***
"Cinde, Kamu hati-hati ya, di sana. Kakek harap kamu bisa cepat beradaptasi dan belajar dengan baik."Hari keberangkatanku ke luar negeri pun tiba. Aku harus meninggalkan negeri ini ke tempat yang belum pernah aku datangi sebelumnya, Amerika.Kemarin lusa, aku juga sudah mengajukan surat pengunduran diri pada Pak Bimo."Iya, Kek," ucapku sambil memeluk erat kakek beberapa saat.Jujur, sebenarnya aku sedih harus kembali berpisah dari kakek. Keluarga yang belum terlalu lama kukenal. Ingin rasanya menolak dan memilih untuk kuliah di Indonesia saja, tapi kakek bilang kalau di Amerika aku bisa lebih banyak belajar tentang banyak hal. Sekaligus mengenalkanku juga dengan dunia luar yang nanti pasti akan sering aku temui."Semoga Cinde tidak mengecewakan kakek, ya," ujarku lagi. "Kakek jaga kesehatan, ya. Jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Soal kerjaan, serahkan saja pada Prabu," ujarku lagi.Raja membawaku membelah jalanan Jakarta menuju ke tempat yang baru pertama kali aku datangi. Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Gaya menyetirnya kini benar-benar berbeda seperti awal tadi, saat kami baru saja berangkat dari rumah kakek. Rahangnya mengeras dan raut wajahnya juga terlihat tegang. Apa dia marah karena tadi aku ingin bertemu Prabu? Padahal aku hanya ingin pamitan, kan? Aku mendengkus kasar, kadang sikap Raja memang suka berubah seenaknya tanpa bisa kuprediksi apa alasannya. Lagipula kenapa mendadak dia bilang harus segera tiba di bandara, tadi aja, bawa mobilnya nyantai banget. Alunan lagu 'Anugrah Terindah yang Pernah Kumiliki' dari band Sheila on 7 seketika mengiringi perjalanan kami. Tanpa setahuku Raja menyalakan radio dan sedikit membesarkan volumenya. Mungkin dia merasa kalau suasananya terlalu sepi. Melihat tawamu mendengar senandungmuTerlihat jelas di mataku warna-warna indahmu.
Tanpa terasa air mataku mengalir, ada rasa nyeri di ulu hati dan sesak di dada. Kakek adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Kini ia pun sudah pergi. Teringat saat waktu aku mau berangkat ke New York waktu itu, kakek memelukku erat sambil berpesan sesuatu yang menurutku cukup aneh. Siapa yang menyangka kalau itu adalah pesan terakhir Kakek. Pemakaman kakek yang seharusnya dilaksanakan kemarin pun, akhirnya ditunda demi memenuhi permintaanku agar bisa melihatnya untuk yang terakhir kali. Nalarku berjalan. Kuusap air mataku. Aku tidak boleh terlihat serapuh ini di hadapan para tamu penting kakek. Aku adalah cucu kakek satu-satunya, ahli waris kakek. Aku harus menunjukkan wibawaku di depan semua orang. Sudah cukup kuhabiskan air mata selama perjalanan kembali ke Indonesia kemarin. Om Asykar yang berdiri tepat di sisiku, terus menjagaku agar tidak terjatuh, ia sangat tahu betapa hancurnya aku saat ia menelepon malam itu. Namun, sekuat apapun aku
Pov Prabu"Pokoknya, Mama mau kamu secepatnya harus dapat tanda tangan si tua bangka itu. Buat dia bersedia mengalihkan semua asetnya padamu. Enak saja tiba-tiba dia mau mewariskan bisnis hotel dan rumahnya kepada cucu yang baru ditemukannya itu. Mana masih anak kemarin sore. Selama ini, kan, kamu yang sudah membantu dia untuk menjalankan bisnis hotel, terus sekarang mau di buang begitu saja." Wanita di depanku ini terus saja berbicara tanpa henti, membuatku tidak bisa menikmati makanan yang seharusnya terasa nikmat di lidah. Terpaksa kuhentikan aktivitas makanku, kutahan rasa lapar dengan hanya meneguk segelas air. "Lagipula, mama sebenarnya juga berhak kok atas hotel itu. Keluarga kita saja yang aneh-aneh bikin peraturan. Bisnis keluarga hanya diwariskan kepada anak perempuan tertua dan keturunannya," sambungnya di tengah aktivitas makan malam kami. Aku tidak tahu apa yang harus kujawab terhadap permintaan mama. Di kepalaku permintaannya itu
Pov Prabu (2) Setelah pemuda itu kupecat, kuperhatikan Cinde selalu murung dan tidak bersemangat. Seakan kepergian pemuda mantan karyawan dapur itu membuatnya kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Padahal siapa sih dia? Kenapa seakan-akan Cinde begitu membutuhkannya. Aku kira teman dekat prianya hanya si guru privat bahasa inggris bernama Pangeran yang culun itu, tapi ternyata dia cukup mudah juga dekat dengan lelaki lain. Kalau begini usahaku untuk menarik hatinya menjadi lebih sulit. Kesal sekali aku dibuatnya. “Lolly, jam sebelas nanti saya ada jadwal apa?” tanyaku pada wanita yang sedang sibuk bersolek itu. Terkadang kelakuakn sekretarisku yang satu itu membuatku geleng-geleng kepala. Aku sampai tidak habis pikir, mereka--makhluk yang bernama wanita--bisa-bisanya begitu rajin dan telaten menggambari sebuah garis di atas mata mereka higgga membetuk lengkungan yang menurut mereka sempurna. Padahal siapa yang akan memperhatikan hal semacam itu
Langkah kakiku cepat meninggalkan rumah kakek, tujuanku sekarang hanyalah menuju hotel tempat Prabu berada. Aku ingin mendengar langsung penjelasan dari mulutnya langsung. Apa benar apa yang tadi Om Asykar bilang, kalau dia ada hubungannya dengan kematian kakek? Baru saja aku akan keluar gerbang, sebuah mobil sport warna hitam tiba menghampiri. Raja, kenapa dia ke sini? Mobil Raja berhenti tepat di depanku. Sepertinya ia sengaja menghalangi jalan. "Cin, Lo mau ke hotel? Ayok gue anter?" tanya Raja tanpa turun dari mobil, hanya menurunkan jendelanya. Dari mana dia tahu kalau aku mau ke hotel? Pasti Om Asykar yang sudah melapor pada Raja. Ah, S*al! "Tau dari mana aku mau ke sana? Nanya juga belum?"Ia tersenyum. "Kalau bukan ke sana, lalu lo mau ke mana lagi? Udah buruan masuk. Gue anter kemanapun lo mau pergi."Akhirnya aku menurut, masuk ke mobil Raja. Raja segera melajukan mobilnya kembali. Di depan pintu, tampak O
Kami semua yang sudah hadir berkumpul di ruang keluarga. Om Nandar tampak sibuk mengeluarkan beberapa berkas dari dalam tasnya. Sebelum menuju kemari tadi, Prabu dan Tante Nirmala menghampiriku. "Oh, jadi ini gadis kecil yang akan menjadi ahli waris tunggal keluarga Andromeda?" tanyanya sinis. Sorot mata tajamnya yang memindaiku dari atas kepala hingga ujung kaki seakan menusuk hingga ke dalam jantung. Sedangkan Prabu yang berada di samping ibundanya hanya diam seraya memandangku tanpa ekspresi. Tidak tersenyum tidak juga berkata apapun. Seketika degup jantungku berdetak kencang, tak dapat kupungkiri rasa rinduku padanya masih ada. Bayangkan saja, setelah kurang lebih enam bulan tidak melihatnya, saat bertemu lagi malah kami harus berada dalam pihak yang bersebrangan. Aku teringat akan permintaannya waktu itu. Ia pernah memintaku untuk tidak membencinya, ternyata karena hal ini. Mereka berdua lalu mengambil posisi di tengah ruangan. Tante Nirmala duduk
"Tenang, Ma, jangan emosi. Nanti sakit Mama kambuh lagi." Prabu terdengar menenangkan ibundanya yang tengah emosi. Berkali-kali ia mengusap bahu wanita berusia lima puluhan tahun itu. "Baik, Bu. Biarkan saya menyelesaikan pembacaan surat wasiat ini, dulu, ya."Setelah Tante Nirmala duduk kembali, Om Nandar meneruskan membaca wasiat kakek sampai selesai. "Ditandatangani di Jakarta, tanggal 30 Januari 2019 tertanda, Sultan Andromeda." Om Nandar menutup surat wasiat kakek dan menutupnya kembali. "Baik, Bapak dan Ibu sekalian, demikianlah isi dari surat wasiat tuan Sultan Andromeda. Jika ada sesuatu hal yang terkait dengan isi surat wasiat silakan disampaikan ke saya."Prabu bergerak maju menghampiri Om Nandar. Ia lalu menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat. "Ini adalah surat penyerahan semua aset kakek yang dia tanda tangani sebelum dia meninggal.""Baik, Pak, saya cek dulu."Om Asykar ikut mendek
"Menikahlah denganku maka semua ini akan menjadi milikmu lagi."Aku menggeleng cepat. "Aku ga perlu semua ini, yang aku butuhkan cuma kakek! Dan kamu udah ga bisa ngembaliin kakek ke hidupku lagi!" Mataku mulai berembun. Rasa rinduku pada kakek mendadak muncul. Prabu mendekat, tangannya bermaksud meraih tubuhku, tapi sepertinya ia urung melakukannya lebih dari sekedar mengenggam tanganku. "Cin, biarkan aku yang menjadi pengganti kakek di hidupmu. Aku janji aku akan menjaga dan membahagiakanmu hingga akhir."Mataku membelalak mendengar kalimat Prabu tadi. Dia itu serius atau apa, sih? Apa dia tidak memikirkan bagaimana sikap Tante Nirmala padaku? "Aku serius, Cin. Soal mama kamu ga usah khawatir, aku akan membujuknya pelan-pelan. Dia pasti akan menerimamu," ucapnya lagi seakan mengerti apa yang menjadi pikiranku. "Maaf, aku ga bisa. Kakek memintaku untuk menikah dengan Raja. Kamu tau itu, kan? Itu adalah permint
"Saya nggak pa-pa, Ustaz. Kalau diizinkan, saya mau izin dari pelajaran."Ustaz Novan sedikit terkejut dengan sikap ketus Ananta. Ia kemudian terdiam beberapa detik. "Silakan. Salma kamu tolong antar Ananta ke kamar, ya.""Baik, Pak Ustaz."Ustaz Novan hanya memandang punggung Ananda yang semakin mengecil. Kelas pun seketika hening.Sepeninggal Ananta, Ustaz Novan meneruskan kembali pelajaran. Tapi tetap saja ia tidak bisa kembali berkonsentrasi dengan apa yang ia sampaikan. Sikap Ananta tadi terus membayangi kepalanya. Ia sangat yakin pasti Bu Nyai sudah menyampaikan maksud baiknya pada Ananta. Dan ia juga yakin bahwa perempuan itu menolak untuk berta'aruf dengannya. "Pasti ia tidak mau," gumam Ustaz Novan. Sama seperti Ustaz Novan, setelah keluar dari kelas Ananta pun dilanda kegelisahan. Ia mendadak diam seribu bahasa. Salma pun jadi bingung dibuatnya. Sahabat Ananta itu ingin sekali menasehati Ananta bahwa sikapnya tidak baik. Tapi ia yakin Ananta pasti tahu apa yang ia lakukan *
Jutaan detik berlalu hingga mampu mengikis nama Cinde di hati seorang Prabu Andromeda. Keputusannya menetap di Jepang adalah keputusan tepat karena di sana ia bisa menyibukkan diri dengan banyak aktivitas. Namun, meski usianya sudah hampir kepala tiga, ia masih belum bisa menemukan wanita yang mampu membuat hatinya gemetar. Seperti dulu, saat ia bersama Cinde. "Pagi, Pak Prabu," sapa Yuki, sekretaris pribadinya. Meski tahun ini ia sudah merayakan hari jadinya yang ke 45, tapi Yuki sangat cekatan. Ia adalah salah satu orang kepercayaan Prabu. "Pagi, Yuki san. Ada menu apa hari ini?"Tidak hanya piawai dalam pekerjaan, Yuki pun dikenal sangat pandai memasak. Dia bisa membuat banyak menu enak hanya dalam waktu singkat. Setiap hari ia selalu membuat eksperimen yang akan ia berikan pada Prabu. "Ini, cobalah. Aku baru selesai membuat muffin isi ayam." Yuki menyajikan dua buah kue berwarna keeemasan yang dialasi alumunium foil. Sontak, wangi tumisan ayam yang berpadu dengan bumbu dan iri
"Apa? Ustad Novan? Ustadz Novan mau taaruf sama saya, Bu Nyai? Nggak, nggak mungkin. Bu Nyai pasti salah." Wanita berparas ayu itu lalu menggeleng keras. "Tidak, Ananta. Ustadz Novan sendiri yang minta bantuan ibu untuk menyampaikan niat baiknya ke kamu.""Tapi, Bu Nyai, kenapa Ustadz Novan mau taaruf sama saya? Masih banyak gadis lain yang bisa diajak taaruf, kan?" Ananta masih tidak habis pikir. "Ya, ibu juga nggak tau. Itu sudah keputusan Ustaz Novan. Ibu hanya menyampaikan. Gimana, Nanta? Apa kamu bersedia?""Maaf kalau mengecewakan Bu Nyai, tapi saya enggak bisa, Bu Nyai! Saya nggak mau. Tolong katakan sama Ustadz Novan, saya menolak tawaran taaruf itu.""Kamu nggak mau coba dulu? Hanya taaruf aja, kok. Kalau misalnya kamu tidak cocok karena suatu hal, kamu tidak harus lanjut ke proses selanjutnya, kan.""Maafkan saya, Bu Nyai. Keputusan saya sudah bulat."Lagipula kalau aku menyetujui ta'aruf ini, aku takut ke depannya hatiku akan semakin terluka, batin Ananta. "Kamu yakin?"
"Apa Ibu tidak salah dengar, Van? Kamu mau menikah dengan gadis cacat? Apa tidak ada gadis lain? Kamu itu masih muda, masih perlu dilayani oleh istrimu nanti. Aktivitas padat. Kalau tidak ada istri yang melayanimu kamu akan kesulitan."Novan terdiam mendengar untaian kata keluar satu persatu dari mulut ibunya. Ia sudah mengira jika ibunya pasti tidak akan mudah menerima keputusannya. Namun, Novan tidak akan menyerah. Ia akan berusaha membujuk Ibunya dan keluarga besarnya agar bisa menerima Ananta. "Iya. Mbak setuju sama apa yang ibu bilang. Sebaiknya kamu simpan saja rasa cinta kamu sama gadis itu. Cari wanita lain yang bisa membuatmu menjadi lelaki sempurna dan bisa melayanimu seperti istri pada umumnya." Setali tiga uang dengan sang ibu, begitu juga dengan Lastri, kakak sulung Novan yang dengan terang-terangan menolak maksud Novan untuk melamar Ananta. Novan meremas ke sepuluh jemarinya yang ia letakkan di atas lutut. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan l
Di dalam kamarnya Novan merebahkan tubuh sambil melihat ke langit-langit. Memandang wajah Ananta membuatnya teringat akan seseorang yang sudah lama berada dalam hatinya: gadis yang dulu pernah ia sukai semasa kuliah di Turki. Namun, karena perbedaan status, Novan hanya menyimpan perasaannya dalam-dalam.Novan tahu tidak seharusnya menatap wajah Ananta. Karena sebagai guru harus menundukkan pandangan. Ia hanya sesekali menatap wajah itu. Makanya kemarin saat Pak Kiyai memanggilnya, dadanya berdegup kencang. Ia takut perasaannya pada Ananta akan diketahui oleh Pak Kyai.Novan Berencana untuk melamar Ananta tetapi tidak secepat itu, karena mereka juga baru bertemu beberapa kali. Ia ingin menyelidiki keluarga Ananta dulu dan melamarnya langsung pada sang Ibu. Setelah ibunya Ananta merestui baru ia akan mengatakan semuanya pada Pak Kyai. Novan pun berencana untuk menyampaikan maksudnya itu pada sahabat baiknya Ustadz Fadil. Yang juga merupakan pengajar di pesantren itu. "Aku tahu sebenarn
"Nggak papa, kok, Sal. Aku mau jawab. Apa yang kamu denger emang bener. Aku udah pernah nikah."Ucapan Ananta membuat bola mata Salma membulat. Kemudian ia bangkit dari duduknya dan mendekati Ananta. "Terus gimana ceritanya kamu bisa masuk ke pesantren ini? Suami kamu tahu? Dia ngijinin? Seingatku, kamu datang ke sini cuma sama ibu, teman dan adikmu."Raut wajah Ananta langsung berubah sedih. "Suamiku nggak ikut, Sal, karena dia udah meninggal. selain kehilangan kaki, di kecelakaan itu aku juga kehilangan suami. Dan enggak cuma itu, aku juga kehilangan calon anak," ucap Ananta sambil tersenyum."Ya Allah, Ta." Salma pun langsung memeluk erat Ananta. Beberapa menit ke depan kedua sahabat itu saling mengeluarkan tangis. "Ujian kamu berat banget, sih. Sabar, ya," ucap Salma sambil mengusap pelan punggung Ananta. "Allah memberikan ujian itu karena cuman kamu yang bisa. Orang lain nggak mungkin sanggup. Kalau aku yang diuji kayak gitu, mungkin aku bisa gila kali, Ta.""Iya, Sal. Aku udah
Ananta membuka album foto di mana terdapat gambarnya dengan Tezza. Lagi-lagi air matanya menetes deras. Meski ia belum terlalu ingat, tapi melihat wajah pria itu saja bisa membuat lukanya kembali terbuka. Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk seseorang. Dan setelahnya muncul seorang gadis berjilbab panjang berwajah manis dengan tahi lalat di sudut bibir kanan."Assalamualaikum, Ta. Yuk, sebentar lagi kelas dimulai," ujar gadis bernama Salma. Ia mendekati Ananta lalu mendorong kursi roda sahabatnya itu. "Hari ini kita akan belajar mengenai ilmu fiqih," ujar Salma lagi. "Kamu pasti bakal suka. Karena pengajarnya itu adalah salah satu ustaz terbaik di pesantren ini. Oh ya, rata-rata sih yang diajar sama beliau bilang, kalau mereka suka sama pelajarannya." Salma menjelaskan tanpa diminta. "Ya maklum sih, mereka rata-rata menyukai pengajarnya, bukan apa yang beliau ajarkan."Mata Ananta membulat. Ia lalu mengangkat kepalanya ke arah Salma. "Memang ada apa dengan ustaz itu?""Dia mas
Pesantren Tahfizhullah, Bogor. Dear Dyari,Sesuai dengan keinginanku sendiri, hari ini aku sudah mulai tinggal di pesantren. Alhamdulillah suasana di sini sangat nyaman dan menyenangkan. Semua pengurus pesantren, dan keluarga Pak Kyai sangat welcome dan selalu siap menawarkan bantuan padaku kapan pun aku butuh.Dy, beberapa hari lalu, Ibu, Abqo dan Fenita sendiri yang mengantarku ke sini. Meski berat, tapi aku tetap harus memilih jalan ini, Dy. Aku nggak mau terus menjadi beban untuk mereka. Aku sadar seperti apa kondisiku. Jika tinggal bersama ibu, ibu yang mulai tua, akan kerepotan mengurusku, sedangkan Abqo dan Fenita, meski mereka bilang kalau akan selalu membantu, tapi saat mereka nanti sudah disibukkan dengan aktivitas harian, dan saat mereka punya anak, aku pasti akan membuat mereka susah. Aku tidak mau itu, Dy. Aku tidak sampai hati lagi menyusahkan mereka, orang-orang yang sangat aku sayang. Jadi, Dy, mulai hari ini selain kepada Robb-ku, hanya padamulah aku akan berkeluh-k
Kupandangi bangunan kokoh yang kini berdiri angkuh di hadapan. Rumah yang cukup besar. Halamannya juga luas. Ada energi kuat yang seakan menarikku untuk segera masuk ke dalam. Bola mataku langsung berputar ke segala arah dengan perasaan yang gamam. Aku memang merasa kalau dulu pernah tinggal di sini, tetapi untuk mengingat semua aktivitas apa saja yang kulakukan saat berada di dalamnya aku masih belum bisa. Fenita terus mendorong kursi rodaku menuju ke dalam. Di ruang tamu aku langsung disambut dengan aneka fotoku bersama dengan seseorang yang kuyakin dialah Mas Tezza. Lalu Alfa? Seperti apa wajahnya? Di buku harian pun aku tidak menyimpan gambarnya. "Nah, ini dulu kamar kamu sama Om Tezza," ucap Fenita. "Kamu mau tidur di ranjangnya, Ta? Biar aku bantu."Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Fen. Aku duduk di sini aja."Kepala ini kembali berputar ke segala arah. Di dalam kamar ini juga banyak sekali foto-fotoku bersama Mas Tezza. Ah, iya, itu aku atau Lisfi? Yang tertulis di buku