POV Kayla. “Terima kasih, Suster.”“Sama-sama, Mbak. Saya permisi.”Kuhampiri Emak dan duduk tepat di sebelahnya. Kupegang ke dua pundak emak dan kutempelkan pipiku ke pipinya.“Mak, lihatin apa kok, sampai nangis gitu?”“Tidal lihat apa-apa, Kay. Emak hanya ingat sesuatu saja. Rasanya dada emak ini sakit sekali,” jawabnya.“Ceritakan padaku, Mak. Biar hati Mak plong,” pintaku.Mak menatapku dalam-dalam. Matanya sendu aku tidak bisa menggambarkannya.“Dulu, ada yang kerja sama Mak sudah seperti saudara sendiri dan Mak anggap adik, tapi ....” Mak sepertinya mau menceritakan keluargaku. Tiba-tiba saja ritme jantungku berdegup kencang.“Dulu kapan, Mak?” tanyaku penasaran barang kali emak mau menceritakan tentang orang lain.“Dulu 20 tahun yang lalu,” jawab Mak lirih, beliau mengusap air matanya.“Memang apa hubungannya dengan, Mak?”“Dia sudah menghancurkan segalanya,” jawab Mak. Bibirnya gemetaran mengatakan itu.“Ma—sud Mak, gimana?”“Ah, sudah lupakan. Mak tidak bisa menceritakanny
POV Susanti.Sejak kemarin aku disibukan kegiatan untuk acara di rumah. Acara perkenalan antara aku dan Mas Ilham. Bukan hanya itu saja, tapi perkenalkan keluarga kami.Semoga semuanya berjalan lancar. Rumahku sudah terlihat lebih fresh dan bagus dari pada kemarin-kemarin karena bapak dibantu tukang mengecat ulang dan juga menata bunga-bunga milik emak agar lebih rapi lagi.“Wah, kandang ayamnya sekarang sudah tidak terlihat kumuh, ya?”Tiba-tiba Mas Fawas datang ke rumahku. Padahal kemarin kami di toko sudah bertemu. Untung saja ucapannya tidak didengar oleh emak kalau sampai emak dengar bisa-bisa mulutnya Mas Fawas tidak bisa bicara lagi.Tapi ada yang menarik dengan kedatangan Mas Fawas kali ini. Dia membawa ke dua anaknya.“Ada apa ke sini?” tanyaku ketus.“Ada tamu itu disambut diberi senyuman manis, bukan ketus begitu,” protesnya.“Aku akan lakukan itu jika tamuku pun bersikap sopan padaku.”“Ayo, Biru, Jingga turun sini!” panggil Mas Fawas pada anak-anaknya. Dia tidak menangga
POV Susanti. “Semuanya silakan dinikmati. Seadanya, ya?” kataku seramah mungkin. Mas Fawas mengerutkan dahinya pasti dia heran dengan perubahan sikapku.“Terima kasih, Tante Santi,” jawab Biru.Mereka lahap menikmati kue lambang sari yang dibuat oleh emak. Sepertinya mereka memang kelaparan. Apa mereka sengaja tidak makan karena mau makan pizza?“Makan, Mas, kok, diam saja. Kasihan itu lambang sarinya kamu anggurin.”“Kamu enggak narok racun atau sesuatu lainnya di kue itu, kan? Kamu mencurigakan Susanti, tadi kamu marah-marah sekarang kamu jadi ramah,” bisik Mas Fawas. Pasti dia tidak enak pada emak.“Oh, dasar sontoloyo, kamu Mas! Aku ini tidak sejahat kamu, Mas, woles saja kali lihat itu anak-anak kamu juga lahab banget makannya,” jawabku kesal.“Ada apa San, kok, bentak-bentak gitu sama tamu?” tegur emak. Aku diam saja. Malas jelasin apa-apa sama Mak pasti beliau juga enggak maksud.“Biru, Jingga, tunggu sebentar ya, Tante mandi dulu.” Mereka mengangguk.Aku akan luluran dulu da
POV Susanti. “Mana Tante Susanti, Nak?”“Ini, Tan!” Diarahkannya kamera padaku.“Iya, Mbak. Aku di sini,” jawabku.“Titip anak-anak ya, Mbak. Itu bapaknya kadang-kadang kurang,” ucapnya.“Siap, Mbak. Insya Allah aman!” jawabku. Kuacungkan jempol kananku padanya.Sampai di pizza hut adik-adikku senang sekali. Ini memang kali pertamanya mereka datang ke sini. Sebelumnya hanya aku ajak ke KFC saja.“Pulangnya nanti pakai taxi online saja. Aku tidak bisa nafas, San. Pengap sekali,” ujar Mas Fawas.“Siapa?”“Ya, adik-adik kamu itulah!” sungutnya.“Oh, tenang saja, Mas. Nanti aku pulang sama Mas Ilham,” jawabku santai kugigit pizza di tanganku yang rasanya pun aku tidak bisa mendeskripsikannya. Aku tidak suka.“Apa! Ilham?” Aku mengangguk.“Enggak warga satu RT saja kamu ajak ke sini, San!”“Memang boleh? Tadi sih, Mas Fawas enggak bilang, coba kalau bilang pasti sudah kuajak semua,” jawabku lagi.“Dasar ini otak enggak pintar-pintar!” Mas Fawas menoyor kepalaku.“Sengaja kali biar kamu ke
POV Susanti. “Wah, Susanti bakalan naik derajat, nih,” katanya lagi.Herannya aku biasa saja tidak ada niatan untuk membalas nyinyiran tetangga padahal biasanya aku tidak begini.“Subhanallah ... cantik sekali kamu, Mbak?” puji Mbak Wulan.“Iya, dong, hasil MUA profesional,” jawabku.“Hilih, begitu kok, cantik terus yang jelek seperti apa?” sahut Mas Fawas.“Seperti kamu!” jawabku dan Mbak Wulan kompak.“Sana, Mas, ih, kamu itu nimbrung saja sama perempuan. Kamu mau dekat-dekat Mbak Susanti terus, ya?” ledek Mbak Wulan.“Apaan, sih, enggak banget! Mau pindah ke mana lagi! Sudah tidak muat ini tempatnya di depan sudah penuh,” jawab Mas Fawas ketus.Iya, sih, benar juga. Di depan penuh. Orang Mas Ilham bawa rombongan banyak sih, aku kira hanya keluarga inti saja.“Ya, maklum saja rumah tipe SSS,” sahutku.“Enggak apa-apa Mbak. Dasar si, Mas Fawas aja mulutnya rombeng!” kata Mbak Wulan lagi.Ustaz yang dibawa keluarga Mas Ilham menjadi perantara proses ta’aruf ini.Banyak nasihat dari
POV Susanti. Jujur saja Malam ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan pertemuan besok dengan Mas Ilham. Aku penasaran apa yang akan dikatakan Mas Ilham. Sepertinya sangat-sangat penting, jika ingin menyangkut masa depan kami tentu saja aku akan menyetujui apa pun nanti yang akan dibicarakan olehnya, tapi jika ini tentang orang lain maka dengan tegas aku akan mengatakan tidak!Kupandangi foto profil WA Mas Ilham. Ya, Allah, dia memang benar-benar ganteng dan terlihat perfect tidak ada kekurangan apa pun apalagi dia seorang pria dewasa yang mapan, santun, dan dididik dengan background agama yang kuat tak jarang pasti banyak sekali wanita yang hanya melihat covernya saja sudah bisa jatuh cinta, tapi herannya kenapa banyak yang membatalkan menikah dengan Mas Ilham apa hanya karena Mas Ilham orang yang tunarungu? Bukankah semua manusia yang ada di dunia ini tidak ada yang sempurna atau memang karena takdir Tuhan yang hendak mempertemukan aku dengan Mas Ilham sehingga acara ta'aruf yan
POV Susanti. Dalam sujudku, aku berharap doaku bisa tembus ke pintu langit dan Allah benar-benar menginginkan apa yang aku minta atau pun setidaknya memberikan yang terbaik untukku menurut-NYA kenapa aku tahu apa yang menjadi inginku belum tentu itu yang terbaik menurut Allah, tapi kalau itu sudah ketentuan Allah pasti itu sudah yang terbaik untukku.Tiba-tiba Mak memelukku dari belakang saat aku sudah selesai salat. Hatiku jadi makin terenyuh kenapa Mak tiba-tiba sore romantis ini padaku? Biasanya Mak selalu memarahiku, meski aku tahu sih, marahnya itu adalah tanda sayangnya padaku, tapi jujur saja ini adalah pertama kalinya Mak bersikap sok manis padaku.“Susanti sebenarnya emak ini masih belum bisa melepasmu pergi menjadi seorang istri karena menurut Mak, kamu masih sangat kecil dan labil apalagi calon suamimu itu benar-benar orang kaya raya. Mak takut seperti di sinetron Indosiram itu . Kamu dijadikan babu di sana ya, memang sih awal-awalnya datang ke sini baik-baik bersikap man
POV Susanti. Tunggu dulu kok Mas Ilham sampai tahu aku enggak bisa tidur padahal kan, aku tidak bilang padanya? Ah pasti lagi-lagi Mak ini yang bilang sama Mas Ilham. Akan benar-benar merasa ge-er sekali sampai aku pikirkan begini.“Iya, Mak?” Kusapa Mas Ilham dan juga Pak Ustaz lalu aku duduk di samping bapak.“Mbak Susanti Maaf ya sudah mengganggu istirahatnya dan maaf sekali pagi-pagi begini aku sudah datang ke sini karena memang keadaannya yang memaksaku berbuat seperti ini tadi aku sudah bicara dengan Bapak dan juga Mak kamu. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Mbak Susanti,” kata Mas Ilham memulai pembicaraan kami.Aduh kenapa bisa begini memangnya Mas Ilham dengan Mak sudah membicarakan apa? Kok, sampai-sampai aku yang harus memberikan keputusan jangan-jangan memang sesuatu yang sangat penting dan juga genting?“Iya, Mas karena memang kan, ini tentang aku dan juga Mas Ilham, jadi orang tua memutuskan semuanya padaku. Kalau mereka yang memutuskan berarti bukan tentang aku dan
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p