Aku mengangguk."Terima kasih, Kania. Kamu memang sepupu terbaikku deh!"Aku terkekeh melihat sikap Lia yang membuatku geli.Tiba-tiba ada yang datang mengetuk pintu."Eh, kamu Seli. Ada apa ke sini?""Aku cuma mau menyuruhmu untuk segera menggugat Aa Radit. Dia sudah jadi milikku, kalau dia menggantungmu bukan berarti dia masih menginginkanmu. Tapi semata-mata agar kamu tak bisa menikah lagi. Jadi segeralah mengajukan gugatan!"Nggak usah mengajarkanku soal ini. Aku sudah mengajukannya, tunggu saja di rumah. Nggak usah ketakutan, karena aku tak tertarik lagi dengan laki-laki itu. Buat kamu saja, urus dia baik-baik biar nggak ilang," kataku."Iya lah. Aku mengurusnya dengan baik. Apa yang tak pernah kau lakukan, kulakukan padanya. Makanya Aa Radit nempel terus kaya perangko. Saran buatmu, jangan terlalu tak peduli pada suami, mereka terlalu berharga untuk kau lalaikan." Seli memanas-manasiku."Ah, tak mempan kau berkata apapun. Segala tentang Mas Radit, aku tak peduli! Silahkan keluar
"Kamu pentingin wanita di sebelahmu saja! Tak usah mengurusi urusanku!" ucapku sinis.Dia menoleh sebentar, lalu tangannya tiba-tiba menarikku. Semua orang memandang kami. Mas Radit membawaku ke luar gedung pernikahan.Di belakang, Bang Haris dan Seli berlari ke arah kami."Mas, apa-apaan sih kamu. Kamu nggak malu apa, main tarik tangan orang aja!" Aku menggertak Mas Radit sambil berusaha melepaskan tangannya yang tetap memegangi tanganku."Kamu Kania, bukannya urusi anakmu, malah bersenang-senang dengan laki-laki itu di sini."Mataku membulat, kupasang wajah garang padanya. Agar ia tau aku tak menyukai tindakannya."Apa urusanmu, Mas? Kamu bukan siapa-siapa aku! Kamu juga sama, mana peduli kamu sama anakmu? Beri nafkah saja enggak! Nggak usah sok-sok peduli. Bang Haris justru laki-laki yang baik, dia selalu membantuku tanpa diminta. Tidak seperti Mas, yang justru tidak bertanggungjawab." "Dek, aku masih mencintaimu. Bisakah kita kembali? Kamu malah mengirimkan surat panggilan persid
"Ya, dia memang cantik sepertiku. Tapi kamu tak pernah menyadarinya, malah sibuk dengan Seli.""Oh ... Jadi kamu cemburu dengan Seli?""Tidak, maksudku kamu lebih mementingkan Seli daripada anakmu. Aku tak begitu memikirkanmu!" ucapku acuh, tak mau menatapnya.Dia tertawa menyeringai. Mas Radit masih duduk di tepi ranjang, dengan menggendong Kyra."Jadi, mau apa Mas ke sini? Bisakah kita bicara di luar?" tanyaku padanya."Aku tak mau datang ke persidangan. Aku tak setuju kita bercerai, Kania! Itulah yang ingin kusampaikan padamu!""Mengapa? Aku sudah tak mau lagi bersamamu, Mas! Jalan kita sudah berbeda. Kamu tak lagi sama dengan yang dulu," ujarku pada lelaki di depanku.Lalu dia berjalan ke arahku. Dia menyimpan Kyra dalam box, lalu mendekatiku, wajahnya dia tundukkan sejajar dengan wajahku. Kemudian aku menepis wajahnya.Aku berdiri, Mas Radit menarik tanganku, aku masuk dalam pelukannya. Aku mencoba melepas pelukan mantan suamiku itu."Mas, lepaskan! Kamu nggak malu, ini di kantor
RaditBukannya aku tak percaya dengan pernyataan Kania tentang Seli. Tapi aku tak menemukan bukti mengenai pengakuan Kania.Soal gugatan ceraiku melalui pesan di aplikasi hijau, Seli berani bersumpah kalau dia tak tau apa-apa soal itu. Soal luka-luka yang ia alami selepas Kania datang juga ia tak akui. "Itu semua adalah perbuatan Kania. Aku nggak tau dia sedendam itu denganku, sampai-sampai tega melukaiku," katanya saat itu. Aku percaya padanya, setiap ia bicara, ia bersumpah demi apapun sehingga akupun mempercayainya. Selain itu, sejak awal dekat dengan Seli dulu, aku tak pernah menemukannya berbohong.Suatu ketika aku sedang galau karena diusir mertuaku, Seli lah yang menjadi pengobat lukaku. Dia mendengar semua curhatanku. Aku sangat nyaman bisa mengeluarkan uneg-unegku.Selain itu Seli sangat pandai dalam mengambil hatiku, dia puaskan aku dalam pelayanan di ranj*ng, hal yang tak pernah lagi kudapatkan dari Kania. Sehingga aku betah di sampingnya.Namun aku terganggu dengan angga
"Lagian itu bukan anakku!" Aku marah pada Seli yang melarang keinginanku untuk rujuk dengan Kania."Kamu, tega A. Kamu berkata seperti itu sengaja untuk menyakitiku!" Seli menangis, masuk ke kamar kami.Aku menghela napas kasar. Aku membiarkan Seli menangis, biar saja dia tau kesalahannya.***"A, uangku sudah habis. Aa tansfer lagi ya! Aku mau beli tas, baju, sama sepatu. Ada temanku menjual semua barang branded yang ori. Aku akan membelinya, A." Seli memintaku memberikan sejumlah uang lagi ke rekeningnya.Karena aku dalam kondisi nyaman saat ia minta, aku meng-iyakan. "Baiklah Neng, sebentar Aa transfer. Kamu butuh berapa?""Aku butuh dua puluh juta aja, A!""Aduh, Neng. Jangan banyak-banyak. Bisnis Aa kan belum sebagus dulu. Sekarang masih merintis lagi. Aa kasih sepuluh juta aja, ya! Kamu harus irit, Neng. Beli salah satu dulu," kataku.Tapi dia tak mendengarkanku. Dia terus mendesakku dengan rayuannya akan menambah layanannya.Tanpa banyak bicara, akupun setuju dengannya. Saat i
SeliAku berkenalan dengan Icha. Kami menjadi dekat, kemudian Icha mengajakku ikut arisan. Di sana rata-rata menggunakan barang-barang branded, kalau yang tidak menggunakan itu akan ditendang.Untuk awalan, aku dipinjami Icha tas, dress dan sepatu miliknya. Setelah itu, Icha menawariku untuk membeli barang-barang branded miliknya dan saudaranya dengan harga agak miring.Aku sangat senang mendengarnya. Lalu Icha membawaku ke rumahnya, aku memilih barang-barang sesuai keinginanku.Aku pun membawa barang-barang itu ke rumah sebelum ku bayarkan pada Icha. Dia percaya padaku, padahal bisa saja aku kabur membawa barang-barangnya."Terima kasih, Cha. Nanti aku transfer ya! Kamu total lagi aja nanti," kataku sambil menunggu taksi untuk pulang."Sama-sama, Seli. Hati-hati di jalan, ya!"Sesampainya di rumah, aku langsung menyimpan barang-barangku pada etalase khusus. Aku tau hal ini dari para artis yang sering memamerkan barangnya.Selanjutnya aku tinggal menunggu Mas Radit pulang. Biasanya di
Aku mengajukan pinjaman ke Koperasi Sejahtera. Prosesnya cepat di ACC, aku hanya menyimpan sertifikat rumah kami di sini. Aku meminjamnya dari Mas Radit tanpa ku bilang padanya. Biarlah nanti ku kabari belakangan. Yang penting sekarang aku bisa membayar barang pesananku.Aku pinjam lima puluh juta, karena semalam Icha sudah menghitung, belanjaanku sekitar empat puluh juta. Yang sepuluh juta buat arisan nanti.Icha pun membawakan barang-barang pesananku ke rumah. Aku sangat senang dan meminta pendapat Icha sebaiknya yang mana yang bisa dipadupadankan.Rencana lusa kami akan pergi ke arisan bersama. Aku akan bertemu orang-orang kaya. Siapa tau nanti aku ketularan mereka.Icha saja merupakan istri dari salah satu pengusaha batu bara. Makanya Icha tajir melintir. Rumahnya bagus, aku jadi sangat senang berteman dengannya."Terima kasih, ya, Cha. Kamu sudah bantu aku. Semoga aku di terima oleh semua peserta arisan nanti.""Iya, pastinya."Icha pamit pulang. Katanya hari ini suaminya baru p
Aku kesal dengan perlakuan Kania. Berarti dia yang sudah merencanakan semua ini padaku? Atau jangan-jangan Icha adalah orangnya Kania? Tega-teganya Icha meninggalkanku di dalam sendirian.Aku mencoba bangkit dari lantai. Pinggangku terasa sakit, tak tau bagaimana kondisi bayiku. Aku harus menghubungi Aa Radit agar menemaniku ke rumah sakit."Halo, A. Aku mau minta tolong temani aku ke rumah sakit. Takut bayiku kenapa-napa, A. Karena barusan aku jatuh ke lantai," kataku dengan suara dibuat separau mungkin, agar Radit cepat-cepat menolongku di sini."Sekarang kamu dimana?" tanya Radit."Aku di sekitar Jalan Pajajaran ini. Udah jalan sedikit.""Baiklah, aku ke sana."Radit akan menolongku. Saat sedang berjalan di trotoar, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. "Kamu Seli kan?""Iya, aku Seli. Kamu siapa?""Masa nggak kenal denganku? Aku Robi, temen SMA kamu, Seli," kata Robi."Kamu sedang apa jalan sendiri di sini?" tanyanya penasaran."Aku nunggu jemputan." Aku sengaja mengatakan sedang
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
Aku mengekor langkah Bang Haris dengan tangan yang saling bergandengan. Ketika tiba di rumahnya, aku terkejut rumahnya lumayan rapi untuk ukuran jomblo seorang dokter."Kanda, aku suka di sini. Lebih adem dari rumahku.""Ya udah, kita tinggal di sini aja kalau gitu. Rumahmu dikontrakkan saja." "Boleh. Bisa jadi," kataku sembari melihat-lihat ke beberapa ruangan.Kemudian Bang Haris mengajakku ke kamarnya. Ternyata di sana rapi juga. Ranjang dengan seprey berwarna biru motif polkadot, dinding kamar berwarna abu-abu muda."Dinda, aku mencintaimu," katanya sembari menatapku penuh cinta."Sama, Kanda. Aku juga cinta padamu," balasku."Dinda, kamu ke sini, Sayang." Bang Haris menarikku ke ranjangnya."Gimana ranjangnya? Kamu suka di sini atau di rumahmu?""Di sini aja, Kanda. Aku suka.""Makasih ya, Sayang."Lalu Bang Haris mengecupku lembut, kami pun merengkuh manisnya cinta bersama."Dinda, terima kasih atas pelayananmu. Kanda sangat beruntung menjadikanmu sebagai istriku.""Sama-sama,
Hari ini kami kembali ke Bogor, kota tercinta yang menjadi kediamanku dan Bang Haris selama ini. Rasa bahagia menyelimuti hati ini. Begitu berbunga-bunga saat berada di samping Bang Haris--suamiku saat ini.Bang Haris mengendarai mobilku, mobilnya Bang Haris ada di Bandung. Jadi mungkin nanti adiknya yang mengantar ke rumah.Belum ada kepastian kami akan tinggal di mana. Rumah kami yang bersebelahan, bisa saja nanti dikontrakkan atau mungkin dijual. Eh tapi sayang kalau harus dijual."Dinda, ada hadiah dari kanda yang mau kanda kasih liat sama Dinda," kata suamiku. Duh, hadiah apa ya kira-kira? Cukup penasaran dengan apa yang dikatakannya."Ya udah kapan mau dikasih lihat sama aku?" tanyaku."Secepatnya. Kita pulang dulu ke rumah, nanti Dinda ikut Kanda ya!" katanya. "Baik, Kanda. Pasti nanti aku ikut dirimu, Kanda!" Aku menoleh pada suamiku yang sedang fokus menyetir.Bang Haris melirikku sebentar, lalu fokus lagi ke depan. Wajah gantengnya kupandangi dari samping. Masya Allah, aku
Tak lama Bang Haris datang. Tapi bersama Kyra. Aku jadi senang, kami mengasuh bersama di dalam kamar.Kami mengobrol hal-hal yang ringan, yang bisa membuat kami sesekali tertawa. Atau bahkan membuat kami menitikan air mata."Kanda, aku mau berterimakasih atas kebaikanmu selama ini. Aku benar-benar terbantu dengan semua hal yang kau berikan.""Dinda, aku ikhlas menolongmu. Tak ada maksud apa-apa. Aku memang mencintaimu saat itu. Tapi ku berpikir, jikapun kamu jodohku, kita pasti kan bersama.""So sweet banget, Kanda. Aku jadi malu jadinya.""Nggak usah malu, Dinda. Aku sekarang suamimu loh! Bisakah kamu mendekat padaku?" Bang Haris melirik pada Kyra yang tertidur."Ehm ... Kanda, sebentar lagi magrib, lalu Isya, dan nantinya subuh."Bang Haris terkekeh. "Dinda pinter ngeles deh. Mau magrib atau apapun itu, jika sudah terjadi, maka terjadilah. Hehe ... Becanda aku, Dinda! Yuk bersiap salat subuh dulu!""Hayuk, Bang!"Kami sudah mandi tadi sebelum ashar, saat menjelang magrib, kami hany
"Kania ... Ayo sini, calon pengantin harus meng-Aminkan doa-doa ibu Ustadzah." Salah seorang tanteku berkomentar. Aku mengangguk tanda setuju padanya."Iya, benar. Kania diam di sini, jangan kemana-mana," sahut sepupuku."Insya Allah besok lancar ya, Kania. Kami berdoa untuk kalian nanti," timpal sepupuku yang lain.Alhamdulillah mereka semua mendukungku. Tak ada yang nyinyir dengan statusku. Mungkin semua karena kebaikan mamaku juga, ia benar-benar baik pada Tante dan para sepupuku."Terima kasih semua, aku sangat terharu dengan semua. Semoga Tante, kakak dan adik juga dilancarkan urusannya," timpalku pada mereka.Bersyukur dikelilingi orang-orang baik, sehingga aku bisa selalu berpikiran positif. Walau kadang terbersit rasa insecure kalau diri ini seorang janda yang akan menikahi lelaki ganteng plus mapan. Ah, kalau berpikir ke situ, rasanya tak sebanding.***"Kania, kamu cantik sekali. Walau kamu pernah juga seperti ini, aku menyukai riasanmu saat ini," kata Mama. Mama terus saja
"Kamu bisa mengunjungi Kyra kapanpun, Mas. Aku tak akan menghalanginya. Tapi aku tak mungkin kembali padamu. Maaf ya, Mas Radit. Aku doakan semoga kamu mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku.""Mas Radit beranjak dari duduknya. Lalu berjalan ke arah Bibik, ia menggendong Kyra. Aku melihat kerinduan dari pancaran matanya.'Maaf, Mas. Aku benar-benar tak bisa bersamamu.' gumamku."Kyra baik-baik sama Mama. Nanti kalau udah besar jagain Mama ya!" Mas Radit berbicara dengan Kyra."Mas, aku harus segera berangkat sekarang." Ku lihat jam tanganku, sudah hampir setengah jam Mas Radit di sini."Baik, maaf ya Kania. Aku jadi mengganggu waktumu.""Iya, Mas. Nggak apa-apa.""Maaf juga aku tak bisa berangkat ke sana. Aku doakan dari sini, ya. Semoga kamu bahagia dengan Haris.""Aamiin, insya Allah. Terima kasih doanya."Kami sama-sama menuju depan rumah. Mas Radit pamit pulang. Ia menggunakan ojeg, karena mobilnya sudah dijual. Bik Susi mengunci pintu, lalu berjalan ke arahku. Kunci dibe
Bang Haris mengatakan kalau Seli dan laki-laki yang memasang bom jadi buronan polisi. Bisa-bisanya mereka merencanakan hal yang buruk padaku."Kamu hati-hati kalau dijalan. Apa perlu aku yang antar jemput kamu?" tanya Bang Haris khawatir. Aku bisa merasakan kekhawatirannya."Nggak usah, Bang. Lagian pasienmu nanti pada nunggu, Bang," sahutku. Kasihan dia kalau terlalu memikirkanku."Baiklah, hati-hati kalau mau ke kantor. Oya, besok kan kamu harus ke Purwakarta. Kalau aku Insya Allah ke Bandung lusa," terang Bang Haris. "Aku juga tak tinggal diam, aku mencari info juga tentang Seli dan orang suruhannya." "Iya, Bang. Semoga bisa segera di tangkap. Sekarang aku sadar, tidak semua orang menanggapi atas keinginan kita untuk berhubungan baik dengannya," sahutku."Iya, Kania. Untuk saat ini tak perlu lagi kamu berhubungan lagi dengan seorang Seli," ucap Bang Haris."Iya, Bang. Terima kasih, ya!" jawabku.Bang Haris berangkat menuju rumah sakit. Sedangkan aku sebentar lagi akan ke toko, kar
Mereka langsung menatapku. Salah satu dari mereka mendekat."Maaf, Bu. Jangan laporkan kami. Kami tak akan mengulanginya lagi," katanya.Aku berdehem. "Yang lainnya bagaimana?"Mereka saling berpandangan, lalu mendekat ke arahku agar jangan membocorkan ini."Baiklah, saya terima semua janji kalian. Tapi ingat, tak baik membicarakan seseorang seperti itu.""Baik, Bu," kata mereka serempak."Ya sudah silahkan bekerja kembali!" Aku kembali duduk menunggu obat. Pasien lain yang ada di sekitar memperhatikan ke arahku. Peduli amat sama mereka, toh aku peduli dengan rumah sakit ini, agar tenaga kerja di sini tak sembarangan bergosip. "Aku tak menyangka kamu bisa setegas itu?" Suara Bang Haris mengagetkanku."Eh, Bang. Maaf ya aku bikin gaduh di sini."Kemudian dia duduk di sampingku."Enggak kok kamu hebat, Kania. Maaf ya kalau kamu jadi bahan gunjingan jadinya," katanya dengan suara yang pelan."E-eng-enggak, kok. Aku cuma nggak mau aja kamu menjadi bahan olok-olok mereka. Mereka pantas