"Itu siapa, Pa? Kok, gandeng Papa?" tanya Aleta yang masih duduk di stroller."Ah, dia ... Tante Meira. Aleta belum kenalan, ya?"Anak itu menggeleng. Aleta memang cukup kritis di usianya. Sebelum sakit, ia sangat banyak bertanya dan keingintahuannya cukup tinggi."Ya udah, nanti Papa kenalin, ya?""Emang dia siapanya Papa? Adik Papa?"Arfan menatap Alya. Ia takut salah menjawab."Aleta, tanya-tanyanya nanti dulu, ya? Kita masuk dulu. Aleta istirahat dulu, oke?" bujuk Alya yang masih belum terpikir untuk memperkenalkan Meira sebagai apa pada Aleta.Arfan kemudian mengambil alih stroller Aleta dari tangan Alya dan mendorongnya masuk."Tante itu yang pernah datang ke rumah Eyang bawa koper, kan, Pa?" tanya Aleta lagi karena masih penasaran."Iya, Aleta masih ingat?"Aleta mengangguk. "Kenapa waktu itu bertengkar sama Eyang?""Bukan bertengkar, Sayang. Kami orang dewasa hanya diskusi.""Kok, Aleta enggak pernah liat Mama ngomong kayak begitu? Mama enggak pernah diskusi?""Kadang-kadang,
Alya menatap wajah Aleta yang tengah tertidur dengan pulas. Wajah pucat yang semakin hari terlihat semakin tirus. Kelopak matanya semakin cekung, kulitnya pun terlihat kering tidak seperti kulit balita pada umumnya. Tentu semua karena efek pengobatan yang tengah Aleta jalani.Dibelainya rambut lembut Aleta. Dada Alya semakin sesak saat memikirkan pada saatnya nanti helaian demi helaian rambut putrinya itu mulai rontok. Sementara selama ini Aleta sangat suka jika rambutnya ditata dengan berbagai tatanan rambut yang lucu khas balita perempuan."Al ...."Alya menoleh saat mendengar panggilan dari Arfan. Ia tidak menyadari kedatangan lelaki itu."Aleta tidur?" lanjut Arfan sembari berjalan mendekati Alya."Iya." Alya kembali menatap wajah putrinya yang tampak damai dalam tidurnya.Arfan meremas lembut bahu Alya sembari ikut menatap putrinya. "Kita makan dulu, yuk! Mumpung Aleta tidur," ajak Arfan.Alya menatap Arfan ragu. Ia tidak pernah membayangkan akan berada dalam satu meja makan deng
"Tuhan, tolong buat Arfan keluar sebentar aja dari kamar itu," harap Alya dalam hati.Entah berapa kali Alya menengok jam dinding yang ada di ruang makan itu. Namun, sudah lebih dari sepuluh menit ia menunggu, tidak ada tanda-tanda Arfan keluar dari kamar Meira."Maafin Mama, Nak," ucap Alya dalam hati saat memutuskan untuk kembali ke kamar."Papa mana, Ma?" tanya Aleta begitu Alya masuk."Papa lagi nyelesaiin kerjaan dulu, Sayang. Nanti kalau udah beres pasti langsung ke sini," dusta Alya."Jam berapa beresnya?""Sayang, dengerin Mama, ya," bujuk Alya dengan lembut sembari membelai rambut Aleta. "Aleta harus ngertiin Papa. Papa sebagai kepala keluarga punya tanggung jawab buat memenuhi kebutuhan kita. Jadi, gimana cara Papa? Caranya yaitu, Papa harus kerja. Biar Papa punya uang, buat memenuhi kebutuhan kita. Udah beberapa hari ini, kan, Papa selalu di rumah sakit nemenin Aleta, jadi pasti sekarang kerjaan Papa banyak. Makanya, sekarang Aleta beri waktu Papa buat nyelesaiin kerjaannya
Begitu Meira keluar, Arfan ikut keluar. Tak mungkin ia membiarkan Aleta hanya demi Meira. Hanya saja Arfan berusaha bersikap baik juga pada Meira, agar perasaan Meira tidak terlalu terluka.Saat dilihat Meira sudah berada di dapur, Arfan bergegas menuju kamar Alya. Ia khawatir putrinya itu terbangun dari tidurnya. Dan yang pasti ia juga ingin melihat Alya, memastikan bahwa bidadarinya itu baik-baik saja.Benar saja, begitu membuka pintu, Arfan melihat mata Aleta masih terbuka lebar."Aleta belum tidur?" tanya Arfan."Belum, Papa. Aleta pingin tidur sama Papa," rengek balita itu sembari beringsut duduk.Arfan langsung mendekat dan mencium puncak kepala putrinya. "Iya, Sayang. Sebentar, ya? Papa keluar dulu mau bikin kopi. Habis itu Papa balik ke sini lagi.""Bener?""Iya, Sayang."Arfan kemudian menatap Alya. "Sebentar, ya, Al. Aku pasti balik ke sini." Diraihnya dagu Alya. Ingin sebenarnya ia mengecup bibir istrinya itu. Namun, Arfan merasa sungkan karena Aleta memperhatikan mereka. A
Sementara Alya di kamarnya sedang video call dengan Bu Fania. Bu Fania bilang, kalau sebenarnya sore tadi ingin datang. Hanya saja ada acara mendadak, sehingga terpaksa menundanya."Aleta tapi betah, kan, di rumah Papa?" tanya Bu Fania pada cucu kesayangannya itu.Aleta yang sedang cemberut karena papanya belum juga kembali ke kamarnya hanya mengangguk."Syukurlah. Besok mau Eyang bawain apa?"Lagi-lagi balita itu menjawab dengan gerakan. Kali ini ia menggelengkan kepala. "Aleta kenapa cemberut gitu?" tanya Bu Fania yang bisa melihat wajah cemberut cucunya di layar ponsel."Papa dari tadi sibuk kerja. Enggak datang-datang ke kamar Aleta," jawabnya."Oh. Habis ini Eyang bilangin Papa." Bu Fania yakin kalau Arfan bukan sedang kerja melainkan sedang bersama Meira."Perempuan itu pasti sengaja membuat Arfan tidak bisa bersama anaknya!" geram Bu Fania dalam hati."Ya udah, Eyang telepon Papa dulu, ya?""Iya, Eyang.""Aleta sekarang tidur, ya! Udah malam ini."Aleta mengangguk lagi."Ya ud
"Fan, jangan, nanti Aleta bangun!" Alya masih berusaha menolak saat Arfan terus menyentuhnya."Enggak," bantah Arfan dengan suara parau."Bukannya udah dikasih sama Meira?"Mendengar itu, Arfan langsung membalik tubuh Alya yang sebelumnya menghadap ke arah Aleta sehingga kini menghadapnya. Lelaki itu menatap mata istrinya dalam-dalam."Apa kamu pikir aku ... seserakah itu?"Alya mengedikkan bahu sembari tersenyum sinis. Api cemburu membuat pikirannya kacau. "Meira istrimu.""Kalau kamu ingin aku enggak nyentuh Meira, aku pastiin enggak akan nyentuh dia, Al."Alya menatap kedua bola mata suaminya. Terlihat Arfan sungguh-sungguh mengatakan itu. Jika Alya menuruti egonya, tentu ia ingin melarang Arfan menyentuh Meira. Hanya saja, bagaimanapun nyerinya hati Alya, kini Meira juga istri Arfan. Dia bukan lagi wanita satu-satunya untuk Arfan."Kamu mau itu?" tanya Arfan saat melihat Alya hanya terdiam menatapnya."Aku ... ingin kamu jadi suami yang baik.""Termasuk pada Meira?"Alya tersenyum
Aroma olahan seafood menguar memenuhi indra penciuman begitu Alya memasuki dapur. Wanita bermata sayu itu tersenyum simpul. Ia ingat betul kalau dulu dirinya dan Arfan memang penyuka makanan ini dan dapur mereka sering dipenuhi aroma ini. Hanya saja, dulu Alya yang memasaknya sendiri. Bukan ART seperti sekarang ini."Eh, Ibu. Selamat pagi," sapa ART dengan rambut dicepol asal tersebut."Pagi, Mbak," sapa Alya. "Masak apa?" tanya Alya basa-basi meski ia bisa melihat ART tersebut sedang memasak udang."Udang, Bu. Tapi Pak Arfan minta dimasakin seafood buat sarapan.""Oh.""Padahal selama ini, Pak Arfan hampir enggak pernah minta dimasakin seafood, loh, Bu. Apa ini makanan kesukaan Ibu?"Alya jadi serba salah mau menjawab apa. Karena ia yakin kalau ART itu pasti punya pikiran buruk terhadap dirinya. Apalagi ART yang belum Alya tahu namanya itu tidak mengetahui kisahnya dengan Arfan dan Meira. Pasti yang ada dalam pikiran ART itu, Alya adalah orang ketiga di antara Arfan dan Meira.ART te
Suasana di ruang makan begitu hening. Hanya terdengar dentingan sendok beradu dengan piring. Arfan, Meira, dan Alya tak satu pun yang berbicara. Ketiganya merasa canggung dan tidak nyaman. Padahal dulu sebelum kondisi seperti ini, mereka bertiga sering makan bersama dengan asyiknya. Namun, sekarang dunia seperti terbalik untuk ketiganya.Dulu mereka akan bercerita apapun saat makan bersama. Terkadang berkeluh-kesah, bercanda, dan apapun yang sedang ada di kepala mereka. Bahkan Alya tidak pernah memedulikan nasehat beberapa teman tentang kedekatan dirinya dan Arfan dengan Meira.Saat ada yang berkata, "Al, enggak ada pertemanan yang benar-benar tulus antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti punya perasaan lebih." Alya selalu membantah itu dengan mengatakan Meira dan Arfan berbeda. Sayangnya, ucapan teman-temannya terbukti. Kini Alya sadar bahwa dulu ia terlalu percaya diri. Ia lupa bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Terlebih hati manusia. Terkadang sekarang se
Lelaki itu tersenyum melihat Alya bisa kembali bahagia. Senyum tanpa beban ternyata bisa kembali terpancar dari wajah Alya. Prima lega melihat itu. Mungkin jika dulu Prima memaksa Alya untuk tetap bersamanya, belum tentu Alya bisa sebahagia sekarang. Prima tahu betul tidak mudah untuk memulai hubungan baru dengan seseorang yang belum sepenuhnya lepas dari masa lalunya. Dan Prima menyadari kalau hati Alya masih terpaku pada sosok Arfan. Meski laki-laki itu pernah menciptakan luka yang demikian dalam di hati Alya.Sebenarnya hari itu Prima berniat untuk menemui Alya. Ia sudah mendatangi kota di mana Alya tinggal untuk mengucapkan selamat tinggal pada perempuan yang pernah menjadi ratu di hatinya. Karena setelah empat tahun dirinya berpisah dengan Alya, pada akhirnya kini ia telah menemukan tambatan hatinya yang baru. Seseorang yang menjadi partner bisnis dan juga partner hidupnya.Namun, ia tidak sampai hati untuk menemui Alya secara langsung. Prima tidak ingin bayangan masa lalu mengo
Setelah dua minggu melahirkan, kondisi Meira sudah pulih. Hanya saja putranya memang belum boleh dibawa pulang karena kondisinya masih harus mendapatkan perawatan di rumah sakit. Pagi itu Meira sedang menikmati roti bakar dengan selai strawberry dan secangkir cokelat panas di teras belakang. Udara pagi di tempat terbuka membuat pikirannya lebih rileks. Pada saat itu mamanya tiba-tiba datang dengan pakaian rapi."Loh, Mama mau ke mana pagi-pagi gini udah rapi?" tanya Meira sembari memperhatikan penampilan mamanya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya terurai dengan dicatok curly. Kemeja berwarna putih dengan kancing berwarna gold dipadu dengan celana panjang warna milo. Mama Meira memang tidak tampak menua. Sehingga saat bersama Meira di tempat umum, banyak orang mengira kalau mereka kakak beradik. Terlebih penampilan Bu Henela sangat fashionable.Bu Helena tidak langsung menjawab. Ia duduk di kursi tepat sebelah meja yang berada di sisi kiri Meira. Wanita itu menatap putrin
Meski pasrah, jauh di dalam lubuk hati Meira yang paling dalam, ia berharap jika Emir mau bertanggung jawab atas anak yang telah dilahirkannya. Karena sekarang semua orang sudah tahu kalau bayi itu bukan anak Arfa, jadi Meira merasa tidak punya tameng lagi untuk melindungi masa depan putranya.Jika semua tidak terungkap Meira merasa aman karena orang lain akan menganggap bayi itu adalah anak Arfan. Namun, sekarang semua berbeda. Meira yakin kalau mantan mama mertuanya tidak akan bisa diam saat mengetahui kenyataan kalau bayi yang dilahirkan Meira bukanlah cucunya.Setelah menunggu hampir satu jam, Emir akhirnya tiba di kamar rawat Meira. Lelaki itu awalnya mengira Meira sakit, karena semenjak peristiwa itu, ia tak berani mencari informasi tentang Meira. Ia tahu yang telah dilakukannya bersama Meira salah. Dan ia harap, hal itu tidak akan berpengaruh terhadap pernikahan Meira meski dulu ia mengharapkan Meira."Duduk dulu, Mir!" titah papa Meira sembari menekan-nekan buku-buku jemarinya
"Maksud kalian apa minta Arfan tes DNA?"Semua orang yang ada ruang rawat Meira menoleh ke arah pintu. Tampak Bu Fania dan Pak Arya sudah berdiri dengan wajah tegang. Kontan Meira dan kedua orang tuanya panik melihat itu."Kenapa diam?" tanya Bu Fania lagi. Wanita itu menatap geram ke arah putranya. Kemudian kembali bertanya sembari berjalan cepat ke arah Arfan. "Kamu nyembunyiin sesuatu dari Mama, Fan?"Arfan yang tidak menyangka sama sekali kedua orang tuanya akan datang, tidak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa kosong sehingga dia tidak bisa menjawab pertanyaan mamanya.Sementara Meira yang kondisinya belum sepenuhnya membaik, sangat tersiksa dengan keadaan ini. Ia ingin berlari sejauh mungkin dari situasi itu. Ia tidak cukup punya muka jika sampai mantan mertuanya tahu kalau dirinya pernah melakukan kesalahan fatal."Ya." Semua menoleh ke arah papa Meira kecuali Meira yang menundukkan kepala. Laki-laki yang berdiri di samping kiri bed Meira kini menjadi pusat perhatian."Saya
Meira dan Arfan berjalan beriringan keluar dari ruang sidang. Sengaja Meira tidak mengizinkan kedua orang tuanya ikut masuk ke ruangan. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya menyaksikan detik-detik kehancuran hidupnya.Perceraian Arfan dan Meira berjalan lancar dengan sebuah kesepakatan. Meira mau bercerai dengan Arfan asal kekhilafannya Arfan rahasiakan dari keluarga besar mereka. Tentu buat Arfan itu tidak jadi masalah. Terlebih laki-laki itu sudah bertekad walaupun anak yang dikandung Meira bukan anaknya, ia akan tetap bertanggung jawab sebagai papanya. Karena anak itu ada ketika Meira masih menjadi istrinya.Pada persidangan mereka yang terakhir tadi, Arfan membacakan ikrar talak dengan suara bergetar. Bagaimanapun Meira pernah menjadi bagian dari hidupnya. Sehingga saat menyadari dengan ucapan talak itu semua akan berakhir dan berubah, dada Arfan terasa nyeri. Begitupun dengan Meira. Ia tidak kuasa menahan agar buliran bening tidak berjatuhan dari pelupuk matanya. Dadanya sa
"F-Fan, du-duduk dulu, Fan." Bu Helena beranjak dari ranjang untuk mendekati menantunya yang masih berdiri di ambang pintu. Dipegangnya lengan Arfan yang sangat tegang. "Kita bicarakan ini baik-baik, ya! Mama juga baru tahu, Fan. Ayo!"Arfan menurut saja saat mama mertuanya menuntun ke sofa kamar Meira. Sesaat otak Arfan memang seperti kosong setelah sebelumnya terasa seperti tersengat listrik dengan tegangan yang sangat tinggi.Sementara Meira masih mematung di ranjangnya. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Arfan ternyata datang dan mendengarkan pembicaraannya dengan sang mama."Mei, duduk sini! Kita bicarakan semua baik-baik!" titah Bu Helena pada putrinya.Meira tak langsung beranjak. Sesaat ia menatap Arfan. Meski dari posisinya ia hanya bisa melihat bagian belakang kepala Arfan. Meira menghela napas kasar. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana raut wajah Arfan saat ini."Mei! Apa perlu Mama jemput?" Bu Helena berusaha tenang meski sebenarnya ingin meneriaki putrinya
[Sayang, mau aku bawain makanan apa?] Arfan mengirim pesan tersebut sekaligus pada dua nomor di daftar kontak ponselnya. Nomor Alya dan Meira. Bagaimanapun perasaan Arfan saat ini, ia tidak bisa lagi mengelak untuk tidak memberikan perhatian pada Meira. Sama seperti Alya. Selisih kehamilan Alya dan Meira kurang lebih tiga bulan karena program bayi tabung Alya dan Arfan terhitung cukup lancar. Dua istri hamil bersamaan tentu membuat Arfan harus sering bolak-balik ke rumah kedua istrinya itu. Hanya saja yang membuat Arfan sedikit lega, Meira tak semanja dan semerepotkan dugaannya. Perempuan yang sebelumnya selalu banyak menuntut dan manja itu justru berubah lebih kalem dan tak banyak menuntut. Arfan pikir itu pengaruh bayi yang ada dalam rahim Meira.[Enggak usah, aku udah makan sama Mama.] Meira terlebih dahulu membalas pesan Arfan. Di awal-awal perubahan sikap Meira yang terkesan menghindar, sebagai laki-laki yang bertekad untuk memperbaiki sikap, Arfan cukup tersinggung. Namun, me
Kabar kehamilan Meira disambut hangat oleh keluarga besar Arfan dan juga keluarga besar Meira. Mereka mengadakan pesta dalam rangka tasyakuran atas kehamilan yang sudah dinanti lima tahun lamanya. Hal itu tentu membuat Alya ingin menghilang untuk sementara waktu.Alya belum punya nyali untuk menghadapi keluarga besar Arfan dan Meira dengan status istri kedua. Saat menjadi istri satu-satunya Arfan saja Alya tidak dianggap, apalagi saat ini."Fan, boleh enggak besok aku ... di rumah aja?" tanya Alya saat ia dan Arfan selesai makan malam.Dahi Arfan mengernyit. Awalnya ia tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Alya. Namun, sejurus kemudian ia paham.Disingkirkannya piring bekas makan yang ada dihadapannya. Kemudian, diambilnya jemari Alya yang sedang menangkup gelas panjang berisi air putih."Kalau kamu enggak siap, enggak usah datang enggak apa-apa," jawab Arfan dengan lembut. Ia pun masih trauma mengingat peristiwa lima tahun yang lalu saat Alya dituduh mencuri. Ia tidak ingin hal
Alya termenung menatap permukaan kolam renang yang tenang. Pantulan cahayanya berkilauan membuat Alya betah berlama-lama duduk di situ. Alya masih ingat betul, dulu sering sekali ia habisnya waktu bersama Arfan di tempat itu. Bercerita apapun sampai mereka lupa waktu.Sesederhana itu bahagia bagi mereka dulu. Meski kehadiran Alya tidak diterima dengan baik oleh keluarga Arfan.Alya tersenyum miris. Terkadang hidup memang selucu itu. Sekarang di saat seluruh keluarga besar Arfan bisa menerimanya dengan tangan terbuka justru saat ini ia tidak bahagia. Apalagi sebabnya kalau bukan karena dirinya kini harus berbagi cinta.Sudah tiga malam Arfan menginap di rumah Meira. Sebenarnya Alya ingin sekali menghubungi laki-laki itu karena besok jadwal mereka cek ke dokter untuk program bayi tabung. Hanya saja, ia tidak mau mengganggu waktu Arfan bersama Meira.Entah sudah berapa kali Alya mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan dari Arfan, tetapi tidak ada aktivitas apapun pada benda di