POV Fawas. Ponsel Susanti berdering. Dia langsung menjawabnya. “Assalamu’alaikum Susanti!” sapa seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Ya, itu Video Call dari Fatki. “Wa’alaikumsalam ... Mbak, aku kangen!” jawab Susanti. Sama, San, aku pun rindu pada Fatki. “Aku juga. Kamu masih di rumah sakit, San?” “Iya, Mbak. Ini Mas Ilham dan ini Mas Fawas.” Susanti mengarahkan kamera pada kami berdua. Ilham melambaikan tangannya sementara aku diam saja. Di belakang Fatki ada Fais mereka masih mengenakan pakaian salat. “Jam berapa di sana, Mbak?” “Jam 4 subuh, San. Di sini dingin sekali karena sedang musim dingin.” “Wah, so sweet, deh! Jadi makin syahdu ya, Mbak. Duh, aku jadi pingin juga honey moon di sana,” jawab Susanti. “Hust! Ngomong apaan kamu itu, San!” Mereka tertawa perasaan tidak ada yang lucu.” “Jadi Qaismu yang mana, nih, kanan atau kiri?” tanya Fatki lagi. “Ih, apaan sih, Mbak, kok, bilangnya gitu?” rajuk Susanti. “Apaan sih, enggak penting banget!” Kurebut ponsel Susa
POV Fawas 🌸🌸🌸K~uSewaktu aku bangun ada Susanti di sofa rupanya dia ada di sini kukira tadi sore dia langsung pulang. Mungkin dia kelelahan habis shopping seharian dengan Wulan. Sekarang sudah jam 7 malam. Apa Susanti tidak pulang kalau dicari orang tuanya gimana? Atau menunggu Wulan, tapi Wulan pun tidur di samping Susanti.Saat aku mau membangunkannya ibu datang bersama bulekku dan juga anaknya Ilham. Aku tiba-tiba saja kesal sekali dengan Ilham masa iya, dia mau dijodohkan dengan Susanti?Padahal Ilham baru pulang tadi sore kok, ini sudah datang lagi. Dasar enggak jelas.“Bu, apa mereka tidak salat? Kok enggak dibangunkan?” tanyaku. Eh, iya, aku baru ingat Susanti lagi M. Waktu itu aku kan, yang beli pembalutnya. Duh, sungguh memalukan! Jangan sampai keluargaku tahu mau ditaruh mana mukaku ini.“Wulan lagi tidak salat, Nak. Biar Ibu yang bangunkan mereka.”“Biar Susanti pulang naik taksi saja, Mah, kalau kita yang antar tidak enak nanti dikiranya kita terlalu gimana-giman
Assalamualaikum selamat pagi semuanya semoga sehat dan bahagia selalu. Bantu follow akunku, ya?Happy reading 💕🌸🌸🌸POV Susanti."Mak, masih marahkah sama bapak?” tanyaku pada emak yang sedang asyik nonton TV sementara bapak duduk di ruang tamu. Semenjak dapat sembako satu kamar dari Bu Hajjah aku minta pada emak untuk tidak bekerja cuci gosok lagi kasihan emak sudah belasan tahun menjalani profesi itu apalagi ditambah uang semalam dari Mas Fawas itu sudah lebih dari cuku untuk bekal kami bayar angsuran rumah baruku. Belum mulai sih, baru ACC.“Kenapa emangnya? Kamu belum menikah jadi belum tahu bagaimana rasanya lihat laki sendiri bermesraan dengan perempuan lain apa lagi perempuan itu janda genit,” jawab emak.Duh, emak ini lebai, deh! Padahal bapak itu tidak bermesraan orang aku lihat sendiri, kok.“Mak, kasihan bapak kalau Mak cemberut begitu terus. Nanti bisa menghambat rezeki. Kan, kalau istri ridho rezeki suami lancar,” kataku lagi. Semoga saja aku tidak salah omongan.“T
POV Susanti. Cup!“Cium sajalah, Bapak enggak tega nyubit emak,” ucap bapak. Pipi emak langsung merah jambu, tuh, kan, emak ge-er padahal sudah menikah bertahun-tahun juga.“Ah, Bapak bisa aja, deh!” jawab emak malu-malu.“Gimana Mak, nyata enggak ciuman bapak?” selaku sebelum terjadi drama di antara ke duanya lagi.“Nyata, ini pipi Mak bau jigong bapakmu. Eh, tapi, ini bukan akal bulusmu untuk mendamaikan Emak dan bapak kan, San? Itu bukan foto artis, kan?” tanya emak penuh selidik, tapi aku senang ini berhasil membuat ke dua orang tuaku baikan lagi. Sumpah enggak enak banget kalau mereka berdua bertengkar.“Bukanlah, Mak. Ini lihat yang kirim Mbak Wulan.” Orang tuaku ber’oh ria.“Orang mana, San, ini gimana ceritanya kok, dia mau nikahin kamu? Apa kamu genit-genit dengan dia?”“Apaan sih, Mak, enggak banget, deh! Jadi Mak, dia itu dijodohkan denganku atas rekomendasi dari keluarga Mas Fawas dan Mas Fais. Em, tapi itu, Mak ....” Bagian ini aku sulit sekali mengatakannya pada emak pe
POV Susanti. “Pasti itu, Mak. Kan, memang itu wajib ada dalam proses ta’aruf.”“Kalau jadi apa akan perkenalan di rumah ini, Nak. Apa tidak di rumah baru saja?”“Tidak, Mak, menurut Bapak di sini saja biar mereka tahu kondisi kita sebenarnya. Bapak tidak mau ada yang ditutup-tutupi. Kita adanya begini kalau mau Alhamdulillah dan kalau pun tidak mau ya, tidak apa-apa belum rezeki dan jodohnya Susanti,” sahut bapak dan aku setuju.“Em, ada lagi Mak, Pak. Aku dan Mas Ilham selisihnya 15 tahun. Dia sudah dewasa dan berkali-kali gagal menikah mungkin karena kekurangannya itu jadi dia gagal punya istri, makanya keluarga besar mereka berinisiatif menjodohkanku dengan dia.”“Tidak apa-apa. Malahan bisa momong kamu yang sering enggak jelas begitu. Umur tidak jadi penghalang, Nak, kalau kata Allah berjodoh ya, jodoh,” jawab emak.“Siapa tadi namanya, Nak, itu tunarungu bawaan lahir atau gimana?” tanya bapak.“Ilham, Pak. Katanya sih, kecelakaan waktu kecil, tapi aku tidak tanya detailnya. Eng
POV Susanti. “Aku balikin ya, Mas, bunganya?”“Ya, jangan, dong? Sudahlah aku sibuk. Aku mau siap -siap hari ini mau jemput Biru dan Jingga.”“Tunggu dulu! Memang Mas Fawas sudah pulang?”“Sudah tadi pagi.”“Pagi kapan, Mas? Ini masih pagi aku saja belum mandi.”“Heh, Markonah ini sudah siang, sudah hampir jam 11 siang. Jorok banget jadi cewek. Kalau Ilham tahu pasti dia langsung ilfil. Dia itu tidak suka dengan perempuan jorok.”Kulirik jam di atas meja belajarku. Benar saja sudah siang. Perasaan tadi aku ngobrol dengan emak masih jam 9 pagi. Kok, cepat sekali waktu ini berlalu.“Silakan saja sana bilang, Mas. Aku tidak peduli. Kalau memang mau sama aku ya, Mas Ilham bakalan terima aku apa adanya.”“Hem!”“Mas, jangan repot-repot kirim bunga segala ya, aku enggak enak sama yang lain.”“Hem. Ya, sudah ya, San. Aku sibuk!” Tuutt!Yah, mati, padahal aku belum bilang terima kasih. Pasti ini mahal. Bunganya bagus banget sudah gitu wangi sekali.Kubuka Mbah Google untuk menanyakan apa mak
POV Susanti. “Mas, kamu dari mana sih, kok, bisa-bisanya ada di sini? Kamu ngikutin aku, ya?” tebakku.“Kurang kerjaan ngikutin kamu. Noh, lihat di luar ada Wulan dan ibu. Mereka habis transaksi kerjaan. Aku bete di rumah, jadi ikut saja. Kebetulan toko ini buka ya, dari pada aku nunggu di mobil lebih baik aku masuk saja.”“Oo, kirain kamu ngikutin aku. Anak-anak mana Mas, katanya kamu tadi jemput mereka?”“Itukan tadi, Santi. Mereka sama pengasuhnyalah. Ngapain kamu di situ sudah seperti satpam saja.” Aku memang tidak masuk ke dalam dan memilih duduk di pintu. Takut terjadi sesuatu karena kami hanya berdua.“Ooh, aku tahu pasti kamu berpikir aku akan aneh-aneh kan, sama kamu? Tenang saja, San. Aku tidak bernafsu padamu. Badan kurus kering tepis macam teripleks begitu tidak ada bagus-bagusnya,” hina Mas Fawas. Aku sedang mode kalem jadi malas ribut.“Mas, bisa diam enggak sih, mulut kamu itu. Kamu enggak capek apa kalau ketemu aku ngajak ribut mulu! Aku di sini karena sedang nunggu g
POV Kayla.“Kay, Mak bilang, Bang Romi yang masuk rumah kita dan itu tahu dari kamu?” tanya Bang Dafa. Kami sedang makan malam bertiga. Saat ini kami sudah di rumah.“Iya, benar,” jawabku acuh. Aku malas sekali bicara dengan Bang Dafa apalagi Risa dari tadi bosi sekali semua-semuanya aku yang menyiapkan untung saja Kak Siwi sudah masak rendang kemarin.“Kamu yakin, Kay? Palingan kalian berdua ada itu—tu?” Risa menjeda ucapannya.“Apaan?” tanyaku lagi.“Ya, itulah, apalagi kamu kan, sudah lama tidak disentuh oleh Bang Dafa. Siapa tahu kan, kamu merindukan sentuhan lelaki,” jelas Risa.Bang Dafa menggebrak meja kuat sekali sementara Risa tersenyum sinis padaku.“Biasa saja, Bang. Ini meja makan banyak makanan di sini kalau kamu masih percaya ucapan murahan dari mulut busuknya Risa ya, terserah saja yang penting aku tidak begitu. Ada Emak dan Kak Siwi saksinya,” kataku santai. Risa melotot padaku.“Aku itu Bang, kalau mau berpaling dari kamu gampang. Mantan pacarku banyak dari masih sing
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p