“Jangan buatku malu! Sana!” Usir Dokter Risa.Adiknya minta Selfi hanya berdua saja dengan Mas Fais. Padahal Mas Fais sudah menolak dengan sopan, tapi malah adiknya dokter Risa tetap saja memaksa.“Kamu, awas! Aku mau foto berdua dengan Mas Fais,” ucapnya seraya mendorong pundakku. Refleks Mas Fais mendorongnya untung saja tidak jatuh karena ditahan oleh Mas Dafa.“Jaga sikap! Atau kamu akan aku usir secara paksa!” bentak Mas Fais. Untung saja suara musiknya menggema, jadi aman tidak ada yang dengar kecuali kami.Kini giliran Dokter Risa yang menyalami kami.“Cih, mau dindandani secantik apa pun ya tetap saja norak dan udik!” sindirnya.“Oh, bagus, deh! Kalau kamu sadar, Ris. Sudah sana pergi. Kami enggak butuh kamu!” sahut Mbak Wulan. Mas Fais terkekeh sedang aku bingung mau gimana.“Jangan ikut campur!” bentak Dokter Risa.“Kamu itu yang ikut campur masalah orang terus! Piye? Masih enak zamanaku, to?” kata Mbak Wulan lagi.“Kalian ini apaan sih, malah ribut!” sela Mas Dafa, dia meng
“Iya, San. Ini aku masih ada WA-nya. Tadi aku mau bilang ke Mas Fais, tapi tidak sempat terus akhirnya Mas Fais pergi kali nyamperin dia.” Susanti tampak panik.“Mana coba Mbak, lihat WA-nya. Masalahnya ini aneh banget loh, Mbak,” pinta Susanti tidak sabaran.“Ini, San. Eh, rupanya di kirim WA lagi.”[Sakit hatiku melihat kau bersanding dengannya.][Apakah kamu benar-benar telah melupakanku?][Bertahun-tahun aku mencarimu rupanya kamu telah berdua.][Meninggalkan aku di sini sendiri terbakar api asmara.][Kamu jahat, Mas! Kamu tega!][Bahkan WA-ku tidak kamu balas. Aku rela datang ke sini hanya untuk menemuimu!][Kemarilah, Sayangku. Aku pakai baju merah yang kau belikan dulu.]“Busyet! Makin menjadi itu orang. Segila ini. Astaghfirullah ....” ucap Susanti.“Ada apa, sih, San?” tanyaku penasaran.“Masalahnya gawat, Mbak itu orang ngamuk di depan sana teriak-teriak enggak jelas. Ngaku-ngaku pacar Mas Fais, eh, ini aku baca WA-nya, kok, bikin mual, ya?” jelas Susanti lagi, tapi aku bel
🌸🌸🌸"Mas!” panggilku.Mas Fais dan rombongannya itu kaget begitu melihat keberadaanku.Anak buah Mas Fais sebagian menghampiriku dan mengajakku masuk ke dalam.Aku berontak tidak mau.“Katakan Mas, apa yang aku lihat ini sesuai pradugaku?” tanyaku pada Mas Fais. Aku sudah tidak bisa membendung air mataku.Ya, Tuhan. Aku takut.“Ti—dak, Dinda. Ini tidak seperti yang kamu lihat. Ayo, kita masuk. Aku akan jelaskan semuanya padamu,” jawab Mas Fais. Dia berusaha meraih tanganku, tapi aku tepis.“Tidak perlu! Aku harus dengar dari ke dua belah pihak!” tegasku.“Oo, jadi kamu istri Mas Fais? Cantik sekali, pantas saja Mas Fais berpaling dariku,” sahut laki-laki berbaju merah itu.“Diam kamu!” bentak Mas Fais.“Katakan saja apa yang jadi unek-unek di hatimu jangan kamu simpan,” kataku.Laki-laki baju merah itu tersenyum sinis.“Kenalkan namaku Roy. Aku kekasih Mas Fais. Kekasih dunia akhiratnya,” jawabnya.Susanti tertawa terbahak-bahak mendengar pengakuan pria itu. Bukan hanya Susanti ana
“Kalian kenapa diam saja! Bawa dia pergi dari sini!” bentak Mas Fais pada anak buahnya.“I—ya, Bos, siap!” jawab mereka.Laki-laki itu diseret oleh anak buah Mas Fais.“Tunggu! Lepas! Aku bisa pergi sendiri! Ini sakit sekali tanganku,” ucapnya seraya berontak.Mereka melepaskan pria itu. Lebih tepatnya melemparkan laki-laki itu.“Aw, sakit!” teriaknya lagi.“Pergi!” bentak salah satu anak buah Mas Fais.“Ayo, kita masuk Dinda! Aku akan jelaskan padamu,” ajak Mas Fais.Meski, sebenarnya aku marah padanya, tapi sebisa mungkin aku harus tetap bisa menghormatinya.“Iya, Mbak, ayo, kita masuk! Kita dengarkan penjelasan Mas Fais,” ucap Susanti.Mas Fais hendak memeluk pinggangku, tapi aku tepis. Entah kenapa aku rasanya malas disentuh.Mas Fais paham kalau aku marah, dia mempersilakan Susanti untuk jalan denganku.“Sayang, tunggu!” teriak laki-laki itu. Dia lari memeluk Mas Fais dari belakang.Mas Fais berontak, anak buahnya membantu melepaskan pelukan laki-laki itu.Bugh!Bugh!Mas Fais em
Flasback 5 tahun yang lalu.“Mau ke mana, Mas? Tumben sekali kamu rapi tidak biasanya kamu pakai pakaian seperti ini?” tanyaku pada Mas Fawas.Malam ini, Mas Fawas memang terlihat jauh berbeda. Dia memakai kaus ketat, celana jins, dan topi.“Kalau penasaran ikut saja. Dari pada bete di rumah. Sudah sana ganti baju!” titah Mas Fawas.Aku yang baru pulang dari salat isya di masjid buru-buru ganti baju. Mas Fawas menungguku di luar. Malam ini memang aku sengaja menginap di rumah Mas Fawas karena ke dua anaknya sakit dan mereka selalu mencariku.Hari ini panasnya sudah turun dan sudah mau makan, jadi tidak masalah jika aku menemani Mas Fawas. Sepertinya dia pun stres karena memikirkan anak-anaknya.“Ayo, Mas aku sudah siap!” ajakku. Kusambar kunci mobil di atas meja.“Kamu mau ikut aku? Pakai baju rapi begitu, Is? Pakailah kustum sepertiku. Ini sedang hits biar kita tidak kalah dengan anak-anak muda,” tanya Mas Fawas.“Apa ada yang salah, Mas? Ini pakaianku bagus, sopan,” tanyaku.“Ya, su
“Duuh, galak banget, jadi makin menggoda, deh!” jawabnya.“Kenalin, aku Roy!” Aku tidak menanggapi. Aku fokus memperhatikan Mas Fawas.Astaghfirullah ... Mas Fawas, kenapa berbuat senonoh begitu? Dia diam saja ketika dicium laki-laki di sampingnya.“Mas! Ayo, pulang!” Aku menyeret lengan Mas Fawas. Pantas saja di berpakaian seperti itu! Rupanya dia sudah tercemar oleh mereka. Mas Fawas tahu tempat ini dari mana? Ini tidak bisa dibiarkan.“Apaan sih, Is. Kamu bilang kan, mau nemenin aku. Sudahlah nikmati saja. Hidup itu dinikmati, Is. Kita punya segalanya,” jawab Mas Fawas. Dia berontak saat aku ajak pergi dari sini.“Tidak bisa begitu, dong, Mas. Ingat Tuhan! Ini dosa!” teriakku kesal. Rupanya Mas Fawas tidak mau diingatkan dengan cara baik-baik.“Pulang atau aku adukan ke ibumu!” Ancamku.“Adukan saja aku tidak takut. Aku bersih, Is. Aku hanya main-main saja di sini!” jawab Mas Fawas tidak mau kalah dia pun meneriakiku.“Ayo, pulang!” Aku tetap kekeh mengajaknya pulang. Kuseret Mas F
Wanita itu membawa uang milik Mas Fawas yang jumlahnya banyak. Tidak hanya itu Mas Fawas mabuk berat.Aku emosi pada mereka juga Mas Fawas. Kuhajar mereka habis-habisan, meski aku pun akhirnya tumbang hingga ada yang memvideokanku dan dibawa pulang oleh anak buahku.Kami kalah jumlah, Mas Fawas berhasil disandera. Mereka meminta tebusan mahal untuk kebebasan Mas Fawas.Tanpa pikir panjang aku membawakan uang tebusan itu. Mas Fawas berhasil kami bawa.Dia dirawat di rumah sakit selama dua Minggu. HB-nya turun dan juga dia terluka parah.“Aku terpaksa berbohong pada orang tuamu, Mas. Aku tidak mau mereka bersedih. Berbulan-bulan aku mencoba menyadarkanmu, tapi tetap saja kamu tidak peduli. Lihatlah kamu masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Aku yakin andai istrimu tahu pasti dia pun akan sedih, Mas. Menikahlah. Sudah kukatakan bukan kalau kamu kesepian segeralah menikah,” kataku panjang lebar.Mas Fawas diam saja. Dia menangis. Semoga saja dia benar-benar menyesali perbuatannya.Sej
🌸🌸🌸POV Fawas.Aku rasa Tuhan tidak adil padaku. Bagaimana tidak? Aku terlahir sebagai cacat genetik dan berjodoh pun dengan orang yang terlahir dengan cacat genetik. Lalu anak kami juga memiliki cacat genetik. Kata dokter otomatis menurunkan pada ke dua anak kami.Meskipun aku memiliki banyak uang tentu saja ini sangat menggangguku.Uangku tidak bisa membeli kesehatanku. Uangku tidak bisa menyelamatkan istriku. Uangku tidak bisa membeli segala yang aku mau termasuk kesehatan dan umur panjang.Kata orang hidupku sempurna dengan segala fasilitas yang ada. Padahal diam-diam aku hancur dan menyerah atas segala hal yang menimpaku. Aku Down!Benar kan, apa kataku? Tuhan sepertinya tidak adil padaku.Andai boleh memilih, lebih baik aku tidak punya harta dari pada menderita penyakit begini. Harta bisa aku cari sementara sakitku tidak bisa disembuhkan dengan harta yang aku miliki.Cerita tentang keberuntungan orang di luar sana makin membuatku sakit hati dan aku ingin seperti mereka.Lihat
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p