***Upik mendekati Mpus segera, ia membuka ikatan tali yang melilit tubuh Mpus berlapis-lapis dengan cara membuka biasa. Melihat itu, Mpus yang masih terengah-engah, dengan keringat bercucuran di sekujur tubuhnya kaget dan heran. Ia menguras banyak energi untuk melepas ikatan itu, namun Upik melepasnya dengan cara biasa saja. "Kka, kau bisa membuka ikatan ini begitu saja?" tanya Mpus. "Ya, ini hanya diikat dengan simpul biasa. Hanya saja, talinya sangat panjang, hingga melilit tubuhmu sampai berlapis-lapis." terang Upik. "Ttaa, tapi, aku kesulitan untuk melepaskan ini dari tadi.""Aku mengerti!" mbah Acong tiba-tiba bersuara. "Ya, Mbah?" tanya Upik. "Sebenarnya, tali yang mengikatmu itu tidaklah memiliki kekuatan magis yang besar, biasa saja. Namun, kau tadi dalam kepanikan, dan itulah yang dimanfaatkan si mbah Dukun itu.""Maksudnya?" tanya Mpus bingung. "Sepertinya, mbah Dukun tau kalau dahulu kau hanya seekor kucing yang tak bertuan. Dan ia memanfaatkan kepanikanmu. Dengan
***Mpus berjalan cepat menuju mbah Dukun. Melihat itu, mbah dukun kembali melancarkan tembakan bola cahayanya ke arah Mpus. Namun, Mpus tetap bisa mengelak dengan tetap berjalan menuju ke arah mbah Dukun. Mpus kemudian memasang kuda-kuda untuk melayang ke udara, mengarahkan telapak tangannya ke arah mbah Dukun, dan melemparkan sebuah kilat berwarna putih ke arah mbah Dukun. Namun, mbah Dukun bisa mengelak, dan kilat itu mengenai railling tangga dan patah seketika saat mengeluarkan ledakan kecil. Mpus segera menapak di atas lantai, ia sudah berada tepat di hadapan mbah Dukun. Mbah Dukun tampak mengeluarkan seberkas cahaya merah dari tangannya dan dengan senyuman mengatakan, "Kau tau ini apa? ini adalah energi yang kuserap darimu. Manis sekali rasanya, aku menjadi ketagihan. Sepanjang aku mengamalkan ilmu, baru kali ini kurasakan energi murni yang segar seperti ini." ucap mbah Dukun. "Itu tak berguna sama sekali untukku!" "Oh ya? ah, ini sudah sore hari, sebentar lagi matahari ak
***Setelah berada sekitar satu meter jaraknya, Rianti kemudian menyerahkan pistol pada Bambang, "Gadis itu, amankan dia Bambang!" perintah Rianti. Seperti robot, Bambang menurut saja. Ia tarik Upik dari genggaman tangan Mpus yang lemah, dan menodongkan senjata ke kepala Upik. Rambut Upik ia jambak sampai kepalanya mendongak ke atas. Upik menjerit kesakitan, tangannya berusaha meraih tangan Bambang untuk melepaskan jambakan itu. Melihat itu, Liom bergegas berdiri dan hendak meraih Upik. Namun, Bambang segera menodongkan pistol ke arah Liom. Bambang benar-benar tak melihat Liom sebagai anaknya, namun sebagai pengganggu yang siap ia musnahkan jika mengganggu. "Bapak! aku Julian anakmu! jangan dengarkan perempuan gila ini!" Liom perlahan melangkah ke arah Bambang. "Ckckckc, sayang sekali Julian. Dia tidak akan mendengarkanmu. Bahkan jika kusuruh menembakmu membabi buta, ia akan menurutinya." ucap Rianti sambil melangkah mendekati Liom. "Kurang ajar!" Liom mengepal tangannya kuat.
***Di luar bangunan tua itu, Mpus, Liom dan Upik berdiri. Mereka melihat ada beberapa mobil di halaman. "Yang mana yang bisa kau kendarai, Liom?" tanya Mpus. "Semuanya!" jawab Liom yakin. "Kau pilihlah salah satunya." "Sebelum itu, bisakah kau pindahkan Bapakku dan mbah Acong ke dalam mobil?" pinta Liom. Mpus memandang Liom sejenak, lalu mendekatinya, "Kau khawatir pada Bapakmu?""Ah, kau mulai lagi. Dia dan mbah Acong masih ada kemungkinan selamat. Aku sebagai manusia, masih memiliki hati untuk tak membiarkan mereka ada di sarang setan ini." "Hmmm, baiklah!" Mpus melangkah kembali ke dalam gedung, ia arahkan tangannya ke Bambang dan mbah Acong yang terkapar tak berdaya, perlahan kedua sosok yang tak sadarkan diri itu melayang di udara. Mpus mengarahkan tangannya ke arah Mobil, kedua sosok melayang mengikuti arah tangan Mpus. Melihat Bapaknya dan mbah Acong melayang keluar pintu, Liom langsung bergegas menuju sebuah mobil jenis Triton yang tak jauh darinya. Bambang dan mbah
***Upik hendak bangkit dari tempat duduknya, ia benar-benar trauma dengan Bambang. Melihat itu, Liom memegang tangan Upik, menganggukkan kepala, meminta Upik tak perlu kemana-mana. "Mau apa ke sini?" tanya Liom. "Nak, Bapak tahu kau sangat marah pada Bapak. Namun nak, kau juga tahu kalau semua yang terjadi adalah di luar dari kendali Bapak.""Termasuk membeli Upik dari rumah Bordir?""Aaah, maafkanlah kesalahan yang sudah berlalu, Nak. Ayo kita mulai kehidupan baru ke depan yang lebih baik.""Lebih baik apanya? Bapak bahkan sudah menyia-nyiakan masa-masa sehatku. Masa di mana masih ada Ibu dan aku di rumah itu. Dan sekarang, aku bahkan tak tahu berapa hari lagi aku bisa bertahan."Mendengar itu, Upik langsung menggenggam tangan Liom, menatap Liom dalam, menggelengkan kepalanya seolah tak mau mendengar Liom mengatakan itu. "Bapak akan menebus semuanya semampu Bapak, Julian. Andai kamu beri Bapak satu kali kesempatan lagi.""Pergilah dari sini! aku tak membutuhkanmu." Liom memalingk
***Tanah kuburan diremas oleh tangan keriput berkuku hitam. Seorang wanita paruh baya terlihat duduk berjongkok cukup lama di sisi kuburan yang baru. Mbah Dukun kemudian berdiri, kepalanya masih saja menunduk menatap pada gundukan tanah yang bertabur kembang itu. Melirik sekali lagi batu nisan sementara yang masih ditulis dengan spidol, tertera di sana nama Rianti binti Sarjono. Mbah Dukun berbalik arah, mengusap sisa air matanya, dan bergumam dengan menggeratakkan gigi-giginya, "Akan kubalas kalian semua!"Ia melangkah meninggalkan makam Rianti, sebuah mobil sedan putih yang sedari tadi menunggunya, ia naiki dan langsung melaju kencang. "Antar aku ke Rumah Sakit terdekat!"***Liom sedang disuapin oleh Upik. Ia mengaku tangannya kaku tiba-tiba tak bisa digerakkan, dan tangan satunya lagi tertusuk jarum infus, yang katanya lagi, itu menyebabkan ia sulit untuk bergerak. Upik yang lugu menurut saja, ia mengambil nampan makanan Liom dan ia suapi perlahan. Liom tampak pongah di depa
***Perawat itu hanya diam, namun senyum tipisnya menyeringai. Tiba-tiba, Bambang yang melaju kencang di dorong oleh seorang Perawat masuk ke kamar. "Liom!! dia mbah Dukun!" teriak Bambang mencoba berdiri dan langsung ambruk dari kursi rodanya. Melihat keadaan itu, Perawat langsung mengambil langkah sigap. Ia meloncat melangkahi kepala Mpus, dan seketika berubah wujud menjadi sosok mbah Dukun. Mpus yang segera sadar akan hal itu, menarik sabuk panjang yang melilit pinggangnya, dan membentangkannya mengarah ke kaki mbah Dukun. Seketika, sabuk itu melilit kaki mbah Dukun dan segera ditarik oleh Mpus. Mbah Dukun langsung jatuh ke lantai, menyadari kakinya tengah terikat, ia langsung melihat ke arah Bambang, mengambil tusuk kondenya dan menusukkannya ke dada kiri Bambang. Bambang tertusuk, tusukan itu menancap ke jantungnya. "Bapak!!" teriak Liom. Liom mendekati Bambang seketika, membantunya untuk duduk, darah segar dimuntahkan Bambang, ia memegangi dadanya yang tertusuk. Perawat
***Bambang dilarikan segera ke ruang ICU, jantungnya masih berdenyut, namun ia sudah kehilangan kesadarannya. Liom, Mpus dan Upik mengejar sampai ke pintu, namun dihalangi oleh beberapa orang Perawat. Satu jam kemudian, Dokter keluar dari ruangan tersebut, meminta Liom untuk masuk ke ruangannya. Sesampainya di ruangan Dokter, "Sepertinya, pak Bambang sudah memiliki firasat, bahwa beliau akan pergi meninggalkan kita semua, Julian.""Apa maksud Dokter?"Pak Dokter menyerahkan beberapa berkas yang ditandatangani oleh Bambang. Di sana tertulis, jika kapanpun ia sekarat, jangan mengusahakan untuk menyelamakan nyawanya, namun usahakan mengambil organ hatinya, untuk diberikan pada anaknya Julian."Bbaa, bagaimana bisa saya atau kalian tim Dokter tidak mengusahakan Bapak saya untuk selamat, Dokter?""Julian, waktu kita tidak banyak. Sekarang pak Bambang sedang koma. Potensi untuknya bisa hidup kembalipun sangat kecil. Selagi organ tubuhnya seperti hati dan jantung masih berfungsi, segera
***Sudah seminggu Santi mengajari Upik dan Mpus, ada beberapa perkembangan yang ia hasilkan. Mengajari di pagi dan sore hari, tentu dalam sepekan ia bisa membuat Upik bisa berhitung dan mengeja huruf, dan Mpus dengan luar biasanya sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, meski masih terbata-bata dan terkadang masih ada yang salah. Santi memamerkan pencapaiannya pada Mpus. "Tempo dua minggu, Mpus akan lancar menulis, membaca dan berhitung." "Heeei, kau hanya fokus mengajari Mpus?" tanya Liom tak terima. "Dia bisa karna memang otaknya luar biasa encer!""Upik bagaimana?""Dia, yaaah... mungkin tempo sebulan kurang lebih." "Kau mengacuhkannya?""Ya enggaklah! aku professional.""Hadiah bisa kau terima, kalau dua-duanya bisa baca, tulis dan hitung." tegas Liom. "Ah, menyebalkan!" sungut Santi. Tiba-tiba bel pintu berbunyi, Santi melangkah menuju pintu. Ia buka, dan seorang Kurir bunga sudah ada di depan. "Dengan ibu Santi?" tanyanya. "Ya!" jawab Santi bingung. "Ada titipan b
***Ruangan belajar ditata sendiri oleh Santi. Ruangan itu berada di balkon lantai dua. Sengaja ia pilih tempat itu agar proses belajar mengajar berkesan santai dan tidak kaku. Santi sendiri bukanlah lulusan Sarjana Pendidikan. Namun, ia pernah melakukan kegiatan amal di sebuah Panti Asuhan selama sebulan penuh, dalam hal mengajar buta aksara. Dia bukanlah tipe penyabar, namun tehnik mengajarnya cukup membuat orang-orang yang ada di kelasnya bisa menangkap dengan cepat apa yang ia ajarkan. Tempo sebulan, ia mampu mencetak setidaknya dua belas orang bisa membaca, menulis dan berhitung.Liom datang dari belakang, menyapa Santi. "Kau tampak bersemangat. Apa ini karna lima batang emas itu?""Yaa, mungkin! tapi lebih ke rasa simpatikku pada kalian semua.""Simpatik?""Kalian melindungiku, itu membuatku tersentuh.""Hmmm, bukan karna kau tiba-tiba terkagum-kagum dengan pesona Mpus, kan?" tebak Liom menggoda Santi. "Kau bicara apa?!" Santi terlihat gugup. "Aku paham kok. Jangankan kau w
***Liom dan Upik langsung mengejar dan melihat ke bawah. Mata mereka melotot, tangan mereka seakan ingin meraih, namun hanya railing tangga yang bisa mereka raih dan genggam. Sementara si Kurir berlari menghindar dan mendekati Lelaki asing yang masih bersujud kesakitan. Liom dan Upik melihat ke bawah, Santi berada di sana, namun tidak ada hal yang mengenaskan terjadi. Santi sedang digendong melayang oleh Mpus. Melihat itu, Liom dan Upik langsung terduduk lemas, mereka menghembuskan nafas lega. Tak terbayangkan jika Santi mengalami hal yang mengerikan itu, jatuh dari lantai dua dalam keadaan hamil besar. Tubuh Santi digendong Mpus masih dalam keadaan melayang. Mata mereka beradu, namun Mpus segera mendongakkan wajahnya melihat ke atas. Sementara Santi masih syok dan terperangah. Antara percaya dan tidak percaya, mereka berdua benar-benar sedang melayang di udara, kaki Mpus sama sekali tidak menapak di lantai. Ia pandangi wajah Mpus yang teduh dan tampan. Seketika ia terjebak lagi
***Sosok itu menekan tombol-tombol itu, kemudian membuka-buka berkas yang ada di sana. Sepertinya sosok itu berhasil membuka pintu brankas itu. Mpus membuka pintu kamar itu lebar, sosok itu langsung menoleh dan terkejut. Ia tampak tak menduga seseorang bisa menyadari apa yang ia lakukan di kamar Bambang. "Kau lupa dengan sumpahmu, Rian?" tanya Mpus. "Aaaaah, kukira kau siapa!?" Rian tampak sedikit lega dan memasukkan berkas itu kembali ke dalam brankas. "Kau sedang apa?" tanya Mpus. "Aku sedang mengganti pin sandinya, aku khawatir Santi melihatku tadi menekan tombol sandinya.""Aku berharap kau tak lupa akan sumpahmu!" "Aku tak mungkin berkhianat. Meskipun kemarin Julian tidak membuat perjanjian darah padaku di depanmu, aku takkan berkhianat!""Kuharap demikian, kalau kau berusaha mengkhianati Liom, kau pasti tahu akibatnya.""Aku sudah selesai merubah pinnya, apa kau mau bertahan di sini?" Rian beranjak dari posisi berjongkoknya, hendak keluar kamar. Mpus membiarkan Rian berl
***Lima hari dalam perawatan, akhirnya Liom diperbolehkan pulang, namun harus terus melakukan kontrol rutin ke Rumah Sakit. Mpus, Upik, Rian dan Santi berada satu mobil dengan Liom. Tujuan mereka adalah ke rumah Bambang di tengah-tengah Perkebunan. Ya, rumah masa kecil Liom dan keluarganya, sekaligus rumah yang didiami Rianti selama ini."Santi, kau tidur dengan Upik di kamar tamu lantai dua ya!? dan aku bersama Mpus." Liom membuka percakapan. "Ogah banget berbagi kamar dengan perempuan kampung ini." jawab Santi. "Yasudah, kamu tidur bersama Mpus saja." kata Liom. "Kamu apa-apaan sih, Liom!? di rumah ini ada banyak kamar tamu, kenapa gak masing-masih saja sih?" "Kamu sedang hamil besar, seseorang harus selalu ada di sisimu untuk berjaga-jaga." terang Liom. "Okee! oke! baiklah! tapi, aku tak mau seranjang dengannya." "Di kamar tamu nomor dua, itu khusus untuk anak. Jd ranjangnya ada dua, selesai kan?!" jelas Liom pada Santi. Santi hanya diam meski tetap bersungut-sungut tak je
***"Sudah, sudah! Liom, memangnya di situ siapa nama aku dan Mpus tertulis?" tanya Upik. "Apa?! kau bahkan tak tahu membaca?" tanya Santi menertawakan Upik. "Aku juga tak tahu membaca." jawab Mpus memandang Santi yang seketika terdiam saat dipandangi tajam oleh Mpus. "Aaah, begini Santi. Selain untuk melindungimu, aku juga memberikan sebuah tugas untukmu. Kau tentu paham, kau di sini tidak gratisan kan?" ucap Liom. "Apa maksudmu, Liom!?" tanya Santi melangkah mendekati Liom. "Kau tentu tahu, Bapakku telah memutuskan hubungan dengan keluarga besar kita. Aku bahkan mengambil resiko, menyembunyikan istri seorang Pengusaha kaya di kota ini. Tentu kau juga paham itu tak gratis.""Liom, kupikir kau menolongku karna aku sepupumu satu-satunya. Kau tulus melakukan itu.""Kau bahkan tak perduli padaku, saat aku membutuhkan pertolongan dari semua orang.""Aaah, baiklah! aku terdesak, apa yang kau butuhkan dariku?!" tanya Santi. "Kau hanya perlu mengajari Mpus dan Upik belajar membaca, ber
Liom sudah ada di ranjangnya, ia masih belum sadar juga, Santi duduk di sebelah kanan Liom, sementara Upik berada di sisi sebelah kiri. Santi menatap Upik sinis, "Namamu siapa?" tanya Santi. "Namaku, Upik.""Ha? kampungan sekali, cocok dengan dirimu.""Aku memang berasal dari kampung." jawab Upik tersenyum. Santi melihat senyum Upik seolah risih, ia berdiri beranjak dari duduknya. Rian masuk ke dalam ruangan bersama Mpus, "Upik, bisakah kau ikut denganku keluar sebentar?""Kemana?" tanya Upik. "Kau tak sendiri, Mpus juga ikut denganku.""Apa? nama pria aneh ini, Mpus? dan kau, Upik? hahahahahah!" santi tiba-tiba menertawakan Mpus dan Upik. "Kenapa dengan nama kami?" tanya Upik memperlihatkan wajah tak senangnya. "Menggelikan!" jawab Santi malah mendekatkan wajahnya ke arah Upik, seolah menyeringai. "Siapa namamu?" tanya Upik, tanpa terlihat gentar. "Namaku, Santi! Santi Purwita Sari. Cukup terdengar bangsawan bukan?" "Ya! tapi tidak dengan dirimu." jawab Upik. "Apa maksudmu
***Liom dibawa ke ruang Operasi. Mpus dan Upik duduk menunggu di ruang tunggu, tiba-tiba dua orang seperti terburu-buru berlari ke arah Mpus dan Upik. Seorang pria berpakaian rapi yang kemarin berbicara dengan Liom adalah Pengacara pak Bambang, dengan seorang wanita yang sedang hamil besar. Pria dan wanita itu tanpak ngos-ngosan saat sampai di dekat Mpus dan Upik, "Hah, hah, hah, apa Julian sudah di dalam?" tanya Pengacara itu masih dengan nafas tersengal-sengal. "Ya, baru saja." jawab Upik. "Kenalkan saya Rian, Pengacara pak Bambang. Dan ini Santi, Sepupu Liom satu-satunya." Mpus dan Upik membalas jabat tangan Pengacara itu. "Dimana keluarga Liom yang lain?" tanya Upik. "Mereka sama sekali tak tahu, bahkan tentang meninggalnya pak Bambang sekalipun. Ini adalah permintaan dari pak Bambang selagi hidup." jawab Rian sambil menoleh ke arah Santi. "Dan dia, kenapa dia di sini?" tanya Mpus. "Dia di sini, permintaan dari Julian." jawab Rian. Sementara itu, Santi hanya diam duduk
***Bambang dilarikan segera ke ruang ICU, jantungnya masih berdenyut, namun ia sudah kehilangan kesadarannya. Liom, Mpus dan Upik mengejar sampai ke pintu, namun dihalangi oleh beberapa orang Perawat. Satu jam kemudian, Dokter keluar dari ruangan tersebut, meminta Liom untuk masuk ke ruangannya. Sesampainya di ruangan Dokter, "Sepertinya, pak Bambang sudah memiliki firasat, bahwa beliau akan pergi meninggalkan kita semua, Julian.""Apa maksud Dokter?"Pak Dokter menyerahkan beberapa berkas yang ditandatangani oleh Bambang. Di sana tertulis, jika kapanpun ia sekarat, jangan mengusahakan untuk menyelamakan nyawanya, namun usahakan mengambil organ hatinya, untuk diberikan pada anaknya Julian."Bbaa, bagaimana bisa saya atau kalian tim Dokter tidak mengusahakan Bapak saya untuk selamat, Dokter?""Julian, waktu kita tidak banyak. Sekarang pak Bambang sedang koma. Potensi untuknya bisa hidup kembalipun sangat kecil. Selagi organ tubuhnya seperti hati dan jantung masih berfungsi, segera