Kasihan Intan, kalau mereka sampai bebas lenggang begitu saja hanya karena mereka berduit.“Mbak, aku lapar kita makan dulu, yuk?” ajak Citra.“Ayo, kamu mau makan apa kita order makanan saja ya, kasihan Intan kalau ditinggal.” Citra setuju. Aku pun belum makan tadi pagi hanya sarapan sereal dan buah saja.“Biar aku carikan di luar, Mbak. Kebetulan mau keluar bentar,” tawar Mas Fais.“Apa tidak merepotkan, Mas, kamu sudah terlalu banyak membantu kami, Mas. Aku jadi tidak enak. Sungkan rasanya,” jawabku.“Tidak, Mbak. Aku melakukan ini dengan senang hati,” jawabnya memasang senyum padaku.“Jazakallah, Mas.” Mas Fais mengangguk lalu pamit pergi.“Alhamdulillah ... saat susah begini ada yang tulus membantu kita, ya, Nak. Kalau tidak entah bagaimana nasib Intan. Pastinya kami hanya bisa pasrah saja,” ucap bibi.“Benar, Bik. Alhamdulillah kita dikelilingi orang-orang baik. Aku pun sangat bersyukur bisa bertemu dengan mereka.”“Iya, ini berkat kebaikan Mbiak Fatki juga,” sahut Citra.“Buka
“Loh, Fatki, ke sini yang jaga Intan, siapa?” tanya ustazah Zahra.“Mas Fais sama mantannya Mas Fawas,” jawab Citra. Ekspresi wajah ustazah dan Zahra langsung berbeda dan mereka buru-buru pergi.“Duluan ya, Mbak,” pamit Zahra.“Kenapa, sih? Perasaan kok, ada yang aneh?” tebak Citra.“Hanya perasaan kamu saja. Cepat telepon bapakmu, kita makan dulu. Kasihan bapakmu sama pakdemu pasti nahan lapar,” titah bibi.Ting![Mbak ini Reni, pingsan. Gimana, dong?] Kubaca baik-baik WA dari Susanti.[Badannya panas, Mbak.][Panggil bidan aja, San. Enggak mungkin kan, kamu sama Ibu bawa ke rumah sakit.] balasku.Sebenarnya kasihan sama Reni, tapi aku juga bingung harus gimana. Kurasa Reni banyak pikiran ditambah sakitnya dia, jadi drop begitu.“Mbak, kok, bengong. Ayo, dimakan!”“I—ya, Cit. Mbak, lagi kepikiran itu si, Reni sakit. Dia datang ke rumah semalam,” jawabku lemas.“Reni? Reni istrinya Arman?” tanya paman. Sepertinya mereka juga kaget dengan pengakuanku.“Iya, Man, dia kasihan. Reni kemar
~k~u🌸🌸🌸“Mbak, Fatki, tunggu!” panggil Mbak Wulan. Dia bersama Mas Fawas.“Sudah salat?” tanyaku basa-basi. Aku canggung Mas Fawas melihatku seperti itu.“Sudah di Masjid sebelah sana.” Kami jalan beriringan ke ruang ICU lagi.“Sebenarnya yang sakit itu siapa sih, Mbak. Kok, sepertinya parah banget?”“Intan, aduk iparku, Mbak. Memang parah. Kasihan dia mengalami pelecehan seksual dan juga penyiksaan. Makanya kasus ini dikawal polisi. Aku kira sudah tahu karena Mas Fawas tadi, kan ....”“Oh, itu? Aku sih, ikutan Fais aja. Sengaja mau ngeledek dia,” sahut Mas Fawas.“Biasalah, Mbak, ini Kakak durhaka, enggak bisa lihat adiknya seneng. Jadi, iseng gangguin,” timpal Mbak Wulan.“Bukan itu saja sih, aku juga ikutan Fais aja, dia kan, lope-lope sama Mbak Fatki.”“Jadi, maksudnya kamu lope-lope juga, Mas? Eyalah dasar aneh!” seru Mbak Wulan. Dia menoyor kepala Mas Fawas. Kami semua terkekeh. Aku tahu Mas Fawas hanya bercanda saja, tapi entah kenapa aku tidak nyaman dia berkata seperti itu
“Sintia, ngomong apa kamu itu! Jangan macam-macam!” bentak Mas Fawas.“Sayang, aku ini ngomong benar lo ....” jawab Mbak Sintia dengan gaya khasnya yang manja menyandarkan kepalanya ke pundak Mas Fawas dan terkesan dibuat-buat.“Tuduhan kamu itu tidak beralasan, Sin! Awas, ah, jangan nempel-nempel begini!” Mas Fawas mendorong kepala Mbak Sintia.“Kok, kamu diam saja? Benar kan, apa yang aku bilang. Aku dengar pakai kupingku sendiri loh, bukan kuping tetangga. Mas Fawas, awas ya, kamu kalau dekat-dekat dengan dia. Bawa bala saja. Penyakitan dia itu!” ucap Mbak Sintia lagi.“Jangan fitnah, Mbak. Tahu kan, kalau fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan!” bentak Citra.“Aku tidak fitnah. Aku bicara berdasarkan apa yang aku dengar. Kamu tidak usah lagi nutup-nutupin aib orang begitu. Atau jangan-jangan kamu pun punya penyakit kelamin, juga ya? Kamu kan, satu kufu sama dia,” tuduh Mbak Sintia pada Citra.“Ini otak kalau ngomong jangan suka asal! Bikin malu aja!” bentak Mbak Wulan seraya
“Eyalah bocah, enggak sopan!” bentak bibi. Citra dan Mas Fais terkekeh.“Lah, bener loh, Buk. Luamyan uangnya untuk Intan.”“Iya-iya, yuk, pulang keburu Maghrib!” ajak bibi.Kami beriringan jalan ke luar. Mas Fais di depan kami di belakangnya.“Mas, nanti aku turun di rumah Bibi saja ya, biar dijemput Susanti,” pintaku.“Iya, Mbak, boleh.”“Antar Mbak Fatki saja dulu, tidak apa-apa nanti baru antar kami,” sahut Citra.“Nah, itu jauh lebih bagus,” jawab Mas Fais.“Ssstt ... kamu itu, Cit, enggak sopan loh,” bisik bibi.“He he ... maaf deh, Buk. Eh, maaf ya, Mbak.” Aku mengangguk.“Sebenarnya kalian penasaran enggak sih, sama Arman? Kok, Bibi, pingin banget ketemu Arman, ya? Bibi pingin mukulin dia. Astaghfirullah ....”“Sama, Buk. Aku pun ingin ketemu Mas Arman. Mau kusumpel itu mulut dia pakai uang koin 200 perak. Emosi jiwa aku, Buk. Pasti ini Mas Arman menganggap semuanya baik-baik saja. Aku yakin itu.”“Itulah yang Ibu pikirkan. Ibu juga sudah bilang sama saudara-saudara di kampung
Saat aku melihat ke arah Mas Fais lagi dia memberi isyarat padaku dengan kepala dan matanya, sepertinya dia menyuruhku untuk masuk ke mobil lebih dulu.“Masuk mobil?” tanyaku. Mas Fais mengangguk.Mas Fais mengarahkan kunci ke mobilnya. Aku segera masuk, Citra dan bibi ikut masuk.“Ayo, Lan, pulang! Biarkan saja Sintia di sini,” ajak Mas Fawas.“Eeehh ... tidak bisa, dong! Kamu harus mengajakku Mas!” pekik Mbak Sintia.Mas Fais menyingkirkan Mbak Sintia dari pintu mobil Mas Fawas. Kemudian kakak beradik itu segera masuk.“Mas-Mas, tunggu!” Mbak Wulan tancap gas dikejar Mbak Sintia.Kesempatan itu digunakan oleh Mas Fais untuk masuk mobil dan juga tancap gas.“Pak, ini uang parkirnya, Maaf!” Mas Fais melempar uang lembaran merah pada tukang parkir. Mbak Sintia seperti kebingungan kini dia berganti mengejar mobil Mas Fais.“Astaghfirullah ... ampuni aku ya Allah,” gumam Mas Fais.“Kasihan Mas, Mbak Sintianya nanti dia pulang sama siapa?” tanyaku.“Kasihan, tapi memang dia begitu, Mbak.
~k~u🌸🌸🌸“Mbak, itu si Reni ngerengek terus kayak anak kecil pusing aku dengarnya,” keluh Susanti. Siang ini aku menjenguk Reni di rumah bersalin. Dia dirawat di sini.“Terus gimana. Kamu sudah jelaskan belum ke bidannya?” tanyaku. Susanti memang aku mintai tolong untuk jual perhiasan Reni. Laku 9 juta rupiah. Dia jual kalung seberat 10 gram.“Sudah, kata bidan biar dirawat di sini dulu sampai keadaan membaik. Kalau di rumah sakit kasihan tidak ada yang jaga kalau perlu apa-apa susah. Kata bidan Sri bayarnya juga setengah saja. Dia niat bantu Reni,” jelas Susanti.Memang Bidan Sri terkenal baik hati dan tidak segan-segan menolong pasien-pasiennya. Tidak pandang bulu bagaimana latar belakangnya yang penting ditolong. Begitu katanya dulu waktu aku pernah periksa kehamilanku yang pertama. Tempatnya memang agak jauh dari ruko ini dan lebih dekat dari rumah ibu yang dulu. Aku memilih Reni untuk dirawat di sini ternyata benar.“Dia diomelin terus tahu, Mbak, sama Bidan Sri. Dinasihati sur
Assalamualaikum pagi semua ... yuk, bantu follow akunku!POV Arman."Pak polisi tolong izinkan aku pulang sebentar saja. Aku ingin bertemu adikku dan ibuku satu kali ini saja!” seruku kesal sekali. Rengekanku sama sekali tidak digubris oleh para polisi itu. Padahal aku ingin sekali pulang sebentar saja. Aku ingin ketemu Intan. Aku ingin lihat Intan. Katanya suaminya Intan sedang sakit dan sakitnya parah. Saat aku tanya sakit apa dia tidak mau jawab hanya sakit parah saja. Akan tetap, aku lihat dari wajahnya sepertinya sangat murung sekali. Sedih dan emosi jadi satu.Aku sebenarnya juga ingin sekali marah pada suaminya Intan. Dia sudah membohongiku. Aku kira dia benar-benar hanya bisnis uang saja tidak tahunya dia seorang bandar narkoba.Aku sudah ditipunya habis-habisan. Mau protes pun rasanya percuma. Aku benar-benar kesal padanya. Dia banyak uang jika aku menuntut balik atas kasus penipuan pasti aku akan kalah. Apalah aku hanya remahan rengginang bagi dia. Pantas saja dia kaya raya
POV Kayla. Setelah pemakaman bapak keluarga pun segera mengurus perempuan yang mengaku sebagai istri mudanya bapak. Ternyata perempuan itu tidak mengharapkan harta seperti yang dituduhkan Kak Siwi. Perempuan itu benar-benar tulus pada bapak.Mereka benar-benar ke sini untuk memberikan penghormatan terakhir. Melihat ketulusan itu bang Dafa dan Bang Romi mengakui anak remaja itu sebagai adiknya dan berjanji akan memberikan biaya pendidikan sampai jenjang tinggi.Emak jangan ditanya perempuan itu terus mengerang pasti emak tidak terima atas keputusan dua putranya bahkan tadi Emak sempat kejang.“Abang mau bicara dengamu, Kay. Ini serius! Ayo, ikut Abang. Aku yang masih duduk di atas sajadahku setelah salat ashar langsung mengikuti Bang Daffa untuk berkumpul di ruang tamu. Di sana sudah banyak berkumpul saudara-saudara Bang Dafa ada paman, Kak Siwi, Risa, dan banyak lagi, tapi tunggu dulu ada satu orang yang menarik perhatianku siapa dia aku seperti pernah melihatnya? Ya, kini aku ingat
POV Kayla. “Kamu siapa? Kenapa kamu datang ke sini, hah?! Kami tidak punya keluarga seperti kamu dan kami tidak mengundang siapa pun yang tidak kami kenal. Cepat pergi!” usir Kak Siwi. Aku yakin sekali kalau Kak Siwi mengenali wanita itu ‘kan kemarin dia sudah melihatnya di ponselku sedangkan emak hanya meliriik saja. Emak terus saja menangis. Ah ... ini masih babak baru pasti setelah ini akan terjadi keributan besar.“Cepat sana, pergi! Cepat! Kami tidak punya kerabat seperti kamu!” usir Kak Siwi lagi seraya mendorong-dorong tubuh wanita itu.“Lepaskan Ibuku jangan kau sentuh Ibuku!” bela anak bujangnya. Wah ternyata punya nyali juga dia. Aku kira dia hanya anak ingusan yang sembunyi di ketiak ibunya ternyata dia jagoan yang berani membela ibunya dari terkaman harimau.“Kamu siapa? Nggak usah ikut campur anak kecil! Cepetan sana pergi kalian! Pergi! Rumah ini tidak menerima orang yang tidak kami kenal!” Kak Siwi terus saja mengusir perempuan itu namun perempuan itu sama sekali tid
POV Kayla.“Dasar pembunuh! Dialah pembunuh bapakku. Dialah pembunuh bapak kami! Dafa pokoknya jeblosin Kayla ke penjara aku. Pokoknya aku enggak mau tahu masukin dia ke penjara!” teriak Kak Siwi. Jari telunjuknya menudingku.Dia menuduhku membunuh bapak terserah saja ‘toh aku tidak secara langsung membunuhnya. Aku hanya memberikan informasi akurat dan rahasia besarnya selama ini, jadi kalau bapak meninggal ya, itu sudah takdirnya bukan karena aku yang bunuh. Jadi, untuk apa aku takut aku santai saja menghadapi mereka bahkan kini aku duduk di sebelah emak yang terbaring lemah. Tatapannya penuh kebencian padaku. Ah ... terserah saja. Dibenci emak tidak akan pernah membuatku rugi yang penting dendamku terbalaskan.Sementara Bang Daffa sama sekali tidak menanggapi perkataan Kak Siwi. Begitu pun dengan Bang Romi. Mereka semua justru khusuk mendoakan Bapak.Entahlah kalau setelah acara pemakaman ini mungkin aku akan disidang, tapi ya, seperti yang aku katakan tadi aku sama sekali tidak t
POV Kayla. “Wah ... so sweet sekali, tapi sayangnya itu basi dan sepertinya Mak sekarang nggak suka tuh sama kamu! Dari tatapannya Emak saja terlihat sangat marah. Andai Mak bisa ngomong pasti Emak sudah ngusir kamu dari sini, Kay!” kata Kak Siwi lagi. “Kalau emang Emak nggak suka padaku baru-baru ini ya, telat dong! Karena aku sudah nggak suka sama emak sejak dahulu,” jawabku. Kak Siwi bengong.“Dasar nggak waras! LAWANG!” umpat Kak Siwi.“Kok, orang gila ngatain gila, sih!” kataku lagi.“Diam kamu, Kay! Kamu ngatain aku gila lagi akan kubuat kamu mampus gak bisa ngomong selamanya mulutmu itu!”“Enggak takut! Lakuin aja kalau bisa,” jawabku dengan senyuman sinis.Kulirik emak. Lagi-lagi emak hanya menggeleng saja. Jangankan basmi Kak Siwi, emak yang selama ini baik padaku pun bisa aku bikin diam alias stroke.“Mak ... Mak kenapa seperti ketakutan gitu, sih? Padahal kan, aku sayang sama Emak dan juga Mak sayang sama aku. Tenang aja ya, aku bakal kasih sesuatu sama emak, tapi aku
POV Kayla. “Halo ... selamat pagi! Emak apa kabar? Eh ... ada Kak Siwi,” sapaku saat aku buka pintu lalu menghampiri emak.“Eh ... perempuan kurang ajar mau apa kamu ke sini, hah! Kamu mau merayu emakku lagi biar kamu dapat tanah warisan atau kebun gitu, ya! Enggak cukup kamu ngambil rumah itu dari kami?” kata Kak Siwi. Dia menarik jilbabku sampai hampir terlepas bahkan jarumnya pun menusuk kulitku.“Apa-apaan sih, Kak! Ngeselin banget lepas nggak!” protesku.“Aku enggak akan lepas sampai kamu minta maaf sama aku dan kamu balikin rumah itu ke Emak lagi!” jawabnya.“Oh ... iya? Yakin?” jawabku seraya kusikut perut Kak siwi kuat sekali.“Aww sakit! Setan kamu, ya, Kayla!” jerit Ka Siwi. Dia memegangi perutnya sambil berjongkok.“Duh, maaf ya, Kak. Sengaja! Ha ha!” ucapku.“Emph! Emph!” Emak bersuara. Aku yakin dia sangat kesal padaku dan hendak mengumpatku, tapi karena Mak sudah kena stroke jadinya emak tidak bisa menyampaikan unek-uneknya.“Kenapa, Mak? Mau ngomong apa? Kasihan b
POV Kayla. “Oo ...ternyata pelakor! Orang elit dan berpendidikan tinggi pun bisa ya, jadi pelakor!”“Dokter kok, pelakor! Cantik-cantik sukanya sama suami orang. Padahal dapat bujangan juga bisa!”“Namanya juga cinta tahi kucing pun rasa coklat!”“Amit-amit na’uzubillahminzalik dunia udah mau kiamat sampai-sampai pada rebutan suami.”“Sekarang banyak perempuan muka badak, muka tembok! Enggak bisa berkaca diri terbawa hawa nafsu!”“Iya, sudah gitu nyalahin istri sah lagi! Iih ... enggak malu banget!”“Pelakor mana pada punya urat malu. Urat malunya udah putus!”“Iya, betul! Menjijikan sekali lebih najis daripada kotoran hewan!”“Iya, ngeri ya ... padahal karir mereka bagus loh, dokter! Ternyata enggak menjamin!”“Jangan cuma nyalahin pelakornya, tapi lakinya juga. Mereka itu kan, sama-sama mau. Sama-sama gatal, sama-sama nggak punya kehormatan!”“Pendidikan tinggi enggak menjamin orangnya pun bermoral tinggi!”“Makanya itu harus belajar adab juga.”“Dokter Dafa bingung kali milih sal
POV Kayla. “Kurang ajar kamu, ya, Kayla!” Risa tidak terima mendengar ucapanku. Dia menyerangku, tapi aku buru-buru melepaskan sepatuku lalu kupukulkan ke bahunya! Bugh! Bugh!Tepat sasaran. Risa mengaduh kesakitan. Dia bermaksud menarik jilbabku, tapi aku sudah lebih dulu menjambak rambutnya.“Aww! Sakit-sakit! Lepaskan!” teriak Risa sampai suster yang kebetulan melintas berlarian untuk melerai kami.“Mbak, lepas, Mbak! Kasihan Dokter Risa. Udah lepas! Mbak, tidak tahu dia siapa?! Tolong lepas!” seru para suster.“Rasain kamu! Mampus kamu, Risa! Sekali lagi kamu bikin masalah sama aku bukan hanya rambutmu yang aku jambak, tapi kepalamu aku lepaskan dari tubuhmu! Memang kamu kira aku takut sama kamu? Rasain ini dokter gila,” makiku pada Risa.“Kamu itu yang gila buktinya kamu yang menyerangku!” Risa masih saja playing victim.“Ooh ... gitu! Ini gimana? Sakit tidak!” kutarik bulu mata palsu Risa biar dia tahu rasa.“Aww saaaaakkkiit mataku! Bulu mataku! Dasar kamu gila Kayla!” teri
POV Kayla. “Kayla, tolong panggil suster untuk membantuku!” pinta Bang Daffa.“Males, iiih! Abang panggilan aja sendiri itu kan, ada tombol di atas kepala Bapak. Tinggal pencet aja sih, kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala!” tolakku sinis.“Astaghfirullahaladzim ... Kayla ini darurat ya, Allah!” pekik Bang Dafa. Dia terlihat bingung dengan sikapku lalu tanpa pikir panjang dia memencet bel yang ada di atas kepala bapak berkali-kali.“Nah ... gitu bisa kan, pencet bel sendiri! Kenapa pakai nyuruh-nyuruh aku segala?!” seruku.“Kayla, cepat bantu sini! Tolong ini!” pinta Bang Dafa lagi tanpa menoleh ke arahku. Dia memang terlihat sibuk sekali.“Apaan sih, Bang, males lah! Aku mau keluar. Aku malas bertemu Abang. Orang Bapak 'tuh cuma kejang biasa itu kena ayan. Udah deh, enggak usah terlalu lebai,” jawabku lagi. Gegas aku keluar. Di pintu aku berpapasan dengan perawat yang terburu-buru masuk ke ruangan ini.“Dasar monster! Aku pastikan kamu segera akan punah dari muka bumi ini. Monste
POV Kayla. “Pak, hei jangan mati dulu!” seruku seraya kutepuk-tepuk pipinya lebih tepatnya aku tampar.“Paaakk!” Kali ini kutekan lengan kanan bapak yang terpasang selang infus. Jika Bapak tidak sedang dalam keadaan kejang pasti dia akan berteriak kesakitan, tapi aku yakin sih, dia pun merasakan sakit. Ah ... sungguh ini merupakan kenikmatan hakiki yang aku nanti-nanti selama ini.“Pak, ada satu rahasia lagi yang harus Bapak tahu dan ini tentu sangat mengejutkan. Tahukah Bapak, bahwa istri tercinta bapak itu adalah penebar fitnah. Bapak tidak tahu kan, kalau ternyata istri Bapak sejak muda dulu sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Bapak? Karena aksinya terpergok oleh orang tuaku, Emak lalu memfitnah mereka dan terjadilah tragedi besar pembunuhan yang Bapak dalangi. Bagaimana Pak, apakah informasi ini mengejutkan Bapak?”Kulirik jam di pergelangan tanganku dan sepertinya sudah lebih dari 10 menit bapak kejang. Hebat sekali dia tidak meregang nyawa. Apa dia seperti kucing yang p