Merasa pintu itu sudah terbuka lebar, Yustin langsung meraba dan meraih tangan yang berhasil membuka pintu.
"Ayo Din, buruan. Lo harus tau tentang ini, lo pasti ka,-" ucapnya terpotong saat melihat ke arah belakang. Langkahnya terhenti. Tubuhnya bergidik ngeri. Jantungnya serasa mau copot, bahkan hatinya menciut tak tahan untuk menatapnya balik.
Yustin menatap ujung sepatunya seketika, bergumam dan mendapat tatapan.
'Pantesan tangannya berbulu' batin Yustin lalu menyungir ke arah Andre. Ia masih takut akan tatapan itu hingga ia kesusahan untuk meneguk salivanya.
"Bang Andre. Maaf, Bang, aku nggak tau dan nggak sengaja," ralatnya malu. Ia langsung menarik tang
"Mau ngomong apa sih, Ver? Mama jadi makin penasaran." timbas Bu Rere memecah keheningan.Pria itu diam, tak menoleh ke arah Bu Rere maupun Pak Rahmat. Tak ada sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Yang ia perlihatkan hanyalah wajah kaku kemudian berhasil ia tutupi dengan senyum tipis yang kini mengembang di wajahnya. Senyum itu 'palsu'.Dapat dilihat dari raut Verdi yang sedari tadi nampak tidak ada bersemangat. Pikirannya tak dapat rileks seperti biasa. Lamunan itu kembali menghampiri dirinya beberapa saat sebelum ia berbicara."Verdi mau ke kamar, ntar aja kalau sempat, Verdi bicarain sama Mama." balasnya sekilas, lalu beranjak dari tempat duduknya.Tangannya bergerak untuk membenarkan kau
Silih berganti begitu cepat, burung-burung sudah kembali ke alamnya lagi. Dan kini, bergantilah suara jangkrik yang kian berbunyi di balik semak belukar tinggi.Bulan yang hampir mendekati satu lingkaran penuh serta banyaknya bintang sudah bertebaran di langit malam. Malam yang indah.Dinda berada di balkon kamar, menatap kagum langit yang ada di atasnya. Beberapa kali ia tersenyum, menampakkan sedikit lesung pipi dan beberapa kali ia memeluk dirinya sendiri.Terselip sebuah harapan yang begitu besar, seperti halnya ia ingin menapaki bulan di angkasa sana. Suasana hati berubah tak menentu setelah ia menatap benda kecil di tangannya itu."Gue ambil beasiswa ini atau nurutin yang udah ada di sekolah?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal.Tentu saja ia begitu bingung, di lain sisi ia ingin sekali mengambil beasiswa yang sangat membanggakan tentunya, tet
"Bang?" panggil Dinda sama sekali tak mendapat tatapan."Apa?""Apa gue harus ke luar negeri sendiri?" bingung Dinda terus terpikir akan kejadian beberapa minggu lagi."Sama gue juga nggak pa-pa." datar Andre membuat Dinda menungging senyum samar.Dinda semakin mendekatkan dirinya dengan Andre, mengambil jarak kurang lebih satu meter dari tempatnya duduk. "Gue bingung, Bang. Gue takut pilihan gue ini salah. Gue harus gimana dong?""Pikir sendiri." acuh Andre masih menatap layar."Gue tanya beneran ih!" dengus Dinda menyenggol."Sesuai kata ha
Pagi yang cerah? Sama sekali tidak, malah mengingkari ekspektasi malam tadi. Berharap cuaca bersahabat dengan datangnya sang surya di pagi hari.Langit kini kelam karena ditutupi awan mendung yang beberapa menit kemudian bisa diprediksi akan turun hujan.Dan benar, menit berganti menit hujan sudah turun meski tak begitu deras. Hujan mengguyur kota tua. Bisa dirasakan dinginnya pagi ketika suhu tubuh tiba-tiba turun beberapa derajat dari semula.Dinda berkesempatan untuk memakai jaket tebal pemberian Verdi yang mana keduanya memiliki—couple. Ia melenggang ke dapur dengan langkah santai sambil bergumam, niatnya hanya sekadar mengambil secangkir kopi panas buatannya.Pak Arif dan Bu Sella sud
Dinda sudah rapi dengan balutan jeans, sweater, tas kecil yang ia selempangkan serta sepatu putih yang melekat indah di kakinya. Cocok untuk tubuh mungilnya.Ia menuruni anak tangga dengan langkah cepat, kemudian berjalan dengan langkah panjang yang membuatnya mendapat lirikan dari Andre."Mau kemana lo, rapi bener?""Menurut lo, gue mau kemana?" tanya balik Dinda membuat Andre mengerdikkan bahu acuh."Main sama Verdi, izin dulu ya." lanjutnya berpamitan dan menghilang di balik pintu utama. Andre hanya menatap dan geleng-geleng."Jangan kemalaman." pesan Andre seraya memandang gadis yang sudah pergi jauh dari hadapannya."Anjir, gue sekarang dikalahin sama dia." gumamnya menyungir masam.**
"Yah, mendung, Ver.""Kita pulang aja." ucap Verdi menyudahi pertemuan di kafe tersebut, setelah melihat awan hitam menggumpal di atas sana.Dinda pun mengangguk. "Ayo, keburu hujan." balasnya menyetujui, membuat mereka berjalan keluar dari kafe itu, beriringan."Hujannya nggak ingat moment ya." celoteh Dinda disela jalannya."Kenapa?""Kan kita baru berduaan, kenapa sekarang malah hujan terus? Apa nggak ngerestui kita berdua?" katanya lalu memekik. "Ver, hujannya deres!!!" lanjutnya berlari bersama Verdi menuju parkiran mobil.Seketika hujan mengguyur lebih deras dari esok tadi. Untung saja mereka sudah sampai di dalam mobil, meskipun harus berlarian kecil dan terkena terpaan angin yang membawa derasnya hujan. Sedikit membasahi baju mereka sih!"Untung udah sampai." lega Dinda."Kamu kalau
Awan hitam sudah tidak betah berlama-lama, kini menampakkan kembali sederet awan cerah namun masih terdapat celah warna kelabu. Matahari sedikit nampak dari balik kelamnya awan, hujan sudah reda. Verdi berkesempatan untuk bergegas pergi dari sini.Bagaimana mereka bisa pulang dengan kondisi basah kuyup seperti ini?"Tunggu disini." kata Verdi kemudian melangkah pergi meninggalkan Dinda sendiri."Kamu mau kemana?""Bentar." balasnya membuat Dinda menurut pasrah, ia menunggu Verdi di tengah pepohonan yang cukup tinggi. Sendiri. Tubuh kecil itu sedikit menggigil kedinginan. Ia memutuskan untuk memeluk tubuhnya sendiri dan sesekali menggosokkan kedua telapak tangannya.Ia memandang kendaraan yang berlalu lalang di depannya, tubuhnya kadang terkena cipratan air hujan yang tergenang di sebuah lekukan karena mobil atau kendaraan lain. Gembel!"Ver
Dinginnya malam kembali menyelimuti, suasana hujan atau tidak tetap saja membuat malam gadis itu terasa dingin dan sepi.Dinda hanya mengisi waktu dengan menonton TV, memandang jendela kamar yang sedikit terbuka—membuat sepoi angin menyentuh permukaan wajahnya—ia beranjak menutupnya dengan sedikit mata menyipit, berusaha menutup wajah dengan satu tangan supaya angin tidak menerpanya.Telinga itu kini mendengar sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya, sesuatu yang menggugah hati Dinda untuk memandang ponsel tersebut. Hanya memandang awalnya, lalu berniat membukanya setelah beranjak menutup jendela.Meyza: Guys, gue lupa, gue mau ngasih tau kalian. Kakak gue Ammar, besok mau nikah, kalian dateng ya... Spesial undangan dari gue.Meyza mengirimkan pesan lumayan singkat ke grup pribadinya, grup yang berisikan Dinda, Zura, Yustin, Riska, dan Chae.