"Menikahlah denganku maka semua ini akan menjadi milikmu lagi."
Aku menggeleng cepat. "Aku ga perlu semua ini, yang aku butuhkan cuma kakek! Dan kamu udah ga bisa ngembaliin kakek ke hidupku lagi!" Mataku mulai berembun. Rasa rinduku pada kakek mendadak muncul.Prabu mendekat, tangannya bermaksud meraih tubuhku, tapi sepertinya ia urung melakukannya lebih dari sekedar mengenggam tanganku. "Cin, biarkan aku yang menjadi pengganti kakek di hidupmu. Aku janji aku akan menjaga dan membahagiakanmu hingga akhir."Mataku membelalak mendengar kalimat Prabu tadi. Dia itu serius atau apa, sih? Apa dia tidak memikirkan bagaimana sikap Tante Nirmala padaku?"Aku serius, Cin. Soal mama kamu ga usah khawatir, aku akan membujuknya pelan-pelan. Dia pasti akan menerimamu," ucapnya lagi seakan mengerti apa yang menjadi pikiranku."Maaf, aku ga bisa. Kakek memintaku untuk menikah dengan Raja. Kamu tau itu, kan? Itu adalah permint"Jadi, kapan rencananya Tuan Raja akan melamar Nona Cinde secara resmi?""Saya si maunya secepatnya, Sykar, Ntar malem juga ayuk. Tergantung Cindenya aja, dia maunya dilamar kapan?" Raja memandang lekat ke arahku. "Aku ... terserah sama Om Asykar aja baiknya gimana." Sepeninggal kakek, Om Asykar, lah, satu-satunya orang yang kuanggap dapat menggantikan posisi kakek. Terlebih ia juga diamanahi kakek untuk menjagaku. "Kalau begitu, bagaimana kalau malam ini kita makan malam di rumah buat ngebicarain masalah ini? Biar saya yang kasih tau papa. Papa pasti setuju. Gimana, Cinde, lo setuju, kan?" tanya Raja padaku dan Om AsykarAku mengangguk. Begitu pula dengan Om Asykar yang menyetujui usul Raja. ***"Om senang sekali, sebentar lagi kita bisa jadi satu keluarga, Cinde. Om ga sabar ingin segera menimang cucu," ujar Om Heryawan di tengah aktivitas makan malam kami hingga membuatku sedikit tersedak.
Selamat membaca...***"Prabu? Kenapa ke sini?" "Aku hanya ingin bicara. Sebentar saja. Tolong.""Tapi...." Semua orang di sekitarku kini sudah memandang dengan pandangan mata yang terlihat penuh pertanyaan. "Cinde, siapa dia?" tanya Tante Margareth, tante dari Raja. "Kenalkan, ini Prabu, Tante. Dia juga cucu dari Kakek Sultan." Prabu lalu menyalami Tante Marrgareth. "Cinde, cepat! Kita harus segera memasuki aula karena akad nikah sesaat lagi akan segera dimulai." kali ini Tante Siska, tante yang lain dari Raja, ikut bicara. Ia nampak kurang suka dengan kehadiran Prabu di sini. Aku mengangguk pelan ke arah Tante Siska. "Maaf, aku ga bisa. Lagi pula urusan di antara kita sudah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan," tegasku pada Prabu. Kembali kuayun kaki, tapi Prabu kembali menahan dengan menarik lenganku
Selamat Membaca***Raut keterkejutan di wajah Kak Drew berlanjut sampai selesai acara. Ia terus menatapku tajam dengan mata kucingnya. Bahkan ia sampai tidak mencoba mencicipi sajian aneka makanan lezat yang sudah tersedia. "Itu siapa, Wife? Kalau ga salah dia itu resepsionis di Hotel Sultan, kan?" tanya Raja yang juga menyadari perhatian Kak Drew pada kami. Aku mengangguk pelan. "Itu kakak angkatku, Kak Drewnella. Dulu aku pernah tinggal bersamanya selama tiga tahun.""Kayaknya hubungan kalian nggak baik, ya? Tuh, liat aja cara dia ngeliatin kamu. Matanya hampir keluar seakan ingin menelanmu dalam sekali tatap." Raja tertawa. "Ya, begitulah. Kak Drew adalah orang yang menyebabkanku diusir dari rumah ibu angkatku.""Oh, ya?" Raja mengernyit. Karena terlalu fokus memperhatikan Kak Drew, kami berdua sampai tidak menyadari kalau seseorang telah hadir di dekat pelaminan. Seorang wanita berusia lima puluhan tahun, bergaya kelas atas berpenampilan anggun. Lagaknya angkuh dengan mengan
Selamat Membaca "Wife, hari ini jadi mau ke hotel?" tanya Raja sambil berbaring di atas ranjang. Sedari tadi, pandangan matanya terus saja memperhatikan semua gerak-gerikku. Aku mengangguk cepat sambil mematut diri di depan cermin. Hari ini adalah hari ke tujuh pasca menikah dengan Raja. Setelah pulang dari New York dua hari yang lalu, setelah kami berbulan madu, aku memang mengatakan pada Raja ingin segera kembali ke hotel untuk bekerja, karena tidak ingin terlalu lama mengabaikan perintah Kakek untuk memimpin hotel kami lagi. Semakin cepat kembali bekerja di sana, semakin cepat aku bisa belajar dari Prabu tentang bagaimana cara memimpin hotel. Semoga saja dia masih mau mengajariku. Degup jantungku perlahan mengalami percepatan saat teringat pada sosok pria yang dulu sempat mengisi hatiku itu. Cinde, ingat lupakan dia. Sekarang kamu sudah jadi istri seorang Raja Heryawan. Tanpa sadar kepalaku mengangguk yakin. "Aku ikut, ya?" Raja tiba-tiba bangkit dari tempat tidur dan memelukk
Apa? Aku dan Prabu akan berada di ruangan yang sama selama berjam-jam lamanya? "Eits, ga bisa. Gue sebagai suami ibu komisaris yang cantik ini ga mengizinkan. Coba tolong lo siapin ruangan khusus buat dia.""Siapa lo berani-beraninya nyuruh gue!" geram Prabu. Sambil menggerutu, ia menuntun kami menuju ruangannya. Tak lupa ia meminta sekretaris pribadinya untuk menjamu kami. "Ruangan untuknya sedang direnovasi dan belum bisa digunakan. Dia tidak memberitahuku kalau akan mulai bekerja hari ini." Prabu bicara seraya menunjukku dengan dagu. Pandangan matanya berhenti beberapa lama di wajahku. "Berapa lama?" tanya Raja mengalihkan mata Prabu. "Mungkin besok sudah selesai.""Ga apa, Mas. Aku sementara di sini aja dulu, sampai ruangannya selesai diperbaiki.""Ya udah, Wife. Hari ini kamu ga usah masuk kantor dulu. Besok aja kita datang lagi setelah ruanganmu siap," ujar Raja tidak menghira
"Heh upik abu, udah nikah masih aja kegenitan sama Pangeran!Ucapan Kak Drew barusan sukses membuat wajahku memerah sewarna cherry. Bisa-bisanya Kak Drew menganggapku seperti itu langsung di depan Pangeran."Cinde ga kegenitan, kok, Kak. Kami cuma ngobrol biasa.""Iya, Drew. Cinde bener. Lagian lo ini, dari dulu sampai sekarang, kenapa sikap ketusnya ga bisa berubah si? Tuh, lihat Cinde, sikapnya lembut, baik, ramah sama siapapun.""Apa maksud, Lo? Lo mau banding-bandingin gue sama si Cinde!" Kak Drew tampak semakin kesal pada Mas Pange. "Kak, udah deh, ibu tu lagi operasi. Bukannya berdoa malah bikin keributan. Lagian kita itu harusnya berterima kasih sama Cinde. Kalau ga ada dia, mungkin operasi ibu ga akan bisa dilaksanakan secepat ini," imbuh Kak Barbetta yang sedari tadi nampak cemas. Kuperhatikan ia sudah mondar-mandir di depan pintu ruang operasi lebih dari lima kali. "Maksud, Lo,
Kepergian Prabu yang begitu mendadak, ditambah dengan perubahan raut wajahnya yang tak seperti biasa membuatku berpikir. Apa terjadi sesuatu pada Tante Nirmala? Kenapa Prabu nampak panik begitu tadi? Kucoba untuk tetap berkonsentrasi menyelesaikan apa yang tadi sudah Prabu ajarkan. Walau bagaimanapun, hotel ini juga butuh perhatian besar. Denting lonceng jam raksasa yang berdiri di sudut ruangan berbunyi sebanyak tujuh belas kali. Sudah pukul lima sore, gak terasa. Ternyata mempelajari sesuatu yang baru itu membuat waktu terasa cepat berlalu.Lampu indikator di ponselku berkelip cepat. "Wife, kamu udah selesai kerja? Aku jemput sekarang, ya?""Iya, baru aja selesai." Tanpa menunggu lama segera kubalas pesan dari Raja. "Tunggu ya, aku otw dari kantor." Balas Raja lagi. Sambil menunggu Raja datang, kurapikan berkas yang berantakan di atas meja, kemudian menon-aktifkan kembali laptop dan
Mendengar kalimat yang baru saja Om Kaisar ucapkan, Prabu seketika pias. Wajahnya memerah seraya dengan cepat menghampiri Om Kaisar. Di sisi kananku, Raja pun menampilkan raut wajah yang penuh dengan kebingungan. Garis-garis halus di dahinya mendadak muncul dan kedua alisnya bergerak merapat. "Pa, itu, kan, dulu, waktu Prabu masih kecil. Sekarang Cinde sudah bersuamikan orang lain.""Iya, sih, kau benar. Masalahnya papa pikir, kalau kata-katamu pada Arjuna dulu itu akan menjadi kenyataan.""Maksud Om apa? Memangnya apa yang pernah Prabu katakan pada Ayah?"Om Kaisar tersenyum. Lebih tepatnya ia tertawa. Ia lalu berjalan ke arah taman dan mengajak kami semua untuk berkumpul di tempat yang biasa menjadi favorit kakek itu."Jadi Cinde, dulu itu waktu Prabu kecil, dia pernah bilang, kalau anaknya Arjuna itu perempuan, maka ia yang akan menjadi suaminya."Wajah Prabu memerah lagi. "Tapi ya, mau bagaimana lagi, sekarang kau sudah jadi istri orang lain. Ternyata kalian tidak berjodoh."***
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku