POV FAISHappy reading 💕[Bos, ada pergerakan mencurigakan di dekat markas!] Lapor Elang.Aku yang sedang fokus mengawasi ujian semester tentu saja sedikit terganggu walau aku tahu anak buahku bisa kuandalkan.[Terus awasi, jika dia tidak melukai jangan kalian lukai.] Balasku.Entah kenapa rasanya hatiku tidak tega saja melukai orang tanpa sebab dan alasan. Jika mereka macam-macam dan melakukan tindakan kekerasan baru aku suruh anak buahku membalas.[Baik, Bos.] Elang mengirimkan beberapa foto.Ternyata mereka sedang mengintai markasku.Ada dua orang memakai topeng semua. Persis seperti ciri-ciri yang dibilang Mbak Fatki. Aku yakin mereka satu kelompok.[Bos, Sandera bilang disuruh seorang dokter, tapi dia tidak mau bilang dokter siapa.] Lapor Tupai.Dokter? Astaghfirullah ... apa dugaanku selama ini benar?Dafa?Risa?[Tunjukan foto yang aku kirim ini padanya. Katakan mereka atau bukan.]Gelisah aku menunggu balasan dari Tupai.“Waktunya sudah habis, silakan dikumpulkan ke depan!”
POV Fais.“Semuanya benar, Mas. Nama dia, Robi Ferdiansyah, tapi kami di kampung lebih mengenal dengan nama Robi. Dia adik sepupu Mas Dafa,” terang Mbak Fatki lagi.Aku sedikit paham permasalahan.“Apa Mbak Fatki ada foto orangnya?”“Tidak Mas, itu nomornya ada di kartu namanya kan, sudah aku kasihkan ke Mas Fais.”“Astagfirullah iya, maaf Mbak aku gagal fokus.”“Harus fokus, Mas, tadi kan, Mas Fais duluan yang tanya ke aku.”“Iya, maaf aku hanya fokus pada kamu saja, Mbak.”“Apa, Mas?”“Eh, bukan apa-apa. Baiklah terima kasih informasinya, Mbak. Aku akan sampaikan pada Tupai.”“Eh, iya, Mas.”“Assalamualaikum, Mbak.”“Wa’alaikumsalam.”Aku segera mengirimkan ulang foto kartu nama kemarin pada Elang. Di kartu itu ada info sosial media milik dokter itu. Elang harus gerak cepat agar masalah ini cepat selesai. Aku tidak suka masalah berlarut-larut hingga menguap sendiri tidak jelas ke mana arahnya.“Astaghfirullah ... kalian mengagetkanku saja,” seruku karena sudah ada dua mahasiswi ya
POV Fais. Hebat sekali Elang, bisa masuk rumah orang tanpa sepengetahuan tuan rumah. CCTV? Itu hal mudah bagi mereka untuk mengatasinya.[Kerja bagus. Keluar dari sana salat asyar dulu. Setelah itu lakukan lagi tugas kalian!] titahku.Foto ini bukan sesuatu foto yang penting menurutku. Hanya untuk memastikan bahwa mereka sudah ada di dalam rumah dokter itu. Segera Kuputar rekaman suara yang dikirimkan elang.Ini suara dokter itu sendang marah-marah dengan seseorang. Risa? Ya, dia menyebut nama itu.[Ikuti orang ini ke mana pun mereka pergi.] Kukirim foto Risa dan juga Dafa pada Elang yang lain.“Jingga, Biru, kita salat dulu, yuk!” Kuajak anak-anak Mas Fawas ke Masjid dekat rumah sakit. Mereka senang sekali. Celotehan dari mereka berdua mampu mengusir rasa lelah dan capekku.[Mereka pergi ke pantai, bos!] Kubaca pesan dari Elang disertai foto Risa dan Dafa.[Cari tahu apa yang mereka bicarakan!][Bos, dua pergerakan mendekati markas.] Dari Tupai.[Biarkan mereka membawa sandera. kali
Pov Fais.[Baik, Bos!][Bos, sandera dibawa ke sebuah rumah. Mereka berempat.] Lapor Tupai.[Dengarkan apa yang mereka bicarakan. Salah satu dari kalian hubungi polisi laporkan medannya.][Siap laksanakan, Bos!][Tangkap mereka malam ini. Jangan lakukan kekerasan kalau mereka tidak menyerang kalian lebih dulu. Amankan anak dan istrinya. Jangan ambil apa pun yang ada di sana.][Baik, Bos!]Alhamdulillah satu kelompok dari mereka sudah berhasil Tupai sergap. Kini tinggal otak dari masalah ini.Gegas aku kembali ke resto. Anak-anak Mas Fawas rupanya tidak mau makan padahal sebentar lagi isya.“Kok, enggak dimakan?” tegurku.“Ayah lama banget sih, ke toiletnya makanya kami malas makan.”“Maaf, Ayah tadi mules sekali jadi ya, sedikit lama. Mana pesanan Ayah?”“Ini, ih, Ayah kok, enggak lihat, sih,” jawab Jingga, dia tertawa riang memperlihatkan gigi depannya yang menghitam.Kami makan dengan lahap. Aku sengaja membuat pertandingan balapan makan agar mereka makannya cepat. Setelah ini aku
POV FAIS.Happy reading 💕“Buka! Buka pintunya!” Kami yang sedang bersiap untuk berangkat kajian rutin di pesantren tentu saja kagrt mendengar teriakan ibunya Risa.Mamah memberi kode pada satpam untuk membukakan pintu pagar.“Kamu itu ya, jadi mantu biadab! Jadi suami jahat! Jadi laki-laki lembek!” maki ibunya Risa seraya memukuliku menggunakan sendal hak tingginya.“Istighfar, Bubes! Istighfar!” Mamah berusaha menghentikan.Aku pasrah saja, biarlah dengan begini mungkin akan membuat hatinya lega dan juga puas.“Hentikan!” Suara bariton papah mampu membuat mantan ibu mertuaku terdiam.Beliau menjatuhkan dirinya ke lantai lalu menangis sejadi-jadinya.Aku iba melihatnya terpukul begitu, tapi aku pun tidak bisa membiarkan kejahatan anaknya semakin menjadi. Saat ini mungkin Risa hanya mampu menyuruh orang-orang untuk berbuat jahat, suatu hari nanti dia bisa jadi akan lebih kejam karena satu kejahatannya dilindungi.“Bebaskan Risa. Kasihan dia. Demi apa pun jangan kamu sakiti Risa le
POv Fais.“Bukti akurat, Bu. Kepolisian juga tidak asal menghukum orang. Lebih baik Ibu pulang saja karena percuma mau Ibu memohon padaku seperti apa pun aku tidak akan mengabulkannya," tegasku.“Benar-benar biadab kamu! Jahat! Aku sumpahi hidupmu akan sial seumur hidup. Kamu lebih memilih membela perempuan yang baru kamu kenal dari pada istrimu sendiri! Risa itu masih istrimu. Pengadilan belum ketuk palu! Tega kamu, Fais! Menyesal aku sudah menikahkan Risa denganmu! Dunia akhirat aku tidak akan ridho!” maki beliau lagi.Astaghfirullah ... kalau bukan orang tua sudah aku bantah setiap ucapannya.“Jangan ngaco, deh, Tante. Mas Fais itu sama Mbak Risa sudah lama cerai secara agama. Itu bukan mutlak kesalahan Mas Fais, tapi anak Tante sendiri yang kegatelan dengan laki-laki lain, jadi jangan asal nuduh Mas Fais yang tidak-tidak!” sahut Zahra.“Tahu apa kamu! Kamu hanya anak ingusan kemarin sore. Anak bau kencur! Kamu tidak ubahnya seperti ibumu, pendusta. Membela yang salah! Aku benar-b
POV Fais.“Fais, anggap ini permintaan terakhir Ibu. Setelah ini Ibu tidak akan lagi meminta apa pun dari kamu. Setelah ini keluarga Ibu akan enyah dari hidupmu. Ibu mohon?” ucap beliau lagi. Sekarang beliau malah ikut-ikutan Sekar, bersujud di kakiku.Aku memberi kode pada Satpam. Mereka langsung menyeret Sekar dan ibunya ke luar dari rumah ini.“Set*n ya, kalian semua! Bab*, anj***. Aku sumpahi hidup kalian tidak akan berkah. Aku akan kabarkan pada semua orang tentang kejatahan kalian ini. Kalian sudah zolim pada kami. Kalian harus menderita seperti yang kami rasakan! Anj***!” Sumpah serapah keluar dari mulut ibunya Risa yang sudah berkali-kali umroh dan berhaji.Astaghfirullah ... apa aku salah ya, Rabb.Mamah memelukku dan mengajakku masuk. Kajian hari ini kami batal berangkat.Sampai di ruang tamu, Zahra masih terlihat bete, meski papah berusaha menghiburnya. Si bungsu itu memang unik. Marahnya akan meledek-ledak jika ada yang memancing emosinya, tapi kami di rumah juga jadi sas
POV Fais. “Belum tahu, Dik. Belum ada informasi lagi dari anak buah Mas.” “Pasti mereka menyiapkan pengacara handal, Mas. Duit mereka kan, banyak.” “Kita juga siapkan pengacara handal, dong. Masa iya, kita kalah dari orang jahat.” “Setuju sih, Mas. Jangan samapi mereka lolos setidaknya mereka harus merasakan dinginnya jeruji besi. Terkurung di sana.” “Setuju. Semoga saja bisa memberi efek jera dan Risa benar-benar taubat.” “Karirnya pasti hancur Mas. Tidak akan dan rumah sakit yang mau menerima dia kan, bertindak kriminal.” “Bisa jadi, tapi kalau tidak tahu ya, insya Allah aman. Calon suaminya orang kaya, Dik, kabarnya sedang bangun rumah sakit di daerahnya sana. Bisa saja kan, dia dinas di sana. Mungkin nanti ada sangsinya tersendiri. Mas kurang paham yang penting sekarang ini Mbak Fatki sudah aman dan dia bisa bebas beraktifitas.” “Egehm ... segitu sayanganya ... setelah ini langsung halalin, Mas.” “Insya Allah.” “Mamah, sama Papah setuju, kan?” “Setuju-setuju saja asalkan
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p