Malam itu, New York City memancarkan keindahannya yang tak tertandingi. Lampu-lampu kota bersinar gemerlap, memantul di kaca-kaca gedung pencakar langit. Di sebuah restoran mewah dan ikonik bernama The Glass Crown, yang terletak di puncak salah satu gedung tertinggi di Manhattan, suasana berbeda terasa begitu magis. Restoran ini terkenal dengan interiornya yang didominasi oleh dinding kaca, menawarkan pemandangan 360 derajat kota New York.Maura melangkah masuk dengan Raven yang menggenggam erat tangannya. Ia mengenakan gaun hitam sederhana namun elegan yang disiapkan khusus oleh Raven. Sepanjang perjalanan ke restoran, Maura tidak tahu apa yang direncanakan pria itu. Yang ia tahu hanya Raven sangat pendiam sejak pagi, meskipun senyum tipis tak pernah lepas dari wajahnya.Saat tiba di depan pintu restoran, Maura pun sontak tertegun. Tidak ada tamu lain di sana, hanya pelayan-pelayan yang berdiri dengan sikap profesional, seperti sudah menunggu kedatangan mereka. Ia menoleh ke arah
Sepanjang perjalanan pulang, Maura yang tiba-tiba berubah menjadi sangat pendiam membuat Raven bingung serta bertanya-tanya. Padahal pria itu telah membayangkan hubungan mereka akan menjadi jauh lebih romantis lagi dari sebelumnya, setelah Raven melamar Maura untuk menjadi istrinya. Sambil menyetir, Raven melirik Maura yang sejak tadi terus melayangkan tatapan keluar jendela. Apa yang sebenarnya gadisnya itu sedang lamunkan? Saat hypercar mewah itu berhenti di lampu merah, Raven mengulurkan tangannya untuk mengusap pelan paha Maura yang tertutup gaun, dan seketika membuat gadis itu menoleh ke arahnya. "Hei." Manik asap kelabu milik Raven tampak menyorot wajah Maura, meneliti setiap senti ekspresinya. Maura tersenyum. "Hei juga," sahutnya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" Raven bertanya. Maura mengerjap pelan, ragu untuk mengungkapkan. Namun di sisi lain ia pun penasaran. Tapi... tidak. Tidak mungkin jika Raven telah membunuh ayahnya. Ibunya pasti telah mendapatkan infor
Suara baling-baling helikopter kembali bergema di udara malam, kali ini lebih berat dan dalam. Raven segera mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara yang semakin mendekat. Sebuah helikopter berukuran lebih besar muncul di langit gelap, dengan lampu sorot yang jauh lebih terang dan menyilaukan. Raven pun seketika mengenali helikopter itu. Itu milik Lewis, salah satu bawahannya yang paling dapat diandalkan, seorang pria tangguh yang setia penuh padanya tanpa keraguan. "Moora, tetaplah di belakangku," ucap Raven tegas namun suaranya hampir tenggelam dalam kebisingan baling-baling. Ia melangkah maju untuk menempatkan dirinya sebagai perisai hidup di antara Maura dan Helen. Helen tampak tidak terkejut. Sebaliknya, wanita itu justru menatap helikopter kedua dengan senyum dingin, seolah sudah memperkirakan kedatangannya. "Pemain tambahan telah datang," gumam Helen pelan. Helikopter Lewis berhenti melayang beberapa meter dari balkon. Tangga tali turun dengan cepat,
Maura menghela napas panjang, merasa lega sekaligus terbebani oleh perkataan Raven barusan. Ia pun lalu menyentuh lembut wajah tampan pria itu. "Terima kasih," bisik Maura sarat akan emosi, meskipun matanya masih diliputi keraguan terhadap apa yang akan terjadi selanjutnya. Raven tidak menjawab, hanya menatap Maura seolah ingin memastikan bahwa gadis itu benar-benar mengerti tentang bahaya yang sedang mengintai. Lalu kemudian ia pun melangkah mundur, memberikan jalan pada Maura untuk mengikuti Helen. Lewis yang berada di sana sontak memandang Raven dengan sorot tak percaya. "Tuan Raven, apa Anda yakin akan membiarkan Nona Maura pergi begitu saja?" tanyanya pelan namun cukup tegas. Raven hanya menoleh sekilas ke arah salah satu orang kepercayaannya itu. "Moora tidak akan benar-benar pergi, Lewis. Aku punya cara untuk memastikan agar dia akan tetap aman." Pria itu berucap pelan dengan sengaja agar hanya Lewis yang dapat mendengarnya. Lewis pun akhirnya mengangguk singkat,
Maura menatap tiga buah testpack yang berada di tangannya.Tanda (+) yang sama tertera di ketiga alat itu, telah menegaskan kecurigaan tentang gejala mual serta muntah-muntah hebat yang ia rasakan. Ia benar-benar hamil. Rasanya lebih seperti mimpi dibanding nyata, dan Maura masih merasa berdiri di antara kedua ambang batas itu. Seorang anak... anaknya dan Raven, tengah berkembang di dalam rahimnya.Maura menyentuh dan mengusap lembut perutnya, seolah sedang mengusap janin yang kini bersemayam di dalam tubuhnya. 'Ibu akan menjagamu, Sayang,' gumannya dalam hati dengan tatapan kosong seperti melamun. 'Dunia ini mungkin kacau balau dan penuh dengan kebobrokannya, tapi Ibu berjanji akan selalu memberikan yang terbaik untukmu, anakku.' Sementara itu, Helen menatap Maura dengan pandangan penuh perhitungan seperti seorang pemain catur yang baru saja mendapatkan langkah kemenangan. Ia beranjak ke meja kecil di sudut kamar untuk membuka tasnya, dan mengeluarkan selembar dokumen yan
Helen duduk di sebuah restoran mewah, mengenakan gaun merah tua yang memancarkan keanggunan sekaligus kekuatan. Jam tangan berlian di pergelangan tangannya tampak berkilauan di bawah cahaya lampu kristal yang menggantung di atasnya. Wanita yang tampak masih sangat cantik di usia paruh baya itu menyuapkan potongan terakhir hidangan steak medium rare ke mulutnya dengan elegan, sementara seulas senyum puas menghiasi wajahnya. Tepat di hadapannya, ada seorang pria berkacamata dengan setelan abu-abu yang tampak sibuk mengatur dokumen di atas meja, sambil memperbaiki posisi dasinya yang terlihat sedikit longgar."Jadi Anda yakin jika Raven tidak punya pilihan selain menerima kontrak ini?" Helen bertanya dengan nada yang terdengar ringan namun penuh kendali. Seraya menyesap anggur putihnya, manik gelapnya yang tajam menatap pria itu dengan ekspresi penuh harap.Pria itu pun mengangguk dengan percaya diri. "Setelah mengetahui kondisi Nona Maura yang sedang mengandung, Raven pasti akan tund
Suara baling-baling helikopter yang memekakkan telinga terus menderu, namun tak mampu membangunkan Maura yang kini terkulai lemas di kursi. Wajahnya tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar pendek serta terputus-putus. Helen memandangnya dengan ekspresi campuran antara frustrasi dan kekesalan. “Maura, bangun!” Helen mengguncang bahu putrinya dengan kasar. Namun tubuh Maura tetap tak memberikan respons. “Sial!” Helen mengumpat seraya berdiri, lalu meraih sandaran kursi helikopter untuk menjaga keseimbangannya. Dengan gerakan tergesa, Helen melangkah ke arah kokpit. Wajahnya yang sudah memerah karena amarah kini menatap tajam ke arah pilot. “Percepat laju helikopter ini!” perintahnya dengan suara tegas yang tidak menyisakan ruang untuk perdebatan. “Kecepatan ini sudah maksimal, Nyonya,” jawab pilot itu dengan nada ragu. “Kalau dipaksa lebih cepat, bisa jadi akan berbahaya untuk kita semua.” “Peduli apa aku pada keselamatanmu?!” bentak Hele
Raven berdiri tegak di tengah ruangan besar itu. Tatapannya tajam mengarah pada Tobias yang tetap duduk di kursinya, terlihat tenang namun dengan sorot mata yang yg tampak penuh perhitungan. Tobias adalah pria tua yang bijaksana, tetapi di balik wajahnya yang tenang ada ambisi besar yang selalu menjadi ciri khas keluarga King. “Serahkan Moora padaku,” ujar Raven dengan nada tegas. "Kamu pasti sudah tahu jika aku tidak akan pernah menyerah untuk mendapatkannya kembali." Tobias mengangkat alisnya, lalu menghela satu napas panjang. “Maura akan tetap aman, Raven. Tapi hanya jika kau berhenti keras kepala dan menerima tanggung jawabmu sebagai penerus keluarga ini. Aku tidak meminta sesuatu yang berlebihan, karena ini adalah takdirmu.” Raven pun menguarkan tawa yang penuh sarkasme di dalamnya. “Takdir? Jangan bercanda, Pak Tua. Kau pikir aku akan mengikuti jejak ayahku dan Uncle Santiago? Kau tahu persis apa yang terjadi pada mereka, dan aku tidak berniat menjadi bagian dari semu
Sore itu, Rhexton berdiri di ambang pintu kamar Maura. Ia mengetuknya pelan sebelum kemudian melongokkan kepala ke dalam. Maura sedang duduk di tempat tidur, tangannya sibuk menggulir layar ponsel sambil tersenyum samar, sepertinya membaca sesuatu yang menyenangkan. Tapi Rhexton tahu di balik tawa kecilnya, pasti ada rasa kesepian dan bosan karena Maura hanya menghabiskan hari-harinya di kamar. “Hai. Bagaimana kondisimu sore ini?" Maura mengangkat wajahnya untuk kemudian beradu tatap dengan manik kelabu serupa Raven. Seketika kerinduan pun kembali menyeruak batinnya, menggulirkan perih yang seolah mengiris kulitnya. Namun meskipun begitu, Maura pun tetap menyunggingkan senyum. "Aku baik. Kata dokter, kakiku akan segera sembuh," beritahu Maura. Rhexton berjalan mendekat untuk memeriksa kaki wanita itu, dan ia bernapas lega ketika melihat bengkaknya yang memang tampak mulai berkurang. Mungkin sekitar dua-tiga hari lagi barulah benar-benar akan sembuh. "Pasti kamu bosan, kan?
Maura membeku saat Rhexton mendadak menciumnya. Sentuhan itu datang begitu cepat dan begitu tiba-tiba, hingga otaknya butuh beberapa detik untuk memproses apa yang sedang terjadi. Bibir yang awalnya kaku perlahan merasakan tekanan yang semakin dalam dari bibir Rhexton. 'Tidak, ini tidak nyata', pikirnya. Tetapi sensasi lembut dan hangat di bibirnya itu membuktikan sebaliknya. Ini sungguh nyata. Ketika Maura mencoba untuk bergerak, Rhexton memegang erat bagian belakang kepalanya, membuatnya tak mampu menghindar. Kedua tangan Maura pun terangkat, berniat untuk mendorong tubuh pria itu menjauh. Tetapi Rhexton tidak bergeming sedikit pun. Pria itu seperti orang yang telah menahan diri begitu lama dan akhirnya menyerah pada dorongan hatinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Maura. Ia mengerjap, merasakan panas yang mengalir di pipinya. Ia tidak menginginkan ini. Tidak seharusnya Rhexton menciumnya. Tapi ia juga tidak berdaya, kalah tenaga melawan genggaman kuat pria itu
Raven merasakan tubuhnya memanas, darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya. Efek obat itu perlahan menguasainya, mengaburkan pikiran dan logikanya hanya dalam sekejap. Tapi seorang Raven King bukanlah pria biasa yang akan begitu mudahnya menyerah. Ia telah terlalu banyak bertarung dan berada di situasi under pressure, terlalu terlatih oleh Santiago yang membuatnya kuat sekaligus tak terkalahkan. Di balik tatapan kosong manik kelabunya itu, sesungguhnya otaknya tengah bekerja untuk mencoba mencari jalan keluar. Ia tahu satu hal pasti, bahwa wanita di depannya adalah kunci untuk kebebasannya. Wanita itu semakin mendekatkan wajahnya yang memulas senyuman penuh kemenangan. “Bagaimana rasanya, Raven? Menyerah pada sesuatu yang tak bisa kamu kendalikan?” Raven mengangkat wajahnya perlahan, menatapnya dengan mata yang tampak berkilat antara amarah dan gairah. Ia sengaja membiarkan tatapannya berkabut, seolah dirinya benar-benar telah terjerumus nafsu dan tak mampu mengontrol diri
"Selamat, Nyonya. Hasil tes kesehatan Anda cukup sudah keluar, dan semuanya normal. Anda sekarang sudah boleh pulang," ucap ramah seorang pria paruh baya berkacamata yang mengenakan jas putih dokter. Maura duduk di tempat tidur rumah sakit, wajahnya terlihat lebih segar meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum kecil saat dokter menyatakan bahwa ia sudah boleh pulang, setelah tiga hari dirawat di rumah sakit. Namun perasaan lega itu pun dengan segera berubah menjadi perasaan rikuh, ketika Rhexton tiba-tiba muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam ruangan. Pria itu tersenyum dan menyapa sang Dokter, sambil menanyakan kondisi Maura. Raut wajahnya pun tampak gembira ketika mendengar kabar baik tentang kepulangan Maura. Untuk beberapa saat mereka masih berdiskusi, hingga akhirnya dokter pun permisi dan meninggalkan ruangan. “Aku akan menggendongmu ke kursi roda,” ujar Rhexton tegas dan tiba-tiba, tanpa sedikit pun memberi ruang kepada
Maura sedang duduk di depan laptop milik Raven, manik gelapnya terus menelusuri layar monitor dengan konsentrasi penuh. Jarinya dengan lincah bergerak di atas touchpad untuk membuka folder demi folder, dokumen demi dokumen, berharap menemukan secuil informasi yang bisa mengarahkan dirinya pada keberadaan tunangannya. Namun hampir dua jam berlalu dan hasilnya tetaplah nihil. Tidak ada dokumen mencurigakan, tidak ada pesan tersembunyi, tidak ada yang mengindikasikan alasan mengapa Raven menghilang tanpa jejak. Maura menghela napas pelan, kedua tangannya memijat pelipisnya yang berdenyut. Rasa frustrasi bercampur kelelahan perlahan-lahan menguasainya. Namun ia menolak menyerah. Ini bukan tentang dirinya lagi, tapi ini tentang Raven, pria yang begitu berarti baginya. “Aku harus menemukannya,” bisiknya lirih, seolah memberi dirinya semangat untuk terus berusaha. Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Maura menoleh, membiarkan beberapa detik berlalu sebelum menjawab. “
Maura duduk diam di kursi belakang mobil yang meluncur perlahan di jalanan gelap. Kepalanya bersandar pada jendela, mata menatap kosong ke luar. Lewis yang bertindak menjadi pengawal sekaligus supirnya, melirik dari kaca spion dengan ekspresi prihatin. Setelah beberapa saat hening, ia akhirnya bertanya. “Apakah ada informasi dari Tuan Tobias, Nona?” Maura menghela napas panjang sebelum menggeleng lemah. “Tidak ada. Dia tampak sama terkejutnya dengan aku soal hilangnya Raven. Bahkan aku bisa merasakan, di balik ketenangannya, dia sedang mencoba mencerna situasi ini.” Lewis mengangguk pelan, tatapannya kembali ke jalan di depan. "Dan bagaimana dengan Mansion itu? Apa ada hal lain yang mencurigakan?” Maura menarik napas, mencoba merangkai kata-kata. "Mansion itu sekarang ada di tangan Rhexton. Dia tinggal di sana dan... dia akan menjabat sebagai CEO King Enterprise. Tobias bilang, itu keputusan yang terbaik untuk saat ini.” Lewis menoleh sedikit, seakan memastikan bahwa
"Turunkan dia." Suara berat yang memberikan perintah itu terdengar menggema di ruangan gelap dan lembab yang kini bercampur aroma darah. Seorang pria tampak menganggukkan kepalanya, lalu perlahan menarik tuas yang yang terhubung dengan tali yang mengikat kaki pria yang sedang digantung terbalik itu. Suara berderik yang nyaring dari besi tuas yang berkarat terdengar bagaikan jeritan makhluk kegelapan yang di tengah keheningan ini. Pria yang digantung terbalik itu sejak tadi diam tak bergeming, bahkan ketika tubuhnya kini telah turun dan terbaring di atas lantai yang kotor dan basah. "Ah, rupanya dia pingsan," ucap si suara berat itu sambil menyentuhkan ujung sepatunya ke kepala pria yang diam terbaring di lantai. "Atau jangan-jangan... dia sudah mati?" cetus pria bersuara berat itu lagi. Pria bersuara berat itu membungkuk sedikit, memperhatikan tubuh yang tergeletak di lantai dengan mata menyipit tajam. "Hei, periksa dia. Pastikan dia masih bernapas. Kalau dia mati,
Tobias King duduk di sofa mewah dengan postur yang tenang, namun tatapannya tajam, menyelidik setiap detail dari sosok Maura. Gadis itu terlihat jauh lebih sehat dibandingkan terakhir kali ia tiba ke mansion ini bersama Helen, ibunya. Wajah Maura yang sebelumnya pucat pasi kini tampak lebih cerah, dengan rona halus di pipinya. Bahkan tubuhnya terlihat lebih berisi, seolah-olah telah melalui masa pemulihan yang cukup baik. Namun perhatian Tobias tidak hanya berhenti di situ. Pandangannya tertuju pada bagian perut Maura yang tertutup oleh atasan longgar, mungkin untuk menutupi kehamilannya. Sebuah pertanyaan pun seketika muncul di dalam pikirannya. 'Apakah Maura tahu bahwa kami pernah bertemu sebelumnya?' Tobias tersenyum kecil, sebuah senyum yang tidak sampai ke matanya. Saat terakhir kali Maura berada di mansion ini, kondisinya sangat kritis, bahkan nyaris tidak selamat. Rasanya tidak mungkin Maura mengingatnya, kecuali Raven yang menceritakan soal dirinya. Kalau pun Maura
Maura melangkahkan perlahan kakinya yang terasa berat perlahan ke dalam kamar, seolah beban emosionalnya turut membebani tubuhnya. Matanya yang sembab tampak masih merah karena air mata yang baru saja ia tahan di hadapan Lewis. Namun pemandangan di depan mata membuat napasnya tertahan sesaat. Ia menatap nanar pada nampan berisi segelas susu, beberapa kue, dan potongan buah tersaji rapi di atas meja kecil di dekat ranjang, "Raven." Nama itu pun seketika langsung terlintas di benaknya. Maura tahu, hanya Raven yang memiliki perhatian seperti ini. Tidak ada orang lain yang tahu kebiasaannya yang menyukai susu cokelat hangat disertai camilan ringan untuk menemaninya. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Maura pun berjalan mendekati meja itu. Ia menyentuh gelas susu tersebut, tetapi rasa dingin segera merayap ke telapak tangannya. Susu itu telah lama berada di sini, kehangatannya telah hilang... sama seperti hatinya yang kini telah membeku karena kehilangan kehangatan yang