodorkan ponsel ke hadapan Nisa.Tangisan Nisa semakin menjadi, ia tak mampu berkata apa-apa saat melihat foto makam Emak yang masih merah. Foto yang aku ambil saat prosesi pemakaman kemarin.
Fadlan dan Aqila kembali masuk kedalam kamar, mereka sama sekali tidak mau mendengar penjelasan sang Kakak. Nisa hendak menyusul mereka. Namun, Lilis segera mencegahnya. "Tidak usah, Nis! Biarkan mereka berdua tenang dulu. Adik-adikmu sangat kehilangan Emak, mereka tentu sedih dan kecewa karena kamu tidak ada disaat mereka membutuhkan. Lebih baik sekarang kamu sabar dulu, tunggu kondisi mereka tenang. Aku yakin, lambat laun mereka akan mengerti dan kembali menerima kehadiranmu. Bagaimanapun juga, kamu adalah keluarga mereka satu-satunya!" "Betul kata Mbak Lilis, kamu harus sabar menghadapi mereka. Beri mereka waktu untuk menenangkan diri!" timpalku. Nisa pun mengangguk, ia kembali ke ruang tengah. Wajahnya tampak murung dan sedih.  
"Ya Allah, Nis' kamu kenapa? Kenapa bisa terjatuh seperti ini?" ucapku menghampiri Nisa yang sudah tergeletak di lantai kamar dengan baju yang belum terpasang sempurna.Aku pun segera membantunya untuk bangkit."Kepalaku pusing, Mas!" ucap Nisa memijat keningnya."Mungkin kamu masuk angin, Nis! Badan kamu juga demam! Sebaiknya kamu segera istirahat!" Wajahnya terlihat pucat, tubuhnya menggigil kedinginan."Cepat pasang bajunya! Biar nggak kedinginan! Itu juga rambutnya' kenapa nggak segera dikeringkan pakai handuk?""Nisa nggak kuat berdiri, Mas! Lututku lemas! Kepalaku juga kunang-kunang," jawabnya sambil memasang baju yang belum sempurna.
Hari mulai siang, semua ibu-ibu sibuk memasak dan menyiapkan jajan untuk acara tahlilan nanti sore. Karena cuaca di malam hari selalu hujan maka untuk tahlilan hari ini akan diadakan lebih awal yaitu selepas salat asar."Lho, Nis, kamu' ko udah bangun?" ucap Lilis saat melihat Nisa keluar dari kamarnya dan berjalan menghampiri Ia yang sedang sibuk di dapur."Iya Lis, aku mau bantu kamu dan ibu-ibu yang lain. Lagipula aku jenuh lama-lama di kamar," jawab Nisa, tangannya mengambil pisau yang tergeletak di samping Lilis."Nggak apa-apa, Nis' kamu istirahat aja! Kamu kan masih sakit. Tuh lihat wajah kamu pucat banget! Mending kamu kembali ke kamar, jangan maksain!""Aku udah mendingan, ko' Lis! Badanku udah baikan
"Maafkan aku, Lis! Gara-gara aku mereka jadi pergi sebelum pekerjaannya selesai," ucap Nisa merasa bersalah. "Sudahlah, Nis. Tidak apa-apa! Ini bukan salah kamu. Mereka nya aja yang sentimen, kamu tidak perlu mendengarkan omongan mereka, Nis! Jangan kamu ambil hati ucapan mereka yang barusan," "Santai aja Lis, aku sudah terbiasa dengan cemoohan dan sindiran dari mereka. Telingaku sudah kebal!" sahut Nisa berusaha tetap tersenyum kepada sahabatnya itu. "Syukurlah kalau begitu, aku jadi lega mendengarnya. Lebih baik sekarang kita lanjutkan masak nya, sebelum keburu sore! Aku akan telpon si Irma untuk bantuin kita agar cepat selesai," ujar Lilis mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. •• Hari mulai sore, mereka sudah menyelesaikan tugasnya. Aku di bantu Pak RT memasang karpet dan menata tempat untuk acara tahlilan yang akan segera dimulai. "Mas, kamu nggak mandi dulu?" ucap Nisa menghampiri ku. Ia terlihat lebih segar dari sebelumnya.