Apa? Aku dan Prabu akan berada di ruangan yang sama selama berjam-jam lamanya?
"Eits, ga bisa. Gue sebagai suami ibu komisaris yang cantik ini ga mengizinkan. Coba tolong lo siapin ruangan khusus buat dia.""Siapa lo berani-beraninya nyuruh gue!" geram Prabu. Sambil menggerutu, ia menuntun kami menuju ruangannya. Tak lupa ia meminta sekretaris pribadinya untuk menjamu kami."Ruangan untuknya sedang direnovasi dan belum bisa digunakan. Dia tidak memberitahuku kalau akan mulai bekerja hari ini." Prabu bicara seraya menunjukku dengan dagu. Pandangan matanya berhenti beberapa lama di wajahku."Berapa lama?" tanya Raja mengalihkan mata Prabu."Mungkin besok sudah selesai.""Ga apa, Mas. Aku sementara di sini aja dulu, sampai ruangannya selesai diperbaiki.""Ya udah, Wife. Hari ini kamu ga usah masuk kantor dulu. Besok aja kita datang lagi setelah ruanganmu siap," ujar Raja tidak menghira"Heh upik abu, udah nikah masih aja kegenitan sama Pangeran!Ucapan Kak Drew barusan sukses membuat wajahku memerah sewarna cherry. Bisa-bisanya Kak Drew menganggapku seperti itu langsung di depan Pangeran."Cinde ga kegenitan, kok, Kak. Kami cuma ngobrol biasa.""Iya, Drew. Cinde bener. Lagian lo ini, dari dulu sampai sekarang, kenapa sikap ketusnya ga bisa berubah si? Tuh, lihat Cinde, sikapnya lembut, baik, ramah sama siapapun.""Apa maksud, Lo? Lo mau banding-bandingin gue sama si Cinde!" Kak Drew tampak semakin kesal pada Mas Pange. "Kak, udah deh, ibu tu lagi operasi. Bukannya berdoa malah bikin keributan. Lagian kita itu harusnya berterima kasih sama Cinde. Kalau ga ada dia, mungkin operasi ibu ga akan bisa dilaksanakan secepat ini," imbuh Kak Barbetta yang sedari tadi nampak cemas. Kuperhatikan ia sudah mondar-mandir di depan pintu ruang operasi lebih dari lima kali. "Maksud, Lo,
Kepergian Prabu yang begitu mendadak, ditambah dengan perubahan raut wajahnya yang tak seperti biasa membuatku berpikir. Apa terjadi sesuatu pada Tante Nirmala? Kenapa Prabu nampak panik begitu tadi? Kucoba untuk tetap berkonsentrasi menyelesaikan apa yang tadi sudah Prabu ajarkan. Walau bagaimanapun, hotel ini juga butuh perhatian besar. Denting lonceng jam raksasa yang berdiri di sudut ruangan berbunyi sebanyak tujuh belas kali. Sudah pukul lima sore, gak terasa. Ternyata mempelajari sesuatu yang baru itu membuat waktu terasa cepat berlalu.Lampu indikator di ponselku berkelip cepat. "Wife, kamu udah selesai kerja? Aku jemput sekarang, ya?""Iya, baru aja selesai." Tanpa menunggu lama segera kubalas pesan dari Raja. "Tunggu ya, aku otw dari kantor." Balas Raja lagi. Sambil menunggu Raja datang, kurapikan berkas yang berantakan di atas meja, kemudian menon-aktifkan kembali laptop dan
Mendengar kalimat yang baru saja Om Kaisar ucapkan, Prabu seketika pias. Wajahnya memerah seraya dengan cepat menghampiri Om Kaisar. Di sisi kananku, Raja pun menampilkan raut wajah yang penuh dengan kebingungan. Garis-garis halus di dahinya mendadak muncul dan kedua alisnya bergerak merapat. "Pa, itu, kan, dulu, waktu Prabu masih kecil. Sekarang Cinde sudah bersuamikan orang lain.""Iya, sih, kau benar. Masalahnya papa pikir, kalau kata-katamu pada Arjuna dulu itu akan menjadi kenyataan.""Maksud Om apa? Memangnya apa yang pernah Prabu katakan pada Ayah?"Om Kaisar tersenyum. Lebih tepatnya ia tertawa. Ia lalu berjalan ke arah taman dan mengajak kami semua untuk berkumpul di tempat yang biasa menjadi favorit kakek itu."Jadi Cinde, dulu itu waktu Prabu kecil, dia pernah bilang, kalau anaknya Arjuna itu perempuan, maka ia yang akan menjadi suaminya."Wajah Prabu memerah lagi. "Tapi ya, mau bagaimana lagi, sekarang kau sudah jadi istri orang lain. Ternyata kalian tidak berjodoh."***
“Pak Danan, bagaimana rasanya akan menjadi pemimpin salah satu perusahaan terbesar di Indonesia?” Seorang wartawan bertanda pengenal menit.com bergerak cepat menyejajari langkah Danan yang baru keluar dari BMW putihnya. “Saya merasa senang sekaligus tertantang," ucap Danan dengan senyum terkembang. Kameraman pun fokus mengambil gambar cucu kedua dari pemilik PT. Prisma grup itu. “Apa anda yakin di usia semuda ini akan mampu mempertahankan prestasi yang sudah diraih oleh kakek anda?”“Kita lihat nanti, ya. Yang jelas saya nggak akan menghancurkan kepercayaan Kakek. ” Tak lama kemudian ponsel Danan berbunyi. Nama Ferdi, asisten pribadi kakeknya, tampak dilayar iPhone 14nya."Pertanyaan terakhir, Pak. Apa anda akan segera menikah?"Danan hening sesaat sebelum menjawab, "Doakan saja, kalau tidak ada halangan rencananya tahun ini saya akan menikah." Danan mengakhiri wawancara setelah menjawab panggilan telepon yang menyuruhnya lekas naik. "Terima kasih teman-teman, maaf tidak bisa lama-l
“Papa.” Anak perempuan bermata lentik menarik lengan jas Danan hingga membuat pemuda itu terkejut. Apalagi di depan tunangannya yang memandanginya dengan alis meninggi. “Beb, siapa dia?” ucap Audi, wanita bertubuh bak gitar Spanyol yang membuat semua mata pria di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, ingin keluar dari liangnya. Danan mengendikkan bahu. “Nggak tahu, anak nyasar sepertinya.” Danan berusaha melepas lengannya. Namun, Ananta malah memeganginya semakin kuat. Bahkan, ia juga berteriak kencang. “Papa jahat!” Ia meraung hingga membuat semua mata memandangi mereka bertiga. Perlahan orang-orang mulai seperti semut di sekitar gula-gula.Danan menghela napas dalam lalu merendahkan tubuhnya. Dari dekat, Ananta lebih terlihat mempesona. Dengan mata almond beriris cokelat tajam dan telinga caplang. Danan merenung sebentar. “Anak ini memang mirip denganku, tapi siapa dia?” Danan memicingkan mata sebelum memulai bicara kembali. “Nak, aku bukan papamu! Aku belum menikah. Kamu pasti sa
“Kepada Yth. Bapak Danan di tempat.Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri. Saya Kinasih, ibu dari Gita, gadis yang pernah anda kenal. Saya juga minta maaf kalau saya lancang sudah mengirim Ananta kepada Anda dengan cara seperti ini. Tapi saya tidak punya pilihan. Karena jika surat ini sampai ke tangan Anda, itu artinya saya sudah tidak ada lagi di dunia ini. Saya hanya tidak ingin membuat cucu saya satu-satunya hidup sebatang kara. Itu saja. Tanpa ibu dan juga tanpa ayah. Kasihan dia, Pak. Ananta masih sangat kecil. Sedangkan Gita sampai kini nggak tahu ada di mana.Pak Danan yang terhormat,Saya yakin anda pasti sangat terkejut mengetahui kenyataan jika anda sudah memiliki seorang putri. Dan itu adalah anak dari Gita. Gadis yang pernah anda benci karena anda anggap sudah menjebak anda. Gita sudah menceritakan semuanya pada saya, Pak. Setelah kejadian itu dia histeris, dia menyesal telah melakukan semua itu pada Bapak. Dia pun sudah mendapatkan hukumannya, dikucilkan dari lingkun
Tanpa sadar, Danan mengangguk. Ia berpikir mudah saja menemukan Gita dengan semua kekuasaannya. Ia juga bisa menyebutkan ciri-ciri Gita dan menyebarkan semua informasi mengenai gadis itu ke internet.“Oke, lalu kapan nenekmu meninggal? Dan bagaimana ceritanya kamu bisa menemuiku?”“Nenek meninggal sebulan lalu, Pa. Sebelum meninggal Nenek berpesan kalau Mama belum juga pulang, Ananta harus datang menemui Papa.”Danan mengangguk-angguk sambil sesekali menyesap sisa kopi dalam cangkirnya.“Ya sudah, setelah Ananta tahu kalau Papa sedang ada di mall itu, Nanta minta tolong diantar ke sana sama Om Kusno. Tetangga Nenek di Bandung.”“Kok, kamu bisa tahu saya ada di sana?”“Dari insta storynya Tante Audi. Dia bilang kalau dia mau dinner sama Papa di sana. Nanta kan udah jadi follower Papa dan Tante Audi. Sejak Nenek ngasih tahu tentang Papa.”Danan mendecap. “Dasar tukang pamer,” umpatnya dalam hati. “Oke, aku akan membantumu mencari mamamu, tapi aku perlu melakukan sesuatu dulu. Aku ingin
Sebelas tahun lalu.Kelompok mahasiswa tingkat akhir Universitas Pajajaran, Bandung tengah mengunjungi Ciwidey, salah satu desa di Bandung Utara. Desa yang dianugerahi Tuhan dengan pemandangan yang asri dan menarik mata itu mampu membuat siapa pun terpesona akan keindahan setiap tempat yang terlihat di sana. Sebagai syarat kelulusan, Danan beserta ketiga orang temannya di jurusan teknik pertanian melakukan praktek kerja lapangan di salah satu kebun strawberry milik penduduk bernama Sena. “Dingin banget, Brrr.” Gita, yang duduk di kursi depan memeluk erat tubuhnya sendiri. Di antara anggota kelompoknya hanya Gitalah satu-satunya perempuan. Pembagian kelompok secara acak yang membuat gadis 19 tahun itu berada di tengah-tengah Danan, Feri dan Miko. “Ni, pake jaket gue. Lagian udah gue kasih tau kalau udaranya bakal dingin, lo malah nggak bawa jaket,” ucap Miko, pemuda berkulit gelap. Di antara empat temannya yang lain justru dialah yang paling perhatian pada Gita. Wajar saja, karena di
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku