Sebelumnya, terimakasih kepada teman saya winter_yuki yang telah memberikan ide tentang part ini. Jadi, sebelum membully Author, bully dia dulu yah.. Wkakakakak..
Happy Reading!
🍁🍁🍁
Sydney - Australia.
Aku menatap seonggok daging tak bernyawa di hadapanku dan mendengus keras. Dia membosankan. Cepat sekali matinya. Kukira ini akan jadi lebih asik ketika tadi dia berani mencoba melawanku. Aishh, seharusnya tadi aku mempermainkannya dulu sebelum mengakhirinya.
Goblok!
Aku sudah berniat meninggalkan ruangan yang mulai membosankan ini ketika aku mendengar suara isakan tertahan di sudut ruangan. Oh, hampir saja aku melupakan sesuatu. Gadis kecil itu!
Aku menoleh dan kudapati seorang gadis kecil bernama Helen sedang meringkuk ketakutan di sudut ruangan. Aku tersenyum padanya, tetapi entah kenapa ia justru berjengit dan semakin meringkuk ketakutan.
Sialan! Ia pikir aku monster?
Aku kan cantik, decakku dalam hati.
"Hei, adik cantik. Mau bermain?" tanyaku dengan senyum yang sengaja kulebarkan. Aku tidak ingin dia ketakutan. Well, mungkin ia takut karena melihat Ibunya mati. Jadi, aku akan menjadi seorang Kakak yang baik.
Hmmmm, mari kita pikirkan apa yang bisa membuatnya tidak takut lagi padaku.
Aha! Tentu saja!
Setelah yakin dengan ide yang baru saja muncul, akupun dengan senang hati mencari penggalan kepala dari istri Xander yang aku masih tidak tau namanya siapa. Aku senang kepala itu tidak menggelinding terlalu jauh.
Aku meraih kepala itu, memperhatikannya sesaat dan menepuk kedua pipinya.
Yap, ini dia!
Aku berbalik, hendak mendekati Helen dan memberinya benda ini. AKu sekali lagi tersenyum pada gadis kecil itu, tetapi dia justru berteriak histeris dan menangis makin keras.
Kampret! Apalagi yang salah? Tidakkah ia tau niat baikku?
Berusaha mengabaikan teriakan yang mampu membuat telingaku tuli, aku berjalan mendekati gadis kecil itu.
"Hey, gadis kecil, berhentilah menangis karena Kakak punya hadiah untukmu..." aku mengulurkan tangan, memberikan kepala ibunya padanya. "...ini."
"Arrrrrghhh! Aaaaarrrrrghhhh!!!! Mommy!! Mommy....!!!"
Aku menutup telinga karena jeritannya menjadi tidak terkendali. Sepertinya jika aku masih bertahan di sini untuk sepuluh menit, telingaku benar-benar akan tuli.
"Iya, ini Mommy-mu! Ambillah, dan jangan menangi lagi!" aku berteriak demi mengalahkan jeritannya.
Dia menggeleng keras, semakin histeris. "You kill my Mommy! Kau membunuh Mommy-ku!," teriaknya.
Aku memijat pelipisku, berpikir bahwa mungkin gadis ini sudah gila. Dia jelas-jelas ingin Ibunya, tetapi saat aku memberikan kepalanya, ia malah teriak.
"Hey, aku tidak membunuh ibumu. Aku hanya bermain dengan ... sebuah boneka. Kau tidak lihat? Dia hanya boneka, sayang," hiburku. Semoga ia tertipu. Bukankah begitu seorang anak kecil? Mudah tertipu karena masih polos?
Tapi, sial! Ia pintar. Ia tidak tertipu dengan perkataanku.
Apakah ia CIA yang sedang menyamar?
Aku menyipitkan mata, berusaha mengamati gadis itu baik-baik untuk mencari tahu siapakah ia? Namun karena ia terus berteriak dan histeris, aku tidak tahan lagi.
"Heh, bocah!" Aku membanting kepala itu di depannya. Ia menjerit, lagi, semakin keras. "Diam!"
Aku menjambak rambut indah panjangnya, lalu membenturkan kepalanya ke tembok. Berhasil! Ia diam, pemirsa!
Saat aku mencengkeram kerah leher bagian belakangnya, saat itulah aku melihat darah mengalir di pelipisnya.
"Aish, kau jadi berdarah, kan?" desisku tak suka. "Anak naka, harus dihukum, kan?"
Aku menyeret badannya yang meronta-ronta lemah ingin dilepaskan dan kuhempaskan langsung ke atas mayat ibunya yang sudah tewas dan terpotong itu.
Ia menjerit lagi, berusaha beringsut menjauh. Namun sebelum itu, aku sudah ada di sana, membatasi gerakannya.
"DIAM!" sentakku keras dan berhasil membuat gadis kecil itu menunduk diam seketika. Terlihat dia berusaha menahan isakan yang ingin keluar dari bibir mungilnya.
Aku menyeringai.
"Good girl! Nah, sekarang, sebagai hukuman, bantu aku membelah perut benda ini. Kau tau? Bagian dalam perut ... meskipun aku belum pernah mencobanya, tapi aku yakin itu enak sekali." ucapku sambil menyerahkan sebuah pisau lipat pada gadis kecil itu. "Nanti kita bisa memasaknya dan memakannya bersama."
"Tidak!" Gadis itu menggeleng keras menolak.
"Baiklah," desahku sabar. " ... jika kau tidak mau kau bisa mencongkel matanya saja. Kau tau, aku pernah melihat souvenir gantungan kunci berbentuk mata dari sebuah rumah hantu dan itu sangat menggelikan. Seharusnya mereka memberikan mata asli sebagai souvenir! Itu baru namanya keren!"
Aku menatapnya antusias. "Bagaimana? Kau setuju kan denganku?"
Gadis itu tetap menggeleng dan aku mencoba menekan emosiku yang mulai naik ke ubun-ubun karena dia tidak mau menuruti perkataanku. Hei, aku hanya mengajaknya bermain agar dia bahagia! Apa itu salah?
"Helen ... itukan namamu?" tanyaku berusaha kembali lembut padanya padahal emosiku sungguh sudah ingin meledak. Dia hanya diam tak menjawab.
Aku menghembuskan nafasku kasar. Habis sudah kesabaranku.
"JAWAB, BODOH!" sentakku sambil menjambak rambutnya. "APA KAU BISU, HAH?!"
Dia semakin menangis keras.
Ah! Sialan! Persetan dengannya!
Kuambil pistol yang ada di saku betis kananku dan langsung kuarahkan pada mulutnya.
"JAWAB!" ancamku kesal.
"H-ha ...."
"Hah? Apa?"
"Ha, wawau Hewen." gadis itu menjawab dengan vokal tidak jelas karena ujung pistolku yang telah berada di dalam mulutnya.
"Ah ... Jadi benarkan namamu Helen?" tanyaku lagi yang akhirnya hanya dibalas dengan anggukan kepala gadis kecil yang bernama Helen itu. Aku lantas menjauhkan pistolku dari mulutnya dan mengarahkannya pada bola mata kirinya.
"Okay Helen ... karena kau tidak mau bermain denganku dan membuatku sangat-sangat kesal, maka biarkan aku menghukummu."
DOR!
Mata kiri Helen pecah dan langsung memuncratkan darah pada sebagian wajahku.
Teriakan pilu Helen terdengar di telingaku, dan aku hanya terkekeh pelan. Tidak menunggu waktu lama, aku pun langsung mengarahkan pistol ku ke dalam mulutnya.
DOR
Mulutnya berlubang seketika dan aku hanya menyeringai ketika tubuh Helen ambruk.
"Okay, tugasku selesai! Kerja bagus, Vaea!"
Lantas, aku merebahkan diri pada sisi tubuh gadis kecil itu. Sayang sekali, padahal aku tadi ingin sekali bermain dengannya. Bahkan mungkin aku akan mengangkatnya sebagai adikku. Dia cukup imut.
Mengambil sebuah pisau lipat, aku menancapkannya ke dahi gadis kecil yang sudah tidak bernyawa itu. "Ck, membosankan."
Aku lantas bangkit setelah mengusap wajahku yang sebagian telah terkena cipratan darah. lalu merogoh kantong saku celana hanya untuk menemukan sebuah permen karet.
Hmmmm, yummy... kesukaanku!
To be Continue ....
* * * * *
I just want to say hello everybody!!
Miss me?
Please, stay in this story wkwkwkwk
Yakin deh, author nggak tau nulis apa di part ini. Plis jangan santet dirikuh hehe... Kabuuurrr...
Thank's for reading guys!
Pulau Tasmania - Australia.Setelah membersihkan diri di vila yang berada di Pulau Tasmania (Jangan heran jika aku memiliki banyak vila di mana-mana. Karena hobi dan jenis pekerjaan yang diberikan oleh Gabriel tidak terbatas, aku harus mempunyai banyak tempat tinggal yang tersebar di berbagai pulau ataupun negara-negara bagian lain), kubaringkan tubuh sejenak di kursi santai. Dan tak butuh waktu lama, aku sudah terlelap dalam dunia
Pulau Tasmania - Australia.Langit mulai berwarna oranye, angin sore bertiup cukup kencang di pantai itu, menandakan jika sebentar lagi matahari akan terbenam.Aku tersenyum miring, me
" ... dan kupikir kita memiliki hobi yang sama ..." Freeze tersenyum penuh arti lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Psikopat."---------------Mataku terbelalak seketika. Bangke! Benar dugaanku jika dia bukan pria biasa! Dia adalah pria yang m
RajaAmpat,Papua,Indonesia.Membosankan. Itulah satu kata yang
Akukembalifokus,melihatkearahlayarLEDGabriellagiyangsudahmulaimenampakkankeseluruhan
"Elhacker,akuinginmenggunakanmuuntukmemberantasmakhluktakberguna.SeorangkepalaDivisiKeuangan
"Miss... "SreeetCring
Jakarta-Indonesia"El, tunggu aku punya rencana," ucapku menyita perhatian Gabriel dan Lightly. Mereka berduapun menatapku dengan wajah serius.
Semuanya gelap.Dan hening.
Aku selalu menertawakan teman-temanku saat mereka mengatakan telah jatuh cinta. Bahkan dengan mengatasnamakan cinta mereka sampai rela berbuat hal-hal bodoh.Benar, aku selalu menertawakan mereka. Sampai akhirnya mata hijau itu menatapku.
Aku tidak menjawab karena perhatianku teralih ke arah Gabriel yang masih terisak. Grevio, berjalan ke arah gadis itu dan mengangkat handgunnya."Tidak! Gabriel!"
"Dan sekarang ... aku akan membunuhmu, Sweetheart," bisik Freeze tepat di telingaku, yang entah sejak kapan ia sudah berdiri di belakangku. Sementara sebelah tangannya memeluk pinggangku, tangan yang lain sudah menodongkan sebuah pisau tepat di belakang punggungku.---------------------------------
Ketika kembali di ruangan awal di mana aku meninggalkan Gabriel bersama Vernon tadi, firasatku semakin memburuk. Ruang kerja Gabriel sudah sangat berantakan. Sebagian besar LED transparant yang menunjukkan gambar beberapa sudut keadaan mansion telah rusak dan mati sedangkan sebagian masih menyala.Mataku menyapu ke sekeliling ruangan. Jelas si penyusup sempat menembakkan senjata di sini karena meja kerja Gabriel sudah berlubang.
"Ly, kau baik-baik saja?" Napasku tersengal saat menghampiri gadis itu. Ia duduk di sebuah kursi roda dan baru keluar dari ruang kesehatan. Di sisi kanan dan kirinya ada Lean juga Lian yang mengawasi sekitar. Dan aku sedikit merasa lega karenanya."Aku baik-baik saja. Apa yang terjadi, V?"
Tepat saat itu, suara alarm berhenti. Mataku melirik Vernon, sepertinya ia berhasil mematikan suara alarm sialan yang membuat Gabriel kehilangan fokus.Pria itu membalik mini-padnya, mengarahkannya pada Gabriel. Detik itu juga aku elihat wajah Gabriel semakin memucat ...
Sambil terus berlari menuju ruang kerja Gabriel, otakku terus berpikir cepat. Ada penyusup? Bagaimana mungkin? Karena aku tahu bagaimana canggihnya sistem keamanan di mansion ini.Sial, penyusup itu pasti bukan lawan yang remeh sehingga bisa mengatasi sistem keamanan yang dipasang oleh Gabriel dengan mudah.
RAJA AMPAT – PAPUA"Terimakasih." Aku bergegas membuka pintu mobil. Vasco memang mengantarku sampai tujuan, dari Jakarta sampai ke Raja Ampat—benar-benar sampai di depan pintu mansion Gabriel. Dia memang selalu seperti ini.