Kisah Danan, Gita dan Yasa tamat sampai di sini. selanjutnya bersambung ke kisah cinta Ananta (anak dari Danan dan Gita). Dengan tiga tokoh utamanya yaitu Ananta, Tezza dan Alfa
Hari itu, seharusnya Ananta Heryawan menjadi wanita yang paling berbahagia, tetapi semuanya berubah di saat-saat terakhir. Bahtera pernikahan yang sudah menepi dan hanya tinggal satu langkah lagi ia arungi, mendadak kembali terbang menjauh. Namun, seperti pepatah yang sudah kerap kali ia dengar, manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menentukan. Kalau Tuhan bilang belum saatnya, ia bisa apa? Sekuat apa pun digenggam kalau itu belum rezeki, ya, nggak akan pernah dapat. Jarum pendek yang terpasang di dinding sudah menapak di angka sebelas, tetapi sosok yang gadis itu tunggu bagai hilang ditelan bumi. “Mana Mas Alfa, Mba? Katanya mau datang. Kita udah nunggu sejam lebih, nih,” keluh Abqo, adik laki-lakinya. Pemuda itu mendatangi Ananta yang sedang duduk gelisah di dalam kamar. “Tunggu sebentar lagi ya, Dek. Mba juga nggak tahu. Biasanya dia nggak pernah terlambat gini.”“Mba udah hubungin dia? Atau Mba mau aku jemput dia ke rumahnya?”“Ga usah, Dek. Nanti yang nemenin Ibu ngobro
"Hai, Beib. Lagi apa? Kangen, deh,” sapa suara pria di ujung telepon.“Lagi dandan, Beib. Satu jam lagi, kan, kita mau ketemu,” jawab Ananta dengan suara manja.“Duh, pasti cantik banget, ni, calon istri aku. Jadi nggak sabar pengen cepet-cepet jam sepuluh.”Salah satu rayuan gombal yang keluar dari mulut Alfa dan selalu berhasil membuat jantung Ananta berdegup kencang. Padahal gadis itu tahu Alfa hanya gombal. Yah, namanya juga sedang cinta-cintanya. Apapun yang dikatakan oleh pasangan, pasti bikin dag-dig-dug. Alfa dan Ananta belum lama menjalin hubungan, baru sekitar enam bulan yang lalu. Pertemuan pertama mereka terjadi di salah satu gedung perkantoran di kawasan Jakarta Pusat, waktu sedang sama-sama melamar pekerjaan di sebuah media cetak nasional. Meski ayahnya adalah seorang CEO Prisma grup, Ananta tidak ingin bergantung pada kekayaan sang ayah. Waktu itu, Ananta yang sedang duduk sendiri karena tengah sibuk mengisi formulir biodata, tiba-tiba disapa oleh seseorang yang tidak
Setelah Tezza selesai menceritakan kisah masa lalunya bersama dengan sang istri, hati Ananta seperti dihinggapi butiran salju yang begitu menyejukkan. Kesetiaan seorang Tezza membuatnya sedikit terpana. Ternyata zaman sekarang masih ada laki-laki yang begitu setia seperti Tezza. Buktinya sampai sekarang ia masih menduda. Padahal, nih, pasti banyak tante-tante yang udah ngantri sepanjang jalan hanya untuk menarik perhatian duda keren di depan Ananta itu. "Baiklah. Sebelumya ibu ucapkan terima kasih atas lamaran Nak Tezza kepada Ananta. Tetapi maaf, sepertinya Ananta tidak ...." jawab Gita sambil melirik putrinya. "Tunggu, Bu," ujar Ananta cepat memotong kalimat Gita. Sontak, pandangan mata semua yang hadir di sana mengarah tepat ke arah Ananta. Ia menghirup napas dalam-dalam, menahannya sebentar lalu mengempaskannya kasar. "Ananta, ada yang mau kamu sampaikan, Nak?" Gita berkata dengan raut wajah penuh pertanyaan. Namun, senyuman seakan enggan turun dari paras cantiknya. Ia seaka
Malam itu hujan turun helai demi helai, membentuk sebuah coretan tipis di kaca jendela. Disusul gemuruh dengan suara teredam nan lantas dilepaskan dalam bentuk nyanyian yang terdengar di telinga seperti lagu paling merdu. Itulah yang membuat hujan selalu mampu menimbulkan rasa tenang bagi setiap orang. Tiap tetesnya adalah energi yang memberi kenyamanan pada tubuh. Kenyamanan tanpa syarat.Sudah hampir satu jam mata Ananta hanya memandangi jendela kamar sampai tetesan hujan berhenti menoreh corak di sana. Sembari membolak-balikan tubuh ke kanan-kiri di atas ranjang dan diiringi alunan lagu-lagu lawas milik band SO7, ia terus memikirkan syarat apa yang harus diberikan ke Tezza agar dia gagal. Yah, harus gagal. Karena kalau berhasil, bisa gawat nanti. Masak dia jadi ibu tirinya Alfa? "Dih, dasar labil kamu, Sha. Tadi katanya mau nerima Om Tezza biar bisa balas dendam ke Alfa. Sekarang bilang nggak mau," ujar sebuah suara di kepalanya. "Memang tadinya aku berencana seperti itu. Tapi pa
"Jadi, Mba mau syarat apa dari Om itu?"Ananta menggeleng pelan. "Belum tahu, Dek. Belum ada ide.""Mba, Mba. Aku tahu, kamu kemarin cuma asal aja kan mau kasih syarat ke dia. Jujur sama aku. Mba sebenernya nolak, kan? Cuma karena nggak enak sama ibu jadi Mba berkilah pake syarat segala, deh."Kepala Ananta mengangguk cepat. Lagi-lagi Abqo bisa mengerti maksud dari kakaknya itu. "Yah, Dek, Mba kan baru aja ditinggalin sama Alfa, mana mungkin secepat itu langsung membuka hati untuk orang lain. Yang jelas, kemarin itu Mba mau bikin ibu seneng dulu aja."Waktu sudah menunjukkan tepat jam dua belas malam, tetapi mata Ananta malah semakin gemilang. Banyak sekali pikiran yang memenuhi rongga kepalanya sehingga sulit untuk dibuat berbaring. Jika bisa dilepaskan kepalanya barang sesaat, pasti akan ia lakukan, tetapi mana mungkin? Hingga detik itu ia tidak tahu rencana apa yang akan ditempuh demi gagalnya rencana Tezza memperistrinya, sedangkan tenggat waktu yang Gita berikan hanya kurang da
Di tengah harapan agar terjadi keajaiban yang bisa membuat pernikahan Ananta dengan Tezza batal, di ruang depan, Abqo sudah mengucapkan kalimat ijab dan akhirnya mengalirlah kalimat sakral itu dari mulut Tezza. Tak lama kemudian disusul dengan seruan kata sah dan hamdalah dari para tamu yang hadir. Pupuslah sudah harapan Ananta. Sekarang statusnya udah jadi istri orang. Namun, tiba-tiba terdengar suara keras Abqo di depan pintu kamarnya. "Mba Ananta! Bangun! Udah subuh!"Loh, Abqo kenapa menggedor-gedor kamarku? Bukannya tadi dia lagi jadi wali nikahku? Ananta melindur. "Mbaaa! Bangun! Nanti subuhnya kesiangan lagi!"Ha? Subuh? Sontak, mata Ananta terbuka lebar dan langsung terduduk. Ia melihat jam di dinding menunjukkan pukul 04.30 dini hari. Dan ia masih mengenakan piyama! Lekas ia berdiri lalu membukakan pintu untuk adiknya. "Aaah, Dek, makasi, ya, udah nyelamatin Mba, " ujarnya seraya memeluk erat Abqo yang tentu saja membuat pemuda di depannya itu risih. "Ih, apaan, sih! Le
Saat nama Alfa kembali menyapa pendengaran Ananta, frekuensi detak jantungnya kembali meningkat dan dadanya pelan-pelan mulai memanas. "Jadi cowok PHP itu udah tahu, kalau aku mau jadi ibu tirinya? Dan dia nggak ada tanggapan sama sekali gitu tentang itu? Jadi dia bener-bener udah nggak peduli sama aku?" Begitu isi pikiran gadis itu. "Alfa ... nanyain Ananta nggak, Om?" Tanpa sadar kalimat itu meluncur keluar dari mulut Ananta, yang tentu saja langsung mendapat pandangan curiga dari Abqo dan juga Gita. "Eh, maksud Ananta."Anehnya, Tezza malah tersenyum. Mungkin ia merasa wajar atas pertanyaan calon istrinya tadi. Ananta, kan, pernah menjalin hubungan dengan puteranya, meski tidak lama. "Maaf, ya, Dek Ananta, tapi Alfa sama sekali nggak nanyain tentang kamu. Mungkin dia masih sibuk ngurusin soal pendaftaran kuliahnya di sana.""Oh."***Menjelang hari pernikahan Ananta dengan Tezza yang semakin dekat, Gita dan Abqo malah menyuruh Ananta untuk lebih fokus menyelesaikan skripsi agar
Pov AnantaPandangan ibu mengarah tajam padaku seolah-olah ingin melahapku dalam sekali tatap. "Ananta, jangan bilang kalau itu adalah salah satu usaha kamu buat menghindar dari pernikahan ini, ya?""Ibu, kok, ngomongnya gitu, sih? Ananta nggak bohong, Bu. Beneran, kok. Kemarin sore Ananta benar-benar lihat Om Tezza lagi berduaan sama ibu-ibu di toko perlengkapan bayi. Mereka, tuh, udah kayak pasangan yang berbahagia gitu, Bu.""Jangan-jangan itu istrinya, Mba? Tapi, kan, katanya istrinya udah meninggal. Dia bohong kali, Mba." Abqo ikut menanggapi."Abqo, kamu, kok, malah ikutan manas-manasin mbamu, sih! Harusnya kamu itu nasihatin kakak kamu, biar pikirannya nggak melantur ke mana-mana.""Bukannya gitu, Bu, Jujur sebenarnya Abqo itu masih ragu sama Om Tezza. Entah kenapa.""Yah, ragu, kan, harus ada alasannnya, Qo. Masak ujug-ujug ragu. Aneh, deh kamu." Abqo terdiam sambil melirik sekilas ke arahku."Mungkin karena kita belom kenal aja kali sama Nak Tezza. Kalau udah kenal nanti j
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku