"Kak Veeer!!" gadis kecil yang kini tengah memakai sepatu hitam bertali itu berteriak memanggil nama Verdi setelah melihatnya beranjak keluar dari rumah.
Vanya langsung memakai sepatu dengan cepat kemudian menyusul keberadaan kakaknya. Dengan rambut yang masih acak-acakan, serta tas gendong yang hanya tersampir di bahu kanan. Membuat Vanya seperti tidak begitu terurus.
"Kak tungguin bentar, gue lupa bawa uang jajan!!" mendengar ucapan itu, Verdi mendengus kesal. Bisa-bisa ia terlambat mengikuti ujian terakhirnya hari ini.
"Dasar. Cepetan!!" bentak Verdi setelah Vanya pergi ke kamarnya untuk mengambil uang saku.
"Siap, ayo kak!"
Verdi segera memainkan motor ninjanya setelah meli
Malam ini di kafe blacksweat, kafe yang biasa dikunjungi oleh Verdi dan teman-temannya ramai oleh keluarga besar Verdi serta teman kelas dari Vanya.Tak lupa sahabat Verdi pun ikut meramaikan suasana kali ini. Ada Otong, Regal, Alex, Rendra, Galih, Radit, dan Paul. Mereka memakai pakaian jass abu bersamaan.Vanya tak mengetahui sedikitpun bahwa akan ada surprise dari keluarganya. Di perjalanan Vanya masih bingung dengan ajakan Verdi yang tiba-tiba."Mau kemana sih, kak? Kok gue disuruh pakai baju pesta, nggak betah ini." ucap Vanya bingung ketika berada di mobil Verdi, mereka hanya berdua. Orangtua dan kerabat kecil mereka sudah berada di sana terlebih dahulu dan Vanya tidak mengetahui."Kak Dinda." balasnya singkat."Kakak mau nikah sama kak Dinda? Sejak kapan kalian pacaran? Tunangan malam ini ya? Demi apa kak, gue bakal ada kakak baru buat bisa diaj
Ujian Nasional sudah berakhir dua bulan yang lalu dengan diselimuti perasaan campur aduk, mereka tinggal menunggu hasil dan menantikan kertas bertuliskan lulus atau tidak lulus. Kelulusan sudah di depan mata. Satu langkah menuju ujian masuk perguruan tinggi.Sudah dua bulan juga Verdi menjadi kekasih Dinda. Hari-harinya, selalu diisi dengan gurauan yang berhasil mereka buat. Tidak ada satu pun air mata yang jatuh sia-sia dari mata mereka.Mentari pagi datang menampakkan diri, sinarnya pun dapat menembus gorden putih hingga membuat seorang pria yang tengah tertidur lelapkian terbangun.Ia mengerjapkan mata seketika lalu mengecek jam weker yang ada di atas nakas. Mata itu terbelalak saat jam sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Ia langsung bergegas untuk pergi ke kemar mandi, ia buru-buru.Setengah jam kemudian, ia rapi dengan setelan seragam osis yang membalut di tubu
"Maaf, nggak jemput lo tadi."Dinda masih menampakkan senyum lebarnya. Tak ada sedikitpun wajah kecewa yang ia perlihatkan, walaupun sebenarnya rasa itu sudah menyelinap di hatinya saat ini.Bukan apa, hanya saja Dinda juga hampir terlambat karena menunggu Verdi cukup lama, serta ban motor yang kempes semakin membuatnya sial hari ini."Nggak pa-pa kok," katanya dengan senyum yang masih bisa terlihat, "lo, kenapa bisa telat? Tidur jam berapa emang?" lanjutnya sambil menatap spion, ia mendapati wajah Verdi yang juga menatapnya."Kepagian." ucapan itu berhasil membuat satu pukulan ringan melayang di punggungnya. Verdi sedikit kaget akan pukulan itu. Tapi Dinda, ia malah meringis menatapnya dari kaca spion."Gue udah bilang kan, Verdi. Jangan tidur larut malam. Tuh jadinya telat kan, untung kita tinggal nunggu kelulusan, kalau enggak? Dihukum lo." sambungnya dengan
"Din ... Dindaa!" teriak Yustin dengan wajah yang cukup serius. Tangannya terus-terusan mengetuk pintu berwarna cokelat itu tanpa ada henti. Kakinya ia hentakkan cukup malas tetapi bertempo cepat.Merasa pintu itu sudah terbuka lebar, Yustin langsung meraba dan meraih tangan yang berhasil membuka pintu."Ayo Din, buruan. Lo harus tau tentang ini, lo pasti ka,-" ucapnya terpotong saat melihat ke arah belakang. Langkahnya terhenti. Tubuhnya bergidik ngeri. Jantungnya serasa mau copot, bahkan hatinya menciut tak tahan untuk menatapnya balik.Yustin menatap ujung sepatunya seketika, bergumam dan mendapat tatapan.'Pantesan tangannya berbulu' batin Yustin lalu menyungir ke arah Andre. Ia masih takut akan tatapan itu hingga ia kesusahan untuk meneguk salivanya."Bang Andre. Maaf, Bang, aku nggak tau dan nggak sengaja," ralatnya malu. Ia langsung menarik tang
"Mau ngomong apa sih, Ver? Mama jadi makin penasaran." timbas Bu Rere memecah keheningan.Pria itu diam, tak menoleh ke arah Bu Rere maupun Pak Rahmat. Tak ada sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Yang ia perlihatkan hanyalah wajah kaku kemudian berhasil ia tutupi dengan senyum tipis yang kini mengembang di wajahnya. Senyum itu 'palsu'.Dapat dilihat dari raut Verdi yang sedari tadi nampak tidak ada bersemangat. Pikirannya tak dapat rileks seperti biasa. Lamunan itu kembali menghampiri dirinya beberapa saat sebelum ia berbicara."Verdi mau ke kamar, ntar aja kalau sempat, Verdi bicarain sama Mama." balasnya sekilas, lalu beranjak dari tempat duduknya.Tangannya bergerak untuk membenarkan kau
Silih berganti begitu cepat, burung-burung sudah kembali ke alamnya lagi. Dan kini, bergantilah suara jangkrik yang kian berbunyi di balik semak belukar tinggi.Bulan yang hampir mendekati satu lingkaran penuh serta banyaknya bintang sudah bertebaran di langit malam. Malam yang indah.Dinda berada di balkon kamar, menatap kagum langit yang ada di atasnya. Beberapa kali ia tersenyum, menampakkan sedikit lesung pipi dan beberapa kali ia memeluk dirinya sendiri.Terselip sebuah harapan yang begitu besar, seperti halnya ia ingin menapaki bulan di angkasa sana. Suasana hati berubah tak menentu setelah ia menatap benda kecil di tangannya itu."Gue ambil beasiswa ini atau nurutin yang udah ada di sekolah?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mendengus kesal.Tentu saja ia begitu bingung, di lain sisi ia ingin sekali mengambil beasiswa yang sangat membanggakan tentunya, tet
"Bang?" panggil Dinda sama sekali tak mendapat tatapan."Apa?""Apa gue harus ke luar negeri sendiri?" bingung Dinda terus terpikir akan kejadian beberapa minggu lagi."Sama gue juga nggak pa-pa." datar Andre membuat Dinda menungging senyum samar.Dinda semakin mendekatkan dirinya dengan Andre, mengambil jarak kurang lebih satu meter dari tempatnya duduk. "Gue bingung, Bang. Gue takut pilihan gue ini salah. Gue harus gimana dong?""Pikir sendiri." acuh Andre masih menatap layar."Gue tanya beneran ih!" dengus Dinda menyenggol."Sesuai kata ha
Pagi yang cerah? Sama sekali tidak, malah mengingkari ekspektasi malam tadi. Berharap cuaca bersahabat dengan datangnya sang surya di pagi hari.Langit kini kelam karena ditutupi awan mendung yang beberapa menit kemudian bisa diprediksi akan turun hujan.Dan benar, menit berganti menit hujan sudah turun meski tak begitu deras. Hujan mengguyur kota tua. Bisa dirasakan dinginnya pagi ketika suhu tubuh tiba-tiba turun beberapa derajat dari semula.Dinda berkesempatan untuk memakai jaket tebal pemberian Verdi yang mana keduanya memiliki—couple. Ia melenggang ke dapur dengan langkah santai sambil bergumam, niatnya hanya sekadar mengambil secangkir kopi panas buatannya.Pak Arif dan Bu Sella sud