🌸🌸🌸[Bagaimana apakah siap dengan kejutan selanjutnya?]Aku membaca WA dari nomor asing itu lagi padahal aku sudah ganti nomor dan nomorku ini belum aku beri tahukan pada siapa pun kecuali ke suamiku dan juga keluarga. Susanti saja belum aku kasih tahu.Walau sebenarnya aku ingin sekali membalasnya, tapi aku urungkan biarlah sampai mana dia akan terus menggangguku.Mas Fais, sejak keberangkatan kami tadi dari rumah menuju rumah ibu mertuaku selalu saja menggenggam erat tanganku.Kami satu rombongan ada 5 mobil, kebetulan keluarga ibuku ada sebagian yang ingin ikut.Wak Haji dan Wak Ipon juga ikut, padahal kemarin mereka sudah bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya di rumahku. Lucu kalau diingat ya, begitulah lika-liku kehidupan dalam berkeluarga selalu saja ada cerita unik di dalamnya.Kami dikawal ketat anak buah Mas Fais depan dan belakang juga beberapa rombongan polisi agar kami cepat sampai di rumah.Kupandangi wajah tampan suamiku, sekiranya ada rahasia apakah hingga perni
“Mas, aku tidak mau, malu. Ini sudah sore, lihat itu sudah mau asar, tolakku."“Ye, ini otak pikirannya sudah aneh-aneh saja. Eh, tapi aku suka. Ayo, mandi. Zahra sudah siapkan semuanya. Coba kita lihat, yuk!”“Apa, Mas? Ning Zahra. Ih, malu, Mas. Kamu kok, enggak mau nolak sih, Mas, masa peralatan mandi saja yang siapkan Ning Zahra. Kamu kan, bisa bangunin aku biar aku yang siapkan.“Ya, gimana lagi orang dia yang maksa," jawab Mas Fais santai.Kami masuk kamar mandi. Ya, ampun ... kamar mandinya bagus banget. Itu bathtup sudah berisi air yang dipenuhi bunga. Wangi sekali. Ada dua lilin di pinggirnya. Ya, ampun romantis banget, ini seperti di film drama Korea yang selalu aku dan Susanti tonton.“Kok, malah diam, ayo, mandi!” ajak Mas Fais.“Aku, malu, Mas.”“Sama siapa? Kan, cuma kita berdua,” jawabnya.Kuhirup nafas panjang lalu perlahan menghembuskannya.“Baiklah, Mas. Aku ambilkan handuk dulu,” jawabku gugup.“Itu handuknya sudah disiapkan juga oleh Zahra.”“Kok, Ning Zahra baik
Benar saja, begitu melihatku, Mas Fawas langsung ambil posisi duduk di dekat Mbak Lintang. Posisi kami duduk lesehan.“Selamat ya, Mbak Fatki atas pernikahannya,” ucap Mas Fawas seraya mengulurkan tangannya dan tersenyum genit padaku.“I—ya, terima kasih, Mas,” jawabku. Tak kusambut uluran tangan Mas Fawas. Biarlah itu kan, memang tidak baik dan tidak boleh.Mas Fawas terlihat kecewa, tapi kemudian dia bersikap biasa saja dan langsung menyantap makanannya.“Sana pindah dekat, Zahra!” bisik Ning Lintang. Bersyukur keluarga ini benar-benar tahu masalah kami.Aku mengangguk dan bergeser, tapi saat Mas Fawas hendak mengembalikan piringnya tiba-tiba dia jatuh tepat mengenai badanku. Refleks aku menyingkirkan.Perasaanku sudah tidak karuan. Ya, Allah, aku takut sekali.“Mas, kalau jalan pakai mata, dong! Apa sengaja!” bentak Mbak Wulan.“Namanya juga pusing, Lan,” jawab Mas Fawas seraya melirikku.“Awas, ya, kamu, Mas kalau begini lagi. Kutonjok mukamu itu!” Ancam Mbak Wulan.“Biasa aja kal
“Pergi! Awas!” Aku berontak lagi, tapi Mas malah menamparku. Sakit sekali sampai rasanya pandanganku berputar-putar.Sreet!Bugh!Plak!Mas Fais datang tepat waktu dan langsung mengajar Mas Fawas tanpa ampun. Aku berteriak dan meminta tolong.Dia tidak bisa melawan, mungkin kalah kuat tenaga dengan Mas Fais.Keluarga berdatangan. Bapak Mas Fawas langsung menyeretnya.Aku menangis sejadi-jadinya. Mas Fais memelukku sampai aku benar-benar tenang.Mas Nanang marah dan bingung sebenarnya apa yang terjadi."Ada apa, Dik? Kenapa Mas Fawas ada di kamar ini? Apa yang sudah dilakukan padamu? Bilang sama Mas," tanya panik."Dia hampir saja melukaiku, Mas. Aku takut sekali," jawabku."Tenanglah akan aku beri pelajaran, dia. Jangan takut ada Masmu di sini. Apa pun akan Mas lakukan demi membelamu," jawab Mas Nanang."Maafkan aku, Mas. Tadi aku sedang di masjid, jadi tidak tahu kejadian ini. Mas, jangan khawatir aku pun menjaga Fatki. Apa pun yang terjadi, meski nyawaku jadi taruhannya," ujar Mas
Kulihat keluarga besarku sangat antusias dengan pesta ngunduh mantu yang diadakan oleh orang tua Mas Fais.Senyum merekah mereka membuat pikiranku tenang.Mereka benar-benar berhasil membuat hatiku bahagia.Biasanya kalau acara di hotel itu hanya hitungan jam saja, tapi kali ini sampai selesainya tamu undangan mau datang di jam berapa pun asal pas di hari dan tanggal yang sama tidak masalah itu semua karena hotel ini milik keluarga Mas Fais dan aku baru tahu.Subhanallah sekaya ini rupanya suamiku, pantas saja Dokter Risa menyesal dan masih saja mengejar-ngejar. Mungkin juga masih banyak perempuan lain di luar sana yang menginginkan jadi istri Mas Fais.Ini baru beberapa yang aku tahu. Mas Fais bilang setelah acara selesai akan mengenalkanku ke karyawan mereka di perusahaannya. Entah perusahaan yang mana lagi. Belum lagi beberapa kampus swasta yang ternyata keluarga Mas Fais pun tanam saham di sana. Pantas saja anak buahnya banyak dan berani menjemputku menggunakan helikopter.Bermimp
Siapa dia? Lalu kenapa manggil dengan sebutan Beb? Sepertinya aku pernah dengar panggilan itu. Apa mungkin dokter Risa?Dia memang diundang bahkan keluarganya juga, tapi bukan berarti dia bebas sok mesra begini? Apalagi dia pun sudah bersuami.“Mbak, tolong merem dulu matanya,” pinta sang MUA.Aku memejamkan mata, membiarkan MUA mengukir wajahku.Semakin mata ini terpejam semakin aku jadi terngiang-ngiang pesan barusan.Astaghfirullah ... jauhkan aku dari rasa Was-was ya, Rabb.“Mbak ini sudah cantik, bahkan sangat cantik di-make up apa saja tetap cocok. Malah kadang aku takut kalau aslinya cantik di-make up tidak manglingi nanti jadi omongan banyak orang,” ujar sang MUA.“Mbak ini bisa saja. Semua wanita itu cantik kok, Mbak. Kita harus pandai-pandai bersyukur,” jawabku.“Iya, betul itu, Mbak.”Ponsel Mas Fais bunyi lagi dan aku penasaran ingin melihatnya, tapi harus bersabar menunggu selesai make up.“Assalamu’alaikum ....” Duh, Mas Fais sudah datang, tapi make upku belum beres.“W
Kuceritakan apa yang disampaikan Susanti pada Mas Fais. Dia terlihat kesal lalu beberapa kali menghela nafas.Kasihan Mas Fais pasti dia merasa sangat tertekan.“Mas, maaf. Jadi kamu enggak nyaman gini, kan?” ucapku tulus.“Tidak sayang. Aku hanya geram saja pada Risa. Sepertinya dia memang harus benar-benar aku buat jera,” ucap Mas Fais penuh penekanan.Astaghfirullah ... bahkan di hari bahagia kami pun banyak yang tidak suka.Mas Fawas tiba-tiba datang menghampiri kami. Ada perban di jidatnya. Dia beda sendiri dengan keluarga yang lain. Dia tidak mau pakai seragam keluarga yang sudah disediakan.Jalannya sedikit pincang. Aku sudah deg-degan. Kini giliranku yang menggenggam erat jemari Mas Fais. Aku sungguh takut Mas Fawas akan buat keributan. Peristiwa semalam sepertinya tidak membuat Mas Fawas jera. Buktinya dia masih nekat datang menghampiri kami. Beberapa anak buah Mas Fais sudah standby di bawah pelaminan dengan posisi siap, takut Mas Fawas berbuat sesuatu.“Tenanglah Dinda, ada
“Jangan buatku malu! Sana!” Usir Dokter Risa.Adiknya minta Selfi hanya berdua saja dengan Mas Fais. Padahal Mas Fais sudah menolak dengan sopan, tapi malah adiknya dokter Risa tetap saja memaksa.“Kamu, awas! Aku mau foto berdua dengan Mas Fais,” ucapnya seraya mendorong pundakku. Refleks Mas Fais mendorongnya untung saja tidak jatuh karena ditahan oleh Mas Dafa.“Jaga sikap! Atau kamu akan aku usir secara paksa!” bentak Mas Fais. Untung saja suara musiknya menggema, jadi aman tidak ada yang dengar kecuali kami.Kini giliran Dokter Risa yang menyalami kami.“Cih, mau dindandani secantik apa pun ya tetap saja norak dan udik!” sindirnya.“Oh, bagus, deh! Kalau kamu sadar, Ris. Sudah sana pergi. Kami enggak butuh kamu!” sahut Mbak Wulan. Mas Fais terkekeh sedang aku bingung mau gimana.“Jangan ikut campur!” bentak Dokter Risa.“Kamu itu yang ikut campur masalah orang terus! Piye? Masih enak zamanaku, to?” kata Mbak Wulan lagi.“Kalian ini apaan sih, malah ribut!” sela Mas Dafa, dia meng
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p