Bab 45."Mama lagi sibuk nih!"Kalimat mama kembali terngiang di kepala Angga saat ia melakukan panggilan video call untuk adiknya. Bukan sekali, tapi setiap kali menelepon, mama selalu bilang sibuk. Nindita lewat di belakang Khanza yang sempat ditatap Angga sedang memegang sesuatu dari dapur. Namun, ia sama sekali tak menyapa meski Inaya dengan manja membujuknya.'Ma, apa harus seperti ini akhirnya?' Angga terus bertanya pada diri sendiri, padahal ia tahu dari Khanza bahwa pelanggan kue sang mama tak begitu ramai. Kesibukan itu hanya kebohongan untuk menghindari Angga. Ia terluka karena selama ini tak ada kesibukan yang menghalangi kebersamaan mereka.Angga, Inaya dan Khanza dipisahkan oleh keadaan dan keputusan. Hal yang sering terjadi dalam sebuah perceraian, seperti saling berusaha untuk memisahkan dengan cara yang tak sengaja, hanya anak yang akan merasakannya."Pada akhirnya kamu yang paling melukai, Ga!" Kalimat terakhir mama saat Angga berpisah dengannya. Kalimat perpisahan
Bab 46.Operasi berjalan dengan lancar, tapi Angga belum sadarkan diri. Ia masih terbaring dalam keadaan terpejam. Ellia kerap kali menjenguknya, lalu pulang saat Bima dan Selly datang ke ruang rawatnya. Terkadang Sam yang datang bersama Dinda, atau bersama Dion yang terus menerus merasa bersalah. Ada juga teman-teman lain dari sekolah yang menjenguk Angga.Angga sudah dipindahkan ke ruang rawat. Dokter mengatakan keadaannya akan membaik, hanya perlu menunggu waktu untuk bisa merespon semua penanganan dan obat-obatan yang diberikan. Kondisi seperti Angga terkadang membutuhkan waktu yang lama untuk sadar. Namun, dokter sudah melakukan yang terbaik berharap Angga segera sadar dan membuat lega orang-orang yang mengkhawatirkannya.Ellia menatap tubuh yang terbaring itu. Hari Minggu membuatnya bisa datang pagi-pagi sekali ke rumah sakit. Gadis itu meneteskan air mata, melihat Angga seperti itu membuatnya lemah."Makasih ya udah bersedia donor darah untuk Angga."Saat itu Bima berbicara em
Bab 47."Pake hapeku aja, Om!" Sam menawarkan ponselnya pada Bima. Beberapa kali Bima menelepon Nindita, tapi tak diangkat.Syukurnya Ellia bersedia memberikan darah untuk Angga, yang membuat Bima tak lagi berusaha untuk menghubungi Nindita.Saat itu Sam sudah pulang ke rumah setelah operasi Angga selesai. Ia masuk ke kamar dan membuka seragam sekolahnya yang ikut terkena darah dan keringat. Baru saja Sam ingin melangkah ke kamar mandi saat ponsel ya berdering.Sam kembali melihat ponsel yang ia letakkan sembarang di atas kasur. Ia segara mengangkatnya saat melihat Nindita yang menelepon."Sam," panggil Nindita saat lelaki itu menjawab panggilannya."Iya, Tante.""Kenapa ya tadi telpon tante. Maaf baru pegang hape." Nindita bertanya, karena panggilan dari Sam lebih dari satu kali. Itu artinya ada hal penting yang ingin disampaikan.Sam terdiam, ia bahkan tidak bisa secepatnya mengabari bahwa Angga sedang dalam kondisi yang menghawatirkan. Ia takut Nindita syok saat mendengar berita b
Bab 48."Ga, mau sekolah? Jangan dulu, papa akan minta surat sakit dari dokter lagi."Bima bangun dari kursinya, ia sedang menyantap sarapan sebelum bekerja. Namun, tiba-tiba dari arah kamar, ia melihat Angga sudah rapi dengan seragam sekolah dan tas di punggungnya."Bahkan kepalamu masih diperban." Bima mendekati Angga yang sedang memakai sepatu di dekat pintu.Selly dan Enzy saling menatap, keduanya sama-sama tidak bisa mengizinkan Angga untuk sekolah. Nmajn, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.Sementara Angga hanya diam seperti biasa. Tak menyapa, juga tak berbicara jika tak ada perlu. Reaksi dari seorang anak yang terlalu kecewa dengan kata-katanya yang sering terabaikan. Terlalu lelah berbicara, tapi tak pernah didenagrkan. Terlalu banyak protes, tapi selalu diabaikan. Sebab itu, kini ia memilih diam, menghindari luka yang lebih dalam karena rasa kecewa dari harapan-harapan itu.Sudah sebulan lebih Angga tidak sekolah, atas anjuran dokter untuk beristirahat penuh di rumah. Namun,
Bab 49."Mama ...," lirih Angga memanggil. Matanya terus menatap ke depan, dengan cairan yang menggenang di matanya."Ma ...," Angga kembali memanggil lirih. Sementara di sana Nindita tersenyum padanya. Namun, Angga dengan jelas melihat ia menyeka sudut matanya berkali-kali. Menangis sama oersisiy seperti dirinya.Angga berjalan ke depan, masih menatap lurus ke arah mamanya. Nindita juga melakukan hal yang sama. Keduanya berjalan hingga mereka bertemu di halaman yang di sampingnya ada bunga-bunga yang tak lagi terawat.Angga dan Nindita berdiri dalam jarak dekat, saling memandang untuk sesaat, dengan tetesan air mata yang tak bisa berhenti dari keduanya. Bahkan tubuh Angga bergetar menahan isak tangis yang semakin tak terkendali.Segera saja Nindita memeluk Angga. Pelukan yang begitu diinginkan olehnya. Saat itu, pecahlah tangis Angga di kedua bahu Nindita. Ia biarkan dirinya menangis seperti anak kecil yang merengek manja di pelukan ibunya. Biarkan. Biarkan saja seperti itu untuk be
Bab 50."Makan yang banyak ya!" ucap Nindita yang duduk di depan Angga.Setelah saling melepas rindu, dan mengobrol banyak hal, Nindita mengajak Angga untuk makan di restoran favorit mereka dulu. "Besok-besok kalau mama datang, mama bakalan masak dulu buat kamu. Kangen nggak masakan mama?" "Kangen dong, Ma. Nggak ada yang bisa ganti citarasanya.""Beneran?" tanya Nindita menaikkan sebelah alisnya menggoda."Masakan mama tuh kelllllas pokoknya." Angga mengangkat tangannya menyatukan jempol dengan telunjuk hingga membentuk gaya oke.Nindita tertawa melihatnya, ada yang menyusup hangat dalam hatinya. Rasa bahagia saat melihat Angga yang perlahan kembali seperti dulu. Ia berharap keceriaan, juga semangat hidupnya kembali."Ma ...," panggil Angga."Ya," sahut Nindita di sela-sela suapan nasinya."Sam bilang apa aja sama mama?" tanya Angga penasaran.Nindita tersenyum menatap Angga, lalu ingatannya menerawang pada Sam yang beberapa waktu lalu menemuinya.Sam memang tahu di mana rumah nen
Bab 51.Semilir angin siang dari pepohonan di lingkungan sekolah membuat rambut Dinda melambai-lambai. Gadis itu sedang duduk berdua dengan Angga di bangku taman sekolah, di bawah pepohonan rindang. Tempat itu biasanya digunakan untuk anak-anak yan mengerjakan tugas dan belajar. Tak jauh beda dengan yang Dinda lakukan saat ini.Sejak hari itu, namanya belum kembali bersih setelah penemuan barang terlarang dari tasnya. Di kelas, di kantin atau di mana pun, banyak teman-teman yang menatapnya tak suka dan memilih menjauh dari Dinda. Bahkan teman-teman yang dulunya sering meminta diajari pelajaran dari Dinda, ikut menjauh hanya karena alasan dan tuduhan yang belum tentu benar. Jika dulu banyak yang mengeluh karena ingin satu kelompok dengan Dinda, kini mereka menolak gadis cantik dan kutu buku itu. Hanya Angga yang masih percaya dan selalu ada untuknya. Angga satu-satunya siswa di kelas yang masih menerima Dinda sebagai anggota kelompok."Jangan ditatap lama-lama. Entar gue geer!Angga
Bab 52."Tunggu dulu!" teriak Angga yang berlari saat melihat Bara beranjak dari duduknya. Ia sudah mencari Bara ke banyak tempat, di kelas, di kantin, di taman, tapi lelaki itu tak ada.Bara berhenti sejenak karena Angga menahannya. Kemudian ia menatap sinis dan bertanya apa perlu Angga dengannya.Sementara Angga merasa lega saat menemukan Bara di belakang sekolah. Seperti dugaannya, di sana adalah tempat terakhir pencarian Angga, karena Bara memang langganan di belakang sekolah. Sejenak Angga memandangi tempat itu. Rumput hijau yang tumbuh di beberapa bagian, juga satu kursi memanjang di sana. Angga mengenang tempat itu, karena di situ pertama kali ia berkelahi dengan Bara.Angga dan Bara berdiri dalam jarak dekat. Untuk sesaat tak ada yang berbicara hingga hening yang membuat Bara bosan karena Angga mencegatnya tak penting sama sekali."Gue lagi nggak mood berantem sama lo," ucap Bara dan berlalu pergi. Sementara Angga mengikuti. Ia menarik tangan Bara agar menjauh dari pekarangan
Extra Part POV Bima.Hidupku nyaris sempurna bersama Nindita dengan dikarunia tiga orang anak. Karir juga semakin merangkak pesat, hingga aku diangkat menjadi branch manager di perusahaan tempatku bekerja. Tentu perjalanan itu tak lepas dari dorongan dan semangat dari Nindita, ia selalu ada di belakangku dalam situasi apa pun.Hal yang paling kusukai dari Nindita adalah cara bicaranya yang lembut, begitu tahu bahwa lelaki paling tak bisa diusik harga dirinya. Jadi, saat aku lelah bekerja dan menceritakan keluh kesah, ia hanya mendengar, tanpa menyela lebih dulu karena ia tahu persis aku hanya butuh didengarkan, bukan butuh nasehat tanpa diminta.Nindita tak hanya cantik, tapi juga cekatan. Ia sanggup mengerjakan pekerjaan rumah sendirian, terkadang aku yang merasa kasihan dan sering menolongnya. Namun, ketika aku menawarkan untuk menyewa ART, ia menolak karena akan bosan di rumah tanpa pekerjaan. Ia ingin uangnya ditabung untuk pendidikan anak-anak. Kami hidup rukun dan damai, dengan
Bab 62.Hari berganti bulan dengan segala aktivitas yang dilalui. Angga tetap fokus membersihkan namanya di sekolah itu agar orang tak mengenalnya dengan kenangan yang buruk. Meskipun sedikit terlambat, di tahun terakhir ia benar-benar belajar dengan giat, ia juga mengikuti setiap olimpiade yang diadakan di sekolah. Bukan untuk menang, tapi untuk menjaga konsistensi dalam belajar, juga menantang diri dengan soal-soal. Matematika yang dulu ia anggap biasa saja, meskipun menurut teman-teman ia mahir dalam bidang itu, kini ia fokus pada pelajaran eksak itu.Menurut Angga, Matematika seperti memberikan tantangan dalam belajarnya. Ia bisa berpikir lebih fokus dan lebih kritis dalam menyelesaikan soal-soal.Hingga kini, di kamarnya tak hanya ada piala penghargaan dari pertandingan basket. Namun, ada beberapa piala olimpiade Matematika tingkat sekolah.Media sosialnya banyak memberikan komentar dan pujian. Namun, tak sedikit juga yang masih mengenangnya sebagai anak yang memergoki perseling
Bab 61."Ck!" Angga berdecak kesal. Tangisan bayi membuatnya tak fokus belajar. Semakin hari berada di apartemen itu semakin membuatnya tak nyaman dan bising. Padahal ia perlu belajar dengan giat untuk tes segala macam. Tentu butuh keheningan untuk fokus dalam semua pelajarannya.Angga keluar dari kamar, ia ingin mengambil minuman untuk sekadar menenangkan pikirannya. Saat ia keluar, ia bersitatap dengan Bima yang sedang menuju kamar bayi mereka yang baru berusia beberapa bulan."Kenapa, Sel? Kok bisa Rafa nangis dari tadi sih?" tanya Bima yang baru saja ingin merebahkan diri, tapi suara tangisan bayi yang dinamai Rafa itu kembali membangunkannya."Nggak tau, Mas. Dari tadi nangis mulu.""Urus dengan baik, Sel. Kamu nggak bisa kasih ketenangan buat dia, kalau sibuk main hp terus."Selly menatap tak suka pada suaminya. Sementara Bima tahu bahwa Selly sejak tadi hanya bermain ponsel, tanpa peduli pada tangisan anak kecil itu."Jangan nuduh aku nggak becus, Mas! Aku bahkan besarin Enzy
Bab 60."Menikahlah lagi, Pa!" ucap Sam pada papanya.Surya yang sedang menyesap teh hangat itu hampir saja tersedak minuman. Dari semua hal yang terjadi dalam hidup Sam, sungguh sama sekali tak terbayang olehnya anak itu akan mengatakan kalimat itu.Beberapa saat hening dan keduanya saling menatap. Surya bahkan tak tahu harus menanggapi seperti apa. Ia senang, tapi pikirannya tetap memikirkan bagaimana sikap Sam nantinya jika ia menikah lagi."Aku serius, Pa. Aku rasa, rumah ini sudah saatnya memerlukan seorang perempuan yang bisa menjaga dan menyayangi." Sam mengangguk yakin, ia sudah memutuskan itu semua. Ia terlalu banyak protes untuk hidupnya sendiri, yang nyatanya tak ada yang berubah.Sam merasa terlalu egois jika terus membiarkan papanya hidup seorang diri, apalagi melihat mamanya yang bisa hidup bahagia setelah bercerai. Sam merasa ia telah mengekang papa. Ia merasa papa juga butuh teman hidup untuk berbagi keluh kesah, dan bahagia.Ya, papanya layak bahagia.Surya tak menik
Bab 59."Ma, menikahlah lagi!" ucap Angga menatap sang mama yang seketika mengerutkan keningnya.Nindita masih tak mengerti apa yang Angga pikirkan saat ini. Ia sendiri tak yakin sudah sembuh dari luka lamanya bersama Bima, dan menikah lagi adalah hal yang harus dipikirkan secara matang. Tak hanya tentang hatinya sendiri, tapi juga tentang mental anak-anaknya. Nindita merasa tak siap dengan itu semua. Ia merasa jika pun akan menikah, pasti anak-anak butuh waktu untuk bisa menerima kehidupan baru bersama orang baru.Belum lagi usia Nindita yang tak lagi muda dan memiliki tiga orang anak yang sudah besar dan tentu butuh biaya banyak untuk kehidupan. Lalu, siapa yang akan menikahinya?Masih dengan kebingungan yang belum berakhir, tiba-tiba pandangnya beralih ke pintu di mana dua orang lelaki masuk ke rumah mereka. Dua orang yang Nindita kenal sejak dulu."Aa Wisnu? Imran?" Sungguh Nindita tak mengerti dengan semua itu. Mengapa tiba-tiba orang-orang di masa lalu Nindita berada di sini di
Bab 58.Jadwal Angga semakin padat setelah memutuskan untuk aktif bernyanyi di YouTube dan media sosial lainnya. Namun, baginya pendidikan tetap nomor satu. Tahun terakhir harus lebih baik dari sebelumnya. Ia berusaha membagi waktu sebijak mungkin agar semua aktivitasnya terlaksana dengan baik. Angga dan Sam juga mengikuti serangkaian tes untuk bisa masuk ke perguruan tinggi. Melengkapi persyaratan sejak dini untuk bisa menjadi siswa yang akan dikenang dengan catatan baik.Video Angga dan Sam sering viral setelah malam itu. Keduanya mengcover lagu-lagu yang sedang viral di Tiktok, dan merekamnya di kamar Sam. Saat Sam memberitahu pada papanya, bahkan Surya membantu membelikan apa yang mereka butuhkan untuk merekam.Nama Angga dan Sam menjadi terkenal di sekolah, bukan lagi sebagai pembuat onar. Namun, kini sebagai siswa kreatif dan berbakat. Bahkan terkadang siswa-siswi di sekolah meminta berfoto layaknya selebritis."Sok ngartis lo," ejek Angga pada Sam yang terlihat begitu percaya
Bab 57."Ambil gitar," perintah Angga pada Sam yang masih menatapnya bingung. Namun, ia tetap mengikuti perintah Angga, mengambil gitar dan memasukkan ke dalam tas khususnya.Sam mengeluh bosan di rumah setelah menyelesaikan aktivitas belajar mereka di malam hari. Beberapa hari lalu Angga dan Sam sering mengisi kebosanan itu dengan bermain gitar dan bernyanyi di kamar Sam. Entah sudah berapa lama mereka tak bernyanyi bersama."Mau ke mana?" tanya Sam masih bingung. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, jika papa ada di rumah, ia pasti akan melarang mereka keluar lagi."Udah tenang aja, jangan banyak tanya. Sini gitarnya." Angga mengambil alih gitar di tangan Sam dan menaruh di bagian belakangnya. Ia menyambar jaket hitam yang tadi dipakainya, lalu mereka berdua keluar dari kamar itu.Angga pernah mencoba untuk betah di rumah, tapi lagi-lagi ia dihadapkan oleh situasi yang begitu jenuh. Papa dan Selly masih kerap membahas persolan Andre yang datang tiba-tiba ke dalam kehidupan me
Bab 56."Lepaskan, Mas!" Selly menarik tangan seorang lelaki agar terlepas dari lengan Enzy. Sementara gadis kecil itu terus menjerit meminta tolong pada mamanya."Ini anakku, Sel. Aku juga berhak atas dia. Kenapa kamu seolah ingin memisahkan kami?" Andre, mantan suami Selly terus menarik Enzy.Andre berjalan dan membuka pintu mobil, ia ingin Enzy masuk ke dalam sana. Namun, gadis kecil itu terus meronta diikuti Selly yang mendekat dengan langkah tertatih sebab perutnya semakin besar. Enzy melawan, ia ingin berlari dan pergi dari sana. Entah kenapa mamanya tiba-tiba membawanya ke taman di sisi kota sore ini.Suasana taman sedikit sepi, hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Namun, mereka enggan mendekat karena mendmegar keributan itu tentang keluarga. Jadi, mereka malas untuk ikut campur masalah rumah tangga orang lain."Tenang Zi, ini papa. Kamu akan aman sama papa," ucap Andre mencoba membuat Enzy tenang. Namun, tetap saja Enzy menangis. Ia baru pertama kali melihat wajah it
Bab 55.Angga kembali ke Jakarta setelah libur usai. Meskipun sebenarnya ia belum ingin pergi dari sana, karena mama masih berduka. Terlihat sekali Nindita sering menangis sendirian saat termenung. Kehilangan seorang ibu masih terus membekas rasa duka di hatinya. Namun, Nindita tetap harus bisa menunjukkan kesan baik-baik saja di depan Angga, karena ia harus kembali sekolah untuk menggapai mimpi yang telah disusunnya."Kesedihan yang wajar, Ga. Nanti juga perlahan memudar. Mama nangis bukan berarti nggak ikhlas. Kamu harus sekolah ya, pulang."Angga pulang dengan rasa yang semakin muak berada di keluarga itu. Rencana untuk tetap tinggal bersama papa, rasanya perlahan semakin tak bisa ia lakukan. Namun, betah atau tidak, ia tetap harus di sana.Sam melihat rasa marah masih bertahan dalam diri Angga. Kini bukan lagi acuh tak acuh, tapi Angga bahkan jarang pulang ke rumah. Sebab itu ia sering menginap di rumah Sam.Surya yang kini lebih sering di rumah, malah merasa senang Angga lebih b