Mohon maaf baru up lagi karena memang ada beberapa kendala. Semoga sesudah ini akan rutin up seperti sebelumnya. Jangan lupa menyempatkan sejenak waktu untuk memberikan komentar juga ulasan di depan ya kakak sekalian, ehehe bantu Retno nyalakan bintang. Terima banyak ❤️❤️
Tidak biasanya di waktu semalam ini ada orang di ruang makan di kediaman itu. Selama ini mereka selalu melakukan makan malam selepas Maghrib atau paling larut hanya sekitar pukul 20.00 saja. Namun kini kurang dari dua jam saja waktu mencapai titik tengah malam, dan masih terlihat ada dua perempuan memunguti segala sesuatu untuk diletakkan di atas sebuah piring putih.Lebih dari itu, dua perempuan yang duduk di kursi itu pun terlihat sangat bersemangat menghabiskan hidangan di meja. Padahal masakan yang tersaji bukanlah menu kesukaan mereka. Biasanya keduanya hanya akan demikian jika makan berlaukkan daging atau seafood. Bahkan saat ini tidak berlebihan jika mereka disebut sebagai orang yang sedang ... kelaparan.Setelah piring makan mereka kosong, keduanya menutup makan malam dengan meminum segelas air. Berikutnya suara sendawa, untuk pertama kalinya terdengar.“Mawar!”“Nggak apa-apalah Ma. Cuman ada Mama ini. Lagipula biasanya juga aku nggak sendawa ‘kan? Sendawa sekali doang udah
Lebih dari pukul 22.00 mobil yang dikemudikan Aji baru memasuki halaman rumahnya. Sebenarnya, Aji ingin menghilang dulu hingga proses penyelidikan Santi dimulai. Namun, sang istri memintanya pulang saja karena itu terlalu lama.Tidak langsung menyerah, Aji meminta untuk bermalam di hotel malam ini saja. Dia sungguh tidak ingin membahas perihal pelaporan sang tante itu sama sekali. Malas. Toh, niatnya sudah bulat dan tidak ada rencana untuk berubah. Aji sama sekali tidak berpikir untuk mencabut laporan tersebut sebab apa yang dia lakukan bukanlah gertakan semata, tetapi memang keseriusan ingin mengurangi populasi orang-orang yang sudah sangat melampaui batas, yang menyedot habis seluruh kesabaran yang telah dia panjang-panjangkan.Namun lagi-lagi, Retno mengatakan ‘jangan’. Naasnya, alasan yang disampaikan istrinya itu sangat kuat dan terdengar egois jika dirinya sampai menolak. Itu sebabnya, pada akhirnya, dia membanting setir ke rumah juga. Meski begitu, dia bertekad untuk tutup mul
Aji baru saja melewati pintu ketika ibu dan adiknya juga baru memasuki ruang tamu dari dalam. Dia mencoba menyunggingkan senyum saat dua perempuan itu dengan ceria menyambutnya pulang.“Aji, kamu dari mana saja, Nak? Sejak tadi siang Mama dan adikmu berusaha menghubungimu, ya telepon ya kirim pesan, tapi kamu tidak mengangkat, juga tidak balas pesan.”Aji mencium tangan ibunya dan menjabat tangan adiknya sebelum menjawab, “Maaf ya, aku sangat repot.”“Tapi Mas Aji tadi pagi nggak pakai setelan jas ini ‘kan?” Mawar melihat sang kakak dari ujung kaki ke ujung kepala, seolah sudah sepuluh tahun tidak bertemu.“Iya, tadi ganti. Sudah sengaja bawa ganti ini untuk acara makan malam bersama para CEO di kota ini.”“Itu acara kantor, Mas?”“Iya. Aku diminta datang oleh Siska.”“Berarti kamu tadi makan malam dengan Siska?” Mata Mayang berbinar-binar mengharapkan kabar baik dari putranya. Dan kebahagiannya seolah sempurna hanya dengan melihat anggukan dari Aji.“Ya tadi Siska juga ada di sana.”
Sudah barang tentu Aji ingin meledak. Urat-urat lehernya sudah menyembul pertanda dia akan berbicara dengan keras atau bahkan berteriak. Akan tetapi, segala kata yang telah sampai di mulut malah tertelan lagi lantaran gelak tawa dari istrinya.Pastinya hal itu sangat aneh mengingat ucapan Mawar tadi bukanlah sebuah kelakar. Tidak ada satu pun bagian dari kalimatnya yang memenuhi unsur humor.Namun, nyatanya bukannya tersinggung atau marah, tawa Retno malah terdengar cukup panjang seolah dia baru saja mendengar sebuah humor menggelitik.‘Ya Tuhan, ampuni iparku karena telah menyebut suamiku sebagai seorang mata keranjang.’ Retno tertawa lantang lagi.Melihat hal tersebut jelas Mawar dan ibunya semakin kesal. Jika tadi yang memaki Retno adalah Mawar, kini giliran Mayang yang memekik, “RETNO!”Sontak saja aliran tawa di tubuh Retno langsung mampet. Dia menoleh pada suaminya sesaat sebelum melihat sang mertua. “Ada apa, Ma? lirihnya seperti kanak-kanak yang berdiri mendengar omelan sang i
“Bagaimana ini Mama?”Mayang duduk dengan frustrasi. Dia meneguk segelas air untuk membasahi tenggorokannya yang kering karena terlalu sering menelan ludah akibat kalimat-kalimat Aji yang tajam dan tegas.“Mama, kok malah diam saja sih!” Mawar kesal ibunya membiarkan pertanyaan darinya menguap tanpa jawab.Mayang meletakkan gelas dengan cukup kuat hingga membuat putrinya sedikit berjingkat. “Mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bisa kita lakukan.”“Maksud Mama, kita akan diam saja gitu dimusuhi keluarga Tante Santi? Kita biarin mereka terus-terusan meneror kita? Mengirim pesan kebencian, telepon-telepon, dan gedoran pintu yang menakutkan itu? Tidak Ma. Aku nggak bisa hidup seperti itu.” Nada protes Mawar mulai naik.Mayang menatap putrinya lekat. Dia mendesis kesal, “Terus kita harus bagaimana?”“Ya bujuk Mas Aji untuk cabut laporan kek, minta dia supaya minta maaf ke Tante Santi kek, atau apa gitu. Masa kita diem aja Ma? Kalau hanya diam, mana mungkin masalah ini kelar. Yang ada malah
Di dalam kamar, Aji dan Retno telah berbaring di atas tempat tidur. Aji terlentang, sedangkan Retno berbaring miring sambil memeluk suaminya. Jika Aji telah mengatupkan kedua matanya, sang istri masih terjaga sambil sesekali melihat wajah Aji.Meski mata sang suami telah terpejam, Retno tahu kalau Aji masih belum tidur. Bahkan dia bisa mendengar embusan napas Aji yang terdengar begitu berat. Dia hafal benar, itu adalah pertanda bahwa batin sang suami tidak sedang baik-baik saja.Retno menduga Aji pasti masih memikirkan segala masalah yang terjadi hari ini. Terutama mungkin memikirkan keributan yang baru saja terjadi. Entah memikirkan masalah laporan kepolisian Tante Santi ataupun masalah sikap mertua dan iparnya yang tidak berubah sama sekali, Retno tidak tahu pasti. Bisa jadi malah keduanya. Belum lagi soal Siska.Pada akhirnya, sebuah napas kabur dari mulut perempuan itu.“Kamu belum tidur?” tanya Aji masih dengan mata tertutup. Rupanya, helaan napas Retno tadi cukup keras hingga te
Di sebuah kafe dengan gaya klasik, terlihat seorang gadis menghampiri gadis lainnya. Keduanya terlihat akrab, saling bertanya kabar sekaligus bertukar ciuman di pipi sebelum duduk berhadapan.“Beberapa waktu tidak bertemu, kamu kelihatan makin cantik aja Mawar?”Gadis yang dipuji tersenyum memegangi kedua pipinya. “Masa sih, Mbak? Aku kok merasa jelekan ya.”“Enggak ah, kamu cantikan tau! Kok ngerasa gitu sih?”“Ya ampun Mbak, kemarin di rumah ada huru-hara. Aku sampai udah nggak betah banget tinggal di rumah. Pengen minggat aja rasanya. Semakin lama udah seperti neraka saja itu rumah!”“Sebentar, sebentar, kita pesen makan dan minum aja kali ya. Kayaknya masalahmu serius banget. Kamu mau makan dan minum apa Mawar?”Mawar menggeleng. “Asli aku sampai nggak nafsu makan.”“Nggak boleh gitu dong. Masalah boleh berat, tapi hidup tetep lanjut ‘kan? Dan hidup butuh makan. Gini aja, gimana kalau kita samaan aja ya?”Siska pun mengangkat tangan dan memesan setelah menerima anggukan dari Mawar
“Ya udah, kami ngotot bilang kalau mobil itu dari kamu dan menolak keras pengakuan Mbak Retno yang bilang dialah yang beli mobil itu. Segala cara kami lakukan untuk membuktikan kalau kamilah yang benar dan Mbak Retno sudah berbohong. Tapi, semuanya justru semakin memperkuat kalau memang Mbak Retno-lah pembelinya. Sampai akhirnya ....”“Aku telepon kamu.”“Bener. Pas itu kami lagi kumpul semua di ruang makan. Mama sengaja minta aku untuk ngerasin suara agar Mas Aji juga Mbak Retno bisa denger obrolan kita.”Kedua mata Siska terbelalak selagi kedua tangannya berpindah ke depan mulut. “My God!” lirihnya dengan suara sedikit bergetar mengingat apa saja yang telah dia katakan waktu itu.“Aku dan Mama pikir pengakuan dari Mbak akan mematahkan semua kebohongan istri Mas Aji. Tapi ternyata, apa yang kamu ucapkan justru ....” Mawar menutup ucapannya dengan menggeleng dan mengembuskan napas berat.“Jadi, semua yang aku katakan didengar Aji dan Retno?”Dengan wajah menyesal Mawar mengangguk.“Gi
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san