Retno tidak menjawab. Dia berdiri masih dengan tatapan mengintimidasi."Sayang, kamu mau ke mana?" tanya Aji melihat istrinya beranjak dari sisinya. Sebelumnya, lelaki itu juga merasa sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Retno. Walau tidak keberatan atau tersinggung atas ucapan pedas sang istri pada ibu dan adiknya karena memang itu benar adanya, Aji tidak tahu kalau Retno akan setegas itu. Beberapa kali saat dirinya bersikap serupa lantaran memang ibu dan adiknya sudah keterlaluan, Retno justru cenderung berusaha menenangkan dirinya.'Apa istriku sudah tidak tahan lagi?' pikir Aji kian was-was karena Retno berjalan mendekati Mayang dan Mawar."A-apa yang mau kamu lakukan, Mbak?" Mawar ketakutan. Sangat wajar karena saat ini Retno seperti memancarkan aura tirani yang kuat. Mungkin akan berbeda kasusnya jika di tempat itu tidak ada Aji. Setidaknya Mawar bisa membalas kalau-kalau Retno nekat memukul atau melukainya. 'Tidak mungkin aku memukul Mbak Retno di depan Mas Aji!' batinny
"Ja-jangan salah paham, Sayang. Aku dan Siska bertemu tanpa sengaja saat menjadi sopir. Dia order taksi online, dan kebetulan akulah yang nerima. Itu saja." Siska tersenyum licik melihat amarah terbit di wajah Retno. Dia buru-buru menyela untuk memanaskan suasana. "Iya, Retno. Aku tu sebetulnya mau ke mari naik taksi online tadi. Tapi nggak tahu kenapa, jodoh atau gimana, pas banget Aji yang jadi sopir. Dia 'kan pakai masker tu, nah aku juga. Jadi selama ngobrol ke sana ke mari, kami tu nggak sadar kalau kami saling kenal. Malahan nih, aku ngomongin Aji tahu. Duh, malu banget kalau inget itu!" "Ehehehe, yang bener, Mbak?" tanya Mawar antusias. Sedari Siska bercerita, mimik wajahnya beserta ibunya terlihat sangat senang. "Bener, Mawar! Sumpah malu banget. Sayangnya, habis itu Aji ngelarang aku berkunjung. Kayaknya dia takut kamu cemburu, Retno. Padahal 'kan aku ke mari juga karena ingin ketemu Tante dan Mawar, kangen banget udah lama nggak ketemu, bukan untuk nganggu rumah tangga ora
Semua mata tertuju pada Aji. Dia terlihat mengembuskan napas panjang sebelum menjawab, "Tidak, Ma. Aku tidak bisa.""Lho memangnya kenapa?! 'Kan bagus daripada jadi sopir, Nak!""Iya, Mas. Kenapa nggak diterima aja? 'Kan enak bisa dapat kerjaan keren lagi dengan gaji bagus. Kerja di perusahaan Mbak Siska pula. Pasti lebih nyaman daripada kerja di kantor Mas yang dulu."Terlihat jelas Mayang dan Mawar tidak terima dengan keputusan Aji. Namun, seperti tidak peduli dengan itu, Aji membalas, "Aku telah berusaha mencari pekerjaan yang bagus seperti dulu. Dan aku yakin, suatu waktu aku akan mendapat panggilan kerja dari beberapa surat lamaran yang telah aku kirimkan.""Nak, apa salahnya jika kamu bekerja di perusahaan Siska? Ingat Aji, kesempatan tidak datang dua kali. Sekarang ada tawaran bagus dari Siska di depan matamu. Lalu, kenapa harus repot menantikan tawaran lain yang belum tentu datang?"Hening.Dalam batin Mayang, Mawar, juga Siska dengan kompak menyalahkan Retno. Mereka yakin bet
"Mbak, nggak lihat apa Mama lagi sakit? Mbak memang istrinya Mas Aji ya, tapi nggak berhak ngelarang seorang anak untuk peduli pada ibunya!" Mawar ceramah layaknya anak paling berbakti."Aji, aku nggak nyangka ternyata istrimu parah banget. Retno, aku pikir kamu itu sayang sama Tante, ternyata ...." Siska menggelengkan kepala.Retno yang menerima serangan dua wanita itu tetap terlihat tenang. Sebenarnya dia menunggu komentar dari sang suami, tetapi tampaknya Aji masih mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Lelaki itu memikirkan maksud dari sikap istrinya. "Duduklah Mas, Mama nggak papa." Retno menarik Aji hingga duduk kembali di sisinya."Mbak Retno!" bentak Mawar sangat lantang hingga membuat Retno memejamkan mata beberapa saat."Mawar, kamu sadar tidak, suaramu yang keras di dekat Mama itu harusnya membuat kepala Mama semakin sakit?""I-itu ...." Mawar jelas kebingungan membalas perkataan kakak iparnya."Beberapa saat lalu ketika aku meminta Mama untuk beristirahat saja, Mama sendir
Di dalam kamar, Retno terlihat fokus menatap layar laptopnya. Jari-jarinya bergerak lincah di atas tombol. Sementara itu, Aji yang merasa bersalah untuk apa pun yang terjadi hari ini, tampak diam duduk di atas ranjang, menatap punggung istrinya.'Tidak biasanya Retno diam begini. Sejak masuk kamar, dia tidak mengatakan apa-apa padaku. Hanya tersenyum atau menimpali seperlunya jika diajak bicara.' Aji menghela napas berat. Dia paham benar, jika istrinya sudah diam begini, kadar marahnya sudah cukup tinggi.'Aku tidak tahan lagi.' Aji berjalan menghampiri Retno. Lantas dia membungkuk untuk memeluk sang istri dari belakang.Seketika itu pula jari-jari Retno berhenti. Namun, dia tidak mengatakan apa pun."Apa kamu marah padaku?" tanya Aji tanpa melepaskan pelukannya.Bukannya menjawab, Retno balas bertanya, "Apa aku terlihat seperti orang marah?"Aji berdiri dan berpindah ke samping istrinya. Dia berjongkok di lantai sebelum memutar kursi Retno hingga membuat tubuh perempuan itu menghada
Retno memandang sang suami yang terlelap di depannya. Dia tersenyum mengetahui tangan Aji bertaut di tubuhnya. 'Dia sama sekali tidak berubah,' desisnya dalam hati. Terasa sangat hangat dan dicintai. Sejak awal menikah hingga detik ini, Aji memang selalu tidur dengan mendekap istrinya. Jika Retno meninggalkan ranjang sebentar saja, suara Aji yang memanggil-manggil sang istri akan segera terdengar. Jika sudah begitu, sekurang-kurangnya, Retno harus mengelus rambut Aji lima sampai sepuluh menit hingga suaminya itu kembali terlelap nyenyak. 'Besok ulang tahunmu, suamiku. Semestinya kabar kehamilanku menjadi kejutan besok, tapi apa boleh buat, keadaan membuatku tidak bisa merahasiakannya lagi. Hah ... aku benci pada kesabaranku yang tidak bisa dipanjang-panjangkan,' ucap Retno dalam benak, menyayangkan sikapnya yang terpancing oleh perkataan sang mertua yang menyebutnya mandul. Dia pikir, seandainya kabar baik itu disampaikan besok, tentulah kejutan itu akan semakin sempurna. Perlahan
Di ruang makan semua orang berkumpul untuk sarapan. Sebelum duduk bersama, mereka telah memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk Aji. Namun selanjutnya suasana justru terasa seperti membeku. Mayang dan Mawar yang sebelumnya begitu ceria dan bersemangat, mendadak jadi diam dengan ekspresi wajah seperti menahan dan menyimpan sesuatu yang begitu ingin disampaikan. Mereka tampak gelisah.Aji beberapa kali mengangkat pandangan melihat Mayang dan Mawar seperti sedang berbisik-bisik. Jika sebelumnya dia mengabaikan hal itu, kini akhirnya dia meletakkan sendok dari tangannya dan bertanya, "Mama, Mawar, ada apa? Apa kalian ingin mengatakan sesuatu?"Mayang dan Mawar masih diam. Mereka saling menatap satu sama lain."Mama, Mawar, kalau kalian ingin dibelikan sesuatu, bilang saja nggak apa-apa. Insyaallah aku masih ada uang untuk satu dua hadiah untuk kalian.""Tidak, Mas. Itu ... tidak perlu. Semua masih cukup kok. Lagian, 'kan Mas Aji yang ulang tahun.""Lalu?""Em ... Aji, hari ini 'kan u
Aji meninggalkan keluarganya dengan terburu-buru. Sebenarnya bukan karena khawatir terlambat, melainkan karena dia khawatir tidak mampu meredam kekecewaan di hatinya. Kecewa pada siapa? Pada ibu dan adiknya. Dia tidak habis pikir karena Mayang dan Mawar hanya fokus pada olok-olok yang ditujukan anggota grup WA keluarga padanya, dan sama sekali tidak menyinggung perihal celaan untuk Retno.Padahal, ujaran buruk untuk Retno jauh lebih banyak daripada yang diberikan pada dirinya. Namun, biar bagaimanapun, Aji tidak ingin bersikap selalu keras pada keluarganya sendiri. Dia sungguh mengidamkan keluarga bahagia yang saling menyayangi dan melindungi. Itu sebabnya dia tidak mengutarakan kekecewaannya pada sang ibu dan adik."Semoga tidak ada drama di kantor baruku," lirihnya saat memasuki mobil diikuti embusan napas panjang. Tidak dipungkiri, Aji menyimpan kegugupan sekaligus kecemasan di hatinya. Bekerja dengan orang asing tentu lebih enak jika dibandingkan dengan bekerja pada mantan pancar
Mengira Retno akan berbuat macam-macam padanya, jelas Mayang merasa terintimidasi. Wajahnya yang pucat semakin pucat karena takut menantu yang tersakiti akan membalaskan dendam. Keringat sampai keluar membasahi keningnya atas bayangan buruk yang terlintas di kepalanya. Menyadari ekspresi ketakutan yang ditunjukkan mertuanya, Retno bertanya untuk memastikan. "Mama kenapa? Mama takut padaku?" Mayang ingin sekali kabur dari kamarnya, tetapi itu mustahil dilakukan. Jangankan berlari atau beranjak dari ranjang, duduk saja dia tak bisa. "Mama, kata dokter, Mama harus makan dan minum obat teratur. Aku sudah membuat sup ayam kesukaan Mama. Aku akan menyuapi Mama." Retno menyendok sup untuk diberikan pada Mayang. Dia benar-benar membuat Mayang ketakutan karena mengira ada racun atau zat berbahaya dalam sup tersebut. Dalam hati Mayang memaki dirinya sendiri karena memiliki tangan yang tidak berguna. Ingin rasanya Mayang menepis mangkuk di tangan Retno hingga terjatuh dan supnya tumpah semu
"Halo, dengan siapa ini?""Sa-saya, Paijo Mbak. Itu, sopir barunya Nyonya."Retno mengerutkan kening. "Nyonya?""Anu, itu, maksud saya, Bu Mayang.""Ya, Pak, saya menantunya. Ada apa?" ucap Retno setelah terdiam beberapa saat."Oh, menantunya, bukan anaknya ya. Itu Mbak, Nyonya pingsan. Saya sudah telepon dokter, tapi belum datang. Saya telepon Mbak karena semalam Nyonya sempat minta untuk diteleponkan, tapi tidak jadi. Jika Mbak tidak repot, tolong datang ke rumah Nyonya, ya Mbak.""Aku sudah di depan Pak Paijo. Bapak tunggu di kamar Mama saja."Retno menutup telepon masih dengan jantung berdetak cepat. "Ada apa, Sayang?""Mama pingsan, Mas."Retno dan Aji turun dari mobil mereka yang telah terparkir di halaman rumah Mayang. Aji menggandeng istrinya untuk jalan bersama ke dalam rumah.Namun, saat berada di depan pintu utama, Aji sempat berhenti. Hal buruk yang pernah terjadi di rumah itu terlintas di kepalanya. Bayangan itu buyar setelah dia mendengar suara Retno yang mengajaknya se
Belum sampai Mawar menuntaskan ucapannya, Retno telah memotong dengan berkata, "Jika aku datang sebagai seorang ibu, aku pasti sudah tertawa melihat orang yang pernah memasukkan obat penggugur kandungan di minumanku dipenjara. Jika aku datang sebagai seorang istri yang hendak dipisahkan dari suaminya dengan intrik menjijikkan, aku pasti menambah penderitaanmu dengan memberikan sumpah serapah bahkan tamparan." Mawar terdiam. Dia jelas masih sangat ingat pada apa yang dilakukan ke Retno. "Apa kamu melihatku melakukan itu?" Mawar masih diam meski dalam hati dia menjawab, 'tidak'. Alih-alih menunjukkan rasa senang atau puas melihat dirinya dipenjara, Mawar justru melihat kecemasan dan kesedihan di wajah kakak iparnya itu, sorot mata dan raut muka yang dia harapkan ditunjukkan Aji kemarin. Retno menghela napas panjang. "Aku tidak akan lupa bahwa suamiku adalah kakakmu. Itu artinya, kamu adikku juga. Walau aku berharap memiliki adik yang lebih baik, aku tidak bisa menolak kekurangan dari
Setelah semalam Retno berhasil meyakinkan Aji, pagi-pagi sekali keduanya tampak telah meninggalkan rumah. Mereka pergi berdua dengan mengendarai sebuah mobil. Aji sendiri yang menyetir mobil tersebut.Tak lama kemudian mereka sampai di tempat yang dituju. Jika Aji terlihat mengembuskan napas panjang, Retno tampak tersenyum."Ayo kita turun, Mas," ajak Retno sambil memegang tangan Aji yang masih berada di kemudi.Dengan wajah cemas Aji menjawab, "Sayang, aku minta maaf. Tapi tampaknya aku akan menunggumu di sini saja.""Kamu tidak ikut masuk saja, Mas?""Aku sudah bertemu dengannya kemarin. Sampai sekarang aku masih belum bisa melupakan wajahnya. Jadi, aku pikir sebaiknya aku menjaga agar tidak bertemu dengannya lagi untuk sementara waktu sampai ya ... aku merasa siap." Aji memaksa untuk tersenyum.Tepat sekali, Retno dan Aji memang pergi ke kantor polisi tempat di mana Mawar di penjara sementara hingga proses persidangannya dilangsungkan.Meski awalnya Aji mencemaskan Retno jika menem
Sepulangnya Aji dari kantor polisi, tidak dipungkiri ada keresahan di hatinya. Jika ditanya apakah dia marah dan kecewa pada Mawar atau tidak, jelas sudah jawabannya. Sejatinya Aji begitu murka hingga tangannya bergetar sampai sekarang. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran adik perempuannya itu.Tapi, Aji mencoba untuk tidak terlalu pusing akan hal tersebut. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya. Dan untuk itu, Aji akan merahasiakan kabar buruk tentang Mawar dari istrinya. Dia tidak ingin Retno menjadi khawatir karena ini. Bahkan sebelum masalah besar itu menimpa, Retno sudah mencemaskan ibu dan adiknya. Tidak tahu bagaimana perasaan Retno jika Mawar dipenjara karena menjadi pengguna dan pengedar narkoba.‘Aku harus bersikap seolah semua baik-baik saja. Dan keluarga kecilku memang baik-baik saja. Jadi Aji, kamu harus tenang.’ Aji berbicara pada dirinya sendiri tanpa suara. Aji sudah berdiri di depan pintu beberapa menit lalu sekadar untuk menyiapkan diri, supaya Retno ti
“Tolong Pak, Bu, lepaskan aku. Aku tidak salah. Semua barang haram itu punya pacarku.” Mawar merengek sambil memegangi jeruji besi. Tidak ada respons dari polisi yang berjaga hingga membuat Mawar frustrasi.“Pak, Bu, aku hanya korban. Aku tidak tahu apa-apa. Tolong lepaskan aku.” Dia memohon lagi.“Jangan berisik! Semua bukti sudah jelas. Kamu tidak bisa mengelak lagi. Kamu pasti akan dipenjara. Dan jika kamu tidak kooperatif dengan kami, saya pastikan kamu akan mendapat hukuman lebih lama. Orang-orang sepertimu adalah sampah yang merusak saja!” Polisi wanita yang sejak tadi mencoba tuli, pada akhirnya kehilangan kesabaran juga.“Bagaimana reaksi keluarganya?” tanya polisi lainnya pada polwan itu.“Ibunya tidak bisa datang karena terkena stroke. Menurut penuturan sopirnya, tubuhnya tidak bisa digerakkan, hanya bisa berbicara, itupun tidak jelas.”“Apa?” lirih Mawar mendengar kabar buruk tentang sang mama. Seketika kakinya terasa lemas hingga dia terduduk bersandar di jeruji besi. Bu
Jika di rumah sakit Retno menjalani pemeriksaan kandungan dengan perasaan yang buruk, karena tidak bisa mengabaikan apa yang dia lihat di jalan, di rumahnya hal yang benar-benar buruk tengah menimpa Mayang. Wanita malang itu ditemukan pingsan di kamar mandi oleh sopirnya.Si sopir yang panik langsung menelepon dokter pribadi sang majikan setelah membopongnya ke kamar tidur. Naasnya, walau kini Mayang telah siuman, dia merasa seluruh tubuhnya kaku. Sekuat tenaga dia berusaha untuk menggerakkan kakinya, tapi tidak bisa. Mayang juga mengerahkan seluruh kekuatannya hanya demi mengangkat tangannya. Namun, jangankan untuk itu, sekadar menggerakkan jari-jemarinya saja dia tidak mampu.“Kenapa kamu diam saja? Cepat telepon dokter! Apa kamu menunggu aku mati dulu baru meminta bantuan?” Mayang yang panik meluapkan emosinya pada si sopir. Tetapi, bicaranya tidak begitu jelas karena mulutnya pun tidak bisa digerakkan dengan leluasa sebagaimana sebelum dia terjatuh di kamar mandi.“Bagaimana Nyony
Setelah sarapan bersama, Retno berpisah dari Aji karena perbedaan agenda. Retno ada jadwal untuk memeriksakan kandungannya di rumah sakit, sedangkan Aji tidak bisa menemani sang istri karena ada pertemuan penting dengan calon klien yang hendak menyewa restoran untuk rapat bulanan asosiasi para pengusaha setempat.Kini, dengan diantar seorang sopir dan ditemani asisten rumah tangga, Retno dalam perjalanan ke rumah sakit. Dia masih belum bisa melepaskan bayang-bayang mertua dalam pikirannya. Entahlah, tapi dia merasa mertuanya sedang tidak baik-baik saja.‘Apa aku telepon Mama saja?’ Retno bertanya pada dirinya sendiri. Dia memandangi layar ponselnya yang menampilkan nomor telepon Mayang lengkap dengan potretnya bersama Mawar dan Aji.Menyaksikan senyum sang mertua, hati Retno menjadi gusar. Pasalnya, ketika masih tinggal di rumah Mayang, dialah orang yang merawat wanita paruh baya itu. Retno tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan sang mertua. Dia khawatir, keributan yang terjadi akan b
Mayang menarik napas panjang sebelum menjawab, “Santi, maaf ya, sepertinya aku belum bisa bantu kamu.”“Lho, memangnya kenapa kamu tidak mau bantu aku, Mbak?”“Bukannya aku tidak mau membantu, tapi aku tidak bisa, San. Kamu tahu sendiri hubunganku dengan Aji dan Retno tidak baik. Tapi Santi, aku akan usaha bantu kamu. Kamu bisa memakai tabunganku dulu.”Santi tertawa. “Mbak, memangnya berapa tabunganmu? Biarpun kamu memberikan semua tabunganku, itu tidak akan cukup meski hanya untuk bayar catering. Aku nggak nyangka kamu egois banget, Mbak. Ketika kamu memerlukan bantuan, aku selalu menyanggupi bahkan melakukan lebih dari yang kamu minta. Aku tidak pernah punya masalah dengan Retno, tapi aku membencinya setengah mati dan bersikap buruk padanya setiap saat hanya karena kamu benci pada menantumu. Jika bukan karena kamu, tentu sekarang hubunganku dengan Retno dan Aji baik-baik saja. Semua rusak karena kamu, Mbak!”“Aku minta maaf, San. Aku benar-benar tidak bermaksud begitu. Aku juga san